[membesarkan_anak_2] =>
Lengkap
Hidup Tanpa Penyesalan -"Membesarkan Anak" (II) oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang terdahulu dalam seri Hidup Tanpa Penyesalan dan kami sampai pada suatu pokok pembicaraan tentang"Membesarkan Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pada kesempatan ini kita akan berbincang-bincang tentang beberapa cara supaya jangan kita menyesal di hari tua karena salah langkah di dalam kita membesarkan anak. Namun supaya para pendengar kita kali ini juga bisa mengingat kembali perbincangan kita yang lalu, atau mungkin pada waktu yang lalu tidak sempat mendengarkan ini, bisa mengikuti perbincangan kita dengan baik. Mohon Pak Paul mengulas secara singkat apa yang kita perbincangkan pada kesempatan yang lalu, Pak Paul ?
PG : Kita sedang membahas topik yang berseri yaitu Hidup Tanpa Penyesalan. Salah satu hal yang seringkali menjadi bahan penyesalan yaitu kita salah mendidik anak. Kenapa kita bisa sampai kelirumembesarkan anak-anak kita ? Saya sudah menggaris bawahi bahwa umumnya penyebab utamanya adalah kita terlalu sibuk dengan diri kita dan kepentingan kita sehingga tidak cukup waktu yang kita berikan kepada anak.
Atau kita terlalu keras kepada anak karena kita mau agar anak seperti yang kita inginkan dan jangan sampai anak kita bermasalah. Atau justru kebalikannya terlalu sayang kepada anak dan kita tidak tega sehingga terlalu lunak pada anak, setelah anak-anak besar mereka kurang ajar kepada kita dan tidak hormat. Atau ada di antara kita yang juga menyetir anak-anak karena kita ingin dia menjadi perpanjangan dan kebanggaan hidup kita, akhirnya dia tidak mampu dan justru menimbulkan masalah dalam hidupnya, dia malu dan tertekan. Atau satu lagi yaitu anak-anak menjadi pujaan kita dan kita mendewa-dewakan anak, bergantung pada anak sehingga nantinya anak-anak menguasai kita dan kita ketakutan pada anak. Jadi kita belajar jangan sampai kita salah dalam hal membesarkan anak-anak kita supaya di hari tua kita tidak hidup dengan penyesalan.
GS : Diakhir perbincangan kita waktu itu Pak Paul mengutip dari Efesus 6:4 yang mengatakan,"Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu", memang seringkali di dalam Alkitab, perintah-perintah seperti ini ditujukan kepada bapak-bapak seperti di Ulangan 6 dan seterusnya. Padahal kenyataannya di lingkungan kita ini yang mendidik anak adalah ibu-ibu.
PG : Jadi memang kita harus menyadari bahwa kita ini laki-laki sebagai ayah memang kurang memberikan waktu untuk anak-anak kita, sehingga istri kita yang terlibat atau lebih aktif lagi dalam mebesarkan mereka namun justru Tuhan mengingatkan kita para bapak, jangan lalaikan tanggung jawab kita, kita harus berandil dan kita harus mendidik anak-anak kita serta kita harus terlibat dalam proses membesarkan mereka.
Sebagai ayah hati-hati dengan kekasaran kita sebab kita adalah laki-laki memunyai sifat dasar yang kasar dan kadang-kadang dalam kondisi emosi, kekasaran itu bisa keluar. Jadi Tuhan meminta kita berhati-hati dan jangan sampai berlebihan membesarkan atau mendisiplin anak, sehingga justru akhirnya membuat dia marah dan benci kepada kita.
GS : Pada masa tua kita, ketika kita menyesali,"Kenapa dulu saya tidak memerhatikan pendidikan anak dengan baik" itu juga kadang-kadang kita menyalahkan istri kita bahwa istri kita tidak mampu mendidik anak dengan baik sehingga akibatnya seperti sekarang ini.
PG : Sudah tentu saya tidak akan berkata bahwa semua istri atau semua perempuan cakap, tahu, bijaksana dalam hal membesarkan anak, tidak semua. Sama seperti tidak semua bapak tahu dengan bijaksna bagaimana membesarkan anak, masing-masing perlu belajar dan perlu mengoreksi diri.
