TELAGA
Dipublikasikan pada TELAGA (https://telaga.org)

Depan > Sampai Maut Memisahkan Kita II

Sampai Maut Memisahkan Kita II

Kode Kaset: 
T302B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Semua orang yang menikah berharap bahwa pernikahannya dapat berjalan langgeng sampai maut memisahkannya. Kita percaya tidak ada orang yang menikah dengan pemikiran bahwa suatu hari kelak ia akan menceraikan pasangannya. Persoalannya adalah, setelah menikah masalah mulai bermunculan sehingga perceraian pun menjadi salah satu pilihan yang dipertimbangkan. Namun sebelum hal itu terjadi alangkah baiknya kalau kita memelajari dulu bagaimana cara memertahankan pernikahan, agar hal-hal yang berbau perceraian tidak ada di dalam keluarga kita.
Audio
MP3: 
3.61 MB [1]
Play Audio: 
Your browser does not support the audio element.
Transkrip
[sampai_maut_memanggil_kita_2] =>

"Sampai Maut Memanggil Kita" (II) oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

Lengkap

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang terdahulu yaitu tentang "Sampai Maut Memisahkan Kita". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, perbincangan kita kali ini melanjutkan perbincangan pada waktu yang lalu tentang "Sampai maut memisahkan kita". Supaya para pendengar kita bisa mengikuti perbincangan ini secara lebih utuh dan mungkin ada yang pada kesempatan lalu belum sempat mendengarkan, mungkin Pak Paul bisa menguraikan sejenak tentang apa yang telah kita perbincangkan pada kesempatan yang lalu.

PG : Kita telah memerbincangkan bagaimana memersiapkan pernikahan dengan sebaik-baiknya, menjalani awal pernikahan juga sebaik-baiknya supaya akhirnya di masa tua kita bisa memetik buah-buah mais di dalam pernikahan kita.

Dan saya mengulas bahwa yang terpenting kita harus menetapkan sistem prioritas yang benar dalam hidup kita dan keluarga kita. Ada tiga yang saya angkat yaitu kita harus mementingkan relasi dengan Tuhan, relasi dengan keluarga dan yang terakhir yang akan kita bahas adalah relasi dengan orang lain. Singkat kata di dalam hidup, di dalam pernikahan kita harus mengutamakan relasi di atas kepentingan lainnya yaitu relasi dengan Tuhan, keluarga dan yang terakhir barulah relasi dengan orang-orang lain. Kita pun telah membahas relasi dengan Tuhan adalah dengan cara hidup sesuai dengan kehendak Tuhan, bukan hanya giat dengan hal-hal yang kita sebut dengan pelayanan tapi justru kita harus menunjukkan kedekatan kita dengan Tuhan lewat ketaatan kita hari lepas hari di luar gereja. Kita juga membicarakan tentang kita harus tahu isi hati Tuhan dan Tuhan harus hidup di dalam diri kita. Firman Tuhan bukan hanya sebagai buku yang akan kita pelajari, tapi sebagai panduan dimana kita mau hidup di dalamnya, jadi itu yang harus kita tekankan. Tentang hubungan dengan keluarga, saya juga menekankan bahwa kita harus mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Jangan sampai orang di rumah kita berkata, "Papa atau Mama hanya memikirkan diri sendiri dan tidak memikirkan kami". Jadi didalam pengambilan keputusan coba dengarkan apa yang mereka inginkan dan coba pertimbangkan sedapat-dapatnya kepentingan mereka juga dibela oleh kita. Dan kita juga harus belajar dari keluarga kita, jangan hanya melihat peranan kita sebagai orang yang mau mengajarkan atau mengarahkan baik kepada istri maupun anak-anak kita, dengarkanlah dari mereka pula sehingga mereka tahu kalau mereka penting dan begitu pentingnya sehingga mereka didengarkan oleh kita.
GS : Pak Paul, sekarang kita melanjutkan pada relasi yang berikutnya yaitu memelihara relasi dengan sesama. Mungkin ini bisa menjadi lebih mudah tapi bisa juga ini menjadi lebih sukar dibandingkan dengan relasi yang terdahulu, Pak Paul dan ini menurut Pak Paul bagaimana ?

PG : Memang tidak selalu lebih mudah dan bisa jadi akan lebih susah tapi ini adalah sebuah prinsip yang penting. Kita harus memprioritaskan relasi dengan orang lain di atas benda, materi atau hl-hal seperti itu.

