Sebagian anak sejak lahir sudah membawa kecenderungan untuk tidak mengenal takut. Ciri-cirinya adalah keras kepala, tidak mudah mendengar atau menaati perintah orangtua, tidak takut ancaman, tidak takut bahaya dan cenderung menyerempet bahaya.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen kali ini bersama dengan Ibu Wulan, S.Th kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Anak yang tidak Kenal Takut", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Inilah anak-anak yang kita katakan berurat baja, sehingga rasa takutnya sangat tipis. Pada umumnya anak-anak yang sangat aktif atau bisa kita golongkan masuk dalam kategori "Attention-Defiit Hyperactivity Disorder" gangguan tidak bisa berkonsentrasi dan hiperaktif.
Nah, umumnya anak-anak yang seperti ini rasa takutnya memang sangat tipis, alias rasa beraninya itu sangat besar. Sehingga tidak bisa lagi membedakan antara apakah ini membahayakan atau tidak. Anak-anak yang takut adalah anak-anak yang terlalu peka dengan derajat bahaya, kalau dia melihat sesuatu dia langsung ukur berapa berbahayanya. Kalau anak-anak yang tidak kenal takut kebalikannya, melihat bahaya sekalipun tapi tidak memandangnya itu sebagai bahaya. Ada beberapa ciri-cirinya Pak Gunawan, yang bisa kita kenali anak-anak seperti ini. Misalnya cenderung keras kepala, tidak mudah untuk kita mintai tolong atau kita nasihati atau kita tegur. Kalau sudah yakin dengan pendapatnya, maunya ke sana tidak bisa dicegah. Tidak mudah untuk menaati perintah orang tua, misalkan kita tegur dengan keras, tetap saja dia kerjakan apa yang ingin dia kerjakan. Benar-benar suara kita, mata kita yang membelalak itu seolah-olah tidak berdampak pada jantungnya, jantungnya tetap berdegup dengan normal. Atau yang lainnya lagi adalah tidak takut bahaya, tidak takut ancaman dan cenderung justru menyerempet bahaya. Sebab sebetulnya bagi mereka bahaya itu sesuatu yang menarik, sesuatu yang dinamis, membangkitkan keingintahuannya. Dan untuk mendapatkan informasi akan keingintahuannya itu, dia akan rela untuk menempuh bahaya. Sebab sekali lagi kita memanggilnya bahaya, anak itu sendiri tidak memanggilnya bahaya. Jadi memang adanya perbedaan persepsi tentang bahaya; buat kebanyakan orang, ini membahayakan, buat anak-anak yang tidak kenal takut mereka tidak melihatnya sebagai bahaya, itu sebabnya mereka tidak takut.PG : Saya kira secara fisiologis, anak-anak ini mempunyai jantung yang kuat, jadi secara fisik jantungnya kuat. Karena ketakutan itu langsung mempengaruhi kinerja jantung, waktu kita takut jantng itu akan berdegup.
Ada anak-anak yang memang dilahirkan dengan jantung yang sangat kuat; pompa satu kali, darah itu sudah langsung mengalir ke mana-mana. Ada anak-anak yang lahir dengan jantung yang tidak sekuat itu; dipompa beberapa kali, baru darah itu bersirkulasi di tubuh kita. Akibatnya waktu kita mengalami ketegangan, benar-benar kita merasakan pada jantung kita, sebab jantung kita langsung berdetak. Sedangkan pada anak-anak yang tidak kenal takut ini, jantungnya itu tidak memberikan reaksi secepat itu, alias dia memang tidak mendengarkan detak jantungnya yang berdegup dengan cepat, biasa saja, maka dia tidak takut. Tapi saya mau perjelas lagi, sebetulnya anak-anak ini mempunyai rasa takut dan bisa takut, namun yang ingin saya tekankan adalah persepsinya atau pandangannya tentang bahaya itu yang berbeda dengan orang kebanyakan. Sehingga karena baginya ini tidak berbahaya, maka dia tidak takut. Kalau memang ini dianggap sangat berbahaya, dia bisa jadi sangat takut. Tapi memang untuk dia melihat sesuatu itu sebagai hal yang membahayakan itu memang tidak sering, itu yang menjadi masalah.PG : Ya, itu saya kira akan berpengaruh juga, karena rasa percaya diri yang kuat itu membuat dia lebih berani menerjang resiko.
