Saudara–saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini akan membahas tentang "Pesan dari Milton". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, mungkin sebagian besar pendengar kita bertanya-tanya maksud dari judul "Pesan dari Milton". Milton ini siapa atau bagaimana ? Karena ini mengandung sesuatu yang jarang diketahui orang atau mungkin tidak diketahui. Sebenarnya apa atau siapa Milton ini, Pak Paul ?
PG : Milton adalah nama seseorang yang saya kenal sewaktu saya melayani di sebuah gereja, Pak Gunawan. Jadi apa yang akan kita pelajari adalah bahwa Milton ini seorang yang sangat bersahaja. Saya belajar bahwa Tuhan dapat memakai anak-anak-Nya yang sederhana untuk menitipkan pesan-pesan Tuhan kepada kita. Jadi tidak selalu orang yang luar biasa atau orang yang berpengaruh yang dapat membuat kita belajar banyak dari mereka. Tapi ternyata orang-orang yang bersahaja pun dapat memberikan banyak pelajaran kepada kita.
GS : Sebenarnya agak sulit. Kadang kita mau belajar dari orang yang lebih pandai, lebih mampu dari kita. Kalau kita belajar dari orang yang bersahaja, sebenarnya pelajaran apa yang kita peroleh dari orang ini? Namun sebelum lebih jauh kita berbincang tentang ini, apakah Pak Paul bisa menceritakan sedikit pengalaman Pak Paul bersama Saudara Milton ini ?
PG : Milton adalah seorang jemaat yang bergereja di gereja yang pernah saya layani dulu. Pada saat itu dia berusia 60-an tahun dan dia memang kelahiran Hawaii. Milton selalu datang berbakti di gereja bersama kakak perempuan dan kakak iparnya, dia tidak menikah dan tinggal bersama kakak dan kakak iparnya. Milton menderita sebuah gangguan jiwa yang membuatnya rapuh menghadapi kejutan hidup atau stres. Dia tidak bisa menghadapi stres. Disamping itu, dia mengalami keterbelakangan mental. Hampir setiap minggu pagi, kami berdua pergi untuk menyeruput kopi di sebuah kedai. Biasanya kami berbincang-bincang tentang hidup. Sebetulnya tidak banyak yang dapat kami bicarakan, Pak Gunawan, sebab dia selalu berbicara singkat-singkat. Jadi kalau saya bertanya "Apa kabar", maka dia hanya menjawab "Baik". Sudah. Kalau saya bertanya tentang pengalamannya pulang ke Hawaii, dia akan berkata dia senang dan dia ingin kembali tinggal di Hawaii. Jika saya berkata bahwa dia orang yang beruntung mempunyai seorang kakak yang begitu mengasihinya, dia akan berkata "iya". Sudah itu saja. Emosinya hanya 2, Pak Gunawan, yaitu sedih dan senang. Itu saja. Sewaktu seorang tua di rumah jompo tempat dia bekerja sebagai relawan meninggal dunia, dia sedih sekali. Begitu sedihnya sehingga dia sendiri harus masuk Rumah Sakit Jiwa, karena akhirnya dia kehilangan keseimbangan jiwanya. Dia sangat larut di dalam kesedihan. Ketika dia dapat pulang ke Hawaii dia senang sekali dan berharap dia bisa sering-sering pulang, namun dia sadar itu tidak mungkin sebab dia harus bergantung kepada kakaknya untuk membawanya pulang. Dia tidak marah, dia mengerti keadaan. Nah, Milton juga percaya pada apapun yang kita katakan kepadanya. Dia tidak dapat menafsir makna lain di balik ucapan. Jadi apa yang kita katakan ya itu kebenaran buat dia. Sewaktu dokter melarangnya untuk minum kopi dan mengkonsumsi gula, itulah yang dilakukannya. Dia berhenti minum kopi, berhenti mengkonsumsi kue yang berkadar gula. Itu sebabnya kalau kami minum kopi bersama, dia hanya memesan kopi yang tidak ada kafeinnya. Suatu