Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen kali ini bersama dengan Ibu Wulan, S.Th kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Anak yang tidak Kenal Takut", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu kita berbincang-bincang tentang anak dan ketakutannya, tetapi rupa-rupanya ada beberapa anak yang istimewa yang memang tidak kenal takut. Sampai pada saat-saat tertentu kita tahu bahwa itu berbahaya buat dia, misalnya naik ke atap yang tinggi, dia enak saja. Kemungkinan bisa juga bersaudara, ada kakaknya yang penakut, adiknya tidak kenal takut kok bisa begitu bagaimana Pak Paul?
PG : Inilah anak-anak yang kita katakan berurat baja, sehingga rasa takutnya sangat tipis. Pada umumnya anak-anak yang sangat aktif atau bisa kita golongkan masuk dalam kategori "Attention-Defiit Hyperactivity Disorder" gangguan tidak bisa berkonsentrasi dan hiperaktif.
Nah, umumnya anak-anak yang seperti ini rasa takutnya memang sangat tipis, alias rasa beraninya itu sangat besar. Sehingga tidak bisa lagi membedakan antara apakah ini membahayakan atau tidak. Anak-anak yang takut adalah anak-anak yang terlalu peka dengan derajat bahaya, kalau dia melihat sesuatu dia langsung ukur berapa berbahayanya. Kalau anak-anak yang tidak kenal takut kebalikannya, melihat bahaya sekalipun tapi tidak memandangnya itu sebagai bahaya. Ada beberapa ciri-cirinya Pak Gunawan, yang bisa kita kenali anak-anak seperti ini. Misalnya cenderung keras kepala, tidak mudah untuk kita mintai tolong atau kita nasihati atau kita tegur. Kalau sudah yakin dengan pendapatnya, maunya ke sana tidak bisa dicegah. Tidak mudah untuk menaati perintah orang tua, misalkan kita tegur dengan keras, tetap saja dia kerjakan apa yang ingin dia kerjakan. Benar-benar suara kita, mata kita yang membelalak itu seolah-olah tidak berdampak pada jantungnya, jantungnya tetap berdegup dengan normal. Atau yang lainnya lagi adalah tidak takut bahaya, tidak takut ancaman dan cenderung justru menyerempet bahaya. Sebab sebetulnya bagi mereka bahaya itu sesuatu yang menarik, sesuatu yang dinamis, membangkitkan keingintahuannya. Dan untuk mendapatkan informasi akan keingintahuannya itu, dia akan rela untuk menempuh bahaya. Sebab sekali lagi kita memanggilnya bahaya, anak itu sendiri tidak memanggilnya bahaya. Jadi memang adanya perbedaan persepsi tentang bahaya; buat kebanyakan orang, ini membahayakan, buat anak-anak yang tidak kenal takut mereka tidak melihatnya sebagai bahaya, itu sebabnya mereka tidak takut.
WL : Pak Paul, tadi yang pak Gunawan katakan antara dua saudara bisa seperti itu, saya alami sendiri. Saya dengan kakak saya derajatnya benar-benar terbalik. Dia benar-benar bisa merasa exciting, menikmati hal-hal yang seperti itu. Bagi orang itu hal-hal yang menakutkan, dia malah ketawa-ketawa, menikmati. Nah, sementara saya jangankan menikmati, melihat saja jantung saya mau copot. Tapi kakak saya bukan termasuk "Attention-Deficit Hyperactivity Disorder" apakah memang ada orang yang tidak termasuk itu tapi tidak kenal takut?
PG : Saya kira secara fisiologis, anak-anak ini mempunyai jantung yang kuat, jadi secara fisik jantungnya kuat. Karena ketakutan itu langsung mempengaruhi kinerja jantung, waktu kita takut jantng itu akan berdegup.
