[hilangnya_respek] =>
"Hilangnya Respek" oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi
Lengkap
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Hilangnya Respek". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Dalam sebuah pernikahan Pak Paul, tentu respek sangat dibutuhkan. Tapi kadang-kadang kita melihat faktanya bahwa ada istri yang tidak menghormati suami atau sebaliknya suami tidak lagi menghormati istrinya. Dan ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Pak Gunawan, respek itu memang sangat penting. Saya masih ingat perkataan Dr. James Dobson yang berkata, "Memang ada banyak faktor yang akhirnya menggerogoti relasi suami istri" namun diaberkata, "Apapun masalahnya biasanya diawali oleh hilangnya respek terhadap satu sama lain."
Saya setuju dengan pengamatan beliau dan saya melihat respek merupakan salah satu dari tiga tonggak pernikahan yaitu percaya, cinta kasih dan respek. Ketiganya itu harus ada di dalam pernikahan, tanpa percaya tidak mungkin kita menikah dengan orang yang di samping kita dan jika tidak ada rasa kasih maka tidak mungkin kita bisa bersamanya, tapi kalau tidak ada respek maka mustahil juga untuk kita hidup bersamanya.
GS : Tapi biasanya hilangnya atau lunturnya respek, itu tidak terjadi pada awal-awal pernikahan, Pak Paul ?
PG : Betul, Pak Gunawan. Jadi biasanya pada awal relasi, respek itu masih ada sebab kalau tidak ada respek dari awalnya maka tidak mungkin mereka akan menikah. Jadi pertanyaannya adalah apakah ang terjadi ? Prosesnya seperti apa sehingga respek itu hilang? Saya melihat seperti ini, Pak Gunawan, pada awalnya sewaktu kita baru berkenalan, baru menjalin relasi dan akhirnya kita mencoba memertahankannya di dalam masa-masa berpacaran, kita berusaha keras untuk menampilkan diri kita yang terbaik.
Coba sekarang kita tidak berpikir negatif tentang perkataan ini, sebab saya bermaksud untuk mengungkapkannya sebagai sesuatu yang wajar. Waktu kita mengenal seseorang maka kita akan berusaha keras untuk menampilkan sisi baik dalam diri kita, bukan untuk membohongi dia supaya bisa memanfaatkan dia atau menipunya. Tidak seperti itu, karena secara alamiah kita memang ingin menampilkan sisi yang baik itu supaya dia menyenanginya dan memunyai kesan yang positif tentang diri kita dan mudah-mudahan dia akhirnya akan menyukai kita. Ini adalah sesuatu yang wajar dan inilah yang menjadi dasar suatu relasi. Ketika kita menjalani masa berpacaran mungkin saja ada sedikit masalah, tapi tetap kita berusaha untuk menampilkan sisi yang baik, misalnya kita ini bertengkar maka kita cepat-cepat minta maaf dan kita tidak mau kalau nanti hubungan kita retak sehingga kita segera berkata, "Maaf tadi saya salah seperti ini dan begitu," jadi kita terus berusaha. Dalam pernikahan pada umumnya, setelah kita menikah biasanya mulai muncul masalah-masalah dan di saat itulah diri kita tidak lagi sekuat dulu untuk menampilkan sisi yang baik dan kita menjadi lebih santai dan kita tahu kalau kita diterima apa adanya, kita boleh menjadi diri kita yang sesungguhnya, mengungkapkan perasaan kita apa adanya. Jadi mulai keluarlah bagian-bagian dalam diri kita yang tak terlihat sebelumnya yaitu bagian-bagian yang mungkin sekali susah diterima oleh pasangan kita. Waktu kita melihat ada bagian-bagian seperti ini, itu yang nanti akan membuatnya mulai hilang respek terhadap kita.
GS : Bagaimana kalau pernikahan itu sejak awalnya sudah bermasalah, misalnya saja dijodohkan atau kehamilan sebelum pernikahan. Apakah itu juga meruntuhkan respek sejak awal, Pak Paul ?
PG : Biasanya ya. Jadi pada waktu masa-masa berpacaran sudah ada hal-hal yang mengerosi respek itu, biasanya relasi itu kalau pun tetap berjalan, tapi berjalan dengan pincang. Misalnya, tadi Pa Gunawan mengangkat kasus di mana seseorang hamil sebelum menikah, biasanya meskipun keduanya berkata, "Memang kami saling mencintai, kami mau tetap menikah."