PG : Pertama, kita harus menerima keunikan anak kita dan jangan memandangnya sebagai masalah. Artinya apa? Jangan kita itu memperlakukannya sebagai problem, ketidaktakutannya itu, kecenderunganya untuk menyerempet bahaya itu sebagai problem.
Karena apa? Kalau kita sudah mulai memandangnya sebagai problem, kita makin menggiringnya menjadi problem, sehingga dia lama-lama merasa bahwa dirinya itu masalah. Keunikannya ini sesuatu yang sakit, yang tidak normal, nah saya merasa ini tidak sehat. Jadi pada awalnya orang tua diharapkan menerima keunikan anak itu dan jangan memperlakukan si anak dengan keberaniannya itu sebagai sebuah problem. Ingatlah bahwa anak itu sendiri tidak tahu mengapa dirinya menjadi seperti itu, dia tidak meminta untuk menjadi seperti itu, dia lahir sudah seperti itu. Jadi dipersalahkan karena kondisinya itu, makin membuatnya frustrasi dan ini makin mendorongnya untuk lepas kendali. Karena dipersalahkan, karena dia sendiri tidak tahu kenapa dia begitu berani. Adiknya dipanggil sekali dengan bentakan langsung datang dan mengerjakan yang ibunya minta, kalau dia tidak. Ibunya memanggil dia dan membentak dia sepuluh kali, dia tidak merasakan dia harus datang kepada ibunya. Kenapa? Karena dia tidak merasakan adanya panggilan dan ketakutan untuk menaati ibunya. Nah kalau orang tua langsung menge-cap dia atau melabelkan dia sebagai problem, saya khawatir anak ini nantinya benar-benar menjadi problem. Jadi kita akui, "Kamu anak yang unik, Tuhan sudah mengaruniakan kepada kamu keberanian, itu sebabnya kamu tidak gampang takut. Dan ini nanti akan sangat menolong kamu dalam hidup, kamu tidak gampang ditakuti oleh apa yang terjadi dan Tuhan bisa memakai kamu nanti mengerjakan pekerjaan Tuhan. Karena kamu bukan orang yang mudah mundur, kamu orang yang tabah." Justru kita mau tekankan bahwa keunikannya ini sebagai sesuatu yang Tuhan berikan dan nanti Tuhan dapat gunakan untuk kepentingan Tuhan. Sehingga dia melihat dirinya sebagai anak yang normal, bukan anak yang abnormal yang harus diubah, dikoreksi, dipermak lagi supaya lebih baik, tidak. Yang kita nanti akan lakukan adalah mengarahkannya, bukan menciptakan seorang anak yang baru.PG : Bisa, dan ini adalah tugas kita Pak Gunawan, jadi sering-seringlah kita memberikan penjelasan dengan nada yang baik, bukan dengan nada memarahi. Bahwa, "kalau engkau main api, nanti api in bisa membakar dan membakar kertas yang seperti ini bisa membakar karpet yang seperti ini".
Mungkin sekali-kali kita tunjukkan, kertas kecil gara-gara dibakar menyambar kertas yang lebih besar, kertas yang lebih besar bisa membakar kertas yang lebih besar lagi. Dan akhirnya bisa membakar satu rumah, dan kalau satu rumah terbakar kita katakan, "engkau tidur di mana? Kami tidur di mana? Mainanmu akan ke mana? Habis semua, baju-bajumu akan habis juga." Nah kita berikan penjelasan seperti itu kepada si anak, sehingga dia bisa memahami o.....bahayanya seperti itu. Karena memang dia tidak mudah melihatnya.PG : Saya kira pada akhirnya kita memang harus menerima kondisi anak kita yang tidak suka dengan olahraga yang membosankan, yang tidak ada unsur tandingnya, tidak ada unsur kompetisinya, yang tdak mengeluarkan tenaga.
Jadi kita memang harus menerima bahwa dia akan senang dengan olahraga-olahraga yang lebih aktif, yang lebih menggunakan kekuatan fisik, dan ada unsur kompetitifnya. Jadi biarkan, asalkan kita terus bimbing dia dan arahkan, memberikan penjelasan tentang apa itu bahaya.PG : Kita memang harus memberikan dia ruang untuk bisa lari, jadi jangan kita itu membatasi anak secara berlebihan alias kita membuat garis pembatas yang lebih luas, jangan kita memperkecil ruag geraknya.