hari waktu saya berjumpa dengan dia di sebuah perayaan Natal, saya menawarkan kue, dia menampiknya. Jawabannya adalah "dokter melarang". Sederhana sekali. Milton juga setia pada tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Secara berkala dia mendapat tugas untuk menjaga keamanan, yaitu berjalan keliling lapangan parkir. Dengan bangga dia selalu melapor kepada saya bahwa hari itu dia bertugas sebagai penjaga keamanan. Dan biasanya saya berpesan kepadanya agar dia menjaga keamanan dengan sebaik-baiknya sambil tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada dia atas perlindungannya yang telah membuat kami semua dapat berbakti dengan rasa aman. Dia hanya menjawab "okay". Sederhana, kemudian dia berjalan kembali mengelilingi lapangan parkir. Nah, sekarang Milton sudah tidak lagi bersama dengan kita, Pak Gunawan. Suatu hari seperti biasa Milton pergi ke rumah jompo tempatnya melayani sebagai relawan. Sewaktu makan, tiba-tiba dia tersedak. Dia tidak bisa mengeluarkan makanan itu dari tenggorokannya. Dalam hitungan menit Milton meninggal dunia. Milton tidak sempat meninggalkan pesan apapun, dia pergi dengan tiba-tiba. Namun bagi saya hidupnya itu telah meninggalkan pesan kepada dunia, kepada kita semua.
GS : Pak Paul, sebenarnya sewaktu Pak Paul berbincang dengan Milton ini, apakah itu dalam rangka terapi atau dalam rangka keakraban saja ?
PG : Keakraban, Pak Gunawan. Karena memang kemampuannya untuk mencerna apa yang dia katakan sangat terbatas. Jadi kalau kita mau bicara yang terlalu mendalam, tidak bisa. Karena dia hanya menjawab kebanyakan dengan "iya", "tidak", "dokter berkata begitu". Singkat-singkat sekali. Cara pikir dia memang sederhana sekali karena keterbelakangan mentalnya.
GS : Menurut pandangan Pak Paul, ini dibawa sejak lahir atau memang ada sesuatu yang mengubah dia seperti itu ?
PG : Memang bawaan dari lahir. Sejak kecil sudah menderita keterbelakangan mental atau istilahnya "mental retardation."
GS : Sebenarnya kita bisa belajar dari siapapun, orang-orang yang Tuhan perjumpakan dengan kita, walaupun dia punya kekurangan atau kebutuhan khusus seperti ini, kita tetap bisa belajar dari orang-orang seperti ini.
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Saya sudah katakan bahwa kita bisa belajar dari orang yang luar biasa. Tapi kita juga bisa belajar dari orang yang biasa.
GS : Dan tapi kita perlu meluangkan waktu seperti yang Pak Paul lakukan, meluangkan waktu bersama dia, mengerti akan kehidupannya dan persoalan-persoalan yang dihadapinya.
PG : Betul.
GS : Dari pengalaman Pak Paul berhubungan dengan Milton, hal-hal apa yang dapat dipelajari ?
PG : Yang pertama adalah lewat hidupnya, Milton berpesan kepada kita untuk hidup sederhana dan bersyukur atas apa pun yang kita miliki. Tidak sulit membuatnya girang, Pak Gunawan. Pulang ke Hawaii, tanah kelahirannya, dia senang. Melayani di rumah jompo, dia senang. Pergi ke gereja setiap minggu, dia senang. Jadi dia tidak berpikir muluk dan rumit. Itu sebabnya dia menjadi pribadi yang mudah gembira dan bersyukur. Dia senantiasa yakin. Saya kutip dari Filipi 4:19, bahwa "Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan kemuliaanNya dalam Kristus Yesus." Kita makin hari makin sulit berbahagia. Sepertinya mesti banyak yang terjadi baru kita bahagia. Milton tidak perlu banyak. Hal-hal kecil dan rutin cukup membuat dia selalu senang.
