TELAGA
Dipublikasikan pada TELAGA (https://telaga.org)

Depan > Anak Dan Balon 2

Anak Dan Balon 2

Kode Kaset: 
T590B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 

Mematahkan sayapnya, tidak memberi kesempatan mengembangkan diri, mengeluarkan dari dunia nyata.
Audio
MP3: 
4.3 MB [1]
Play Audio: 
Your browser does not support the audio element.


Transkrip

Kata kunci: Sejak kecil kita mulai mendoakan anak, percayakan anak kepada Tuhan, mengarahkan secara jasmani, mental, moral dan rohani serta melepaskan sedikit demi sedikit.

TELAGA 2022

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada. Kita bertemu kembali dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Necholas David, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi, seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Anak dan Balon". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

ND: Pak Paul, hari ini kita berbicara tentang "Anak dan Balon", memang anak-anak itu selalu dekat dengan balon waktu pesta ulang tahun atau tamasya, biasanya kita melihat anak-anak membawa balon. Hari ini apa yang ingin kita bicarakan tentang kaitan anak dan balon ini?

PG: Dr. James Dobson, seorang pakar keluarga di Amerika Serikat, mengibaratkan membesarkan anak seperti mengisi balon dengan gas kemudian melepaskannya ke udara. Ada balon yang terus membumbung tinggi ke langit tapi ada pula yang menyangkut di pepohonan. Maksud pengibaratan ini adalah, kita hanya dapat melakukan tugas kita sebagai orang tua sampai titik tertentu, melewati titik itu kita mesti melepaskannya. Mungkin ada anak yang bertumbuh relatif lancar tanpa harus tersangkut masalah, tapi mungkin ada yang harus tersangkut masalah bukan sebentar melainkan bertahun-tahun. Ada yang membanggakan, tapi ada pula yang mengecewakan, nah jadi inilah yang dimaksud dengan mengibaratkan membesarkan anak seperti mengisi balon kemudian melepaskannya ke udara, yaitu kita hanya dapat melakukan bagian kita. Setelah itu kita mesti merelakannya dan memang kadang kita mesti menerima kenyataan bahwa anak tidak menjadi seperti yang kita harapkan.

ND: Disini kita melihat kenyataan bahwa sebagai manusia memang kita ingin mengontrol, mengendalikan segala sesuatu termasuk perkembangan anak. Dengan melihat bahwa kita juga tidak mungkin terus-menerus mengendalikan anak, sebaiknya sikap seperti apa, Pak Paul, yang kita harus tanamkan dalam diri kita sebagai orang tua ketika kita membesarkan anak?

PG: Pada umumnya ada dua sikap yang muncul, pertama karena kita takut anak akan lepas dan menjadi pribadi yang tidak kita harapkan, kita pun berusaha mengendalikannya seketat mungkin, sejak kecil bukan saja kita mengawasi perkembangannya, kita pun membatasi pergaulannya. Kita melarangnya melakukan hal-hal yang kita anggap dapat membahayakan dirinya dan menyuruhnya untuk mengikuti petunjuk kita demi menjaga "kemurniannya", kita pun memisahkannya dari pergaulan yang kita anggap tidak sehat dan merusak. Kedua, sikap yang bertolak belakang dari yang pertama, karena kita berpendapat bahwa apapun yang kita lakukan tidak dapat membawa kepastian, maka kita pun memilih membiarkan. Kita hanya menekankan hal yang kita anggap penting, seperti belajar dan bekerja selama itu dikerjakan, kita menutup mata terhadap hal lainnya. Kita membiarkannya bergaul dengan siapapun dan tidak mengharuskannya mewarisi nilai-nilai moral dan spiritual tertentu. Kita berpendapat biar nanti mereka sendiri memilihnya. Nah, sudah tentu kedua sikap ini memunyai kekuatan dan kelemahannya, Pak Necholas, terlalu mengekang tidak baik, terlalu membiarkan juga tidak baik. Jadi yang baik adalah kita menyeimbangkan keduanya.