Tapi kadang-kadang memang bisa jadi ada kasus di mana si ayah mengerti bagaimana mendidik anak, tapi istrinya tidak mengerti. Jadi akhirnya memanjakan anak, membolehkan anak, melindungi anak, terlalu menoleransi anak, sehingga terjadi ketegangan di antara mereka dan anaknya makin besar makin kurang ajar dengan papa dan mama tapi si mama terus membela si anak. Bisa jadi seperti itu dan di hari tua si suami marah, menyesal,"Kenapa kamu kepada anak bertindak seperti itu, jadi sekarang anak kita seperti ini, jadi gara-gara kamu". Itu pun bisa terjadi tapi terpenting bukannya mengoreksi siapa yang salah tapi yang lebih penting adalah mencari apa yang bisa kita lakukan sekarang.
GS : Tujuan utama dari perbincangan ini tentu mencegah lebih baik dan para pendengar kita yang mungkin masih punya anak kecil, tentu perlu bimbingan dan pengarahan atau kiat-kiat khusus, apa sebenarnya yang harus dilakukan oleh orang tua di dalam membesarkan anak supaya kita sebagai orang tua nanti pada masa tua tidak menyesal.
PG : Ada beberapa yang ingin saya bagikan, yang pertama adalah kita harus memiliki konsep yang benar. Apa yang saya maksud dengan konsep yang benar terhadap anak ? Kita harus melihat anak sebagi seorang manusia yang diciptakan Tuhan melalui darah dan daging kita untuk bertumbuh besar menjadi seorang yang mandiri dan terpisah dari kita.
Dengan kata lain, anak bukanlah kepanjangan diri kita semata untuk menjadi seperti yang kita inginkan, kita jadinya harus membesarkan anak untuk menjadi seseorang sebagaimana diinginkan Tuhan, kita harus melihat karunia yang Tuhan berikan kepadanya, bakat dan kemampuannya, dan kalau kita melihat sifat-sifatnya seperti apa maka kita harus cocokkan semua itu dengan apa yang Tuhan inginkan dari seorang anak-Nya. Misalnya dia terlalu egois maka sifat itu yang harus kita kikis, misalnya dia terlalu lemah sehingga tidak berani tegas maka sifat itu yang harus kita tumbuhkan, misalnya dia kurang pemurah maka kita harus mendidik dia untuk lebih bisa bermurah hati. Inilah tugas kita sebagai orang tua menyiapkannya agar dia menjadi seorang manusia yang utuh dan siap berelasi serta dipakai Tuhan. Berangkat dari pemahaman ini, kita pun seyogianyalah mendoakan anak agar rencana Tuhan dan bukan rencana kita digenapi di dalam dan melalui hidupnya. Inilah yang kita harus camkan baik-baik. Jadi akhirnya saya mau tambahkan satu lagi berangkat dari konsep ini kita pun mengerti bahwa kita ini akhirnya tidak memiliki hak milik penuh atas diri anak-anak kita, Tuhanlah yang memiliki hak penuh atas dirinya, sehingga Dialah yang nanti menentukan apa yang paling baik untuk anak-anak kita dan kita hanyalah sarana di tangan Tuhan.
GS : Pemahaman yang benar ini yang perlu dibangun dan banyak orang merasa ini memang perlu tapi kadang-kadang tidak tahu caranya bagaimana memeroleh pemahaman yang benar ini. Anak dianggap sebagai miliknya 100% karena dia yang melahirkan dan membesarkan, maka anak ini adalah anak saya dan semau saya mendidik anak ini.
PG : Dulu saya bekerja sebagai Children’s Social Worker, pengurus anak-anak yang dianiaya oleh orang tuanya di Amerika Serikat. Dari training yang harus saya lalui saya belajar hal yang menarikyaitu ternyata negara Amerika sendiri baru memberlakukan hukum melindungi anak tahun 1950 atau 1960, jadi belum terlalu lama dan yang menarik adalah hukum itu berangkat atau dibangun di atas hukum yang melindungi hewan dari kekejaman manusia.
