T 209 B
Lengkap
"Anak Lari dari Kenyataan" oleh Pdt.Dr. Paul Gunadi
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Anak Lari dari Kenyataan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Dengan banyaknya masalah yang dihadapi oleh anak di sekolah, ada beberapa anak yang mencoba mengingkari kenyataan itu dengan melakukan kegiatan-kegiatan lain yang sebenarnya malah mengganggu atau merusak masa depannya. Ini bagaimana Pak Paul?
PG : Kita memang makin hari makin sering melihat hal-hal seperti ini Pak Gunawan, jadi ada anak-anak yang tidak mau lagi belajar, kehilangan motivasi ke sekolah, membenamkan dirinya dengan vide game, pergi dengan temannya hanya bermain video games atau ada yang bermain skateboard, pokoknya permainan-permainan yang memang tidak begitu penting.
Apa yang terjadi dengan mereka, sebetulnya kita bisa simpulkan bahwa mereka adalah anak-anak yang lari dari kenyataan. Tapi pertanyaannya adalah kenyataan apakah yang begitu mengerikan sehingga si anak harus lari darinya. Sebetulnya salah satu kenyataan yang sering membuat anak-anak lari adalah tuntutan sekolah. Sudah tentu ada hal lain yang bisa ditakuti oleh si anak sehingga dia lari, misalkan masalah dalam keluarganya tapi kali ini kita akan fokuskan pada tuntutan sekolah yang tidak lagi dapat diikutinya. Kita tahu bahwa kita belajar di sekolah itu seperti membangun rumah, dari alas, dari dasar, terus perlahan-lahan naik ke atas. Kalau kita pernah kehilangan satu semester atau satu tahun karena tidak serius belajar dan sebagainya, hampir dapat dipastikan tahap berikutnya itu akan sukar mengejar ketinggalan itu. Tapi misalkan ada bantuan-bantuan atau dorongan-dorongan yang kuat mungkin kita masih bisa mengejarnya. Tapi sekali lagi diperlukan tenaga, usaha yang kuat; kalau kita tidak mempunyai dukungan dan dorongan yang kuat itu kita biasanya akan makin ketinggalan. Jadi anak-anak itu makin tahun makin ketinggalan, jadi waktu dia akhirnya lepas dari sekolah tidak mau lagi sekolah. Misalkan di tahapan SMA, sebetulnya dia sudah mulai mengalami problem itu beberapa tahun sebelumnya, tapi puncaknya atau meledaknya itu misalkan di usia remaja.
GS : Karena itu sering kali kita melihat anak-anak pada jam sekolah itu berada di mall dan sebagainya itu salah satu bentuknya Pak Paul?
PG : Betul, mereka akhirnya tidak mau lagi menghadapi kenyataan, mereka sekolah pun tidak bisa lagi mengikuti pelajaran, duduk di kelas pun tidak lagi bisa mengerti apa yang dikatakan oleh guruya, sedangkan PR banyak dia harus selesaikan tugasnya; benar-benar dia tidak tahan lagi dengan tuntutan dan tanggung jawab yang dia tidak bisa lagi lakukan.
GS : Ini jadinya seperti lingkaran setan Pak Paul, karena dia tidak datang ke sekolah dan akhirnya prestasinya jatuh; kalau jatuh dimarahi oleh orangtuanya dengan mengatakan bodoh dan sebagainya dan timbul masalah lagi.
PG : Betul, dia akan makin bermasalah dengan orangtuanya, dia akan makin membenamkan diri dalam aktifitas-aktifitas ini. Sebetulnya dari satu sudut kita bisa berkata bahwa aktifitas ini merupaan jalan keluar sementara buat dia untuk bisa mengembalikan kewarasannya.
Sebab dia merasa dia sudah sangat tertekan sekali, sangat stres berat; dia tidak mengerti cara lain untuk mengatasi stres karena ya memang masih anak-anak, masih remaja sehingga akhirnya anak-anak ini lari ke aktifitas-aktifitas yang berkaitan dengan bermain. Beda dengan orang dewasa, kalau kita mengalami stres dan kita merasa tidak sanggup hadapi kita akan ngomong dengan seseorang, mendapatkan bantuan dari seorang profesional dan sebagainya. Anak-anak tidak demikian, dia larinya langsung ke bermain sebab bermain adalah lawan dari stres, nah dia akan bermain. Makanya benar-benar dia membenamkan diri jam demi jam bermain terus.
GS : Dan itu anehnya justru dilakukan pada saat-saat mau ulangan atau bahkan mau ujian.