ND: Kalau kembali ke ilustrasi tadi balon itu, memang ada saatnya mau tidak mau itu juga balon akan terlepas dari genggaman kita. Bagaimana Pak Paul, kita sebagai orangtua bisa bersikap tidak terlalu mengekang dan juga tidak membiarkan. Bagaimana kita bisa menyeimbangkan kedua hal ini?

PG: Ada tiga masukan yang dapat saya bagikan, Pak Necholas, pertama sejak anak kecil kita sudah harus mulai mendoakannya. Kita bersyukur kepada Tuhan yang telah mengaruniakannya kepada kita. Mazmur 139:13 [2] menegaskan bahwa Allah ialah pencipta manusia. Firman Tuhan berkata, "Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku". Jadi anak adalah manusia yang diciptakan oleh Tuhan, diserahkan dan dipercayakan kepada kita. Itu sebab kita mesti berterima kasih kepada-Nya yang telah bermurah hati dan mengaruniakan serta memercayakan manusia ciptaan-Nya kepada kita. Kita pun berdoa meminta Tuhan menjaga dan menuntun langkah hidup anak ini agar ia hidup takut akan Tuhan dan mengasihi Tuhan dan sesama. Kita memohon agar Tuhan menjauhkan anak ini dari yang jahat dan memberkati hidupnya supaya ia menjadi berkat bagi sesama. Terakhir kita berdoa menyerahkan masa depannya ke tangan Tuhan sebagaimana dikatakan oleh Mazmur 139:16 [3], "mata-Mu melihat selagi aku bakal anak dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis". Jadi kita berdoa agar anak ini hidup didalam rencana Tuhan.

ND: Jadi untuk menyeimbangkan, melepas dan mengekang anak ini, kita harus dengan mendoakannya. Kalau saya menangkapnya, kita juga turut memercayakan anak kita kepada Tuhan. Jadi kita yakin bahwa anak ini bertumbuh bukan hanya karena faktor diri saya yang menolong dia, menyediakan bantuan bagi dia, tetapi di pihak yang lain ada Tuhan yang jauh lebih mampu daripada kita yang akan menolong anak itu bertumbuh dengan baik.

PG: Betul, Pak Necholas, sewaktu kita berdoa sesungguhnya kita memercayakan anak kita kepada Tuhan. Sekaligus sewaktu kita berdoa, kita pun melihat anak ini dari kacamata Tuhan, bahwa anak ini bukan hanya anak kita, tapi anak ini adalah pemberian Tuhan yang Tuhan percayakan kepada kita. Kadang karena kita akhirnya fokus pada anak, membesarkan anak, mengurus anak, adakalanya kita lupa bahwa anak ini adalah pemberian Tuhan yang dipercayakan kepada kita. Nah, sewaktu kita berdoa untuk anak kita, kita juga diingatkan dan mengingatkan diri bahwa anak ini pemberian Tuhan. Anak ini milik Tuhan yang dititipkan dan dipercayakan kepada kita. Jadi kita melibatkan Tuhan didalam proses kita membesarkan anak ini dan kita juga dari sejak anak-anak kecil, membawa anak ini terus kedalam tangan Tuhan, memercayakan anak ini kepada Tuhan yang nanti akan memelihara hidupnya.

ND: Dengan demikian tentunya kita sebagai orang tua lebih bisa menerima seandainya terjadi musibah dengan kehidupan anak atau anak bertumbuh tidak sesuai dengan keinginan dan harapan kita. Kita bisa percaya bahwa Tuhan juga mengerti dan Tuhan mengizinkan hal itu.

PG: Betul sekali, jadi sejak anak ini lahir, kita libatkan Tuhan dalam hidupnya dan kita libatkan anak kita juga didalam Tuhan. Ini mengapa kita mesti mendoakan anak kita.

ND: Tentunya dengan mendoakan kita percaya Tuhan akan memimpin. Apakah ada saran yang lain, Pak Paul, yang bisa dilakukan oleh orang tua agar dia bisa menolong anak yang seperti balon tadi, tidak terlalu mengekang tetapi juga tidak membiarkan.