Saya masih ingat latar belakangnya adalah ada seorang anak yang dianiaya oleh orang tuanya di sebuah tempat di sana. Tetangga melaporkan tapi polisi tidak bisa masuk karena tidak ada hukumnya. Jadi tidak bisa masuk ke dalam rumah si orang tua dan meminta si anak itu dilindungi oleh negara dan sebagainya, polisi tidak memiliki peranan hukum dan tidak bisa masuk ke rumah tapi tetangga terus mengeluhkan,"Kasihan anak ini diperlakukan tidak baik, kejam oleh orang tuanya". Akhirnya karena polisi mau berbuat sesuatu untuk si anak akhirnya mereka masuk mengambil si anak, keluar dari rumah orang tuanya dan menggunakan hukum melindungi hewan dari kekejaman, jadi"cruelty against animals". Dengan kata lain, kalau hewan itu dilindungi maka anak dianggap perlu dilindungi juga. Menarik sekali jadi karena itu akhirnya si anak bisa keluar dari rumah dan dilindungi, pengacara di pengadilan yang membela si anak mewakili negara berkata bahwa negara berhak melindungi si anak sebab hewan pun perlu dilindungi. Dari kasus ini akhirnya berkembang menjadi sebuah perangkat hukum yang melindungi anak dari kekejaman. Jadi memang betul sekali bahwa bagi kebanyakan kita, kita tidak memiliki konsep yang tepat sehingga cukup banyak orang yang menganggap anak adalah 100% hak milik kita sepenuhnya. Justru kita sekarang belajar bahwa Tuhan menciptakan manusia ini lewat manusia, dulu awalnya secara mujizat atau ajaib Tuhan menciptakan kita yang pertama, tapi setelah itu lewat manusia Tuhan menciptakan manusia. Dan untuk setiap manusia yang diciptakan-Nya, Tuhan memiliki rencana atas hidupnya. Kita hanyalah alat di tangan Tuhan dan kita sendiri tidak punya hak milik penuh atas anak-anak kita, Tuhan yang punya hidup.
GS : Pemahaman itu juga seringkali membuat orang tua mengeksploitasi anak-anaknya, menyuruhnya bekerja dan sebagainya, karena dianggap anak ini lahir di tengah keluarga kita, harus bisa membantu kita.
PG : Betul. Dan sudah tentu boleh meminta anak membantu orang tua sehingga anak belajar untuk bertanggung jawab atau misalkan waktu kita dalam kesusahan boleh meminta anak untuk membantu juga. api alasannya bukan untuk mengeksploitasi anak, sedapatnya kita membiarkan anak bertumbuh sebagai anak-anak dan jangan membebankan dia dengan tanggung jawab orang dewasa.
GS : Selain konsep yang benar, apalagi yang harus benar, Pak Paul ?
PG : Relasi yang benar. Jadi orang tua harus menjalin relasi yang benar dengan anak. Relasi yang benar dengan anak adalah relasi yang membangun. Jadi kita harus selalu menguji apakah relasi kit dengan anak adalah relasi yang membangun atau relasi yang menghancurkan atau relasi yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan anak, itu jadinya bukan relasi.
Ibarat bangunan, anak itu sedang dibangun untuk menjadi seorang manusia yang utuh dan kokoh. Bahan untuk membangun anak adalah kasih dan disiplin, dua hal itu dan saya memang di sini sangat percaya apa yang dikatakan oleh Dr. James Dobson. Dalam mendidik anak-anak, dia sangat menekankan dua hal, yaitu kasih dan disiplin. Jadi limpahkan kasih kepada anak, sehingga anak tahu dengan pasti kalau dia dikasihi dan berharga di mata kita, tanpa dia harus menyumbangsihkan suatu prestasi pun. Cukup banyak anak yang tidak tahu dia dikasihi apa adanya, sebab papa dan mama baru memujinya kalau dia berhasil menyumbangsihkan prestasi, kalau tidak ada prestasi orang tua tidak melimpahkan kasih atau pujian kepadanya. Dasar kasih kepada anak adalah dirinya, apa adanya dan kita mengasihinya sebab dia anak kita.
GS : Relasi yang benar ini apakah suatu relasi yang saling menguntungkan atau relasi yang bagaimana, Pak Paul ?
PG : Relasi yang benar sekali lagi kita berusaha membangun anak. Jadi polanya, temanya, ciri khasnya adalah kita memikirkan bagaimana anak ini bisa dibangun dan apa yang harus kita lakukan yait mengasihi dan memberinya disiplin, sebab sekali lagi tanpa disiplin anak cenderung bertumbuh liar tanpa arah.