Tapi umumnya pada saat itu respek sudah mulai luntur, misalnya yang wanita merasa, "Kenapa kamu tega membuat saya akhirnya hamil" hilanglah sedikit banyak respek. Dan yang pria berkata, "Kenapa kamu itu mau dan kamu begitu gampang." Mulailah sedikit banyak hilangnya respek. Jadi seringkali kita melakukan hal-hal yang memang melunturkan integritas kita sejak awal, maka relasi itu sebetulnya kehilangan respek. Tapi mengapa pada masa awal tidak sampai kehilangan respek yang menciptakan masalah besar, karena sekali lagi relasi itu masih dalam tahap awal sehingga masih bisa kita melihat yang positif-positifnya, masih bisa berharap dan akhirnya kita berkata, "Tidak mengapa diteruskan saja siapa tahu nanti membaik."
GS : Tetapi kalau masalah-masalah itu tidak pernah terselesaikan secara tuntas. Apa dampak selanjutnya ?
PG : Biasanya masalah yang tidak terselesaikan akan terus mengikuti kita masuk ke dalam pernikahan. Kalau tidak terselesaikan, maka kita frustrasi, marah dan akhirnya sisi buruk kita makin harimakin nampak, dulu kita lebih sabar dan sekarang semakin tidak sabar, dulu lebih lembut tapi sekarang kasar.
Dulu kalau bicara dengan sangat hati-hati tapi sekarang semaunya saja. Jadi akhirnya waktu kondisi frustrasi dan kita tidak suka dengan apa yang kita lihat, kita tidak suka dengan kwalitas pernikahan kita, tidak suka hidup dengan pasangan kita maka frustrasi yang meninggi itu makin melemahkan kita sehingga keinginan menampilkan diri atau sisi yang baik menjadi makin hari makin berkurang. Akhirnya kalau dua-dua tidak menjaga diri, dua-dua lebih sering memunculkan sisi-sisi yang buruk itu dan makin yang satu melihat betapa buruknya pasangannya maka semakin frustrasi, makin hilangnya rasa hormat dan lingkaran itu semakin mendalam.
GS : Jadi alasan berikutnya kenapa respek itu bisa hilang apa, Pak Paul ?
PG : Jadi biasanya, pada akhirnya kita terus melihat masalah-masalah yang memang tidak terselesaikan. Akhirnya kita menyerah dan semakin hari kita semakin kesulitan untuk melihat atau menerima asangan kita.
Pada umumnya pada titik ini kita mulai menghitung-hitung, "Dia ada baiknya, dia ada buruknya, dia ada kurangnya di sini dan dia ada baiknya di situ." Kalau pertimbangan kita bahwa dia masih banyak baiknya, maka kita mau menerima sisi buruknya dan kita akan jadikan itu bagian dari kehidupan kita bersama dengan pasangan. Sudah tentu kalau yang ditemukan lebih banyak buruknya dan yang baiknya sedikit maka sudah tentu nanti dia akan susah menerima sisi buruknya itu, dan pada akhirnya respek mulai merosot dan merosot. Sebab kita melihat kalau orang ini banyak buruknya dari pada baiknya.
GS : Tapi kalau kita melakukan pertimbangan secara hitung-hitungan seperti itu maka hal itu sangat labil sekali. Artinya kalau ada sesuatu yang kecil saja yang mengganggu keseimbangan itu maka respek itu akan hilang dengan sangat mudah.
PG : Betul. Kalau kita melihat pasangan kita itu lebih banyak buruknya dari pada baiknya atau hampir seimbang, memang betul sekali kalau ada satu masalah terjadi maka cukup membuat relasi itu trjungkal.