Jadi secara konkretnya misalnya kita harus memerhatikan orang yang tertinggal dan bukan orang yang tertinggi, maksudnya tidak susah bagi kita dekat atau baik dengan orang yang tinggi. Tapi kita akan memerhatikan untung ruginya kalau dekat-dekat dengan orang yang tertinggal atau orang yang tidak memunyai kedudukan, orang yang tidak ada statusnya dalam masyarakat. Justru kita harus ingat bahwa Tuhan itu menekankan betapa pentingnya memerhatikan orang-orang yang tertinggal ini. Itu sebabnya di Matius 25, waktu Tuhan menggambarkan bagaimana Tuhan akan menghakimi kita semua, kemudian Dia akan bertanya apakah kita telah mengunjungi orang yang sakit, orang yang di penjara, memberikan baju kepada orang tidak memakai baju, memberi makan kepada orang yang kelaparan. Dengan kata lain, Tuhan memerhatikan orang-orang yang dalam kesusahan dan berkebutuhan. Bahkan Tuhan menyimpulkan dengan suatu prinsip yang luar biasa beratnya yaitu "apa yang kamu lakukan kepada yang terkecil atau yang terhina dari orang-orang ini maka inilah yang kau lakukan bagi Saya". Jadi Tuhan mementingkan orang yang tertinggal dan jangan sampai kita mementingkan prinsip dunia ini yaitu dekatlah dengan orang yang akan membawa keuntungan bagi kita dan tidak perlu dekat dengan orang yang tidak membawa keuntungan bagi kita. Jangan seperti itu! Waktu kita mendekat atau memerhatikan orang yang tertinggal, yang tidak diperhatikan oleh masyarakat, mereka akan menjadi sahabat sejati kita, nanti di hari tua mereka juga akan memerhatikan kita dan mereka yang akan menolong dan menjadi pendamping hidup kita pula. Dan orang inilah yang nanti akan berperan besar juga melestarikan keluarga atau pernikahan kita di hari tua.
GS : Dalam hal ini Pak Paul, Tuhan Yesus tidak hanya mengajarkan tetapi Dia sendiri memeragakan di dalam kehidupan-Nya di dunia ini sebagaimana Dia memerhatikan orang yang tertinggal ini. Tapi di dalam kehidupan kita sebagai keluarga, sebagai suami istri, prakteknya dalam memerhatikan orang-orang yang tertinggal ini seperti apa, Pak Paul ?

PG : Misalnya kita tahu bahwa ada di antara teman kita yang tidak terlalu diajak karena memunyai masalah tertentu. Misalkan teman kita itu sedang mengalami permasalahan keluarga, sehingga dia mlu ke gereja dan sebagainya maka ketika kita ingat dia kemudian kita telepon dia, mungkin kita mengajaknya datang ke rumah kita, mengunjungi dia atau kita keluar bersamanya.

Atau kita juga bisa menekankan kepada anak-anak misalkan mereka tahu ada teman mereka yang tidak populer, yang dikucilkan maka kita meminta anak kita justru untuk memerhatikan teman-teman yang seperti itu juga. Misalnya di jalan kita melihat seorang pengemis dan kita mau memberikan sedekah kepada pengemis atau kita mau menolong orang yang susah, yang dekat dengan rumah kita karena perlu modal untuk membuka warung dan sebagainya. Hal-hal seperti itulah yang sewaktu kita tanamkan di rumah, mereka akan melihat kalau kita mementingkan orang-orang yang tertinggal dan bukan orang yang tertinggi.
GS : Dampaknya untuk kita pada waktu lanjut usia apa, Pak Paul ?

PG : Orang-orang yang kita tolong ini, kita tidak tahu mereka akan menjadi apa. Tapi kalau pun mereka tidak menjadi apa-apa dan mereka tinggal dekat dengan kita dan masih satu kota dengan kita aka mereka yang akan mengingat jasa-jasa kita dan mereka akan memerhatikan kita, sehingga di hari tua mereka yang akan mengisi kehidupan kita, mereka mungkin akan datang, mereka akan ngobrol dengan kita, mereka mungkin mengajak kita.

Mungkin suatu hari kita yang akan membutuhkan sesuatu dan mereka yang akan mengulurkan tangan menolong kita dan sebagainya. Sudah tentu waktu mereka melakukan semua ini, kita tidak melakukan ini supaya nanti kita mendapatkan bantuan-bantuan mereka, tidak seperti itu ! Tapi bukankah mereka itu mau mencari dan membangun relasi yang sejati karena kalau kita pikir-pikir misalnya di antara ratusan teman kita seberapakah yang sungguh-sungguh teman sejati ? Bukankah kita mengukurnya waktu kita susah, apakah mereka memerhatikan kita, waktu kita memang sedang tertinggal apakah mereka menunggu kita ataukah dia adalah salah satu orang yang juga ikut-ikutan meninggalkan kita dan tidak lagi menghubungi kita, memberikan dukungan dan sebagainya. Saya perhatikan, orang yang tahu bahwa dia tidak ditinggalkan malah di tunggu waktu dia itu tertinggal, dia akan menjadi sahabat kita sebab dia menemukan persahabatan sejati dari diri kita kepadanya.
GS : Tapi biasanya kita membangun relasi dari orang lain itu dasarnya adalah untung dan rugi. Kalau kita tidak mau dekat dengan orang yang tinggi tapi dengan orang yang tertinggal maka tujuannya adalah untuk menguntungkan kita, Pak Paul ?

