Tanda Pernikahan Sehat (II)

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T499B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Pada sesi kedua Tanda Pernikahan Sehat menurut Tim Gardner ini kita akan membahas tentang komitmen, pengampunan, dan adanya misi pernikahan yang jelas.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Yang keempat, tanda pernikahan sehat adalah adanya KOMITMEN, baik kepada Tuhan maupun kepada satu sama lain. Kita tidak menikah berdasarkan kontrak; kita menikah berdasarkan janji dan tekad untuk memenuhi janji itu yaitu saling mengasihi dan saling menopang dalam segala musim kehidupan sampai maut memisahkan kita. Di dalam pernikahan tidak sehat, komitmen luntur, digantikan oleh KEPENTINGAN. Selama kepentingan terpenuhi, kita tinggal dalam pernikahan; begitu kepentingan tidak terpenuhi, kita minggat.

Di dalam pernikahan sehat, komitmen kepada Tuhan menjadi DASAR komitmen kita kepada satu sama lain. Kita sadar bahwa kita berjanji bukan saja di hadapan Tuhan, tetapi juga KEPADA Tuhan—bahwa kita akan mengasihi pasangan dan memerhatikannya seumur hidup. Di dalam pernikahan tidak sehat, kita tidak lagi peduli akan komitmen yang telah kita buat kepada Tuhan. Dan, kita juga tidak memusingkan komitmen yang pernah kita buat kepada satu sama lain. Relasi pernikahan tidak selalu mulus; kadang kita harus mengalami kesulitan yang berat karena ketidakcocokan atau karena tindakan yang kita atau pasangan ambil, yang akhirnya menimbulkan kekecewaan yang dalam. Di dalam situasi seperti itu, komitmen kepada Tuhan dan satu sama lain menjadi satu-satunya sauh yang membuat kita tinggal dan tidak lari.

(5) Tanda pernikahan yang sehat adalah adanya PENGAMPUNAN. Pernikahan adalah relasi terintim yang dapat dinikmati manusia dan di dalam keintiman seperti itu, dampak kesalahan yang diperbuat pasangan benar-benar mencapai puncaknya. Kita marah dan sakit hati ditipu teman, tetapi perasaan ini tidak dapat dibandingkan dengan perasaan marah ditipu pasangan sendiri. Kita marah dan sakit hati dihina teman, tetapi perasaan ini tidak dapat dibandingkan dengan perasaan direndahkan oleh pasangan sendiri. Tuhan mengajar kita, para murid-Nya, untuk berdoa, ". . . ampunilah kami akan kesalahan kami seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami . . . " (Matius 6:12). Kesalahan yang diperbuat pasangan adalah puncak dari semua kesalahan yang dapat diperbuat orang kepada kita. Itu sebab mengampuni pasangan yang bersalah kepada kita tidak mudah. Kesulitan itu ditambah dengan kenyataan bahwa kita harus hidup bersamanya setiap hari. Itu berarti kita melihat perilakunya setiap hari dan mendengar suaranya setiap hari. Belum sempat luka ini kering, kita kembali mesti melihat dan mendengarnya. Dan, ini membuka kembali luka yang masih berdarah itu. Satu hal yang mesti kita sadari tentang mengampuni adalah sesungguhnya mengampuni BERLAWANAN dengan kodrat manusiawi. Kodrat manusiawi adalah membalas atau setidaknya mengingat kesalahan orang. Mengampuni adalah kodrat ilahi—sifat yang dimiliki oleh Allah. Ia menginginkan kita untuk memiliki kodrat-Nya—mengampuni—sebab kita adalah anak-Nya.

Mengampuni berawal dari satu langkah yaitu mengambil keputusan untuk mengampuni. Dengan kata lain, mengampuni dimulai dengan mengajukan satu pertanyaan, "Apakah saya MAU mengampuni?" Bila kita jujur, kita mungkin terkejut mendengar jawabannya, yakni sesungguhnya kita tidak mau mengampuni. Ia menuntut kita untuk mengambil langkah pertama ini: Kita mesti mau MEMULAINYA. Jika kita memutuskan mau, maka setiap hari—dan setiap kali—kita harus meminta Tuhan memampukan kita untuk mengampuni. Kita harus mengatakan bahwa kita tidak sanggup mengampuni, dan bahwa kita membutuhkan kekuatan-Nya untuk dapat mengampuni. Di dalam proses inilah baru kita dapat melawan kodrat manusiawi kita yang sesungguhnya. Pernikahan yang sehat ditandai dengan adanya pengampunan. Untuk menumbuhkan dan menyuburkan iklim pengampunan di pernikahan, kita pun mesti membiasakan diri untuk TIDAK melihat kesalahan atau hal negatif pada pasangan. Makin banyak kesalahan, makin besar kemarahan dan makin sulit mengampuni. Itu sebab kita harus membiasakan diri untuk tidak terpaku pada kekurangan pasangan. Lihatlah dan pusatkan perhatian pada hal baik yang dilakukannya. Ingat, relasi dibangun bukan di atas kelemahan, melainkan di atas KEKUATAN. Dan, makin kita memerhatikan dan menghargai kekuatan pasangan, makin ia termotivasi untuk menambal kekurangannya.

(6) Tanda atau ciri keenam pernikahan sehat menurut Tim Gardner adalah adanya MISI PERNIKAHAN YANG JELAS. Ia menjelaskan bahwa di dalam pernikahan yang sehat, kita tahu dan percaya bahwa pernikahan kita memunyai tujuan ilahi. Ada maksud dan rencana Tuhan menyatukan kita di dalam pernikahan. Tuhan memanggil kita secara pribadi masuk ke dalam rencana-Nya dan Ia mengundang kita untuk menjadi bagian dari misi-Nya di dunia yaitu memberikan kasih karunia-Nya kepada manusia. Ia ingin agar semua manusia mengenal-Nya dan menerima kasih karunia-Nya melalui kematian Yesus, Putra Allah yang menjadi manusia. Pernikahan yang kita dedikasikan kepada-Nya menjadi alat di tangan-Nya untuk menebarkan kasih karunia-Nya di dunia. Pernikahan yang sehat tidak hanya hidup untuk dirinya sendiri sebaliknya, di dalam pernikahan yang tidak sehat, kita berhenti memikirkan rencana Tuhan yang lebih besar di dalam pernikahan kita dan hanya hidup untuk diri sendiri. Kita hanya menumpukkan gandum di lumbung sendiri. Sudah tentu mesti ada keseimbangan antara memerhatikan keluarga sendiri dan memerhatikan kepentingan lain di luar keluarga. Dan, sudah tentu kita harus senantiasa memastikan bahwa pasangan sehati dan siap untuk berbagi hidup dengan yang lain. Terlalu cepat memerhatikan yang di luar dapat berakibat buruk pada yang di dalam.

Namun, sesungguhnya jika pasangan siap, relasi pernikahan justru akan MENGUAT, bukan melemah, tatkala kita mulai memberi perhatian pada yang di luar. Amsal 11:26 mengingatkan, "Siapa menahan gandum, ia dikutuki orang, tetapi berkat turun di atas kepala orang yang menjual gandum." Tatkala kita menyadari dan menerima bahwa pernikahan kita adalah bagian dari rencana Allah untuk membagikan kasih karunia-Nya, kita akan makin rela dipakai-Nya. Kita tidak lagi menahan gandum berkat; sebaliknya kita siap membagikan gandum berkat.