PG: Selain mendoakannya, kita pun mesti mengarahkannya, Pak Necholas, mengarahkan anak dimulai dengan pengarahan secara jasmaniah. Kita harus menetapkan jadwal hidup yang konsisten, kapan dia tidur, kapan dia bangun, kapan dia makan, kapan dia belajar, bagaimana menjaga kebersihan dan kesehatan dan seterusnya. Kita mesti mengarahkannya secara mental juga yaitu kita menyekolahkannya, kita mengajaknya bicara dan bertukar pikiran tentang topik-topik tertentu. Ini bagian pertama dari pengarahan. Yang lain tentang pengarahan adalah kita mengarahkannya secara moral dan rohani pula. Jadi kita mengajarkan apa yang baik dan buruk, apa yang salah dan benar serta hidup takut dan mengasihi Tuhan. Tidak seharusnya kita membiarkan anak berjalan sendiri dan menentukan nilai moral tanpa bimbingan. Kita mesti mengenalkannya dengan Allah sebagaimana dinyatakan oleh firman-Nya dan dengan Yesus Kristus, Juruselamat dunia agar sejak kecil ia memahami bahwa ia dan kita semua adalah orang berdosa yang telah menerima kasih karunia pengampunan melalui kematian-Nya.

ND: Jadi mengarahkan disini secara total seluruh aspek hidup anak mulai dari jasmani, mental, moral juga rohani. Kita bisa menyediakan kegiatan yang menolong dia untuk bertumbuh dalam keempat hal ini. Kalau tadi saya dengar Pak Paul katakan bahwa kita menetapkan jadwal hidup yang konsisten, saya terbayang kita memberi struktur kepada anak supaya dia bisa mengisi waktu-waktunya dengan baik, demikian ya, Pak Paul?

PG: Betul, Pak Necholas, jadi anak tidak dengan sendirinya membangun struktur dalam dirinya. Anak mesti diberikan struktur sehingga perlahan-lahan anak akan mengadopsi atau memasukkan struktur yang diberikan oleh orang tua masuk kedalam dirinya, menjadi bagian hidupnya. Misalkan, karena kita menetapkan jam berapa dia tidur, jam berapa dia bangun, nah nanti karena sudah terbiasa meskipun kita tidak ada disana, dia sendiri yang akan mau tidur jam berapa dan bangun jam berapa. Karena kita memang memastikan anak kita belajar dan kalau tidak belajar, kita akan tanya atau mungkin kita akan tegur, maka lama kelamaan struktur ini dibawa masuk oleh anak kedalam dirinya, sehingga nanti meskipun kita tidak lagi disampingnya, mengingatkan atau menegur dia, dia sendiri akan dapat mengingatkan dirinya dan menegur dirinya sewaktu misalkan dia belum menyelesaikan tugas sekolahnya tapi dihadapkan dengan pilihan untuk bermain, maka dirinya akan menegurnya, mengatakan, "Kamu mesti selesaikan dulu tugas sekolahmu baru kamu main", jadi anak perlu mendapatkan jadwal ini, struktur ini, kebiasaan-kebiasaan yang rutin dan baik ini, sehingga nanti anak bisa mengadopsinya. Demikian pula dengan pengarahan yang lebih bersifat akademik atau mental, ini juga memang perlu kita secara terencana melakukannya, kita misalkan mengajak anak berdiskusi, hal yang relatif sederhana sebetulnya, tapi waktu kita bicara dengannya, menanyakan pendapatnya, mengapa dia berpikir demikian, nah kita sebetulnya sedang mengarahkan anak untuk berpikir dengan baik, dengan sehat, dengan rasional memertimbangkan segala faktor dan sebagainya dan terakhir tadi saya sudah singgung yaitu mengarahkannya juga secara rohani. Kita mesti memang membawanya mengenal Tuhan, memahami rencana-Nya, memahami juga tindakan-tindakan Tuhan dan pimpinan-Nya dalam hidup kita sehingga lewat semua ini anak akhirnya mengerti lebih dalam lagi tentang Tuhan dan mudah-mudahan pengenalannya akan Tuhan nanti akan membawanya kepada iman dalam Tuhan, memercayakan hidupnya sepenuhnya ke tangan Tuhan.