GS : Tapi itu ‘kan berkaitan erat dengan kondisi dirinya, Pak Paul ?
PG : Betul.
GS : Kita sebagai orang yang lebih normal, katakan begitu, tapi ‘kan kita menghadapi lebih banyak tuntutan.
PG : Betul. Makanya kita kembali kepada perkataan Tuhan Yesus. Kalau kita tidak menjadi seperti anak kecil, kita tidak akan bisa masuk ke dalam Kerajaan Surga. Kenapa Tuhan mengibaratkannya sebagai anak kecil ? Karena ini yang Tuhan minta. Anak kecil seperti Milton ini. Milton karena keterbelakangan mentalnya dia seperti anak kecil. Jadi hal-hal yang membuat dia gembira itu tidak banyak. Sebetulnya anak kecil juga sama, gampang sekali dibuat senang. Demikian juga Milton. Tuhan mau kita mendisiplin diri, Pak Gunawan. Memang dunia ini makin hari makin membuat rumit untuk kita bisa bahagia. Perlu lebih banyak ini, perlu punya ini, baru kita boleh bahagia, seolah-olah begitu. Tapi kenyataannya Tuhan mau kita ingat bahwa ingatlah dan bersyukurlah untuk hal-hal yang sangat-sangat mendasar dalam hidup. Misalkan Tuhan berkata kalau ada makanan dan minuman ya sudah cukup. Ada pakaian, ya sudah cukup. Tidak lagi perlu yang lain-lainnya. Bersyukur atas hal yang sangat mendasar seperti itu.
GS : Memang dalam keterbatasannya ini, Milton hanya punya kebutuhan tetapi bukan keinginan.
PG : Betul.
GS : Padahal kita punya lebih banyak keinginan daripada kebutuhan yang harus dipenuhi.
PG : Betul. Dia lebih banyak kebutuhan daripada keinginan. Dan keinginannya pun sangat sederhana dan tertentu, yaitu dia senang bisa pulang ke tanah kelahirannya Hawaii. Itu saja. Dia senang minggu bisa ke gereja, dia senang hari-hari biasa dia bisa jadi relawan di rumah jompo. Hal-hal yang sangat sederhana tapi cukup membuat dia senang dan bersyukur. Kita memang akan lebih susah karena kita hidup lebih kompleks. Tapi perintah Tuhan sangat jelas, kita harus menjadi seperti anak kecil. Artinya yaitu sederhana. Jangan sampai terbawa arus dunia.
GS : Lagipula dia hidup melajang dan ikut kakak iparnya. Dalam kehidupan yang lajang hal-hal seperti itu lebih dimungkinkan daripada kalau kita hidup berkeluarga, Pak Paul.
PG : Betul sudah tentu tidak mungkin kita sama seperti Milton. Tapi kita bisa belajar dari kehidupannya. Sebisanya ingatlah hal-hal mendasar itu, bahwa itulah yang penting. Dan kalau kita sudah miliki hal-hal mendasar itu, bersyukurlah dan bersukacitalah.
GS : Hal lain yang Pak Paul pelajari dari Milton ini apa ?