Ada anak-anak yang memang dilahirkan dengan jantung yang sangat kuat; pompa satu kali, darah itu sudah langsung mengalir ke mana-mana. Ada anak-anak yang lahir dengan jantung yang tidak sekuat itu; dipompa beberapa kali, baru darah itu bersirkulasi di tubuh kita. Akibatnya waktu kita mengalami ketegangan, benar-benar kita merasakan pada jantung kita, sebab jantung kita langsung berdetak. Sedangkan pada anak-anak yang tidak kenal takut ini, jantungnya itu tidak memberikan reaksi secepat itu, alias dia memang tidak mendengarkan detak jantungnya yang berdegup dengan cepat, biasa saja, maka dia tidak takut. Tapi saya mau perjelas lagi, sebetulnya anak-anak ini mempunyai rasa takut dan bisa takut, namun yang ingin saya tekankan adalah persepsinya atau pandangannya tentang bahaya itu yang berbeda dengan orang kebanyakan. Sehingga karena baginya ini tidak berbahaya, maka dia tidak takut. Kalau memang ini dianggap sangat berbahaya, dia bisa jadi sangat takut. Tapi memang untuk dia melihat sesuatu itu sebagai hal yang membahayakan itu memang tidak sering, itu yang menjadi masalah.
GS : Apakah juga terkait dengan rasa percaya diri, jadi yang mempunyai rasa percaya diri katakan berlebihan, dia tidak takut?
PG : Ya, itu saya kira akan berpengaruh juga, karena rasa percaya diri yang kuat itu membuat dia lebih berani menerjang resiko.
GS : Sekarang kita sebagai orang tua, menghadapi anak-anak yang seperti itu juga pusing. Orang tua tidak ada yang ditakuti, bahaya di luar juga rasanya tidak takut, tapi kita yang malah takut. Kemudian bagaimana sebaiknya kita bersikap, Pak Paul?
PG : Pertama, kita harus menerima keunikan anak kita dan jangan memandangnya sebagai masalah. Artinya apa? Jangan kita itu memperlakukannya sebagai problem, ketidaktakutannya itu, kecenderunganya untuk menyerempet bahaya itu sebagai problem.
Karena apa? Kalau kita sudah mulai memandangnya sebagai problem, kita makin menggiringnya menjadi problem, sehingga dia lama-lama merasa bahwa dirinya itu masalah. Keunikannya ini sesuatu yang sakit, yang tidak normal, nah saya merasa ini tidak sehat. Jadi pada awalnya orang tua diharapkan menerima keunikan anak itu dan jangan memperlakukan si anak dengan keberaniannya itu sebagai sebuah problem. Ingatlah bahwa anak itu sendiri tidak tahu mengapa dirinya menjadi seperti itu, dia tidak meminta untuk menjadi seperti itu, dia lahir sudah seperti itu. Jadi dipersalahkan karena kondisinya itu, makin membuatnya frustrasi dan ini makin mendorongnya untuk lepas kendali. Karena dipersalahkan, karena dia sendiri tidak tahu kenapa dia begitu berani. Adiknya dipanggil sekali dengan bentakan langsung datang dan mengerjakan yang ibunya minta, kalau dia tidak. Ibunya memanggil dia dan membentak dia sepuluh kali, dia tidak merasakan dia harus datang kepada ibunya. Kenapa? Karena dia tidak merasakan adanya panggilan dan ketakutan untuk menaati ibunya. Nah kalau orang tua langsung menge-cap dia atau melabelkan dia sebagai problem, saya khawatir anak ini nantinya benar-benar menjadi problem. Jadi kita akui, "Kamu anak yang unik, Tuhan sudah mengaruniakan kepada kamu keberanian, itu sebabnya kamu tidak gampang takut. Dan ini nanti akan sangat menolong kamu dalam hidup, kamu tidak gampang ditakuti oleh apa yang terjadi dan Tuhan bisa memakai kamu nanti mengerjakan pekerjaan Tuhan. Karena kamu bukan orang yang mudah mundur, kamu orang yang tabah." Justru kita mau tekankan bahwa keunikannya ini sebagai sesuatu yang Tuhan berikan dan nanti Tuhan dapat gunakan untuk kepentingan Tuhan. Sehingga dia melihat dirinya sebagai anak yang normal, bukan anak yang abnormal yang harus diubah, dikoreksi, dipermak lagi supaya lebih baik, tidak. Yang kita nanti akan lakukan adalah mengarahkannya, bukan menciptakan seorang anak yang baru.
GS : Tadi Pak Paul katakan, yang berbeda adalah tentang pandangan dia terhadap bahaya. Apakah kita sebagai orang tua dapat mengarahkan atau meluruskan pandangan yang bahaya itu seperti apa?
PG : Bisa, dan ini adalah tugas kita Pak Gunawan, jadi sering-seringlah kita memberikan penjelasan dengan nada yang baik, bukan dengan nada memarahi. Bahwa, "kalau engkau main api, nanti api in bisa membakar dan membakar kertas yang seperti ini bisa membakar karpet yang seperti ini".