ND: Jadi tentunya yang kita harapkan sebagai orang tua, pada akhirnya anak ini akan mandiri dalam hal perkembangan dia secara jasmani, mental, moral dan rohani.

PG: Betul sekali, Pak Necholas, di Amerika Serikat ada seorang yang cukup terkenal namanya adalah Dr. Ben Carlson, beliau pernah menjabat sebagai menteri tapi beliau sebetulnya sebelum menjadi menteri sudah cukup terkenal karena beliau seorang ahli bedah otak khusus anak-anak dan dipercayakan untuk membedah anak-anak kembar siam yang memang sangat susah sekali untuk dapat dipisahkan tapi atas kasih karunia Tuhan, dia dapat memisahkan anak-anak kembar siam itu yang dua kepalanya menyatu menjadi satu dan sebagainya. Beliau ini dibesarkan oleh ibu tunggal karena ayahnya tidak setia meninggalkan keluarganya. Ibunya membesarkan kedua anak, bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan memang mereka dari kelompok minoritas berkulit hitam. Meskipun ibunya tidak bersekolah tinggi, bahkan tidak bisa membaca menulis sebetulnya, tapi menetapkan disiplin yang tinggi, mengharuskan anak-anaknya belajar, mengharuskan anak-anaknya hanya menonton televisi 2x dalam seminggu, mengharuskan anak-anaknya membaca buku di perpustakaan dan mengharapkan anak-anaknya untuk percaya kepada Tuhan, untuk menghargai pemberian Tuhan dalam hidupnya, maka dua anaknya menjadi anak-anak yang berhasil . Yang satu, yang kakak, menjadi seorang insinyur, yang kedua menjadi seorang dokter. Kita melihat sebetulnya anak-anak ini bukanlah anak-anak yang khusus tiba-tiba menjadi orang-orang yang luar biasa, tidak! Anak-anak biasa tapi dididik dengan benar oleh orang tua, orang tuanya terlibat dalam hidup mereka, mencampuri urusan-urusannya, mengarahkan mereka, mendisiplin mereka, sekaligus juga mengasihi mereka maka akhirnya dua anak ini bisa bertumbuh besar menjadi orang-orang yang bersumbangsih dalam masyarakat dan terutama menjadi orang yang mengasihi Tuhan.

ND: Terima kasih, Pak Paul, untuk contoh kehidupan nyata dan hasil dari didikan seorang ibu yang betul-betul terlibat dalam kehidupan anak sehingga anak bisa bertumbuh dengan betul-betul baik. Tadi Pak Paul katakan bahwa ada tiga saran yang bisa dipakai oleh orang tua dalam usaha menyeimbangkan antara mengekang dan melepaskan balon ini. Selain mendoakan dan mengarahkan, apalagi Pak Paul yang bisa dilakukan?