PG : Milton berpesan agar kita hidup untuk hari ini. Saya kira itu pesan moral yang dikomunikasikan lewat kehidupannya. Besar kemungkinan dia tidak bisa menghafal ayat firman Tuhan atau mengingat khotbah yang didengarnya setiap minggu. Namun dia menjalankan apa yang diketahuinya kendati sedikit. Nah, salah satunya adalah Matius 6:34, "Jangan kuatir akan hari esok sebab hari esok mempunyai kesusahannya sendiri, kesusahan sehari cukuplah untuk sehari." Saya melihat Milton ini tidak pernah mencemaskan hari esok. Sebab memang bukankah kita tidak tahu apa yang akan terjadi hari esok. Hari ini ada, besok mungkin tiada. Jadi kita kembali lagi kepada firman Tuhan di Yakobus 4:14 yang berkata "Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap." Nah, kepergiannya yang mendadak membuktikan kebenaran firman Tuhan ini. Jadi kami sangat kaget tiba-tiba mendapatkan berita dia telah tiada. Dan tidak adanya itu begitu cepat. Sedang makan, tersedak, tidak bisa mengeluarkan makanannya, dicoba dikeluarkan oleh petugas Rumah Sakit di rumah jompo itu tapi tidak bisa, panggil ambulans datang tapi terlambat karena dia sudah langsung pergi, dengan sangat cepat. Jadi itu membuktikan, hiduplah hari lepas hari. Kita memang tidak bisa tidak akan memikirkan hari depan dan tidak salah, boleh saja. Tapi jangan sampai kita terlalu memikirkan pada apa yang belum tentu terjadi. Hiduplah dalam realitas hari ini.
GS : Memang kita seringkali menemui kesulitan. Antara berserah dan merancangkan untuk masa depan. Bagaimana menyeimbangkannya, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu boleh. Makanya perintah Tuhan di Yakobus yang berkata kalau kita mau memikirkan hari depan, mau pergi ke sana ke sini, selalu berkatalah "jika Tuhan menghendaki". Tapi bukannya tidak boleh merencanakan mau pergi ke sana dan ke sini. Boleh, asal selalu diyakini dan diserahkan kembali kepada Tuhan. Kalau Tuhan menghendaki. Jadi tugas kita sebagai manusia memang merancang, merencanakan. Boleh. Namun yakinlah bahwa semua ini harus disetujui oleh tangan Tuhan. Kalau Tuhan tidak setujui, apa yang kita rencanakan tidak akan terjadi.
GS : Mungkin yang bertentangan dengan firman Tuhan adalah kita mengkuatirkannya atau mencemaskannya, seolah-olah Tuhan tidak akan mampu melakukan hal yang terbaik bagi kita, Pak Paul ?
PG : Betul, Pak Gunawan. Kadang-kadang kita lupa bahwa ada Tuhan dan Tuhan itu sanggup mengatur semuanya. Akhirnya kita seperti Tuhan, mau mengatur semuanya. Tidak. Tuhan meminta kita menyerahkannya kepada Dia supaya nanti Dia yang mengaturnya buat kita.
GS : Dari kehidupan Milton, pelajaran apa lagi yang Pak Paul dapatkan ?
PG : Yang berikut, Milton berpesan agar kita mudah percaya dan sukar curiga. Mudah percaya, sukar curiga. Semasa hidupnya Milton tidak pernah mereka-reka niat orang. Tidak lho. Dia begitu mudahnya percaya pada manusia. Ibarat bunga, dia terus bersih kendati menjulang di tengah alam terbuka yang berdebu. Milton belum tersentuh kejahatan. Tidak heran dia tidak melihat kejahatan di tengah manusia. Kemurnian di tengah kedegilan memang bukan perkara mudah. Namun Milton ingin mengingatkan bahwa bukankah pada kenyataannya lebih banyak janji yang ditepati daripada dilanggar ? Lebih banyak kebaikan dibanding kejahatan, dan lebih banyak pertolongan daripada kecolongan. Jadi ini kesimpulan yang saya bisa tarik dari kehidupan Milton. Dia mudah percaya dan sukar curiga. Nah, kita seringkali kebalikannya ya. Kita mudah curiga sukar percaya.
GS : Tapi itu ‘kan berdasarkan pengalaman. Kalau kita terlalu mudah percaya pada seseorang, kita jadi korban, Pak Paul.
PG : Iya. Memang pengalaman akan sangat menentukan. Kalau kita sering ditipu orang, akhirnya kita akan berhati-hati dan sukar percaya pada motivasi orang. Sudah tentu itu hal yang alamiah. Namun sedapat-dapatnya lawanlah godaan untuk selalu mencurigai orang. Lawanlah. Kalau kita tidak memunyai bukti jangan langsung memastikan dia pasti mau begini atau pasti mau begitu. Jangan. Kecuali memang ada buktinya. Sedapat-dapatnya memang percayailah orang, jangan sampai biasakan diri belum apa-apa curiga.