Sedikit-sedikit tidak boleh, sedikit-sedikit tidak boleh, akhirnya karena sedikit-sedikit tidak boleh, si anak itu meledak, dia malah memberontak. Jadi saya minta, berkatalah 'tidak' hanya untuk hal-hal yang memang tidak dapat dikompromikan lagi. Misalnya, dia ingin menyakiti binatang, kita katakan, "Jangan, sebab kalau kamu disakiti seperti ini, rasanya bagaimana, atau kalau papa atau mama disakiti seperti itu rasanya bagaimana. Nah, binatang pun bisa merasakan sakit, bukan hanya binatang itu hanya terdiri dari kulit dan tidak bisa merasakan sakit." Kita berikan penjelasan seperti itu. Jadi sebisanya, kalau masih bisa berkata 'ya' kepada anak-anak ini, katakanlah 'ya'. Hanya untuk yang benar-benar kritis, barulah kita berkata 'tidak'. Sekali lagi kenapa? Sebab terlalu banyak 'tidak', malah membuatnya ingin menabrak rambu, karena sifat anak-anak yang seperti ini yang tidak kenal takut. Jadi sekali lagi berikan ruangan yang lebih luas. Misalkan, kalau anak kita begitu berani lompat sini, lompat sana, nah sebaiknya kita jangan membeli barang pecah belah di rumah kita terlalu banyak karena hanya mencari penyakit. Karena benar-benar bukan hanya dipecah belah, tapi benar-benar pecah dan terbelah-belah barang-barang kita. Atau kalau bisa rumah kita jangan berloteng, karena kalau berloteng dia mungkin akan manjat dan melompat dari atas, jadi kita mencoba sesuaikan kondisi kehidupan kita dengan kondisi anak kita itu.PG : Betul sekali, anak-anak ini memang tidak dengan mudah merasakan kasihan atau iba. Jadi untuk dia bisa memahami bahwa tindakannya itu menyakiti orang, akan sukar. Sebab bagi dia itu biasa dn yang membuat dia ingin melakukannya adalah ini menyenangkan.
Waktu orang kesakitan, itu membawa sukacita tertentu, jadi anak-anak seperti ini misalkan melihat temannya terjatuh, dia bisa terpingkal-pingkal tertawa. Kenapa? Sebab melihat seseorang jatuh itu sesuatu yang beda, jadi menggugah dia, menyenangkan dia dan menarik bagi dia.PG : Betul, di sini diperlukan kejelasan, apa itu yang orang tua harapkan dan apa itu yang orang tua tidak harapkan, jadi orang tua jangan sampai memberi kesan samar-samar. Ini sebetulnya ya tiak boleh atau boleh, tidak; "tidak boleh ya tidak boleh, jangan ya jangan.
Ini yang kami harapkan dari engkau," itu pun harus disampaikan kepada anak. Sebab anak-anak yang tidak kenal takut, sangat memerlukan suatu instruksi atau standar yang jelas. Ketidakjelasan membuat anak ini akhirnya tidak peduli dengan apa pun yang orang tuanya harapkan, dia akan tabrak semuanya. Jadi selalu kita jelaskan, ini yang diharapkan dan kalau tak dilakukan, maka ini sanksinya. Hal seperti itu perlu dikomunikasikan kepada anak-anak yang tidak kenal takut ini.PG : Tepat sekali, jadi kita upayakan untuk selalu memberikan peringatan sebelum perbuatannya itu dilakukan olehnya. Kalau sudah dilakukan baru kita memberi peringatan ya percuma. Misalkan kitaberkata, "Jangan naik-naik, kalau kamu naik ke sini, nanti kami berikan hukuman.