Tapi kalau kita temukan begitu banyak sisi baiknya, maka kita mengabaikan sisi-sisi buruknya. Kalau pun muncul sisi buruk itu maka kita masih bisa memertahankan respek itu. Dengan kata lain Pak Gunawan, memang dalam sebuah relasi tidak bisa tidak, kedua pasangan suami istri itu harus melewati sebuah fase dimana pada akhirnya respek pun bertumbuh menjadi lebih realistik dan matang. Kalau di awal respek itu berdasarkan pada betapa indahnya pasangan saya, betapa baiknya, betapa luar biasanya pasangan saya karena memang yang dilihatnya adalah sisi-sisi yang baik yang coba dimunculkan oleh pasangan maka respek di situ memang belum memunyai fondasi yang kuat dan belum didasari atas realitas sehingga untuk memiliki fondasi yang kuat memang harus melewati fase itu yaitu gempuran-gempuran realitas, problem dan sebagainya, sampai keduanya menemukan bahwa inilah sisi yang kurang baik di dalam dirimu, tapi begitu banyak hal-hal yang baik dalam dirimu. Di saat itu respek yang tersisa menjadi respek yang sesungguhnya, tapi kalau kebalikannya yang terjadi yaitu jauh lebih banyak sisi buruknya sehingga sisi yang baik juga sedikit, respek itu merosot tinggal sedikit, tapi sebetulnya itulah respek yang tersisa yang sesungguhnya dan yang nanti akan menentukan kwalitas relasi pernikahan kita.
GS : Pak Paul, apakah ada tanda-tanda yang cukup jelas yang bisa kita ketahui tatkala pasangan kita mulai kehilangan respeknya kepada kita ?
PG : Biasanya cara mengungkapkan kemarahan itu memerlihatkan apakah respeknya masih ada atau tidak. Kalau kita masih respek kepada pasangan, kendati marah kita berusaha mengerem atau mengekang ehingga kita tidak seenaknya memarahi pasangan kita.
Kalau pun sampai kita lepas kendali, marah dan sebagainya, dengan cepat kita berusaha untuk meminta maaf karena kita tidak mau kehilangan relasi ini dan kita cepat-cepat untuk berdamai. Jadi pada umumnya ujian untuk melihat berapa rendah atau tingginya respek adalah pada waktu kita marah.
GS : Tetapi ada perbedaan yang sangat tipis Pak Paul, antara orang respek dan orang takut kepada kita dan ini termasuk kepada pasangan, Pak Paul.
PG : Dan membedakannya sebetulnya cukup mudah, yaitu kalau takut maka kita tidak akan berani bicara, tidak berani mengutarakan isi hati kita, kita cenderung berkata-kata secara umum atau menghidar atau menyangkal dan itu adalah ciri-ciri kita takut kepada pasangan.
Tapi kalau kita respek maka kita akan berani mengungkapkan isi hati apa adanya namun dilakukan dengan santun atau relatif lembut.
GS : Pak Paul, tentunya di dalam hubungan pernikahan baik suami maupun istri akan berusaha membangun respek dan tidak mau kehilangan respek ini karena bisa mengancam kehidupan rumah tangga mereka. Langkah-langkah konkret apa yang perlu dilakukan oleh pasangan suami-istri, Pak Paul ?
PG : Sebetulnya hanya satu saja yang bisa saya katakan tapi nanti akan saya uraikan yaitu kita harus hidup berintegritas atau kita harus hidup benar di hadapan Tuhan dan manusia. Coba saya jelakan sekurang-kurangnya dalam dua aspek kali ini dan memang sebetulnya ada banyak aspek dari berintegritas ini.
Yang pertama adalah respek itu dibangun di atas perkataan yang benar, di hadapan Tuhan dan manusia. Jadi berkatalah benar seorang akan yang lain dan firman Tuhan di Efesus 4:25 menasehati kita, "Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota." Ini penting sekali, dan saya kira tidak ada yang lebih cepat menghancurkan respek dari pada dusta. Sewaktu kita melihat pasangan berbohong bukan saja rasa percaya yang menurun dan seringkali berkata, "Sekarang saya tidak bisa lagi percaya kepadanya, sebab dia telah berbohong," dan respek pun langsung merosot. Jadi bisa kita simpulkan bahwa ada sesuatu yang begitu rendah, begitu hina tentang berdusta sehingga siapa pun yang berdusta pastilah akan kehilangan respek. Jadi kadang-kadang yang menarik adalah kita itu cenderung masih bisa respek kepada orang yang melakukan kesalahan-kesalahan yang lain dibanding kesalahan berdusta. Jadi waktu orang berdusta benar-benar orang itu kehilangan harga diri. Kita susah sekali menghormati orang yang berdusta, yang telah membohongi kita, kesalahan-kesalahan lain mungkin menyakiti hati dan sebagainya, tapi kita masih bisa melihat orang itu dengan pandangan, "Baiklah saya masih bisa menghormati kamu dan sebagainya." Tapi begitu orang berdusta akan susah sekali untuk kita kembali menghargai dia.