PG : Itu memang adalah sifat kita sebagai manusia yang berdosa, kita cenderung mementingkan diri kita, yang membawa keuntungan itulah yang akan kita dekati. Masalahnya adalah kalau kita terperagkap di dalam relasi yang seperti ini, kita akhirnya menjadi orang-orang yang hidup di atas prinsip untung dan rugi, kalau tidak ada untung tidak mau dekat-dekat.

Ketika kita hidup seperti itu, kita kehilangan esensi sebagai orang Kristen, menjadi seorang anak Tuhan, kita kehilangan esensi mengasihi sebab itulah esensi atau karakter Tuhan yang paling penting, Tuhan adalah kasih. Jadi Tuhan mengasihi kita dan tidak melihat-lihat kita ini siapa, Tuhan tidak berkata apa untungnya mengasihi kita ? Apa untungnya memberkati kita ? Tidak seperti itu, Dia memberkati karena Dia baik,jadi Dia memberkati kita. Dia mengasihi karena Dia baik, maka Dia mengasihi kita, jadi kita harus menjadi seperti Dia.
GS : Relasi ini terjalin karena kedekatan, katakan kita ini sebagai orang yang tertinggal. Ada orang yang tinggi dan kebetulan memerhatikan kita sehingga terjalinlah relasi itu antara kita yang tertinggal dengan orang yang tinggi ini. Jadi kita bukannya mencari keuntungan tapi memang jaringan relasi itu terjadi seperti itu.

PG : Seringkali itu yang terjadi. Jadi waktu orang yang di atas, yang tinggi itu menjangkau ke bawah, menolong yang tertinggal maka terjalinlah sebuah relasi. Dalam relasi seperti itu, tidak bia tidak rasa bersyukur itu kuat sekali dan nantinya, bukan saja mereka menjadi pengisi bagian dari hidup kita tapi terpenting juga adalah hati kita pun terjaga, hati kita pun terpengaruh baik kepada pasangan kita maupun anak-anak, atau pun sanak saudara, kita tidak menghitung-hitung apa yang menjadi untung dan ruginya.

Kalau kepada orang lain kita menerapkan untung dan rugi biasanya juga kita terapkan kepada keluarga, mungkin kita berharap-harap bahwa anak kita akan membawa keuntungan bagi kita, kalau anak kita tidak membawa keuntungan rasanya kita pun menjadi kecewa. Sebab mustahil bagi kita berkata, "Dengan orang lain saya hitung-hitung untung dan rugi tapi kalau dengan keluarga sendiri tidak". Hal itu saya ragukan. Mungkin tidak secara eksplisit tapi secara implisit kita itu sebetulnya mengharapkan bahwa anak-anak kita atau pasangan kita membawa keuntungan-keuntungan bagi kita dan kalau tidak maka kita akan kecewa. Standart nilai seperti itulah yang kita mau enyahkan karena kita tahu bahwa bukan itulah yang berkenan kepada Tuhan dan bukanlah modal yang diperlukan untuk menjadikan pernikahan kita yang berbuah di masa yang akan datang.
GS : Untuk memelihara relasi dengan sesama ini, hal lain apa yang harus kita perhatikan tentang sesama, Pak Paul ?

PG : Kita harus mengutamakan mengajak selain diajak, kadang-kadang kita itu pasif dan kita menunggu, kalau tidak diajak kita menjadi terluka, tersinggung karena tidak diperhatikan dan sebagainya. Pertanyaannya adalah apakah kita mengajak orang, apakah kita telah berinisiatif melibatkan orang, memasukkan orang di dalam lingkaran kehidupan kita. Jadi dengan kata lain, kita harus berusaha, berinisiatif untuk membawa orang masuk ke dalam lingkaran kehidupan kita, waktu kita mengunjungi orang maka kunjungilah, waktu kita mau berbuat baik kepadanya, maka berbuat baiklah dan jangan kita berpikir, "Terakhir siapa ya yang mengajak, karena dulu saya yang mengajak maka sekarang saya tidak mau mengajak lagi". Jangan seperti itu, kalau kita mau mengajak maka ajaklah dan jangan memikirkan kalau di masa lampau siapa yang lebih sering mengajak. Sekali lagi yang terlebih penting adalah hati kita pada akhirnya, kalau kita berpikir-pikir siapa yang mengajak terlebih dahulu, itu artinya kalau kita itu selalu memunyai kalkulator dalam persahabatan dan tidak ada persahabatan kalau memakai kalkulator, nanti takutnya dengan pasangan sendiri atau anak-anak juga sama yaitu kita menggunakan kalkulator, hitung-hitungan dengan mereka juga, jangan seperti itu. Ajak mereka untuk berbuat baik, tawarkan, bantulah, berinisiatiflah tanpa mengingat-ingat siapa dulu yang memulainya.