PG: Ketiga adalah kita melepaskannya sedikit demi sedikit. Pada akhirnya kita harus menerima kenyataan bahwa kita tidak dapat mendampingi dan mengawasi anak 24 jam sehari dan kita tidak bisa menjaga dan melindunginya dari pengaruh yang datang dari luar dirinya. Kita harus menerima kenyataan bahwa anak adalah pribadi yang terpisah, makin besar makin terpisah ia dari kita, jadi kita tidak bisa menguasai alam pikirannya dan mengendalikan kehendak dan pilihannya. Itu sebab kita mesti melepaskannya dan menyerahkannya ke tangan Tuhan. Dalam cerita tentang Dr. Ben Carlson itu dikisahkan pergumulan pergolakan si anak ini sewaktu SMA karena dia mau diterima oleh lingkungan, maka mulailah dia bergaul dengan teman-teman yang nakal. Akhirnya dia makin memberontak, sering melawan orang tuanya, dalam hal ini ibunya. Dia menjadi anak yang berbeda dari sebelumnya. Satu kali waktu ada seorang teman mengejeknya, dia marah dan dia mengambil pisau menusuk teman itu, tapi karena kasih karunia Tuhan pisau itu menembus atau menusuk ban pinggang yang ada logamnya sehingga tidak menusuk perut temannya itu. Ben Carlson begitu menyesali perbuatannya, waktu dia pulang, dia takut, dia menyesali dan dia akhirnya berdoa. Dia meminta Tuhan memelihara dan memimpin hidupnya. Dia tahu dia tidak bisa hidup lepas dari Tuhan, itu menjadi titik balik dari hidupnya. Nah, disitu kita bisa lihat, si ibu yang mengasihi si anak tidak dapat hadir terus-menerus dalam hidup si anak dan pada masa anak sudah mulai dewasa, anak mulai mengembangkan pikirannya sendiri, mulai dapat dipengaruhi oleh lingkungannya dan mengikuti perbuatan teman-temannya yang tidak selalu sesuai dengan apa yang kita harapkan, namun kita melihat Tuhan ada disana, Tuhan menjaga anak itu dan Tuhan menyelamatkannya. Tuhan memakai justru kejatuhannya, kegagalannya menjadi titik balik untuk dia bertobat dan benar-benar sejak saat itu ia hidup mengikut Tuhan dan akhirnya menjadi seorang dokter ahli bedah otak anak. Kita lihat disini bahwa ibarat mengisi balon dengan udara, dalam membesarkan anak kita mesti mengisi anak dengan pengarahan baik jasmaniah, mental atau pun rohaniah, namun sama seperti balon yang mesti kita lepaskan bila kita ingin melihatnya terbang, kita pun harus rela melepaskannya dan tidak boleh terus menggenggamnya. Kalau pun nanti anak tersangkut di pepohonan masalah, kita harus memercayakannya ke tangan Tuhan.

ND: Jadi disini melepaskan sedikit demi sedikit tentunya disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan setiap anak. Namun dari pengalaman Pak Paul, pada umumnya, pada usia kira-kira berapa atau sampai tahap berapa kita harus mulai melepaskan sedikit demi sedikit itu, karena saya pernah baca bahwa zaman sekarang dengan perkembangan media dan teknologi, anak remaja cenderung lebih berkepanjangan masa remajanya, sehingga lebih panjang daripada masa yang lalu. Apakah demikian, Pak Paul? Bagaimana kita bisa melihat usia-usia tertentu dimana orang tua bisa mulai melepaskan?

PG: Betul sekali yang tadi Pak Necholas katakan, karena pengaruh media sosial dan anak-anak kita sekarang memang kebanyakan sudah mulai masuk kedalam dunia media sosial itu sejak usia yang lebih kecil, maka tidak bisa tidak, anak-anak sekarang lebih cepat dipengaruhi oleh lingkungan, meskipun lingkungannya secara virtual tidak bisa dilihat secara langsung. Kita mesti tetap mengawasinya, kita tidak boleh membiarkannya berbuat semaunya dengan alat-alat teknologi itu. Kita mesti tahu apa yang biasanya dia baca, atau dia biasanya lihat, kita mengajaknya bicara sehingga kita bisa mengikuti perkembangannya. Namun dalam hal pergaulan, pergi dan sebagainya, saya kira pada waktu anak-anak mulai SMP tidak bisa tidak, kita mulai perlahan-lahan melepaskannya. Memang ini menakutkan tapi kita perlahan-lahan mulai harus melepaskannya, membiarkan dia pergi dengan teman meskipun kita yang mengantarnya, nanti menjemputnya. Mulailah pada usia remaja kita membiarkan anak pergi bersama dengan temannya dan menikmati pergaulannya.

ND: Baik, Pak Paul terima kasih banyak untuk saran yang sudah diberikan. Apakah ada ayat firman Tuhan yang boleh kita renungkan bersama dalam kaitan dengan pembicaraan kita hari ini?

PG: Mazmur 127:4 [4] mengingatkan, "Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda". Kita tahu anak panah bukanlah untuk terus disimpan didalam tabung panah. Anak panah adalah untuk dilepaskan, demikian pula anak-anak, bukan untuk disimpan melainkan untuk dilepaskan. Jadi kita siapkan sebaik mungkin tapi setelah itu memang kita mesti rela melepaskannya.