PG : Betul, memang sehari atau seminggu sebelum ujian dia sudah stres, dia sudah sangat-sangat tertekan membayangkan ujiannya, dia bakal anjlok lagi. Dia tidak lagi bisa memikirkan itu dan tidk mau memikirkannya lagi jadi lebih baik dia tidak usah muncul di sekolah, dia tidak usah melihat guru, dia tidak usah mendengar teguran, dia tidak usah melihat tugas; jiwanya akan lebih tenteram, makanya dia lari ke permainan yang memang akan membuat dia melupakan masalahnya itu.
GS : Dan itu biasanya tidak dilakukan sendirian melainkan mengajak teman-temannya yang senasib, Pak Paul?
PG : Betul, dengan banyaknya teman dia merasa sedikit lebih baik karena dia tidak sendirian bermasalah. Dan akhirnya permainan-permainan itu menjadi alat dongkrak penghargaan dirinya, ini yangjuga harus kita pahami.
Mengapa mereka seolah-olah itu bergebu-gebu mempertajam keahliannya dalam bermain, misalkan main video games, main skateboard dan lain-lainnya. Benar-benar serius sekali, beli alatnya, minta orangtua membelikan perkakasnya yang misalkan tembak-tembakan dan sebagainya. Sebab bagi mereka inilah aktifitas yang bisa mendongkrak penghargaan dirinya. Setidak-tidaknya di mata teman-temannya mereka dikenal sebagai anak-anak yang bisa main ini, main itu, dan ini merupakan sumber penghormatan, sumber respek, penghargaan dari teman-temannya. Karena di bidang pelajaran dia sudah ambruk, tidak ada lagi yang bisa dibanggakan, dan sekarang inilah yang bisa dibanggakan. Itu sebabnya kadang-kadang kita melihat ini bukan lagi sekadar permainan, si anak benar-benar terobsesi dengan permainan ini.
GS : Sebenarnya itu suatu peluang buat sekolah untuk mewadahi anak-anak seperti ini sehingga mereka bisa dibimbing dan diarahkan, dan mereka bisa tetap memiliki harga diri yang tinggi juga Pak Paul.
PG : Itu salah satu cara yang baik sebab anak-anak ini memerlukan penyalurannya, dan di samping itu memang sekali lagi baik pihak sekolah maupun orangtua memikirkan cara supaya si anak bisa menejar ketinggalannya.
Tapi saya juga harus akui secara realistik, kalau dia sudah ketinggalan misalnya 4, 5 tahun karena selama 4, 5 tahun dia benar-benar tertatih-tatih dan tidak lagi menyerap apa yang diajarkan, untuk dia mengejar akan sangat susah sekali. Itu sebabnya yang diperlukan adalah pencegahan, orangtua mesti awas, mesti melihat apa yang terjadi pada anaknya pada waktu sedang terjadi, jangan sampai baru menyadari o....ini masalahnya tapi problem itu sudah berumur 4, 5 tahun.
GS : Kalau sudah sekian lamanya, bagaimana anak itu dengan tanggung jawabnya terhadap sekolah?
PG : Biasanya pada titik itu si anak tidak lagi peduli dengan tanggung jawab. Itulah yang membuat orangtua kadang-kadang kesal dan sekolah pun frustrasi sebab diancam, diberitahukan sanksi apapun si anak itu tidak lagi peduli.
Karena memang dia tidak ada lagi pilihan lain, dia tidak bisa lagi mengikuti pelajaran, bagaimanakah mengharapkan dia ada motivasi sehingga dia akan terus lari dari kenyataan itu dan mencoba mengembangkan dirinya di luar wadah sekolah. Maka ada yang ingin masuk ke bidang-bidang yang lebih praktis dengan cepat supaya bisa kerja, itulah akhirnya yang menjadi pelarian mereka.
GS : Jadi sebenarnya ada sesuatu yang harus dilakukan oleh kita sebagai orangtua Pak Paul?
PG : Betul Pak Gunawan, yang pertama yang bisa kita lakukan adalah mencari tahu sumber masalahnya, yakni apa itu yang membuatnya kehilangan motivasi untuk bersekolah. Di saat yang lampau kita udah membahas masalah-masalah dalam sekolah, dalam belajar anak di sekolah dan itu yang perlu juga kita cermati.