GS : Tapi dalam kondisi seperti sekarang ini, kalau kita mau mengajak orang lain pastilah akan berpikir apakah orang yang akan saya ajak ini tidak akan malah merugikan kita, dalam arti kata misalnya kita menjadi korban penipuan dan sebagainya. Artinya kita harus selektif di dalam mengajak orang ini.

PG : Sudah tentu benar, Pak Gunawan. Kita memang tidak boleh sembarangan, tapi kita harus tahu siapa teman itu yang harus kita ajak, yang kita jadikan teman, sudah tentu kita tidak akan bertema dengan orang yang akan merusakkan kita, misalnya memengaruhi kita melakukan hal-hal yang salah, mengajak kita untuk berdosa maka kita tidak akan mendekatinya karena firman Tuhan juga dengan jelas berkata, "Janganlah kita duduk bersama dengan orang-orang pencemooh" artinya orang yang mencemooh Tuhan dan mencemooh manusia, jangan seperti itu.

Tapi kita juga mau bersahabat dengan orang-orang yang takut akan Tuhan. Jadi sudah tentu kita harus perhatikan faktor itu pula.
GS : Pak Paul, selain kita menjalin relasi baik dengan Tuhan maupun dengan keluarga dan sesama apakah masih ada hal-hal lain yang harus kita perhatikan supaya masa tua kita di dalam hidup pernikahan ini juga menjadi lebih baik, Pak Paul ?

PG : Tapi yang saya singgung adalah benih-benih sehat yang harus kita tanamkan menjaga relasi dengan Tuhan, keluarga dan sesama kita. Sekarang kita mau lihat bahwa kita juga harus melindungi atu menjaga benih-benih itu dan jangan sampai benih-benih itu akhirnya termakan hama dan habis.

Ada beberapa yang harus kita lakukan untuk melindungi benih yang sehat itu. Pertama dan ini penting sekali yaitu kita harus menjaga hati, artinya tidak ada orang lain di hati kita dan kita harus melindungi pernikahan kita secara terencana, ini berarti kita harus mengambil tindakan tegas untuk melarang khayalan bergentayangan di wilayah dosa. Jangan kita membiarkan khayalan kita merambah ke mana-mana sampai ke wilayah dosa dan berbuat yang tidak-tidak, jangan seperti itu. Sebagai manusia saya mengerti kita dapat dan akan tertarik kepada orang lain yang mungkin saja lebih menawan dan lebih menarik dari pada pasangan sendiri namun kita harus mengingatkan diri akan komitmen pernikahan yang telah dibuat, kita telah berjanji di hadapan Tuhan untuk selalu setia kepada pasangan dan ini berarti bukan saja kita tidak mengkhianatinya secara fisik atau nyata, tapi kita juga tidak boleh mengkhianatinya secara batiniah. Singkat kata, kita harus tegas berkata bahwa di dalam hati kita tidak ada ruang tersisa untuk orang lain, komitmen itu harus kita buat. Pintu sudah kita kunci dan kita serahkan kunci itu kepada pasangan kita, sehingga tidak ada ruangan untuk orang lain masuk.
GS : Tetapi di dalam kenyataannya memang akhir-akhir ini kasus perselingkuhan itu cukup banyak terjadi, apakah dalam hal ini memang kedua belah pihak tidak saling menjaga hati karena untuk menjaga sendiri seringkali mengalami kesulitan. Akan lebih ringan kalau masing-masing itu saling menjaga.

PG : Hal itu memang baik sekali yakni kita harus saling bertanggung jawab atau mempertanggungjawabkan keberadaannya, perilakunya, itu adalah hal yang harus kita lakukan. Misalkan dalam rumah tagga saya, saya memberitahu istri saya yaitu silakan bertanya saya pergi dengan siapa, kapan saya pergi dan kapan saya pulang, mau mengetahui tentang hidup saya.