GS : Kalaupun kita mau percaya pada seseorang, bagaimana caranya kita juga melindungi diri kita sendiri, Pak Paul ?
PG : Kita harus melakukannya sedikit demi sedikit, tahap demi tahap. Tidak bijaksana belum apa-apa kita mempercayakan semuanya kepada orang, itu tidak bijaksana. Selalu harus kita uji sedikit demi sedikit. Jadi lewatilah proses yang panjang. Dan hal yang kedua adalah, ketahuilah orang tersebut dari mulut orang lain. Karena siapa tahu orang-orang yang kenal dia memunyai pengalaman tertentu yang buruk atau yang baik dengan dia. Dari apa yang orang-orang katakan, dengarkanlah. Kadang kita mendengarkan orang bicara ini itu tentang orang tersebut tapi kadang kita tutup telinga. "Tidaklah, dia tidak seperti itu." Kita langsung menganggap omongan orang itu tidak benar. Belum tentu. Belum tentu. Jadi coba dengarkan pengalaman-pengalaman orang. Tapi yang saya kira paling penting adalah jangan sampai kita terjun langsung mempercayakan semuanya. Jangan. Harus selalu bertahap, sedikit demi sedikit.
GS : Kalau tadi Pak Paul katakan Milton hanya menjawab sepotong-sepotong, itu bukan karena dia tidak percaya pada orang yang berbicara dengan dia, tapi memang keterbatasannya untuk mengurai perasaan atau pikirannya ?
PG : Betul. Memang dia bukannya tidak percaya tapi karena keterbatasan mental dia memang tidak bisa mencerna yang ruwet-ruwet sehingga cara berpikirnya sangatlah sederhana dan singkat-singkat. Namun dia sangat percaya orang. Makanya tadi saya katakan dokter bilang tidak boleh minum kopi, ya dia minum yang tidak ada kafeinnya. Tidak boleh banyak makan gula, ya sudah dia tidak makan gula lagi. Dia tidak memunyai kemampuan untuk berpikir mungkin dokter keliru atau apa, tidak. Pokoknya dokter bilang begitu ya dia percaya. Apa yang orang katakan dia percaya. Nah saya kira inilah sisi menjadi anak yang Tuhan rindukan lihat dari diri kita. Apa yang Tuhan katakan, kita langsung percaya. Apa yang Tuhan janjikan, kita langsung percaya. Dalam pengalaman saya, saya melihat orang-orang yang memercayai Tuhan seperti itu justru mendapatkan banyak sekali. Saya lihat orang-orang yang justru banyak perhitungan, akhirnya tidak begitu banyak menerima dari Tuhan. Tapi orang yang benar-benar percaya seperti anak kecil percaya kepada bapak, sepertinya Tuhan senang sekali memberikan dan memberikan kepada mereka.
GS : Pak Paul, Milton ‘kan sering ikut ke gereja dan mendengarkan kotbah. Menurut pengamatan Pak Paul, bagaimana dia mengaplikasikan firman Tuhan yang disampaikan dalam kehidupannya ?
PG : Sederhana sekali. Misalnya dia tahu dia harus bertanggung jawab dengan tugasnya, dia lakukan itu dengan bertanggung jawab. Dia menjaga parkir. Misalnya dia tahu dia harus menolong dan mengasihi orang, dia menjadi relawan di rumah jompo, meskipun dia sendiri mengalami keterbatasan mental, tapi dia masih bisa membantu di rumah jompo secara praktis. Dia lakukan itu dan bagi dia itulah cara dia mengamalkan iman kristianinya.