Sebetulnya apa penyebabnya; jangan mudah melabelkan anak malas. Kita sudah membahas sekurang-kurangnya ada 8 atau 9 faktor yang membuat anak akhirnya kehilangan motivasi belajar. Jadi kita harus tahu jelas apa itu problemnya. Yang kedua dan ini juga penting adalah jangan kita langsung melecehkan aktifitasnya. Misalkan dia main olahraga tertentu atau main video game jangan kita langsung memojokkannya. Bahkan kalau perlu kita memujinya sebab pada akhirnya dia dapat menunjukkan kebolehannya dalam kegiatan tersebut, dan ini menjadi sumber pendongkrak penghargaan dirinya, sehingga dia tidak harus merasa minder sekali. Tapi kita perlu mengingatkannya untuk tidak melalaikan tanggung jawab sekolahnya. Misalkan kita katakan kepada anak kita bahwa kita tidak berkeberatan dia main game, tapi perlu menggunakan waktunya dengan lebih baik. Jadi kita tetapkan waktu yang tertentu untuk dia bermain dan panggillah dia setelah waktu itu berlalu; ingatkan dia untuk belajar kembali.
GS : Memang biasanya anak-anak ini tidak menyadari apa risikonya di masa depan nanti, pokoknya sekarang ini dia senang.
PG : Memang dia tidak bisa lagi mengaitkan prestasi belajarnya dengan masa depannya, karena benar-benar sudah ambruk. Saya juga sudah katakan kalau memang sudah ambruk seperti itu, membangunny kembali sangat susah.
Tapi misalkan orangtua itu menyadari sebelum masalah ini berkembang, memang ada yang bisa dilakukan oleh orangtua sebagaimana yang baru saja saya sarankan, lihat dia bisa main apa jangan hina permainannya, jangan lecehkan kesukaannya itu, berikan pujian bahwa dia baik dalam aktifitas tersebut tapi ingatkan dia untuk membagi waktu dengan baik, sehingga dia bisa meneruskan pelajarannya. Dan kita mesti tahu penyebab kenapa dia tidak termotivasi lagi untuk belajar. Jika sekolahnya terlalu susah untuk dia, kita mesti konsekuen memindahkannya ke sekolah lain. Kalau metode belajar di sekolah tidak sesuai dengan metode belajarnya dia, kita mesti carikan guru yang bisa cocok sehingga dia bisa mengerti atau kitalah yang turun tangan mengajarkannya. Atau masalahnya adalah kita di rumah terlalu banyak aktifitas, ribut, sehingga anak tidak bisa belajar; itu yang harus kita kurangi. Atau masalahnya dengan teman-teman di sekolah dia dimusuhi, kita coba bereskan, selesaikan atau masalah fisik; tidak bisa mendengar, matanya tidak dapat melihat dengan jelas, kita coba selesaikan. Jadi mesti tahu penyebabnya apa dan coba selesaikan. Setelah itu barulah kita juga mengatur jam bermainnya; kita tidak bisa memotong dan langsung membuangnya, itu tidak baik juga, kita akan coba kurangi saja.
GS : Sebenarnya anak yang mencoba melarikan diri pada hal-hal atau aktifitas seperti itu, apakah ada perasaan takut dalam diri anak itu?
PG : Sebetulnya ada Pak Gunawan, sebetulnya dia sudah melihat bahwa dia tidak mempunyai masa depan, karena dia tidak bisa lagi mengikuti pelajaran sekolah. Itu sebabnya dia berusaha membenamka diri dalam aktifitas sampingan itu.
Dengan harapan dia bisa menjadi sangat mahir dan mudah-mudahan kemahirannya itu akan dihargai dan akhirnya dia bisa mulai merajut masa depannya kembali. Jadi kita mesti menyadari bahwa sebetulnya si anak walaupun dengan cara yang kurang tepat sedang mencoba membangun hidupnya kembali, dengan mencoba memahiri permainan-permainan itu, sebab dia berharap dia akan mendapatkan pengakuan, mendapatkan uang, bisa kerja dalam bidang ini. Itulah yang diharapkan oleh anak karena dia sudah sadar kalau lewat jalur sekolah tidak ada lagi harapan baginya.
GS : Tapi biasanya anak ragu bahkan tidak mau mengutarakan ketakutan yang sebenarnya.
PG : Karena biasanya kita harus akui kita ini marah kalau mendengar atau melihat anak kita tidak lagi mempunyai motivasi untuk sekolah, kita akhirnya emosional. Sekali lagi yang ingin saya ingtkan pada orangtua adalah kita mesti tahu penyebabnya, sebab pasti ada penyebabnya.