Jadi kita memberikan ijin kepada pasangan untuk memunyai akses penuh terhadap hidup kita. Jadi jangan sampai orang bertanya tentang keuangan, ini tidak boleh diketahui oleh pasangan, saya tadi pergi ke mana dan tidak boleh diketahui oleh pasangan. Kalau kita memang tidak ada niat jahat kenapa tidak memberitahu kepada pasangan, kalau memang niat kita baik dan kita mau terbuka seharusnya kita memberi akses penuh itu kepada pasangan untuk masuk ke dalam diri kita, jadi perlu pertanggungjawaban. Misalkan kita bepergian jauh, kita memberitahu kepada dia kalau kita hidup dengan baik dan kudus di hadapan Tuhan. Hal itu juga yang saya lakukan sewaktu bepergian jauh, saya memberitahu kepada istri dan anak-anak saya bahwa saya telah hidup kudus di hadapan Tuhan supaya mereka tahu bahwa inilah komitmen saya dan ini yang coba akan saya jaga dengan sebaik-baiknya.
GS : Dengan begitu pasangan kita atau anak-anak kita juga bisa terus membantu kita untuk memelihara hati ini.

PG : Betul sekali dengan kita tahu kalau kita bertanggungjawab kepada mereka dan mereka pun juga memerhatikan mereka. Hal ini akhirnya membuat kita untuk lebih berhati-hati dan tidak sembaranga hidup.

GS : Selain menjaga hati. Hal lain yang perlu diperhatikan apa, Pak Paul ?

PG : Kita juga harus menjaga batas artinya jangan biarkan ada orang yang melekat dengan kita. Salah satu penyebab kenapa akhirnya banyak orang jatuh ke dalam dosa perzinahan adalah dikarenakan egagalan kita menarik batas yang jelas sejak dini.

Maka dari awal berelasi dengan lawan jenis, kita harus menetapkan batas bahwa relasi ini hanya akan menjadi relasi pertemanan. Kita harus memutuskan untuk tidak menceritakan masalah pribadi apalagi masalah rumah tangga kepada rekan lawan jenis. Atau kita juga harus tegas menolak ajakan untuk pergi berdua atau dia menawarkan untuk mengantar kita pulang, atau kita memintanya untuk mengantarkan kita pulang. Maka kita harus berkata, "Kalau tidak maka tidak". Sudah tentu ada kasus pengecualian, orang yang telepon kita jam sepuluh malam karena mobilnya mogok dan sebagainya, maka kita harus bersedia membantunya dan bukannya saya mematok secara kaku dan memang ada pengecualian tapi intinya kita tidak mau memberikan ruang atau mengaburkan batas sehingga orang bisa dengan mudah berkata, "Saya bersama dengan kamu saja ya, karena sejalan", maka dengan tegas kita harus berkata, "Maaf saya tidak bisa, saya bukannya tidak mau mengantar dan bukannya saya jahat tapi memang saya mau menjaga relasi saya dengan istri saya atau dengan suami saya." Jadi kita harus menolak tegas dan kita harus menyadari bahwa interaksi pribadi yang dilakukan secara terus menerus, berpotensi menumbuhkan ketertarikan dan ketertarikan pada akhirnya melahirkan hasrat atau nafsu untuk menyatukan diri dengan dia. Itu sebabnya dari awal kita harus bersikap tegas sehingga orang pun akan maklum dengan posisi kita. Jadi kendati pencobaan dapat datang kapan saja, namun satu fakta yang tidak dapat dipungkiri adalah seringkali kita turut berandil memberi undangan kepada pencobaan untuk datang.
GS : Jadi sekalipun kita harus membangun relasi dengan sesama tapi tetap kita harus memerhatikan batas-batasnya supaya kita tidak akan merusak kehidupan rumah tangga kita, Pak Paul ?

PG : Betul sekali sebab kita harus jujur dengan diri kita. Kita ini kadang-kadang ahli menipu diri sendiri. Misalnya kita harus mengantar orang tua atau nenek, bisa jadi kita tidak akan bersemagat untuk mengantarnya pulang, tapi kenapa kita begitu semangat mengantar orang lain karena dia menarik, masih muda dan sebagainya.

Jadi justru kita harus sadari hati kita dan jangan kita membohongi diri sendiri dan berkata, "Tidak ada apa-apa hanya teman saja", jadi dari awal kita harus menarik batas yang jelas dan jangan sampai membiarkan orang lekat dengan kita.
GS : Kalau hal itu tidak kita hindari Pak Paul, pengaruhnya pada masa tua apa, Pak Paul ?

PG : Akhirnya kalau kita tidak menghindari, kalaupun tidak terjadi perzinahan dan pasangan kita tahu bahwa setiap hari pasangan kita berhubungan dengan si ini, saling telepon, saling SMS, misalan juga sering mengantarkan pulang atau pergi makan bersama-sama.