Sudah tentu kita harus camkan bahwa disiplin tidak harus berbuntut pemukulan sebab terpenting dalam penerapan disiplin adalah kejelasan dan ketegasan. Sebagai orang tua kita harus memastikan bahwa anak mengerti dengan jelas apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh diperbuatnya dan anak harus tahu dengan jelas. Kita juga harus berani bersikap tegas pada anak, sewaktu anak melanggar larangan yang kita berikan kepadanya. Sudah tentu ketegasan harus disesuaikan dengan usia anak dan jangan sampai kita menghukumnya secara berlebihan. Dan satu hal lagi disiplin harus dibungkus dengan kasih artinya setelah kita memberinya disiplin, kita harus merangkulnya, mengajaknya bicara dan harus mengingatkannya bahwa dia adalah anak yang kita kasihi dan berharga di mata kita. Inilah yang saya maksud dengan relasi yang membangun dan di atas kasih dan disiplin akhirnya anak bertumbuh menjadi seorang manusia yang utuh.
GS : Apakah kita bisa tahu sudahkah relasi kita dengan anak itu benar atau salah ?
PG : Saya kira kita bisa melihatnya dari reaksi anak misalnya dia susah tunduk pada disiplin kita dan akhirnya relasi kita dengan dia lebih diwarnai oleh kemarahan dan konflik, pertengkaran-perengkaran.
Sedikit banyak kita bisa simpulkan kalau ini tidak tepat dan tidak membangun dan lebih banyak bertengkarnya. Kita harus duduk diam merenungkan dan bicara dengan pasangan kita, coba evaluasi, kalau belum ada titik simpulnya maka cobalah bicara dengan teman-teman yang lain atau carilah seorang konselor atau hamba Tuhan yang menguasai bidang keluarga dan tanya apa yang tidak pas dalam keluarga saya sehingga anak saya seperti ini terus. Kadang-kadang kita perlu masukan dari orang lain yang lebih objektif dan kita lebih tahu duduk masalahnya.
GS : Ada anak yang sangat baik berelasi dengan ibunya, tapi dengan ayahnya dia sulit berelasi. Ini kenapa, Pak Paul ?
PG : Kadangkala karena kita sebagai ayah tidak terlalu sering di rumah, tidak banyak memberikan waktu bercakap-cakap dengan anak atau kita hanya berelasi dengan anak tatkala sedang mendisiplinna, menegurnya, memarahinya sehingga anak akhirnya melihat,"Kalau bicara dengan papa hanya waktu dimarahi atau ditegur tapi selain itu tidak ada omongan yang lain, bertanya kepada saya dan sebagainya" akhirnya anak merasa tidak dekat dengan si ayah.
Maka saya kira kita harus menyadari inilah bagian dari diri kita sebagai laki-laki, kita memang kurang berinteraksi dengan anak tapi kita harus lebih memerhatikan hal ini.
GS : Kalau relasi itu hanya satu pihak, jadi dari orang tuanya sudah berusaha dengan baik tapi anak ini tidak memberikan tanggapan yang positif, maka apa yang harus orang tua ini lakukan, Pak Paul ?
PG : Saya kira sebaiknya seperti maju beberapa langkah dan berhenti tidak langsung maju, kemudian maju lagi dan berhenti lagi. Artinya kita mencoba mengajaknya bicara dan lihat tanggapannya kalu dia kelihatannya tidak mau bicara maka diamkan dan jangan kita paksa dia bicara.
Kadang-kadang yang terpancing dalam diri kita adalah rasa marah, tersinggung dan sebagainya,"Saya sudah bicara dengan kamu tapi perlakuanmu seperti ini", jangan seperti itu. Kita tahu bahwa kita bisa sejauh apa dengan dia, setelah itu kita berhenti dan lain kali kita bicara dan lihat reaksinya kalau reaksinya sudah tidak terlalu enak maka kita berhenti. Maka kita batasi sampai seperti itu. Sampai kapan ? Seringkali sampai dia nanti memunyai anak, waktu dia sendiri punya anak dan dia menerima sedikit banyak kelakuan yang sama dari anaknya maka baru dia ingat,"Dulu saya seperti itu kepada mama dan papa, saya salah dan sekarang baru mengerti rasanya seperti apa". Jadi ada hal-hal yang tidak bisa kita ajarkan sampai pengalaman itu sendiri mengajarkan kita.