ND: Terima kasih, Pak Paul, atas pemaparan yang sudah disampaikan pada hari ini. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (TEgur sapa gembaLA keluarGA), kami baru saja berbincang-bincang tentang "Anak dan Balon". Jika Anda berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat mengirimkan email ke telaga@telaga.org [5]; kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org [6]; saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.

Ringkasan

Dr. James Dobson, seorang pakar keluarga, mengibaratkan membesarkan anak seperti mengisi balon dengan gas kemudian melepaskannya ke udara. Ada balon yang terus membumbung tinggi ke langit tetapi adapula yang menyangkut di pepohonan. Maksud pengibaratan ini adalah, kita hanya dapat melakukan tugas kita sebagai orangtua sampai titik tertentu; melewati titik itu, kita mesti melepaskannya. Mungkin ada anak yang bertumbuh relatif lancar tanpa harus tersangkut masalah; tetapi mungkin ada yang harus tersangkut masalah, bukan sebentar, melainkan bertahun-tahun. Ada yang membanggakan tetapi ada pula yang mengecewakan. Bila demikian, sikap seperti apakah yang mesti kita miliki dalam membesarkan anak?

Pada umumnya ada dua sikap yang muncul. Pertama, karena kita takut anak akan lepas dan menjadi pribadi yang tidak kita harapkan, kita pun berusaha mengendalikannya seketat mungkin. Sejak kecil, bukan saja kita mengawasi perkembangannya, kita pun membatasi pergaulannya. Kita melarangnya melakukan hal-hal yang kita anggap dapat membahayakan dirinya dan menyuruhnya untuk mengikuti petunjuk kita. Demi menjaga "kemurniannya" kitapun memisahkannya dari pergaulan yang kita anggap tidak sehat dan merusak.

Kedua, karena kita berpendapat bahwa apa pun yang kita lakukan, toh, tidak dapat membawa kepastian, maka kitapun memilih membiarkan. Kita hanya menekankan hal yang kita anggap penting, seperti belajar dan bekerja. Selama itu dikerjakan, kita menutup mata terhadap hal lainnya. Kita membiarkannya bergaul dengan siapa pun dan tidak mengharuskannya mewarisi nilai-nilai moral dan spiritual tertentu. Kita berpendapat, biar nanti mereka sendiri memilihnya.

Sudah tentu kedua sikap ini memunyai kekuatan dan kelemahannya.Terlalu mengekang tidak baik, terlalu membiarkan, juga tidak baik; jadi, yang baik adalah kita menyeimbangkan keduanya. Berikut adalah beberapa saran untuk menerapkan keduanya secara berimbang.

Pertama, sejak anak kecil, kita sudah harus mulai MENDOAKANNYA. Kita bersyukur kepada Tuhan yang telah mengaruniakannya kepada kita. Mazmur 139:13 [2] menegaskan bahwa Allah ialah pencipta manusia, "Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku." Jadi, anak adalah manusia yang diciptakan oleh Tuhan, diserahkan dan dipercayakan kepada kita. Itu sebab kita mesti berterima kasih kepada-Nya, yang telah bermurah-hati mengaruniakan dan memercayakan manusia ciptaan-Nya kepada kita. Kita pun berdoa meminta Tuhan menjaga dan menuntun langkah hidup anak ini, agar ia hidup takut akanTuhan, dan mengasihi Tuhan dan sesama. Kita memohon agar Tuhan menjauhkan anak ini dari yang jahat dan memberkati hidupnya supaya ia menjadi berkat bagi sesama. Terakhir kita berdoa menyerahkan masa depannya ke tanganTuhan, sebagaimana dikatakan oleh Mazmur 139:16 [3], "Mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis." Kita berdoa agar anak ini hidup di dalam rencanaTuhan.