Maka pasangan akan merasa kalau rumah ini tidak hanya terdiri dari dua orang yaitu suami istri tapi ada tiga orang bahwa di mata pasangan kita, orang ketiga sudah menjadi orang yang penting. Dan biasanya itu akan menimbulkan luka, apalagi kalau dia sudah berkata dan meminta kepada kita, "Tolong jangan teruskan berhentilah pergi dengan dia dan sebagainya," tapi kita memaksa dan marah kemudian berkata, "Selama saya tidak berbuat apa-apa". Kita sudah meninggalkan luka yang dalam di dalam hati pasangan kita yang akan dibawanya sampai hari tua. Tapi kalau kita sudah tua dan ingin berbaik-baik dengan dia, luka hatinya sudah menganga dan menganga itu bisa berbelasan tahun. Jadi tiba-tiba kita menuntut dia untuk berbaik-baik dengan kita, itu tidak realistis sebab berbelasan tahun kita sudah menusukkan pisau di hatinya. Sekarang tiba-tiba kita berkata, "Sembuhlah engkau dan tidak harus ada luka di hatimu," itu tidak realistis. Itu sangat mencederai hati pasangan kita.
GS : Hal lain yang perlu dijaga apa, Pak Paul ?

PG : Kita harus menjaga impian, maksudnya jangan berlebihan dalam bermimpi, pernikahan pun harus dilindungi dari kehancuran yang bersifat ekonomi. Kadang kita terlalu ambisius ingin cepat kaya,sehingga gelap mata mengambil keputusan bisnis yang terlalu riskan, akhirnya ingin untung tapi malah buntung.

Masalahnya adalah sewaktu kita buntung, kita pun harus membuntungi anggota keluarga yang lain, semua menderita akibat keputusan yang keliru yang kita telah buat kendati ikatan pernikahan tidak sepenuhnya bergantung pada kestabilan ekonomi namun sebagai manusia kita terpengaruh olehnya, kesulitan ekonomi yang mendera cenderung menambah frekuensi pertengkaran karena dalam keadaan terjepit, kita mengalami lebih banyak stres apalagi bila kehancuran ekonomi tersebut disebabkan oleh ketidak hati-hatian pasangan mengelola keuangan keluarga.
GS : Pak Paul sudah menguraikan begitu banyak mengenai masa lanjut usia ini atau sampai maut memisahkan kita. Kesimpulan dari perbincangan kita yang terdahulu dan yang sekarang apa, Pak Paul ?

PG : Jika kita ingin sampai pada garis akhir dengan baik, maka kita harus memerhatikan pertandingan dengan sebaiknya. Pernikahan yang bertahan dengan baik tidaklah terjadi secara kebetulan tapidengan bersandar kepada firman Tuhan maka kita akan dapat menyelesaikan pernikahan sampai akhir dengan penuh sukacita, itulah kira-kira kesimpulannya.

GS : Jadi kalau ada orang yang menganggap bahwa hidup pernikahan ini nanti akan mengalir begitu saja tanpa kita mengusahakan sesuatu yang positif apakah hal ini bisa kita terima ?

PG : Tidak. Sekolah harus kita rencanakan, pekerjaan harus direncanakan dan kenapa pernikahan tidak harus direncanakan, jadi sama. Semua kalau ingin menghasilkan hasil yang baik, maka perlu perncanaan.

GS : Jadi ada orang yang diambang perceraian kemudian mengatakan, "Ini sudah kehendak Tuhan dan saya tidak lagi meneruskan pernikahan dengan dia". Pandangan seperti ini adalah pandangan yang naif sekali, Pak Paul ?

PG : Sangat naif dan dia menyalahgunakan nama Tuhan dan itu yang Tuhan larang "Jangan menyebut nama Tuhan dengan sia-sia" dan contoh inilah kita memakai nama Tuhan dengan sia-sia.

GS : Pak Paul, apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan sebagai kesimpulan dari perbincangan kita kali ini ?

PG : Amsal 3:5-8 berkata, "Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu. anganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan Tuhan dan jauhilah kejahatan; itulah yang akan menyembuhkan tubuhmu dan menyegarkan tulang-tulangmu."

Kita mau pernikahan kita menjadi pernikahan yang sembuh dan segar, caranya tidak ada yang lain tapi kita harus percayakan kehidupan kita kepada Tuhan dan jangan bersandar kepada pengertian kita mengakui Tuhan dalam setiap perilaku kita dan hidup takut akan Tuhan serta menjauhkan diri dari kejahatan.

GS : Terima kasih Pak Paul, pasti perbincangan ini akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian untuk menjaga pernikahan kita sampai maut memisahkan kita. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Sampai Maut Memisahkan kita" bagian yang kedua dan yang terakhir. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id [2] kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org [3]. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.