Jangan buru-buru melabelkan penyebabnya adalah kemalasan anak. Banyak penyebab lain yang kita mesti tahu dengan tepat, dan kita coba selesaikan di situ. Kalau anak-anak kita marahi terus-menerus, sudah tentu yang akan dia lakukan adalah makin lari dari kenyataan itu. Jadi lebih baik daripada memarah-marahi kita bicara baik-baik dengan anak, pikirkan solusinya bersama, minta dia memberikan masukan. Kalau memang dia tidak bisa lagi bersekolah, tidak ada lagi semangat karena ini sudah menjadi masalah yang terlalu lama, dia tidak bisa mengikuti pelajaran lagi, kita berikan masukan, dia berikan masukan, cari alternatif lain, mungkin kita bisa masukkan dia ke sekolah tertentu sehingga dia bisa belajar dengan lebih cepat. Atau dia bisa mengambil ujian persamaan, namun di samping itu dia bisa les beberapa mata pelajaran yang memang disukainya. Jadi pada saat itu, memang nasi sudah menjadi bubur jangan lagi ributkan yang telah terjadi, marilah kita pikirkan apa langkah konkrit di depannya.
GS : Mungkin ada hal lain yang bisa kita lakukan sebagai orangtua?
PG : Kita harus turun tangan menolongnya Pak Gunawan, kadang-kadang saya akui kita orangtua ini sudah lelah; lelah hati, lelah tenaga, akhirnya mau lepas tangan tidak peduli anak itu menjadi apa. Tidak bisa demikian, kita harus turun tangan menolongnya. Anak yang lari dari kenyataan adalah anak sedang ketakutan dan anak yang ketakutan memerlukan pendampingan. Pendampingan artinya apa? Kita mesti bersamanya, menyertainya. Kita komunikasikan pemahaman kita akan ketakutannya, janjikan bahwa kita akan bersamanya. Jadi cobalah tolong dia, misalkan pekerjaan-pekerjaan rumahnya yang harus diselesaikan, jangan hanya menuntut selesai, tapi kita memberi dukungan, kita berada di ruangan yang sama, dia belajar kita pun belajar, atau dia mau tanya kita jawab sebisanya. Dengan kata lain, kita mesti menyertainya, menyertainya langkah demi langkah, hari lepas hari, agar perlahan-lahan dia tidak takut lagi sebab dia mulai percaya diri. Oh...dia bisa karena adanya pertolongan dari kita. Nah itulah yang diperlukan. Sekali lagi saya sadar ini tidak mudah, kadang-kadang anak itu pun tidak mau tapi kalau kita janjikan, "Kalau kamu kamu, Mama dan Papa akan di sini bersama kamu, akan mendukungmu, ayo kita lakukan ini bersama-sama, kita lewati ini bersama." Nah itu bisa menjadi dukungan moril yang anak butuhkan.
GS : Jadi dalam hal ini anak-anak tidak butuh kata-kata dari kita yang memarahi dia, tapi butuh suatu tindakan yang konkrit sehingga dia merasa aman dengan orangtuanya.
PG : Betul, itu yang diperlukan sebab dia sendiri pun memang takut ditolak, dimarahi oleh orangtua, dia takut memikirkan masa depannya, makanya dia lebih baik tidak mau memikirkannya. Namun kia orangtua harus menyadarkan, bahwa bagaimana pun, "kamu harus memikirkannya dan kami di sini mau menolongmu jadi tolong kita kerja sama.
Kamu jangan jalan sendiri sebab kalau kamu jalan sendiri kamu makin tersesat."
GS : Jadi ancaman orangtua pada anak dalam kondisi seperti itu tidak banyak menolong, Pak Paul?
PG : Tidak banyak menolong, justru malah semakin melemahkan semangat anak, makin membuat anak lari dari kenyataan, membenamkan dirinya di dalam dunianya. Jadi orangtua jangan cepat mengancam aak; orangtua pun perlu memikirkan alternatif berdasarkan kebisaan anak.