Kedua, selain mendoakannya, kita pun mesti MENGARAHKANNYA. Mengarahkan anak dimulai dengan pengarahan secara jasmaniah. Kita harus menetapkan jadwal hidup yang konsisten—kapan ia tidur, kapan ia bangun, kapan ia makan, kapan ia belajar, bagaimana menjaga kebersihan dan kesehatan, dan seterusnya. Kita pun mesti mengarahkannya secara mental—menyekolahkannya, mengajaknya bicara dan bertukar pikiran tentang topik topik tertentu. Selain itu, kita pun perlu mengarahkannya secara moral dan rohani—apa yang baik dan buruk, apa yang salah dan benar, serta hidup takut dan mengasihi Tuhan. Tidak seharusnya kita membiarkan anak berjalan sendiri dan menentukan nilai moral tanpa bimbingan. Kita mesti mengenalkannya dengan Allah sebagaimana dinyatakan oleh Firman-Nya. Dan dengan Yesus Kristus, Juruselamat dunia, agar sejak kecil ia memahami bahwa ia—dan kita semua—adalah orang berdosa yang telah menerima kasih karunia pengampunan melalui kematian-Nya.

Ketiga, kita mesti MELEPASKANNYA sedikit demi sedikit. Pada akhirnya kita harus menerima kenyataan bahwa kita tidak dapat mendampingi dan mengawasi anak 24 jam sehari. Dan, kita tidak bisa menjaga dan melindunginya dari pengaruh yang datang dari luar dirinya. Kita harus menerima kenyataan bahwa anak adalah pribadi yang terpisah; makin besar, makin terpisah ia dari kita. Jadi, kita tidak bisa menguasai alam pikirannya dan mengendalikan kehendak dan pilihannya. Itu sebab kita mesti melepaskannya dan menyerahkannya ke tanganTuhan.

Ibarat mengisi balon dengan udara, dalam membesarkan anak, kita mesti mengisi anak dengan pengarahan, baik jasmaniah, mental, ataupun rohaniah. Namun, sama seperti balon yang mesti kita lepaskan bila kita ingin melihatnya terbang, kitapun harus rela melepaskannya dan tidak boleh terus menggenggamnya. Kalaupun nanti anak tersangkut di pepohonan masalah, kita harus memercayakannya ke tangan Tuhan. Mazmur 127:4 [4] mengingatkan, "Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda."

Anak panah bukanlah untuk terus disimpan di dalam tabung panah; anak panah adalah untuk dilepaskan. Demikian pulalah anak; bukan untuk disimpan, melainkan untuk dilepaskan. Apabila kita tidak melepaskannya—dan terlalu melindunginya—kita malah merugikannya. Pertama, kita merugikannya dalam pengertian, kita MEMATAHKAN SAYAPNYA, membuatnya tidak dapat terbang sendiri. Akhirnya setelah dewasa ia akan terus bergantung pada kita dan berlindung di bawah kepak sayap kita. Ia tidak bisa mengambil keputusan sendiri dan ini yang lebih buruk: ia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Pada akhirnya kita harus mengambilkan keputusan untuknya dan memenuhi keperluannya. Ia tidak bisa menyelesaikan masalah dan bergantung pada kita untuk menyelesaikan masalahnya. Ini tidak sehat.