Ringkasan

Firman Tuhan berkata, "Apa yang telah dipersatukan Tuhan, tidak boleh diceraikan oleh manusia" (Matius 19:6). Saya kira semua orang yang menikah berharap bahwa pernikahannya dapat berjalan langgeng sampai maut memisahkannya. Saya percaya tidak ada orang yang menikah dengan pemikiran bahwa suatu hari kelak ia akan menceraikan pasangannya.

Persoalannya adalah, setelah menikah masalah mulai bermunculan sehingga perceraian pun menjadi salah satu pilihan yang dipertimbangkan.

Sekarang marilah kita melihat bagaimanakah membangun pernikahan yang dapat bukan saja bertahan tetapi terus berbuah sampai maut memisahkan kita. Kita akan memulai dengan melihat tahap pernikahan pada masa tua dan menyoroti tantangan yang harus dihadapi pada masa itu agar kita dapat mempersiapkan pernikahan kita mulai dari hari ini.

Dua Ciri Masa Tua
  • Menengok ke belakang, karena tidak lagi dapat memandang ke depan. Masa tua adalah masa menyelesaikan perjalanan hidup, bukan memulai sebuah perjalanan baru. Kita masuk ke masa tua membawa album kenangan, bukan buku dengan halaman kosong. Itu sebabnya pada masa tua kita cenderung mengingat apa yang telah terjadi.
  • Menuai apa yang telah ditabur. Pada masa tua kita menyadari bahwa apa pun yang terjadi di masa lalu tidak dapat diperbarui atau diubah kembali berhubung kesempatan untuk itu pun sudah lenyap. Jadi, jika kita telah menanam pohon kehidupan yang sehat di dalam pernikahan, kita akan mencicipi buah yang manis. Sebaliknya, bila kita menanam pohon kehidupan yang tidak sehat dalam pernikahan, kita pun harus memakan buah yang pahit. Itu sebabnya kita harus menabur benih yang sehat agar dapat menuai buah yang manis untuk diri sendiri, BUKAN SAJA UNTUK ORANG LAIN.
Benih Sehat adalah MENETAPKAN PRIORITAS HIDUP SEJAK AWAL PERNIKAHAN, YAITU:
  1. Memelihara relasi dengan Tuhan
  2. Memelihara relasi dengan keluarga
  3. Memelihara relasi dengan sesama

Dengan kata lain, kita mengutamakan RELASI di atas kepentingan lainnya.