GS : Memang harus ada orang-orang yang mendukung dia, dalam arti seperti yang Pak Paul katakan, Pak Paul sendiri mendampingi dia ngobrol, atau pihak Rumah Sakit memberi dia kesempatan. Nah, seringkali kita tidak mendapat dukungan dari lingkungan ini, Pak Paul. Kalau mau menerapkan firman Tuhan seperti yang Milton lakukan.
PG : Betul. Memang kita perlu bimbingan orang, dorongan orang sehingga kita bisa menerapkan firman Tuhan. Kadang-kadang bukannya kita tidak mau tapi kita tidak mengerti saja bagaimana menerapkannya. Jadi poin yang baik, Pak Gunawan, bahwa kita yang lebih dewasa atau kita yang lebih mengerti firman Tuhan seyogyanya kita membimbing orang lain, bagaimana mengamalkan dan menerapkannya dalam hidup mereka.
GS : Adakah pelajaran lain yang Pak Paul dapatkan ?
PG : Yang terakhir yaitu Milton berpesan agar kita mencintai dengan tulus. Saya berikan contoh yang sudah saya sebutkan tadi. Sewaktu orang jompo yang dilayaninya meninggal dunia, dia bersedih hati. Begitu sedihnya sehingga dia ambles dalam depresi berat dan kehilangan kewarasannya, Pak Gunawan. Jadi benar-benar dia mengalami ‘mental breakdown’. Dia tidak bisa datang ke rumah jompo tanpa menemui orang yang dia biasa layani. Jadi dia tahu siapa saja yang ada dalam rumah jompo itu karena tiap hari dia datang dan melayani mereka. Nah, begitu ada satu yang tidak ada, dia sangat sedih. Memang kakaknya pernah bercerita bahwa Milton tidak bisa kehilangan orang-orang yang sudah dia layani yang sudah dia temui setiap hari. Begitu tidak ada, langsung. Dan itu rupanya bukan yang pertama kali. Nah kita ‘kan jarang mengasihi orang sampai sepenuh dan setulus itu. Tapi dia kalau mengasihi benar-benar setulus itu. Sehingga sewaktu orang yang dia layani dan dia kasihi tidak ada lagi, dia sampai-sampai kehilangan kewarasannya dan mengalami depresi berat. Waktu saya mendengar penderitaannya itu waktu dia masuk ke Rumah Sakit Jiwa dirawat gara-gara depresi berat, saya bertanya kepada diri sendiri apakah saya akan pernah mencintai seseorang sebesar itu, sehingga tatkala ditinggal pergi saya harus mengalami depresi berat dan kehilangan kewarasan ? Mungkin kita berkata, "Mungkin kalau istri saya yang pergi, mungkin saya begitu." Oke. Nah, si Milton ini begini bukan terhadap istrinya tapi terhadap orang jompo yang dilayaninya. Apakah kita akan memunyai reaksi yang seperti itu ? Saya kira jawabannya tidak. Tapi rupanya buat Milton waktu dia melayani dia mengasihi dia benar-benar mengasihi setulus-tulusnya, orang-orang ini benar-benar begitu berharga di matanya. Ini yang saya pelajari dari dia. Jadi Milton ini menurut saya telah hidup berdasarkan Roma 12:9, "Hendaklah kasih itu jangan pura-pura." Benar-benar tulus, benar-benar penuh. Begitu. Jadi saya belajar sedapatnya hidup lebih tulus. Bagi saya itu mungkin satu kata yang mencerminkan kehidupan Milton. Tulus, sangat tulus. Tidak ada campuran dengan motif-motif lainnya.
GS : Tapi memang ini berkaitan erat dengan sisi hidupnya yang tadi Pak Paul katakan, dia adalah seseorang yang mudah percaya sukar curiga. Kalau kita memang sudah memercayai seseorang dengan setulus-tulusnya dengan segenap hati kita lalu orang itu hilang dari kehidupan kita, memang ini bisa menimbulkan depresi yang berat. Atau sifat-sifat yang kita pelajari dari orang itu tidak ada lagi, kita jadi kecewa sekali dengan orang itu, Pak Paul.