GS : Ada hal lain tentang hal ini yang perlu dibahas, Pak Paul ?
PG : Kita sedang bicara tentang hidup tanpa penyesalan. Jadi kita mau belajar membesarkan anak dengan benar, selain dari relasi yang benar dan konsep yang benar. Maka yang ketiga adalah kita jua harus mengerti bahwa hidup mengajarkan hidup yang benar.
Membangun anak menjadi pribadi yang utuh mengharuskan kita menuntunnya hidup benar. Dalam pengertian hidup berkenan kepada Tuhan, kadang kita berprinsip bahwa kita membiarkan anak memilih jalan hidupnya sendiri dan kita tidak harus mengarahkannya dan bahkan ada di antara kita yang malas untuk memberitahukan jalan keselamatan yang benar di dalam Kristus lewat penebusan-Nya. Jadi anak perlu mendapat arahan dan perlu mendengar berita pengampunan dosa dalam Kristus. Anak harus diingatkan bahwa hidup merupakan bentuk pertanggungjawabannya kepada Tuhan dan bahwa kita tidak bisa hidup semaunya. Memang kadang kita tidak dapat memastikan bahwa anak akan menuruti apa yang disampaikan kepadanya, tapi setidaknya kita harus menanamkan hal ini dalam sanubarinya dan anak harus tahu bahwa misalnya keputusan salah akan berimbas luas di dalam hidupnya. Dan itu sebabnya dia harus hidup berhati-hati dan berhikmat, jadi jangan sampai anak bertumbuh besar memilih jalan yang salah karena dia sama sekali tidak tahu mana yang salah dan mana yang benar. Dan terpenting adalah jangan sampai dia menolak Kristus karena dia sama sekali tidak mengenal-Nya, karena kita tidak pernah menunjukkan kepadanya Jalan dan Kebenaran dan Hidup di dalam Kristus. Jadi perlu mengajarkan anak akan hidup yang benar.
GS : Sebenarnya sejak kecil ada banyak anak di keluarga Kristen yang dibimbing oleh orang tuanya untuk mengenal Kristus, tapi sampai usia tertentu atau usia remaja lalu dia memilih jalannya sendiri. Dan ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Yang penting pada akhirnya kita melakukan bagian kita karena kita harus sadari anak ini akan menjadi seorang manusia yang terpisah dari kita dan waktu dia menjadi seorang manusia yang terpsah dari kita, kita tidak bisa mengendalikan pilihannya.
Jadi kita lakukan tugas kita dan jangan sampai kita lalai dan tidak pernah mengajarkan akan hidup yang benar di hadapan Tuhan, tidak pernah mengajarkan apa yang salah dan benar, apa yang baik dan apa yang buruk. Kalau kita tidak pernah mengajarkan itu semua berarti kitalah yang tidak melakukan tanggung jawab kita. Tapi kalau kita sudah melakukannya dan anak tetap memilih jalan yang salah, itu adalah di luar kemampuan kita.
GS : Tapi itu juga menimbulkan penyesalan di hari tua. Kita berpikir-pikir apa yang salah sehingga anak saya bisa seperti itu.
PG : Sudah tentu bagi setiap orang tua saya yakin kalau melihat anak akhirnya memilih hidup yang salah, meskipun si orang tua tahu dia telah melakukan tugasnya tapi tetap dia akan menengok ke blakang dan mencoba mencari tahu bahwa dia salah di mana.
Itu adalah reaksi normal sebab bagaimana pun kita sebagai orang tua, kita menyayangi anak dan kita bertanggung jawab atas kehidupan anak. Jadi kita tidak mau anak kita nanti hidup salah. Waktu anak-anak itu hidup salah kita rasanya bertanggung jawab dan kita menyesali,"Mungkin saya kurang ini dan itu". Sudah tentu kita akan selalu menemukan kesalahan sebab kita tidak sempurna namun cobalah kita melihat perspektif yang lebih objektif apakah memang kesalahan kitalah yang membuat dia seperti itu. Kalau ya maka kita harus akui dan minta maaf kepada anak kita, tapi kalau tidak, maka kita serahkan kepada Tuhan sebab Tuhan belum selesai dengan dirinya.