Memelihara Relasi dengan Tuhan
  • Utamakan KEHENDAK Tuhan di atas KEGIATAN bagi Tuhan. Sejak awal kita harus mengerti bahwa kegiatan bagi Tuhan tidak sama dengan kehendak Tuhan. Walaupun giat bagi Tuhan adalah hal yang penting, namun terlebih penting adalah hidup dalam kehendak Tuhan. Tuhan melihat dan mencatat apa yang kita lakukan di luar gereja lebih dari apa yang kita perbuat di dalam gereja. Relasi dengan Tuhan terjaga tatkala kita menaati-Nya di dalam hidup kita.
  • Utamakan FIRMAN Tuhan di atas PENGETAHUAN tentang Tuhan. Kita pun harus meninggikan Firman Tuhan di atas pengetahuan tentang Tuhan. Sudah tentu adalah baik bila kita belajar tentang Tuhan tetapi terpenting bukanlah pengetahuan itu sendiri melainkan hati kita.
Memelihara Relasi dengan Keluarga
  • Utamakan apa yang baik buat SEMUA di atas apa yang baik untuk SENDIRI. Dalam pengambilan keputusan, kita mesti memikirkan kepentingan semua anggota keluarga. Memang memertimbangkan semua kepentingan tidak mudah dan biasanya memperlambat proses pengambilan keputusan namun upaya tersebut memperlihatkan komitmen kita untuk mengutamakan keluarga di atas kepentingan pribadi.
  • Utamakan untuk BELAJAR DARI keluarga di atas MENGAJARKAN KEPADA keluarga. Sebagai orang tua kita harus mengarahkan anak seperti seorang pendidik kepada anak didiknya. Namun kita pun perlu menyadari bahwa kita terbatas dan bahwa kita pun harus terbuka terhadap apa yang keluarga ingin ajarkan kepada kita. Demikian pula terhadap pasangan kita. Jangan sampai kita beranggapan bahwa kita selalu yang tahu dan yang berada di pihak yang benar. Tatkala kita membuka diri dan bersedia belajar, kita menunjukkan bahwa merekalah prioritas hidup kita.
Memelihara Relasi dengan Sesama
  • Perhatikan yang TERTINGGAL di atas yang TERTINGGI. Janganlah kita menjadi orang yang hanya memerhatikan dan berkawan dengan orang yang terhormat atau dengan orang yang dapat memberi kita keuntungan. Perhatikanlah orang di sekitar yang tertinggal dan terpinggirkan. Orang seperti merekalah yang akan menjadi sahabat sejati oleh karena mereka merasakan kasih sayang kita kepada mereka tatkala mereka berada di lembah kehidupan.
  • Utamakan MENGAJAK di atas DIAJAK. Dalam berteman, jangan bersikap pasif dan saling tunggu. Berinisiatiflah untuk bertemu dan menjalin relasi. Jangan menghitung-hitung untung-rugi dalam persahabatan. Relasi dibangun di atas inisiatif untuk memelihara pertemanan.
Selain menabur benih sehat, kita juga harus melindungi pohon nikah yang telah ditanam agar dapat bertumbuh dan berbuah. Berikut akan dipaparkan beberapa langkah yang dapat diambil :
  1. MENJAGA HATI: Tidak ada yang lain. Kita harus melindungi pernikahan secara terencana. Ini berarti kita mesti mengambil tindakan tegas untuk melarang khayalan bergentayangan ke wilayah dosa. Sebagai manusia kita dapat dan akan tertarik kepada orang lain yang mungkin saja lebih menawan dan lebih baik daripada pasangan sendiri. Namun kita harus mengingatkan diri akan komitmen pernikahan yang telah dibuat. Singkat kata, kita mesti dengan tegas berkata bahwa di dalam hati kita, tidak ada ruang tersisa untuk orang lain.
  2. MENJAGA BATAS: Tidak ada yang lekat. Salah satu penyebab mengapa akhirnya banyak orang jatuh ke dalam dosa perzinahan adalah dikarenakan kegagalan kita menarik batas yang jelas SEJAK DINI. Dari awal berelasi dengan lawan jenis kita harus menetapkan batas bahwa relasi ini hanya akan menjadi relasi pertemanan. Kita harus memutuskan untuk tidak menceritakan masalah pribadi-apalagi masalah rumah tangga-kepada rekan lawan jenis. Kita juga harus menolak dengan tegas ajakan untuk pergi berdua atau bahkan mengantarnya pulang. Kita mesti menyadari bahwa interaksi pribadi yang dilakukan terus menerus berpotensi menumbuhkan ketertarikan dan ketertarikan pada akhirnya melahirkan hasrat atau nafsu untuk menyatukan diri dengannya. Kendati pencobaan dapat datang kapan saja, namun satu fakta yang tak dapat dipungkiri adalah sering kali kita turut berandil memberi undangan kepada pencobaan untuk datang.
  3. MENJAGA IMPIAN: Tidak berlebihan. Pernikahan pun mesti dilindungi dari kehancuran yang bersikap ekonomi. Kadang kita terlalu berambisius dan ingin cepat kaya sehingga kita gelap mata dan mengambil keputusan bisnis yang terlalu riskan. Alhasil, ingin untung kita malah buntung. Semua menderita akibat keputusan keliru yang kita buat. Kendati ikatan pernikahan tidak sepenuhnya bergantung pada kestabilan ekonomi, namun sebagai manusia kita terpengaruh olehnya. Kesulitan ekonomi yang mendera cenderung menambah frekuensi pertengkaran karena dalam keadaan terjepit, kita mengalami lebih banyak stres.
Kesimpulan Jika kita ingin sampai pada garis akhir dengan baik, kita harus merencanakan pertandingan dengan sebaik-baiknya. Itu sebabnya Firman Tuhan berikut ini haruslah menjadi pedoman hidup kita sekalian "PERCAYALAH kepada Tuhan dengan segenap hatimu dan janganlah bersandar pada PENGERTIANMU sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu. Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, TAKUTLAH akan Tuhan dan jauhilah kejahatan; itulah yang akan akan menyembuhkan tubuhmu dan MENYEGARKAN tulang-tulangmu." Amsal 3:5-7
Pdt. Dr. Paul Gunadi [4]
Audio [5]
Pranikah/Pernikahan [6]
T302B [7]

URL sumber: https://telaga.org/audio/sampai_maut_memisahkan_kita_ii

Links
[1] http://media.sabda.org/telaga/mp3/T302B.MP3
[2] mailto:telaga@indo.net.id
[3] http://www.telaga.org
[4] https://telaga.org/nara_sumber/pdt_dr_paul_gunadi
[5] https://telaga.org/jenis_bahan/audio
[6] https://telaga.org/kategori/pranikah_pernikahan_0
[7] https://telaga.org/keywords/t302b