PG : Betul. Makanya kita mungkin tidak akan menjadi seperti dia karena keterbatasan mentalnya itu tapi kita harus melangkah mendekati seperti dia. Sebab bukannya Miltonnya tapi menurut saya karena itu yang Tuhan kehendaki. Tuhan berkati hendaklah kasih itu tanpa kepura-puraan, artinya tulus, sungguh-sungguh tulus kalau mengasihi. Nah, mengasihi orang, benar-benar mengasihi. Dan Tuhan memang berpesan supaya kita mengasihi sesama kita manusia. Jadi kalau saya boleh simpulkan, Milton benar-benar menerima firman Tuhan atau perintah Tuhan itu dan mengamalkannya dengan sepenuh hati. Dia harus mengasihi orang, dia benar-benar mengasihi seperti itu.
GS : Seringkali kita mengasihi dengan persyaratan-persyaratan tertentu. Layak tidak orang ini untuk kita kasihi. Karena ada sifat jaga-jaga. Jangan-jangan nanti saya malah kecewa, jangan-jangan saya nanti malah terluka, bisa depresi berat seperti ini. Repot, Pak Paul.
PG : Iya. Tapi rupanya bagi orang seperti Milton, tidak apa-apa lebih baik saya depresi berat daripada saya tidak mengasihi dengan tulus. Memang ada orang yang berkata bolehlah mengasihi tapi ya jangan sepenuhnya sehingga kalau nanti dia tidak ada kita tidak terluka terlalu berat, atau kalau dia mengecewakan kita, kita tidak terlalu terpukul. Mungkin bagi orang seperti Milton tidak apa-apa kalau sampai saya harus kecewa berat. Tidak apa-apa kalau saya sampai terluka. Selama saya memang mengasihi. Dan kalau kita lihat bukankah itu yang Tuhan lakukan kepada kita ? Apakah Tuhan tidak pernah terluka waktu kita mengecewakan-Nya? Terluka. Apakah Tuhan tidak pernah berduka gara-gara kita melakukan dosa-dosa ? Pasti berduka. Dia adalah Tuhan yang punya perasaan. Tapi apakah itu membuat Tuhan berhenti mengasihi kita ? Tidak. Jadi saya pikir Milton tanpa disadarinya memberikan kemiripan dengan Tuhan.
GS : Seperti di Surat Roma tadi dikatakan bahwa hendaklah kasih itu jangan pura-pura. Pak Paul, saya pikir kalau memang kasih itu diwarnai dengan kepura-puraan, itu bukan kasih lagi !
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Memang kalau sudah ada kepura-puraan, kasih itu sebetulnya sudah luntur. Maka sebetulnya kasih itu memang tidak bisa pura-pura.
GS : Jadi bagaimana kesimpulan dari perbincangan kita ini, Pak Paul ?
PG : Milton itu telah pergi pulang ke Rumah Bapa. Kita tidak akan bertemu lagi. Tapi dari orang-orang seperti dialah kita belajar bagaimana hidup seturut dengan kehendak Tuhan. Jadi apa yang ingin saya katakan kepada para pendengar kita ada 2 hal. Yang pertama, bukalah mata terhadap orang-orang yang seperti Milton. Orang-orang yang kita anggap biasa-biasa saja. Orang yang mungkin tidak terlalu kita hargai. Tapi bukalah mata terhadap mereka, perhatikanlah mereka, sebab mereka juga anak-anak Tuhan dan dari mereka pun kita bisa belajar. Tuhan dapat memakai mereka untuk mengajarkan pesan-pesan Tuhan kepada kita. Yang kedua, tirulah ketulusannya. Saya kira itu kunci katanya, TULUS. Kata tulus ‘kan makin hari makin susah kita temukan dalam hidup. Belajarlah, cobalah untuk tulus.
GS : Terima kasih untuk perbincangan ini, Pak Paul. Saya berharap para pendengar menjadi jelas tentang siapa itu Milton. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pesan dari Milton". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.