Ada beberapa kemungkinan mengapa orangtua menjadi begitu protektif terhadap anak:
  • Orangtua melihat anak lemah, mungkin sakit-sakitan.
  • Orangtua memandang lingkungan di luar atau dunia berbahaya.
  • Orangtua menginginkan kedekatan dengan anak, itu sebab mereka terus menyuburkan kebergantungan.
  • Orangtua mengganggap anak mesti dilindungi dari kegagalan.
Kedua, kita merugikannya dalam pengertian, kita TIDAK MEMBERIKANNYA KESEMPATAN MENGEMBANGKAN DIRI, menjadi pribadi yang utuh dan matang. Dapat dikatakan, semua potensi yang dimilikinya terbenam di dalam dirinya dan tak pernah tergali, apalagi terungkap keluar. Akhirnya, bukan saja ia kehilangan kepercayaan diri, ia pun kehilangan kesempatan untuk berkarya dan bersumbangsih. Tidak pernah ia menemukan dan menjadi dirinya. Berikut akan dipaparkan apa yang umumnya dilakukan anak yang belum menemukan dirinya:
  • Ia senantiasa meminjam diri yang lain. Ibarat bunglon, ia senantiasa beradaptasi dengan lingkungan; dengan kata lain, ia akan meniru dan mengenakan pribadi orang tertentu yang dianggapnya cocok untuk situasi tersebut.
  • Ia mengikut orang lain agar aman. Ia selalu melihat situasi, ke mana arah angin bertiup dan mengikutinya.
  • Ia berlindung di balik orang lain yang dianggapnya kuat dan dapat melindunginya.
Ketiga, kita merugikannya dalam pengertian, kita MENGELUARKANNYA DARI DUNIA NYATA. Ia akan bertumbuh menjadi pribadi yang penakut, ragu dalam bertindak, dan mudah lari dari tantangan. Akhirnya ia hidup di dalam dunianya sendiri, dan pada umumnya ia akan hidup sendiri, karena tidak ada yang dapat atau ingin berbagi hidup dengannya. Berikut akan dipaparkan beberapa kemungkinan yang dapat terjadi pada pribadi ini:
  • Ia akan terisolasi dari lingkungan. Makin ia terisolasi, makin ia menyimpang—dan aneh—pemikirannya. Ini tak terhindarkan sebab dalam kenyataannya, hidup mengharuskan kita untuk menemui tantangan dan kesulitan. Jika kita menghindar, maka kita tidak pernah belajar tentang sisi hidup yang kaya dengan pelajaran ini .Akhirnya pemikiran dan konsep yang kita kembangkan cenderung mengambang di udara dan bersifat teoretis.
  • Ia akan menjauh dari sesama. Makin menjauh, ia pun makin dijauhkan oleh sesama. Ia menjauh sebab ia melihat diri dan pemikirannya berbeda dari kebanyakan orang. Sebenarnya ini pula yang dilihat oleh orang dan ini membuat orang tidak nyaman dekat dengannya. Orang merasa sulit untuk menerima pemikirannya dan menjauh darinya.
  • Tidak jarang, pada akhirnya ia mengembangkan kepribadian paranoid—mudah curiga, berpikir negatif, penuh ketakutan.Ia merasa tidak dimengerti dan ditolak orang; sayangnya, ia tidak dapat melihat bahwa sumber masalah ada pada dirinya. Pada umumnya ia malah menyalahkan orang—bahwa mereka tidak suka atau iri kepadanya.

Amsal 23:13-14 [7] berkata, "Jangan menolak didikan dari anakmu; ia tidak akan mati kalau engkau memukulnya dengan rotan. Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati." Menolak didikan dari anak berarti melindungi anak secara berlebihan dengan cara menjauhkannya dari penderitaan yang seharusnya diterimanya. Inilah disiplin: Mengingatkan anak akan konsekuensi perbuatannya dan ini berarti, menempatkannya dialam nyata. Membebaskannya dari konsekuensi sama dengan mengeluarkannya dari alam nyata. Dan ini berbahaya. Ini sama dengan membawanya masuk ke dalam dunia orang mati.

Pdt. Dr. Paul Gunadi [8]
Audio [9]
Masalah Hidup [10]
T590B [11]

URL sumber: https://telaga.org/audio/anak_dan_balon_2

Links
[1] http://media.sabda.org/telaga/mp3/T590B.mp3
[2] https://alkitab.mobi/ayt/passage/Mzm+139:13
[3] https://alkitab.mobi/ayt/passage/Mzm+139:16
[4] https://alkitab.mobi/ayt/passage/Mzm+127:4
[5] mailto:telaga@telaga.org
[6] http://www.telaga.org
[7] https://alkitab.mobi/ayt/passage/Ams+23:13-14
[8] https://telaga.org/nara_sumber/pdt_dr_paul_gunadi
[9] https://telaga.org/jenis_bahan/audio
[10] https://telaga.org/kategori/masalah_hidup0
[11] https://telaga.org/kode_kaset/t590b