GS : Bagaimana kalau dusta itu dipakai semacam pembalasan, bahwa dia pernah didustai oleh pasangannya, Pak Paul.
PG : Kalau kita sampai pernah berbohong atau berdusta dan kita belum pernah mengakuinya maka kita harus mengakuinya dengan hati besar dan berkata, "Saya salah dan saya pun pernah melakukan hal ang sama."
Tapi kalau kita sudah akui dan itu terus digunakan untuk menyerang kita, berarti masalahnya belum selesai dan dia masih menyimpan kemarahan-kemarahan. Itulah saatnya kita harus berbicara dengan terbuka, sehingga kita dapat saling mengampuni dengan lebih tuntas.
GS : Ada juga orang yang berdalih bahwa kebohongan ini sebetulnya beralasan untuk kebaikan rumah tangga ini, Pak Paul. Sehingga salah satu dari pasangan ini melakukan dusta. Dan itu bagaimana, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu kalau itu untuk kebaikan walaupun kita disakiti maka kita masih bisa menerima motivasi itu dan itu akan mengurangi sedikit banyak pukulan yang harus kita alami. Tapi kalau kitamelihat sebetulnya dia berdusta untuk menutupi perbuatannya, maka akan susah sekali kita terima.
Dusta itu sangat merendahkan diri sendiri. Maka firman Tuhan juga dengan jelas meminta kita untuk membuang dusta, bukan hanya kita tidak berdusta tapi kita memang membuangnya sejauh mungkin sehingga perkataan kita menjadi lambang kebenaran.
GS : Apa pun bentuk dusta sebenarnya harus kita akui dan kita harus minta maaf kepada pasangan kita supaya respek itu bisa terjaga, Pak Paul.
PG : Betul. Dari pada tertangkap basah kalau kita telah berdusta, lebih baik kita akui apa adanya dan kita tanggung resikonya sebab sekali lagi itu tetap lebih baik meskipun dia marah dan tidaksuka, tapi tetap kenyataan kalau kita mengakuinya, hal itu menyelamatkan respek.
Tapi kalau tidak dan akhirnya diketahui oleh pasangan kita maka respek pasangan kepada kita akan merosot, dia akan mudah sekali memandang kita dengan pandangan penuh penghinaan dan dalam hal ini selayaknya kita menerima pandangan yang penuh penghinaan itu.
GS : Tapi memang dituntut juga dari pihak pasangan dimana kita meminta maaf dan pasangan bisa memberikan maaf yang tulus juga Pak Paul, kalau tidak maka masalah ini tidak akan selesai-selesai.
PG : Sudah tentu kita harus menerima fakta bahwa karena kita telah melukai pasangan kita, maka akan perlu waktu untuk pasangan itu sungguh-sungguh bisa menghilangkan kemarahannya dan menerima kta apa adanya.
Jadi kita juga harus bersabar.
GS : Alasan yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Alasan yang lain yang membuat respek itu hilang adalah respek itu dibangun di atas hidup yang bertanggung-jawab. Jadi pertahankanlah hidup yang bertanggung-jawab. Kalau kita mau hidup tida bertanggung-jawab maka kita harus membayar konsekuensinya dan konsekuensinya adalah kita akan kehilangan respek dari pasangan.
Firman Tuhan di 1 Tesalonika 4:11-12 mengajarkan, "Dan anggaplah sebagai suatu kehormatan untuk hidup tenang, untuk mengurus persoalan-persoalan sendiri dan bekerja dengan tangan, seperti yang telah kami pesankan kepadamu, sehingga kamu hidup sebagai orang-orang yang sopan di mata orang luar dan tidak bergantung pada mereka." Kata sopan di sini juga bermakna respek, Pak Gunawan. Jadi artinya kita harus hidup dengan bertanggung-jawab agar dapat menerima respek dari orang. Setidaknya ada dua hal yang disebut oleh Rasul Paulus di sini, hidup tenang memfokuskan pada persoalan sendiri dan yang kedua adalah bekerja. Orang yang repot mengurusi masalah orang lain dengan cepat akan kehilangan respek maka kita harus mengenal batas, menghormati batas sehingga kita tidak seenaknya masuk ke wilayah pribadi orang. Inilah sikap yang mengundang respek.