GS : Tapi katakan kita sudah minta maaf, anak ini berkata,"Saya ini memilih sendiri dan papa mama tidak salah, ini adalah jalan yang saya pilih".
PG : Dan dalam kasus seperti itu, kita tidak bisa berbuat apa-apa, kita hanya bisa mengingatkan dia akan konsekuensinya dan setelah itu lepaskan dia.
GS : Dan itu tetap menimbulkan penyesalan di hari tua ?
PG : Biasanya ya. Tapi tetap kita harus menghibur diri kita bahwa kita sudah melakukan tugas kita. Sesalnya dalam pengertian,"kenapa dia begitu", tapi bukan menyesali,"kenapa saya begitu dulu" idak seperti itu.
Jadi saya kira berbeda.
GS : Pak Paul, selain tentang konsep yang benar, relasi yang benar, hidup yang benar yang Pak Paul sampaikan, apakah masih ada lagi yang benar yang harus kita lakukan ?
PG : Terakhir Pak Gunawan, yang kadang-kadang menjadi penyesalan orang tua yaitu kita mesti mengawal anak agar dapat memilih pasangan yang benar dan ini penting, jangan sampai kita gagal atau llai mengawal anak dalam proses pemilihan pasangan hidup.
Kita harus sadar proses ini bermula bukan pada saat dia menyukai seseorang, tapi dimulai saat dia kecil sebab pada kenyataannya anak belajar memilih pasangan hidup lewat apa yang dilihatnya di rumah, dari relasi kita sebagai suami istri anak belajar menjadi suami dan istri, sekaligus belajar menjadi suami istri yang seperti apa yang menjadi pendamping hidupnya. Kita pun harus mengarahkan anak kepada firman Tuhan supaya dia memilih seorang pendamping yang seiman, agar mereka berdua dapat menyembah dan melayani Yesus Tuhan kita. Kita harus menekankan kepadanya bahwa pasangan hidup yang keliru akan memengaruhi hidupnya secara mendalam.
GS : Dalam hal pemilihan pasangan hidup bagi anak, banyak orang tua yang memilih pasif dalam pengertian tidak mau mendesak anaknya untuk mencari pasangan hidup, tapi tidak mau terlalu mencampuri hanya memberikan semacam pedoman saja. Dan ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Bagi saya kalau kita melihat anak kita benar-benar melakukan hal yang salah, maka bagi saya kita harus bersikap setegas mungkin dan kita tidak mau membiarkan dia jatuh ke jurang. Jadi kitamau menghalangi dia jatuh ke jurang.
Kalau akhirnya dia tetap memilih jalan itu maka kita tidak bisa mencegahnya maka sedapatnya kita menghalangi dia dan jangan sampai dia mengambil keputusan yang salah.
GS : Yang dikhawatirkan orang tua adalah dia konflik dengan anaknya kalau memang anaknya sudah memilih jalan seperti itu, maka orang tua tidak terlalu banyak bisa berperan.
PG : Betul. Dan kadangkala konflik itu harus terjadi dan bagi saya itu adalah konflik yang seharusnya, sebab benar-benar ini akan memengaruhi hidupnya untuk waktu yang berkepanjangan.
GS : Pak Paul, kita sudah sampai pada akhir perbincangan kita tentang membesarkan anak artinya supaya kita tidak menyesal pada hari tua karena keliru membesarkan anak, kesimpulan apa yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Sewaktu anak-anak kecil datang mendekat kepada Tuhan Yesus, para murid berusaha menghalangi kemudian Tuhan berkata, "Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi merek, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah", di Markus 10:14.
Jadi tugas kita sebagai orang tua adalah membesarkan anak, membawanya datang kepada Kristus dan jangan sampai kita malah menghalanginya datang kepada Tuhan karena kelakuan kita, karena kehidupan kita. Untuk apa memiliki segalanya namun harus melihat anak hidup di dalam kemalangan dan keterpisahan dari kasih karunia Tuhan. Juga sadarlah bahwa anak hanya bertumbuh sekali dan tidak akan mengulang proses pertumbuhannya. Jadi jangan sia-siakan waktu bersamanya, kasihi anak dan nikmatilah kebersamaan dengan dia sekarang.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang"Membesarkan Anak" bagian yang kedua, dalam seri Hidup Tanpa Penyesalan. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.