Misalkan, kamu harus masuk ke kamar tidak boleh keluar selama setengah jam." Nah kita sudah beritahukan hal itu sebelum dia naik-naik ke atas tangga atau ke mana atau ke loteng, nah akhirnya waktu dia melanggar, kita katakan, "Tadi saya sudah katakan, kalau engkau melakukan ini, maka inilah sanksinya; sekarang engkau masuk ke kamar." Jadi ketegasan yang konsisten menolong si anak yang tidak kenal takut ini untuk hidup di dalam pagar yang jelas. Karena memang mereka itu memerlukan pagar yang jelas, nah itu sebabnya kalau ada anak yang tidak kenal takut kemudian orang tuanya bermasalah sehingga tidak bisa mengawasi anak dengan baik, memang anak ini tambah liar. Benar-benar itu menjadi lahan yang subur untuk anak ini tambah liar, kalau orang tuanya tidak lagi berwibawa, tidak lagi konsisten karena ada masalah di antara mereka sendiri.PG : Saya cenderung mengatakan bahwa kalau anak-anak ini baru mengembangkan perilaku beresikonya ini pada usia remaja, itu lebih disebabkan oleh kondisi eksternal bukan kondisi internal pada diinya.
Misalkan, memang adanya keperluan untuk menonjolkan diri, untuk setara dengan teman-temannya bahwa saya juga berani. Atau lagi frustrasi misalnya putus pacar, orang tuanya di rumah konflik, nah itu bisa memicu tindakan-tindakan anak yang riskan, yang menyerempet bahaya, kalau anak-anak itu pada masa kecilnya memang tidak seperti itu. Jadi anak-anak yang tidak kenal takut ini umumnya dari kecil memang sudah demikian, kelihatan sekali dari kecil itu sangat berani sekali. Naik-turun tangga, tidak bisa jalan harus cepat atau kadang-kadang dia meluncur dari atas ke bawah atau dia akan bergelayutan dan dia akan lompat. Benar-benar bagi dia ini tidak membahayakan, sekali lagi ini memang masalah persepsi, bagi dia ini menyenangkan. Bagi kita yang melihatnya takut karena membahayakan.PG : Betul sekali, karena dia memang memiliki perasaan yang tidak terlalu peka. Jadi anak-anak yang memang peka dan halus, mudah sekali membaca reaksi orang dan mencoba memahami perasaan orang,kalau anak-anak ini tidak.
Jadi kemampuan untuk tenggang rasa juga lemah, ini harus kita akui. Tenggang rasa, artinya kalau saya berbuat ini kepadamu, saya sengkak kamu, kamu akan jatuh dan kamu akan sakit, nah itu kurang dalam dirinya. Tenggang rasanya memang tidak ada, itu sebabnya kalau kita mempunyai anak seperti ini, penting sekali kita mengajarnya untuk mengerti perasaan anak-anak lain atau perasaan orang lain. Misalnya dengan cara apa, waktu kita menonton televisi, kita melihat seseorang dilukai kita memberikan komentar kasihan orang itu ya, kok bisa dilukai seperti itu dia pasti sedih sekali. Atau misalkan ada film, anak yang ditinggal oleh orang tuanya, kita kemudian memberikan komentar juga, "anak itu kok kasihan, orang tuanya tega meninggalkan dia." Nah, sering-seringlah kita mengajarkan hal seperti itu, dan juga dari kecil kita ajak anak itu untuk dekat dengan Tuhan. Supaya anak itu meskipun pada dasarnya tidak kenal takut, namun dari kecil dia sudah mulai tenggang rasa kepada Tuhan, mau hormat kepada Tuhan, dan takut akan Tuhan.PG : Betul sekali, jadi orang tua perlu memuji si anak untuk memang hal-hal yang positif yang dilakukan oleh si anak. Karena anak-anak yang tanpa takut ini cenderung memancing reaksi omelan, teuran, dari guru, dari orang tua, dari teman-temannya.
Sedikit-sedikit orang di luar dia itu menegur dia, "kamu jangan, nanti begini." Jarang sekali dia menerima pujian, nah penting memang bagi orang tua peka untuk melihat hal ini dan penting bagi orang tua untuk menyampaikan pujian atas hal-hal positif yang dilakukannya. Namun untuk perilaku-perilakunya yang menyerempet bahaya, kita memang tidak memberikan pujian. Jadi jangan sampai kita justru di depan orang kita memuji-muji si anak yang berani lompat dari tiga meter di atas dan sebagainya. Nanti dia makin naik ke empat meter.PG : Anak-anak ini akan cenderung mencari teman-teman sejenis. Jadi memang mereka itu susah sekali bergaul dengan teman-teman yang berbeda darinya. Karena teman-teman yang berbeda darinya pun, gak sukar juga bergaul dengan dia, karena dia akan mengajak teman-temannya melakukan hal-hal yang menyerempet bahaya, dan mungkin teman-temannya tidak mau.