GS : Maksudnya kita tidak boleh mengurusi persoalan orang lain yang bisa menghilangkan respek, contohnya seperti apa ?
PG : Misalnya urusan dengan mertua, dan kita tidak suka dengan yang mertua lakukan. Tapi ini adalah kehidupan mertua kita, kita boleh berbicara kepada pasangan kita, "Kenapa Papa dan Mama seperi ini hidupnya, saya kecewa dan sebagainya."
Namun kita harus berhati-hati dan jangan seenaknya berkata, "Papa dan Mama kenapa hidupnya seperti ini, saya akan menegurnya dan memberi tahu untuk tidak melakukan ini dan itu." Perlu kita sadari bahwa memang ada waktunya kita menegur orang, tapi ada waktunya kita menahan diri menegur orang karena kita harus melihat caranya, kita harus melihat apakah tepat kepada orang itu kita sampaikan." Jadi ada banyak pertimbangan lain, makanya rasul Paulus meminta jangan sampai menjadi orang yang dalam bahasa Inggrisnya "busy body" mengurusi orang kanan kiri, membicarakan orang kanan kiri, masuk ke masalah orang kanan kiri. Orang yang seperti itu akan kehilangan respek. Misalnya dalam contoh tadi kita langsung melabrak mertua kita, menegur mertua kita maka mereka akan marah dan berkata, "Kamu ini tidak menghormati saya," dan pasangan berkata, "Kamu tahu kalau ini adalah orang tua saya jadi tolong jangan berbuat seperti itu. Kenapa kamu tidak bisa berdiam diri karena ini adalah urusan mereka." Penting untuk kita menjaga batas, jangan seenaknya melabrak sana-sini merasa punya hak mengurus semua orang lain yang punya masalah.
GS : Tapi yang diurusi tadi masih bisa dikatakan ada ikatan kekeluargaan, bagaimana kalau orang itu tidak ada ikatan kekeluargaan dengan kita ?
PG : Kalau dengan orang yang memiliki ikatan kekeluargaan kita harus berhati-hati apalagi dengan orang yang tidak punya ikatan kekeluargaan sama sekali, maka kita harus lebih berhati-hati. Kadag-kadang kita harus menyeimbangkan antara menjadi teman yang baik, yang berani menegur dan menjadi orang yang bijaksana.
Kalau dia teman kita dan kita dekat dengan dia, dia percaya kepada kita maka kita harus bertanggung-jawab, kita harus memikul tanggung-jawab itu artinya kita memerlukan waktu untuk berbicara dengan teman kita, untuk memberitahu kepadanya bahwa jalannya salah dan sebagainya. Tapi misalkan orang ini adalah orang yang bukan kita kenal sama sekali, dia rekan kerja sekantor, jarang ketemu dan tidak ada kedekatan dengan kita, maka jangan sampai belum apa-apa kita masuk ke wilayahnya, tapi bangunlah dulu pertemanan sehingga dikenal baik oleh dia dan akhirnya dia percaya kepada kita dan kemudian kita bisa bicara tentang apa yang kita pikirkan.
GS : Bagaimana dengan bekerja yang tadi telah Pak Paul singgung ?
PG : Paulus memesan kepada jemaat di Tesalonika untuk bekerja. Dengan kata lain, kita harus hidup rajin dan mencukupi kebutuhan sendiri dan jangan sampai kita menjadi benalu yang bergantung kepda orang untuk memenuhi kebutuhan kita.
Bila kita malas dan bergantung kepada orang untuk bekerja buat kita pasti respek kita kepada orang itu luntur. Dalam pernikahan juga sama, adakalanya kita bergantung pada pasangan, terlalu banyak untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kita yang sebetulnya kita bisa mencoba kerjakan, kita menyuruhnya seperti ini untuk memenuhi kebutuhan kita, minta dicukupkan ini dan sebagainya. Akhirnya tidak bisa tidak, pasangan dibuat repot dan inilah yang akhirnya membuat kita susah untuk respek kembali kepadanya. Jadi benar-benar di dalam pernikahan kita juga harus berusaha untuk mengerjakan. Untuk bekerja dengan tangan artinya mengerjakan yang bisa kita kerjakan, sehingga itu nanti akan mengundang respek dari pasangan.