Ini memang agak susah untuk menemukannya tapi orangtua perlu melihat lagi sejarah perkembangan si anak. Apa sebetulnya yang dia sukai di masa lampau, mungkin dia sekarang sudah tertinggal tapi mungkin saja bidang yang diminati dan dapat dikuasai oleh si anak. Kalau kita tahu itulah bidang yang disenangi dan dikuasai oleh si anak, mungkin kita dorong si anak untuk belajar bidang itu saja. Misalkan kita leskan dia, kursuskan dia, sehingga dia bisa mengembangkan kemampuannya di bidang tersebut. Misalkan kita tahu dia kreatif, meskipun dia di dalam pelajarannya sudah begitu anjlok dan tertinggal, tapi dia kreatif, dia suka sekali dengan hal-hal yang bersifat kreatifitas. Misalkan kita leskan atau kursuskan dia di bidang itu sehingga perlahan-lahan dia mulai mengembangkan kepercayaan diri. Dan kita mesti sampaikan kepada dia bahwa, "apa yang kamu lakukan sekarang berdampak pada masa depanmu, apa yang tidak kamu lakukan sekarang juga akan berdampak pada masa depanmu. Yang sudah lewat ya sudah, nah ini sekarang yang bisa kamu lakukan, ayo lakukan." Jadi jangan fokuskan lagi pada apa yang dia tidak bisa lakukan. Kadang-kadang kita sebagai orangtua terjebak pada pola itu, tetap kita itu tekankan "kamu harus bisa ini, kamu harus bisa itu," tapi faktanya tidak bisa. Justru kita mau membangun dia di atas kebisaannya bukan di atas ketidakbisaannya.
GS : Sebenarnya selama anak itu masih mempunyai semangat untuk membangun masa depannya, itu masih bisa dibimbing. Tetapi ada sebagian anak yang apatis terhadap masa depannya?
PG : Memang sampai titik tertentu kalau si anak itu sudah tidak lagi bisa mengikuti pelajaran di sekolah, umumnya dia apatis. Karena kita harus akui, dunia anak dari umur 5, 6 tahun terus sampi 22, 23 tahun adalah dunia akademik, dunia sekolah.
Jadi waktu dia itu tidak lagi bisa masuk dan bertumbuh apalagi berkembang di bidang akademik ini, dia memang akan merasa dirinya itu tidak berharga. Dia akan sangat-sangat apatis sekali dengan hidupnya, dengan masa depannya, jadi tidak heran mereka memang akan putus asa atau apatis sekali. Itu sebabnya sekali lagi yang diperlukan adalah nomor satu, keterbukaan dari orangtua mengakui duduk masalahnya. Tidak menyalahkan pihak lain, tidak menyalahkan lingkungan, tapi ya sudah lihat duduk masalahnya apa dan akui apa pun itu. Nomor dua, tidak lagi mengancam, memarahi anak, karena tidak akan menolong dalam situasi seperti ini. Dan nomor tiga, kita bicara dengan anak secara baik-baik, carikan solusi. Solusinya harus benar-benar yang sepraktis mungkin, jangan lagi memikirkan yang jauh dan panjang. Pada tahap seperti itu si anak tidak bisa melihat, dia harus berusaha 5,6 tahun lagi baru mencapai ini. Ini tidak bisa, dia perlu melihat sesuatu yang lebih cepat dan lebih konkrit; belajar ini selama 6 bulan, belajar ini selama setahun, maka kamu bisa ini. Nah kita bangunnya dari situ, kita tidak berkata, "kamu coba lulus SMA bukankah kamu bisa masuk ke perguruan tinggi, nanti setelah lulus perguruan tinggi kamu bisa kerja ini." Si anak pada level ini, alih-alih SMA, pelajaran SMP pun dia sudah tidak kuasai lagi. Nah dia membayangkan harus belajar 5, 6 tahun lagi untuk mendapatkan ijazah SMA, padahal umurnya sudah 19 tahun. Belum lagi 4, 5 tahun untuk kuliah, dia sudah tidak lagi ada semangat, jadi kita mesti menetapkan target yang pendek-pendek, yang singkat-singkat, yang dapat diraihnya dengan segera, sehingga kepercayaan dirinya perlahan-lahan mulai dibangun kembali.
GS : Bagaimana kalau anak ini melarikan diri pada hal-hal yang sangat negatif, misalnya kebut-kebutan, minuman keras, obat terlarang, bukankah ini sudah membahayakan jiwanya?
PG : Kalau itu yang terjadi kita mesti turun tangan, benar-benar membentenginya. Kita harus melarangnya keluar dengan teman-teman itu, kita harus memasukkannya ke panti rehabilitasi, kalau memng dia sudah tergantung pada obat-obatan.
Kalau sudah melakukan hal-hal yang membahayakan jiwanya atau tubuhnya, benar-benar kita harus agresif membentengi dia agar tidak terjerumus makin jauh. Memang di sini diperlukan pengorbanan yang sangat besar dari keluarga. Misalkan nomor satu, secara sosial harus merasa malu anaknya bermasalah seperti itu, tapi harus diurus. Dan juga perlu biaya yang besar, kadang-kadang tidak murah memasukkan anak-anak ke panti rehabilitasi dan sebagainya, tapi itu adalah harga yang harus kita bayar dan bahkan kalau perlu pindah ke kota supaya dia mendapatkan lingkungan yang baru. Nah hal-hal seperti itulah yang harus kita lakukan dengan pengorbanan yang besar.
GS : Untuk mengetahui anak sedang melarikan diri, kerja sama dengan pihak sekolah penting sekali karena kita sebagai orangtua 'kan terbatas. Kita tidak tahu, seolah-olah anak ini berangkat ke sekolah tapi nyatanya melakukan hal-hal di luar sekolah, Pak Paul.
PG : Betul, biasanya pihak sekolah akan memberikan laporan kepada orangtua dan kalau sudah tidak masuk beberapa kali. Pada umumnya sekolah akan memanggil orangtua untuk datang dan bertanya, kenpa anaknya mengalami masalah seperti ini.
Sekali lagi saya meminta kepada orangtua untuk berbesar hati, pada waktu anak kita itu diketahui mempunyai masalah; kita pasti frustrasi, kita cenderung memang menyalahkan segala pihak dan segala sumber. Sebaiknya jangan, kita mesti kembali lagi kepada diri kita, kembali pada anak kita dan lihatlah di mana duduk masalahnya. Akui, lebih cepat kita mengakui duduk masalahnya, lebih cepat pula kita menemukan solusinya daripada tidak mau melihat fakta tapi malah menyangkal dan menyalahkan kanan-kiri, akhirnya masalah makin bertambah.
GS : Juga kalau orangtua kewalahan, tidak mampu lagi; sebenarnya meminta tenaga ahli untuk menangani hal ini juga sangat dibutuhkan, Pak Paul?
PG : Kalau itu yang diperlukan lakukanlah, jadi benar-benar kita mengambil langkah-langkah untuk menolong anak kita, agar jangan sampai terjerumus makin dalam.
GS : Karena makin lama, dengan berjalannya waktu kondisi anak ini akan semakin parah.
PG : Betul sekali, jadi kuncinya sebetulnya adalah pengawasan. Orangtua yang memberikan pengawasan dan perhatian yang cukup kepada anak, seyogianya sudah mulai menemukan masalah pada masa dini Sama halnya dengan penyakit, kalau kita tidak hiraukan sampai benar-benar parah, pengobatannya pun sangat lama dan kadang-kadang sudah tidak lagi memungkinkan.
GS : Jadi itulah perlunya membina hubungan yang baik antara orangtua dan anak ini sedini mungkin?
PG : Betul sekali, sehingga apa pun perubahan yang terjadi kita cepat untuk menangkapnya.
GS : Untuk memberikan dasar yang kuat pada pembicaraan ini, apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?
PG : Firman Tuhan di Amsal 25:4 mengatakan, "Sisihkanlah sanga dari perak, maka keluarlah benda indah bagi pandai emas." Kadang-kadang kita terlalu tergesa-gesa menyimpulkan masalah, menyalahkn anak tanpa memahami sesungguhnya apa yang telah terjadi dalam hidupnya.
Jika saja kita berhasil memisahkan dirinya dari problem yang dihadapinya maka kita dapat menolongnya keluar dari masalahnya dengan lebih mudah. Jadi identifikasilah, kenalilah apa duduk masalahnya, selesaikanlah; itu akan lebih cepat menolong si anak daripada menutup mata, terus-menerus memberikan pertolongan-pertolongan yang tidak tuntas, hanya menutupi sejenak. Daripada seperti itu kita mesti langsung ke akarnya. Nah waktu si anak lebih bisa dipisahkan dari problemnya, barulah kita akan melihat dia bertumbuh. Ibarat seorang pandai emas yang melihat benda yang indah tatkala sanga dipisahkan dari perak.
GS : Itu suatu proses yang menyakitkan Pak Paul, sebab bagaimana sanga itu dipisahkan dari perak dengan api, sehingga harus dibakar, meleleh dan sebagainya itu menyakitkan, dan biasanya ini dihindari oleh orang.
PG : Betul sekali, ini harga yang harus kita bayar tapi kalau kita membayarnya sekarang, kita tidak usah membayarnya terus-menerus sampai nanti.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan yang sangat menarik dan sangat bermanfaat ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Anak Lari dari Kenyataan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.