Mungkin sekali-kali kita tunjukkan, kertas kecil gara-gara dibakar menyambar kertas yang lebih besar, kertas yang lebih besar bisa membakar kertas yang lebih besar lagi. Dan akhirnya bisa membakar satu rumah, dan kalau satu rumah terbakar kita katakan, "engkau tidur di mana? Kami tidur di mana? Mainanmu akan ke mana? Habis semua, baju-bajumu akan habis juga." Nah kita berikan penjelasan seperti itu kepada si anak, sehingga dia bisa memahami o.....bahayanya seperti itu. Karena memang dia tidak mudah melihatnya.
WL : Pak Paul, kalau Pak Paul tadi sudah katakan kita sebagai orang tua belajar menerima keunikan anak seperti itu. Walaupun misalnya sebagai orang tua juga khawatir dan jantungan. Atau bagaimana, belajar menerimanya itu sebatas kita diamkan atau kita dorong semakin memberikan dia semangat, atau diarahkan misalnya dia diberikan kegiatan-kegiatan yang memang bagi kita sebenarnya "mengerikan". Misalnya kelak menjadi pemanjat tebing, sesuatu yang menantang-menantang atau bagaimana menurut pendapat Pak Paul?
PG : Saya kira pada akhirnya kita memang harus menerima kondisi anak kita yang tidak suka dengan olahraga yang membosankan, yang tidak ada unsur tandingnya, tidak ada unsur kompetisinya, yang tdak mengeluarkan tenaga.
Jadi kita memang harus menerima bahwa dia akan senang dengan olahraga-olahraga yang lebih aktif, yang lebih menggunakan kekuatan fisik, dan ada unsur kompetitifnya. Jadi biarkan, asalkan kita terus bimbing dia dan arahkan, memberikan penjelasan tentang apa itu bahaya.
GS : Pak Paul, anak-anak seperti ini biasanya suka aktif sekali; lari ke sana-ke sini. Nah apa yang bisa kita lakukan?
PG : Kita memang harus memberikan dia ruang untuk bisa lari, jadi jangan kita itu membatasi anak secara berlebihan alias kita membuat garis pembatas yang lebih luas, jangan kita memperkecil ruag geraknya.
Sedikit-sedikit tidak boleh, sedikit-sedikit tidak boleh, akhirnya karena sedikit-sedikit tidak boleh, si anak itu meledak, dia malah memberontak. Jadi saya minta, berkatalah 'tidak' hanya untuk hal-hal yang memang tidak dapat dikompromikan lagi. Misalnya, dia ingin menyakiti binatang, kita katakan, "Jangan, sebab kalau kamu disakiti seperti ini, rasanya bagaimana, atau kalau papa atau mama disakiti seperti itu rasanya bagaimana. Nah, binatang pun bisa merasakan sakit, bukan hanya binatang itu hanya terdiri dari kulit dan tidak bisa merasakan sakit." Kita berikan penjelasan seperti itu. Jadi sebisanya, kalau masih bisa berkata 'ya' kepada anak-anak ini, katakanlah 'ya'. Hanya untuk yang benar-benar kritis, barulah kita berkata 'tidak'. Sekali lagi kenapa? Sebab terlalu banyak 'tidak', malah membuatnya ingin menabrak rambu, karena sifat anak-anak yang seperti ini yang tidak kenal takut. Jadi sekali lagi berikan ruangan yang lebih luas. Misalkan, kalau anak kita begitu berani lompat sini, lompat sana, nah sebaiknya kita jangan membeli barang pecah belah di rumah kita terlalu banyak karena hanya mencari penyakit. Karena benar-benar bukan hanya dipecah belah, tapi benar-benar pecah dan terbelah-belah barang-barang kita. Atau kalau bisa rumah kita jangan berloteng, karena kalau berloteng dia mungkin akan manjat dan melompat dari atas, jadi kita mencoba sesuaikan kondisi kehidupan kita dengan kondisi anak kita itu.
WL : Pak Paul, memang benar ya anak yang termasuk dalam kategori seperti ini selain berani menyerempet bahaya, dia juga mempunyai kecenderungan mau menyakiti binatang dan sebagainya. Apakah itu pada dasarnya rasa belas kasihan dalam diri anak seperti ini agak tipis dibandingkan dengan orang pada umumnya?
PG : Betul sekali, anak-anak ini memang tidak dengan mudah merasakan kasihan atau iba. Jadi untuk dia bisa memahami bahwa tindakannya itu menyakiti orang, akan sukar. Sebab bagi dia itu biasa dn yang membuat dia ingin melakukannya adalah ini menyenangkan.
Waktu orang kesakitan, itu membawa sukacita tertentu, jadi anak-anak seperti ini misalkan melihat temannya terjatuh, dia bisa terpingkal-pingkal tertawa. Kenapa? Sebab melihat seseorang jatuh itu sesuatu yang beda, jadi menggugah dia, menyenangkan dia dan menarik bagi dia.
GS : Tetapi kita sebagai orang tua tetap harus memberikan garis itu tadi Pak Paul, supaya dia juga tahu mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dia lakukan.
PG : Betul, di sini diperlukan kejelasan, apa itu yang orang tua harapkan dan apa itu yang orang tua tidak harapkan, jadi orang tua jangan sampai memberi kesan samar-samar. Ini sebetulnya ya tiak boleh atau boleh, tidak; "tidak boleh ya tidak boleh, jangan ya jangan.
Ini yang kami harapkan dari engkau," itu pun harus disampaikan kepada anak. Sebab anak-anak yang tidak kenal takut, sangat memerlukan suatu instruksi atau standar yang jelas. Ketidakjelasan membuat anak ini akhirnya tidak peduli dengan apa pun yang orang tuanya harapkan, dia akan tabrak semuanya. Jadi selalu kita jelaskan, ini yang diharapkan dan kalau tak dilakukan, maka ini sanksinya. Hal seperti itu perlu dikomunikasikan kepada anak-anak yang tidak kenal takut ini.
GS : Berarti sanksi itu masih tetap dibutuhkan oleh anak ini, Pak?
PG : Tepat sekali, jadi kita upayakan untuk selalu memberikan peringatan sebelum perbuatannya itu dilakukan olehnya. Kalau sudah dilakukan baru kita memberi peringatan ya percuma. Misalkan kitaberkata, "Jangan naik-naik, kalau kamu naik ke sini, nanti kami berikan hukuman.
Misalkan, kamu harus masuk ke kamar tidak boleh keluar selama setengah jam." Nah kita sudah beritahukan hal itu sebelum dia naik-naik ke atas tangga atau ke mana atau ke loteng, nah akhirnya waktu dia melanggar, kita katakan, "Tadi saya sudah katakan, kalau engkau melakukan ini, maka inilah sanksinya; sekarang engkau masuk ke kamar." Jadi ketegasan yang konsisten menolong si anak yang tidak kenal takut ini untuk hidup di dalam pagar yang jelas. Karena memang mereka itu memerlukan pagar yang jelas, nah itu sebabnya kalau ada anak yang tidak kenal takut kemudian orang tuanya bermasalah sehingga tidak bisa mengawasi anak dengan baik, memang anak ini tambah liar. Benar-benar itu menjadi lahan yang subur untuk anak ini tambah liar, kalau orang tuanya tidak lagi berwibawa, tidak lagi konsisten karena ada masalah di antara mereka sendiri.
WL : Pak Paul, ada kemungkinan atau tidak waktu kecil tidak begitu kelihatan sikap yang seperti ini, sangat tidak takut terhadap bahaya dan sebagainya. Tapi waktu remaja (saya menemukan anak remaja) yang benar-benar sangat ekstrim seperti ini. Misalnya di tikungan-tikungan yang berbahaya di daerah Puncak, bisa naik motor itu dengan lututnya itu sampai menyentuh aspal. Kemudian waktu terjadi kecelakaan, waktu kami jenguk di rumah sakit ternyata menangis, walaupun laki, ternyata ada masalah dengan orang tuanya. Atau ada juga yang lain, memang benar-benar ingin menunjukkan 'siapa saya' dan sebagainya. Itu apa yang terjadi, sebenarnya pada waktu kecil tidak seperti ini, Pak Paul?
PG : Saya cenderung mengatakan bahwa kalau anak-anak ini baru mengembangkan perilaku beresikonya ini pada usia remaja, itu lebih disebabkan oleh kondisi eksternal bukan kondisi internal pada diinya.
Misalkan, memang adanya keperluan untuk menonjolkan diri, untuk setara dengan teman-temannya bahwa saya juga berani. Atau lagi frustrasi misalnya putus pacar, orang tuanya di rumah konflik, nah itu bisa memicu tindakan-tindakan anak yang riskan, yang menyerempet bahaya, kalau anak-anak itu pada masa kecilnya memang tidak seperti itu. Jadi anak-anak yang tidak kenal takut ini umumnya dari kecil memang sudah demikian, kelihatan sekali dari kecil itu sangat berani sekali. Naik-turun tangga, tidak bisa jalan harus cepat atau kadang-kadang dia meluncur dari atas ke bawah atau dia akan bergelayutan dan dia akan lompat. Benar-benar bagi dia ini tidak membahayakan, sekali lagi ini memang masalah persepsi, bagi dia ini menyenangkan. Bagi kita yang melihatnya takut karena membahayakan.
GS : Secara tidak langsung, dengan demikian dia tidak mau perhatian dengan perasaan orang lain termasuk orang tuanya. Kalau orang tuanya merasa ketakutan, dia pun tidak merasa perlu untuk perhatian terhadap ketakutan orang tuanya itu, Pak Paul.
PG : Betul sekali, karena dia memang memiliki perasaan yang tidak terlalu peka. Jadi anak-anak yang memang peka dan halus, mudah sekali membaca reaksi orang dan mencoba memahami perasaan orang,kalau anak-anak ini tidak.
Jadi kemampuan untuk tenggang rasa juga lemah, ini harus kita akui. Tenggang rasa, artinya kalau saya berbuat ini kepadamu, saya sengkak kamu, kamu akan jatuh dan kamu akan sakit, nah itu kurang dalam dirinya. Tenggang rasanya memang tidak ada, itu sebabnya kalau kita mempunyai anak seperti ini, penting sekali kita mengajarnya untuk mengerti perasaan anak-anak lain atau perasaan orang lain. Misalnya dengan cara apa, waktu kita menonton televisi, kita melihat seseorang dilukai kita memberikan komentar kasihan orang itu ya, kok bisa dilukai seperti itu dia pasti sedih sekali. Atau misalkan ada film, anak yang ditinggal oleh orang tuanya, kita kemudian memberikan komentar juga, "anak itu kok kasihan, orang tuanya tega meninggalkan dia." Nah, sering-seringlah kita mengajarkan hal seperti itu, dan juga dari kecil kita ajak anak itu untuk dekat dengan Tuhan. Supaya anak itu meskipun pada dasarnya tidak kenal takut, namun dari kecil dia sudah mulai tenggang rasa kepada Tuhan, mau hormat kepada Tuhan, dan takut akan Tuhan.
GS : Saya melihat ada beberapa orang tua yang malah bangganya berlebihan mempunyai anak seperti ini. Dia ceritakan kepada temannya tanpa menghiraukan bahwa pujiannya itu bisa memicu anak ini semakin berlebihan.
PG : Betul sekali, jadi orang tua perlu memuji si anak untuk memang hal-hal yang positif yang dilakukan oleh si anak. Karena anak-anak yang tanpa takut ini cenderung memancing reaksi omelan, teuran, dari guru, dari orang tua, dari teman-temannya.
Sedikit-sedikit orang di luar dia itu menegur dia, "kamu jangan, nanti begini." Jarang sekali dia menerima pujian, nah penting memang bagi orang tua peka untuk melihat hal ini dan penting bagi orang tua untuk menyampaikan pujian atas hal-hal positif yang dilakukannya. Namun untuk perilaku-perilakunya yang menyerempet bahaya, kita memang tidak memberikan pujian. Jadi jangan sampai kita justru di depan orang kita memuji-muji si anak yang berani lompat dari tiga meter di atas dan sebagainya. Nanti dia makin naik ke empat meter.
GS : Itu kalau hidup dengan saudaranya yang justru sebaliknya, itu agak sulit, dan bahkan dengan teman-teman yang lain pun dia merasa agak kesulitan untuk bersosialisasi, Pak Paul.
PG : Anak-anak ini akan cenderung mencari teman-teman sejenis. Jadi memang mereka itu susah sekali bergaul dengan teman-teman yang berbeda darinya. Karena teman-teman yang berbeda darinya pun, gak sukar juga bergaul dengan dia, karena dia akan mengajak teman-temannya melakukan hal-hal yang menyerempet bahaya, dan mungkin teman-temannya tidak mau.
Jadi akhirnya jarak antara dia dengan teman-teman pada umumnya akan tercipta, akhirnya dia akan mencari teman-teman yang sejenisnya. Nah, masalahnya adalah dua anak yang tidak kenal takut, kalau berkumpul bersama itu menjadi kelompok yang tidak kenal takut yang lebih berbahaya lagi. Karena anak yang tidak kenal takut sendirian masih jauh lebih mendingan, dibanding kalau dia bersama dengan anak sejenis seperti dia. Itu benar-benar bisa melipatgandakan perilaku-perilaku yang penuh resiko dan menyerempet bahaya.
GS : Tapi dengan bertambahnya usia dia, apakah rasa beraninya itu juga akan berkurang, Pak Paul?
PG : Tergantung Pak Gunawan, ada anak-anak yang sampai besar pun, sampai dewasa pun tetap keinginannya menyerempet bahaya. Sebab definisi bahayanya tidak sama dengan kita, bagi dia memang tidakbahaya.
Jadi sampai usia agak tua pun tetap saja senang dengan olah raga atau hal-hal yang bersifat penuh resiko.
WL : Kalau mencari pasangan bagaimana Pak Paul? Sebaiknya yang memang sama-sama seperti itu atau dia justru butuh yang meredam dia, Pak Paul?
PG : Saya kira dia butuh mencari pasangan hidup yang bisa mengerti, sehingga tidak menjadikan keunikannya itu sebagai problem. Mengerti bahwa inilah dia dan memberikan ruang gerak yang besar keadanya sehingga dia bisa menjadi dirinya sendiri.
Tapi di pihak lain pasangannya mesti bisa memberikan penjelasan-penjelasan kepadanya. "Bahwa kalau ini terjadi, maka saya akan sangat kehilangan kamu, saya ini tidak siap hidup sendiri tanpa kamu." Nah kadang-kadang hal itu juga disampaikan kepadanya. Nanti lama-kelamaan dengan bertumbuhnya cinta, tanggung jawabnya kepada keluarga, ada kemungkinan dia mulai meredam keinginannya untuk benar-benar menyerempet bahaya dan ketakutan itu mulai muncul juga, karena dia takut kehilangan atau berpisah dengan orang yang dikasihinya.
GS : Ada banyak orang tua yang sampai kehilangan kata-kata atau kehabisan akal untuk mengatasi anak seperti ini, bagaimana firman Tuhan memberikan bimbingan kepada kita?
PG : Firman Tuhan berkata: "Segala jalan orang adalah bersih menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati." Amsal 16:2. Ini ayat yang saya kira perlu kita ajarkn kepada anak-anak yang tidak kenal takut, yaitu bahwa Tuhan menguji, Tuhan melihat; meskipun jalan ini, tindakan ini bagi kita betul.
Anak-anak yang tidak kenal takut, kecenderungannya untuk tidak takut kepada Tuhan juga besar. Dan sangat bergantung pada penilaiannya sendiri. Sehingga kalau tidak hati-hati, mudah sekali anak-anak ini akhirnya terlibat dalam perilaku yang bermasalah. Memakai narkoba dan sebagainya, sebab apa? Sebab begitu ditanya: "Berani tidak kamu?" Dia pasti akan menjawab berani, dia tidak akan berkata 'tidak berani' sebab memang begitu ditantang rasa berani menunjukkan dirinya itu langsung keluar. Maka dari kecil kita tanamkan Tuhan melihat, Tuhan mengawasi dan kita bertanggung jawab kepada Tuhan. Bukan hanya apa yang kita pikir, kita harus juga peka dengan apa yang Tuhan pikir, ini yang perlu kita tanamkan. Sebab kalau tidak, anak-anak ini memang hanya mendasarkan tindakannya atas pendapat atau pemikirannya saja.
GS : Saya percaya sekali bahwa firman Tuhan itu berkuasa untuk mengubah anak ini, karena Tuhan pasti mempunyai rencana tertentu dengan anak yang pemberani ini. Terima kasih sekali Pak Paul, terima kasih juga Ibu Wulan untuk perbincangan pada saat ini. Para pendengar sekalian kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Anak yang tidak Kenal Takut". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.