GS : Kalau pasangan itu sudah berusaha dengan sungguh-sungguh mencari pekerjaan dan mau bekerja tapi belum mendapatkan pekerjaan maka sebenarnya respek itu tidak mengganggu di dalam hubungan itu, Pak Paul ?
PG : Seharusnya meskipun ada saat-saat kita terpengaruh sebab kita sebagai manusia mengharapkan pasangan kita sudah mendapatkan pekerjaan. Tapi misalkan dia belum mendapatkan maka bisa juga kit menjadi kecewa, namun ketika kita kecewa maka kita harus mengingatkan diri kita bahwa dia telah berusaha.
Kalau dia tidak berusaha maka bolehlah kita kehilangan respek kepadanya. Tapi selama dia berusaha, maka kita harus menyoroti itu dan kita berikan dia dorongan dan pujian bahwa dia tetap berusaha, dia tidak menyerah sehingga dia terus maju dan berusaha dan tidak menyerah.
GS : Dan bagaimana halnya kalau yang perempuan, istri atau ibu ?
PG : Maksudnya ini suami kepada istri ?
GS : Ya.
PG : Kalau kita kepada istri, kita melihat misalnya istri kita itu terlalu bergantung dalam urusan anak dan urusan lain di dalam rumah tangga dan tidak mau menyelesaikannya sendiri, maka sudah entu lama kelamaan sulit bagi kita respek kepada dia sebab sekali lagi respek itu muncul dari pemandangan bahwa pasangan kita itu berusaha mengurus, menyelesaikan masalahnya dan sebagainya dan waktu kita melihat kalau sedikit-sedikit meminta kepada kita dan bergantung kepada kita maka lama-lama respek itu akan merosot.
Jadi kita harus memberitahukan, kita bisa minta tolong dia, "Bisa tidak kalau kamu kerjakan dulu" atau kita memberikan dia dorongan untuk dia menyelesaikan, kalau tidak selesai maka kita beritahukan kalau nanti kita yang menyelesaikan.
GS : Tapi respek kita satu dengan yang lain di dalam pasangan hidup, tidak selamanya bisa naik. Jika misalnya dibuatkan sebuah grafik, hal itu akan menjadi grafik yang naik turun. Dan ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Saya kira itu betul, Pak Gunawan. Memang bergantung pada kestabilan relasi, kondisi relasi yang ada memang akan turun naik tapi seharusnya dalam relasi, meskipun akan turun naik namun kecederungannya perlahan-lahan akan terus naik.
Meskipun dalam grafik itu akan terus naik turun, tapi makin hari akan terus naik ke atas. Kalau makin lama kita menikah, kecenderungannya turun naik namun turun naiknya itu sebetulnya dalam perjalanan menuju ke lembah turun ke bawah, berarti apa yang kita harapkan dari pasangan kita tidak kita dapatkan, mungkin itu yang harus kita kemukakan kepada dia dan mungkin ini di luar dari dua hal dari yang kita sebut tadi yaitu berkata benar dan bertanggung-jawab. Mungkin ada hal-hal lain dan harus kita bereskan dulu supaya nanti kecenderungan respek itu bisa kembali naik.
GS : Jadi sebetulnya pasangan suami istri itu harus selalu memeriksa apakah respek antara keduanya masih terjaga dengan baik atau dalam perjalanan turun sebelum sampai ke dasar.
PG : Betul sekali. Memang belum terlalu susah untuk melihat hal ini, karena sebagaimana tadi saya sudah uraikan, respek, kasih dan percaya, itu ketiganya manunggal dan harus ada. Jadi waktu kit merasa kurang mengasihi dia, bisa jadi sumbernya mula-mula dari respek yang mulai hilang.
Sekali lagi itu suatu pertanda juga bahwa kita harus mencari tahu kenapa respek saya turun kepadanya. Dan kemudian itu yang kita coba bicarakan kepada pasangan kita.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Hilangnya Respek". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.