Jadi akhirnya jarak antara dia dengan teman-teman pada umumnya akan tercipta, akhirnya dia akan mencari teman-teman yang sejenisnya. Nah, masalahnya adalah dua anak yang tidak kenal takut, kalau berkumpul bersama itu menjadi kelompok yang tidak kenal takut yang lebih berbahaya lagi. Karena anak yang tidak kenal takut sendirian masih jauh lebih mendingan, dibanding kalau dia bersama dengan anak sejenis seperti dia. Itu benar-benar bisa melipatgandakan perilaku-perilaku yang penuh resiko dan menyerempet bahaya.PG : Tergantung Pak Gunawan, ada anak-anak yang sampai besar pun, sampai dewasa pun tetap keinginannya menyerempet bahaya. Sebab definisi bahayanya tidak sama dengan kita, bagi dia memang tidakbahaya.
Jadi sampai usia agak tua pun tetap saja senang dengan olah raga atau hal-hal yang bersifat penuh resiko.PG : Saya kira dia butuh mencari pasangan hidup yang bisa mengerti, sehingga tidak menjadikan keunikannya itu sebagai problem. Mengerti bahwa inilah dia dan memberikan ruang gerak yang besar keadanya sehingga dia bisa menjadi dirinya sendiri.
Tapi di pihak lain pasangannya mesti bisa memberikan penjelasan-penjelasan kepadanya. "Bahwa kalau ini terjadi, maka saya akan sangat kehilangan kamu, saya ini tidak siap hidup sendiri tanpa kamu." Nah kadang-kadang hal itu juga disampaikan kepadanya. Nanti lama-kelamaan dengan bertumbuhnya cinta, tanggung jawabnya kepada keluarga, ada kemungkinan dia mulai meredam keinginannya untuk benar-benar menyerempet bahaya dan ketakutan itu mulai muncul juga, karena dia takut kehilangan atau berpisah dengan orang yang dikasihinya.PG : Firman Tuhan berkata: "Segala jalan orang adalah bersih menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati."
GS : Saya percaya sekali bahwa firman Tuhan itu berkuasa untuk mengubah anak ini, karena Tuhan pasti mempunyai rencana tertentu dengan anak yang pemberani ini. Terima kasih sekali Pak Paul, terima kasih juga Ibu Wulan untuk perbincangan pada saat ini. Para pendengar sekalian kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Anak yang tidak Kenal Takut". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
Sebagian anak sejak lahir sudah membawa kecenderungan untuk tidak mengenal takut. Ciri-cirinya adalah keras kepala, tidak mudah mendengar atau menaati perintah orangtua, tidak takut ancaman, tidak takut bahaya dan cenderung menyerempet bahaya.
Apa yang orangtua harus lakukan?
Terima keunikan anak dan jangan memandangnya sebagai masalah. Memperlakukannya sebagai problem malah makin menggiringnya menjadi problem. Ingat, ia sendiri tidak tahu mengapa ia menjadi seperti itu; dipersalahkan karena kondisinya makin membuatnya frustrasi dan ini makin mendorongnya untuk lepas kendali.
Buatlah garis pembatas yang luas; dengan kata lain, jangan membatasi ruang geraknya terlalu sempit karena ini hanya akan memancingnya untuk melanggar batas. Berkatalah "tidak" hanya untuk hal-hal yang memang tidak dapat dikompromikan lagi. Terlalu banyak "tidak" malah membuatnya menabrak rambu.
Upayakan untuk selalu memberi kejelasan antara apa yang diharapkan dan apa yang tidak diharapkan. Ia harus mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Upayakan untuk memberinya peringatan akan sanksi yang harus ditanggungnya sebelum pelanggaran terjadi.
Jangan lupa untuk menyampaikan pujian atas pencapaiannya.
Didik anak untuk tenggang rasa dengan pikiran dan perasaan orang lain. Kita tidak perlu menciptakan rasa takut dalam dirinya, yang penting adalah ia dapat mengerti perasaan orang lain dan menguasai diri.
Firman Tuhan: "Segala jalan orang adalah bersih menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati."