TELAGA
Dipublikasikan pada TELAGA (https://telaga.org)

Depan > Jiwa Memberi II

Jiwa Memberi II

Kode Kaset: 
T349B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Memberi adalah kata yang sederhana namun mengandung arti yang dalam, karena di dalam prakteknya orang sulit untuk menerapkan hal tersebut. Di dalam hal memberi, ada dua tipe orang di dunia ini yang pertama adalah orang yang berusaha untuk memberi dan kedua orang yang berusaha untuk tidak memberi. Kadang dengan Tuhan pun demikian, kita melakukannya sebagai sebuah transaksi yaitu kita memberi sebab kita mengharapkan Tuhan membalas pemberian kita berlipat ganda. Mengapa kita seperti itu? Berikut akan dibahas faktor apakah yang membuat seseorang berjiwa memberi atau tidak.
Audio
MP3: 
3.4MB [1]
Play Audio: 
Your browser does not support the audio element.
Transkrip

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu yaitu tentang "Jiwa Memberi". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, pada umumnya orang lebih senang menerima dan sulit sekali untuk memberi. Kita sudah mulai membahas faktor-faktor penyebabnya pada bagian terdahulu. Dan kita masih akan melanjutkan tiga faktor lagi yang Pak Paul katakan pada waktu itu untuk melengkapi bagaimana kita bisa memiliki jiwa yang memberi ini. Supaya para pendengar kita bisa mengikuti perbincangan ini secara lebih utuh mungkin Pak Paul bisa mengulasnya secara singkat apa yang kita perbincangkan pada kesempatan yang lampau.
PG : Kita tahu bahwa Tuhan yang kita percaya adalah Tuhan yang memberi maka Ia memberikan berkat-Nya kepada kita dan pada akhirnya kita tahu Dia memberikan putera-Nya untuk mati bagi dosa kita. Jadi kita tahu itulah Tuhan yang kita percaya yaitu Tuhan yang memberi. Kita juga mau dan seharusnya menjadi seperti Tuhan yaitu memiliki jiwa memberi, persoalannya sebagian dari kita mengalami kesulitan untuk menumbuh kembangkan jiwa memberi ini. Maka kita bahas sebetulnya kenapa ada orang-orang yang bisa memunyai jiwa memberi dan ada orang yang tidak. Yang pertama adalah jiwa memberi lahir dari kesadaran bahwa apa yang kita miliki sebetulnya adalah pemberian baik dari Tuhan maupun sesama. Jadi orang yang berjiwa memberi selalu ingat bahwa ia tidak mungkin bisa memunyai apa yang dia punyai sekarang ini kalau bukan Tuhan yang mengizinkannya memunyai itu. Atau kalau bukan orang menolongnya untuk mendapatkan apa yang dia miliki sekarang ini. Ada orang yang tidak melihat hal itu, ada orang yang beranggapan kalau dia tidak pernah berhutang sedikit pun kepada Tuhan atau sesama, dia merasa dia yang telah mengusahakan semuanya, orang yang seperti itu akan sangat sulit memberi. Jadi kunci yang pertama adalah harus selalu menyadari bahwa bukankah yang kita miliki adalah berkat pemberian dari Tuhan atau sesama kita. Yang kedua adalah selain dari menyadari bahwa apa yang kita miliki adalah pemberian, kita juga harus rela melepaskannya kembali, jadi jangan sampai setelah kita menerimanya kita menggenggamnya erat-erat dan tidak pernah rela melepaskannya. Apa kunci untuk bisa melepaskan apa yang telah ada di tangan kita? Yaitu kenyataan akan kesadaran kita tidak berhak untuk menerimanya, kita tidak layak menerimanya dan bahwa ini sebetulnya kasih karunia Tuhan. Jadi kalau kita sebaliknya beranggapan bahwa selayaknya saya memunyai ini, selayaknya saya memiliki itu, maka kita tidak akan rela melepaskannya. Kalau kita berkata, "Ini memang pemberian dan saya sebenarya tidak layak menerima ini" maka kita lebih rela melepaskannya kembali. Yang ketiga, jiwa memberi lahir dari suatu pengertian bahwa Tuhan bekerja dan pekerjaan Tuhan belum selesai dan kita haruslah menjadi bagian dari pekerjaan Tuhan itu dan kita harus berpartisipasi sebagai anak-anak Tuhan dalam pekerjaan Tuhan. Waktu kita menyadari hal itu, maka kita akan lebih rela untuk memberi pula sebab kita tahu bahwa sewaktu kita memberi ini adalah untuk Tuhan dan akan dipakai untuk pekerjaan Tuhan. Jadi apa yang kita berikan tidak berlalu dengan sia-sia, kalau orang menyadari hal ini seyogianyalah dia akan lebih tergerak untuk memberi kepada Tuhan pula.
GS : Memang ada orang-orang yang menyadari hal-hal itu, tapi di dalam memberi dia masih punya pamrih khususnya ketika memberi dalam pekerjaan Tuhan atau gereja atau ke mana, dengan harapan bahwa nanti setelah dia memberi dia akan diberi lebih banyak lagi oleh Tuhan, ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Kadang ada orang yang beranggapan seperti itu, itu berarti dia menjadikan relasinya dengan Tuhan sebagai relasi dagang atau kerja bukannya sebuah relasi orang tua dan anak, dan Tuhan tidak menginginkan kita mengubah relasi kita dengan Tuhan seperti itu, dan Tuhan menginginkan agar relasi kita dengan-Nya terus bertumbuh menjadi relasi kasih antara Bapa dan anak.
GS : Sekarang kita lanjutkan pada faktor yang keempat, faktor apa yang bisa memengaruhi seseorang supaya dia bisa memberi dengan sukarela, Pak Paul ?
PG : Yang keempat, jiwa memberi lahir dari iman bahwa Tuhan akan menyediakan dengan setia. Jadi kita bisa berkata bahwa jiwa memberi berkaitan erat dengan pertumbuhan iman, bahkan dapat disimpulkan bahwa salah satu ukuran kematangan iman adalah jiwa memberi, memberi berarti menyerahkan apa yang ada pada kita kepada pihak lain. Jadi jika kita tidak mengimani bahwa Tuhan akan tetap menyediakan kebutuhan kita walau sekarang kita memunyai kurang dari apa yang semula ada, akan sulit bagi kita untuk memberi. Jadi mesti adanya iman bahwa, "Tidak apa-apa, saya ini tidak kehilangan sebab saya percaya nanti Tuhan akan mencukupi kebutuhan saya". Kalau kita terus berpikir, "Nanti saya kurang gara-gara saya memberi" maka tidak bisa tidak iman kita kurang, karena kita tidak percaya Tuhan nanti akan sanggup menyediakan kebutuhan kita. Jadi kita bisa berkata bahwa pertumbuhan iman kita ditunjukkan oleh pertumbuhan pemberian kita pula. Makin rela memberi sebetulnya itu makin menunjukkan bertumbuhnya iman dalam hidup kita.
GS : Jadi memberi itu sendiri suatu tindakan iman yang harus diwujudnyatakan dalam perbuatan nyata.
PG : Betul sekali, sebab kalau kita berkata, "Saya beriman kepada Tuhan" tapi dalam tindakan kita tidak menunjukkan kalau kita berserah kepada-Nya dan percaya kalau Dia akan mencukupi kebutuhan kita.
GS : Tapi itu bukan suatu tindakan barter, "Saya memberi, Tuhan pasti akan mencukupi kebutuhan saya" apa bedanya, Pak Paul ?
PG : Bedanya adalah kalau kita beranggapan bahwa Tuhan harus mencukupi kebutuhan kita dengan cara ini, dengan jumlah yang pas, itu menjadi sebuah barter. Tapi kalau kita berkata, "Saya memberi sebab saya yakin Tuhan tetap akan menyediakan" itu adalah iman. Saya berikan contoh, salah seorang hamba Tuhan yang saya kenal dia sedang bertugas ke Jakarta, selesai bertugas dia mendapatkan uang saku, dia harus kembali ke kota Malang dan masalahnya adalah uangnya pas-pasan sekali. Waktu dia ingin berangkat dia melihat adanya sekelompok orang datang, sebetulnya orang-orang itu adalah anak-anak pengungsi, ketika melihat anak-anak ini dia merasa kasihan, jadi dia bertanya, "Apakah sudah makan ?" dan ternyata anak-anak ini sudah sehari atau dua hari belum makan sama sekali. Jadi karena dia merasa iba maka dia mengeluarkan uang untuk memberikan makanan bagi anak-anak ini. Dan semua uangnya habis untuk membelikan makanan dan sekarang dia tidak punya uang untuk kembali dari Jakarta ke Malang, akhirnya dia menelepon kakaknya meminta uang dan kakaknya memberinya uang, tapi uangnya tidak banyak karena dia bukan dari keluarga berada. Uang itu hanya bisa dia gunakan untuk membeli tiket bus dari Jakarta sampai Jawa Tengah, dari Jawa Tengah sampai ke kota Malang dia mengompreng, naik truk dan sebagainya. Memang kita bisa berkata, "Apakah Tuhan tidak tahu kebutuhannya ?" Tuhan menyediakan kebutuhannya, dia sampai di kota Malang dan dia bercerita kepada saya setibanya di kota Malang. Tapi Tuhan menyediakan bukan dengan cara yang diharapkan, kalau kita memberi kepada Tuhan kita juga harus memunyai iman Tuhan akan menyediakan, Tuhan tidak selalu menyediakan dengan cara yang kita harapkan. Jadi kita tidak bisa berkata, "Baiklah saya berikan Rp 5.000,- kepada Tuhan dan Tuhan harus memberikan saya Rp 5.000,-". Ada orang yang beranggapan Tuhan akan memberi kepada saya lebih dari Rp 5.000,- harus Rp 10.000,- tapi caranya tidak seperti itu juga. Tuhan menyediakan kebutuhan kita bisa dengan memberikan kita Rp 5000,- lagi, tapi bisa juga dengan cara yang sangat berbeda, yang kita tidak bisa pikirkan sebelumnya. Kesediaan untuk menerima cara Tuhan yang lain, itu adalah iman.
GS : Dalam hal ini kalau seseorang sudah berkeluarga, ada istri, suami atau anak-anak, itu menjadi sesuatu yang sulit untuk dilakukan karena belum tentu keluarganya mendukung apa yang dia perbuat itu.
PG : Saya kira kalau kita sudah berkeluarga bagaimana pun juga kita harus memikirkan kesejahteraan keluarga kita, memang harus ada tindakan-tindakan yang mengajak keluarga kita untuk beriman, namun sekali lagi kita juga harus berhati-hati jangan sampai kita mengajak keluarga kita beriman, tapi keluarga kita belum siap untuk mengertinya sehingga yang dilihat oleh keluarga kita bukanlah hal yang positif, tapi justru hal yang negatif bahwa kita dianggap orang yang tidak bertanggungjawab. Jadi dalam hal ini saya kira apalagi kita sebagai laki-laki kita berkewajiban menyediakan bagi keluarga kita dan ini adalah perintah Tuhan. Selebihnya silakan kembangkan untuk memberi kepada Tuhan.
GS : Faktor yang kelima apa, Pak Paul ?
PG : Yang kelima adalah jiwa memberi lahir dari kesadaran bahwa bukan saja apa yang ada pada kita merupakan pemberian, tapi juga bahwa pemberian ini bukan untuk ditimbun melainkan untuk disebarkan. Kita harus selalu mengingat prinsip ini, apa pun yang kita terima bukan untuk ditimbun melainkan untuk disebarkan. Coba kita lihat contohnya di Alkitab, sewaktu Tuhan memanggil Abraham, Dia menjanjikan berkat untuk Abraham tapi berkat itu bukan hanya untuk Abraham saja melainkan untuk semua kaum atau bangsa di Kejadian 12:2-3 [2] saya bacakan cuplikannya saja, "Aku akan... memberkati engkau... dan engkau akan menjadi berkat. Olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat." Jadi kita lihat di situ Tuhan memanggil Abraham dan menjanjikan berkat kepadanya bukan supaya dia menimbun berkat, tapi supaya dia menjadi penyalur berkat bagi semua kaum di muka bumi ini. Yang lain walau harus lewat jalur derita, Tuhan mengirim Yusuf di Mesir dan menjadikannya tangan kanan Firaun supaya dapat memelihara kesejahteraan hidup keluarganya. Contoh yang lain, Tuhan mengirim Ester menjadi istri Raja Persia supaya lewat Ester, bangsa Yahudi tidak punah di tangan Haman. Jadi semua cerita ini bisa kita tarik kesimpulan, Tuhan melimpahkan kita dengan berkat-Nya supaya melalui kita banyak orang dapat turut mencicipi berkat Tuhan pula. Sebaliknya jika kita berpikiran bahwa semua yang diberikan oleh Tuhan untuk kita saja, maka kita tidak akan rela menyebarkannya kepada lebih banyak orang dan kita takut untuk berbagi dengan orang, sebab kita tidak rela kehilangan apa yang ada pada kita. Contoh klasik disini adalah Ananias dan Safira di Perjanjian Baru, mereka memutuskan untuk berbohong tentang hasil penjualan tanah pada Petrus, sebab mereka tidak rela berbagi dan menyebarkan berkat Tuhan.
GS : Pak Paul, di dalam hal memberi yang tadi Pak Paul katakan adalah untuk disebarkan. Kalau kita memberi pada suatu organisasi atau perorangan dan kita tahu pemberian itu tidak diteruskan atau disalurkan, tapi ditimbun apakah kita akan terus memberikan kepada pihak itu ?
PG : Saya sarankan tidak. Jadi kita harus melihat apakah lembaga atau tempat dimana kita biasa memberikannya akan menyebarkannya atau tidak, apakah akan mengelolanya dengan baik sebagai juru kunci Tuhan atau tidak. Kalau kita melihat tidak seperti itu dan mereka hanya menimbun, maka itu berarti mereka bukan alat Tuhan untuk menyebarkan berkat Tuhan. Jadi kalau demikian sebaiknya kita pilih yang lain yang kita tahu akan menyebarkan berkat Tuhan kepada lebih banyak orang.
GS : Jadi sebenarnya kita pun menerima berkat ini dari orang lain, kita salurkan kepada seseorang atau suatu badan untuk disalurkan lagi, melalui cara ini akan makin bertambah banyak yang ditolong.
PG : Betul sekali. Sebab itulah cara Tuhan bekerja, Tuhan tidak pernah memberkati kita agar kita bisa menimbunnya, supaya kita bisa menyebarkannya sebab itulah yang dikehendaki oleh Tuhan.
GS : Sebenarnya itu adalah suatu mujizat yang terjadi, ketika Tuhan Yesus membagi-bagikan roti yang hanya sedikit itu. Itupun yang terjadi ketika orang mau memberi baik roti atau ikan itu kepada orang lain, di situ mujizat terjadi.
PG : Betul. Si anak kecil itu sangat polos dan dia datang berkata, "Saya punya sedikit, lima roti dan dua ikan" dan kemudian diberkati oleh Tuhan dan dibagikan untuk memberi makan 5.000 orang. Jadi itulah prinsip yang Tuhan berikan kepada kita semuanya. Tidak penting berapa jumlahnya, yang penting adalah hati yang mau memberi. Waktu kita mau memberi maka Tuhan akan dapat melipat gandakannya dan menyebarkannya untuk dinikmati lebih banyak orang.
GS : Jadi apa yang perlu kita perhatikan, Pak Paul ?
PG : Jadi coba kita lihat misalnya di Lukas 12:16-21 [3] disana tercatat perumpamaan Tuhan Yesus tentang orang kaya yang bodoh, disebut bodoh sebab dia terus mendirikan lumbung yang besar untuk menyimpan hasil tanahnya, dia berencana untuk makan, minum dan bersenang-senang setelah menimbun semua kekayaannya. Jadi ia bodoh sebab ternyata usahanya sia-sia, belum sempat ia menikmati hasil tanahnya Tuhan sudah terburu mengambil nyawanya. Jadi orang yang bodoh justru orang yang menimbun hartanya dan bukan menyebarkannya, kenapa ? Dia menimbun dan menimbun, Tuhan langsung panggil dia dan dia tidak bisa lagi mencicipi apa yang telah dihasilkannya.
GS : Tapi itu tidak berarti seseorang tidak boleh merencanakan untuk menambah hartanya, begitu Pak Paul ?
PG : Sudah tentu boleh, sudah tentu boleh kita menabung dan memikirkan masa depan maka di kitab Amsal, Salomo menggunakan contoh semut yang bijak karena semut bisa mengumpulkan makanannya untuk persediaan kalau nanti dia tidak bisa lagi mencari makanan. Kita pun harus begitu dan tidak ada salahnya kita untuk memikirkan hari depan dan menabung, tapi yang jangan kita lakukan adalah menimbun. Meskipun kita tahu kita tidak akan memerlukannya lagi, namun yang terpenting adalah jangan menimbun, "Untuk apa ?" itu yang Tuhan tanyakan, misalnya kita berkata "Untuk anak cucu kita" apakah anak cucu kita akan datang ke dunia tanpa tangan dan tanpa kaki dan tanpa otak untuk berpikir ? Tidak juga. Tuhan akan memberkati mereka pula dan akan ada berkat untuk mereka dan jangan sampai kita berkata, "Tidak ini untuk semua anak cucu kita" seolah-olah mereka adalah orang-orang yang tidak akan diberkati Tuhan. Inilah mentalitas yang Tuhan kehendaki dari kita anak-anak-Nya. Kita menerima, kita dilimpahkan agar kita bisa membaginya kepada lebih banyak orang lagi. Kalau saja kita melaksanakannya, menerapkan prinsip ini sebetulnya betapa senangnya orang-orang yang dekat dengan kita dan yang bekerja untuk kita karena mereka melihat bahwa sewaktu kita diberkati dan bertambah maka mereka pun akan diberkati dan bertambah. Yang seringkali menimbulkan kecemburuan adalah sewaktu orang melihat kita berkali-kali lipat pertambahannya dan mereka hanya sedikit sedikit pertambahannya. Itulah yang menimbulkan kecemburuan dan ini tidak pernah menjadi rencana Tuhan.
GS : Dalam hal memberi memang orang ada yang suka memberi kepada seseorang atau suatu badan tertentu karena dia memeroleh bukan imbalan berupa uang lagi tapi pujian atau kepopularitasan dan sebagainya, sehingga dia merasa tidak apa-apa menyumbang ke sana karena dia dihargai dan disanjung atau dia dikenang. Ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Tuhan Yesus pernah memberikan prinsip Kalau tangan kananmu memberi, tangan kirimu jangan sampai tahu artinya janganlah kita memproklamirkan atau mempublikasikan kita memberi, sebab kita memberi kepada Tuhan bukan untuk dilihat manusia, tapi untuk dilihat oleh Tuhan. Kalau kita memberi untuk dilihat manusia maka Tuhan berkata, "Imbalan bagimu sudah kamu cicipi sekarang" dan Tuhan tidak akan tambahkan imbalan bagi kita. Jadi sewaktu kita memberi motivasi kita harus benar, demi untuk Tuhan dan untuk dilihat oleh Tuhan dan bukan untuk dilihat manusia.
GS : Jadi faktor ke enam yang harus kita perhatikan apa, Pak Paul ?
PG : Yang keenam adalah jiwa memberi lahir dari kesadaran bahwa memberi tidak harus ditentukan oleh layak atau tidaknya orang menerima pemberian melainkan oleh kerelaan untuk memberi. Berapa seringnya kita memutuskan untuk tidak memberi oleh karena di mata kita orang itu tidak layak untuk menerima pemberian kita, sudah tentu kita harus bersikap bijak namun kita pun harus berhati-hati agar kita jangan sampai mendasarkan keputusan kita untuk memberi atas dasar kelayakan orang. Bila inilah tolok ukur yang digunakan maka akan ada banyak orang yang tidak lulus uji kelayakan. Singkat kata, kita akan cepat menemukan alasan mengapa orang itu tidak selayaknya menerima pemberian kita. Jadi kalau mau memberi berilah dan jangan sampai terlalu dikuasai oleh pemikiran orang ini tidak layak dan sebagainya. Sudah tentu ada waktunya kita bijaksana dan jangan sampai kita dimanipulasi orang dan sebagainya, tapi jangan sampai pertimbangan ini menjadi pertimbangan utama, sebab kalau ini menjadi pertimbangan utama maka yang sering saya lihat adalah orang tidak akan memberi kepada siapa pun karena dia akan mendapatkan alasan bahwa orang ini tidak selayaknya menerima pemberian.
GS : Jadi hal yang kita pertimbangkan kalau kita tidak boleh asal memberi tapi kita juga tidak boleh terlalu memertimbangkan kondisi orang, hal apa yang paling penting, Pak Paul ?
PG : Jadi yang saya mau tumbuhkan adalah jiwa memberi itu sendiri. Saya berikan contoh suatu hari saya bertemu dengan seseorang yang saya tahu latar belakangnya, orang ini sudah menerima kesempatan demi kesempatan dari Tuhan tapi dia buang semuanya dan dia sia-siakan keluarganya. Hidupnya dia sia-siakan dan berbuat yang salah dari A sampai Z sehingga semuanya habis dan sudah ditolong berkali-kali oleh begitu banyak orang, tapi tetap mengulang akhirnya sampai berusia lanjut, sewaktu dia bertemu dengan saya tanpa malu akhirnya dia meminta uang kepada saya. Kalau saya menuruti hati maka saya akan berkata, "Selayaknya kamu sekarang menanggung konsekuensi perbuatanmu, engkau menghabiskan semua dan menyia-nyiakan semua maka selayaknya kamu menanggung itu". Tapi kalau saya menuruti hati saya maka saya tidak akan bisa menyuburkan jiwa memberi, jiwa memberi harusnya keluar begitu saja, jadi waktu dia meminta uang, saya kirimkan uang itu dan saya kirimkan lebih dari yang dimintanya. Sebab yang terlebih penting adalah menyuburkan jiwa memberi. Jadi sekali lagi kalau kita hanya memberi kepada orang yang kita anggap layak, maka akhirnya kita menempatkan diri sebagai atasan atau bos dan orang ini sebagai bawahan atau pekerja sehingga kita melihat pemberian sebagai upah atas kelayakannya. Ini bukanlah cara yang baik untuk menumbuhkan jiwa memberi.
GS : Ini sudah ada enam faktor yang Pak Paul sampaikan untuk bisa menumbuhkan jiwa memberi, kesimpulan dari semuanya apa, Pak Paul ?
PG : Jiwa memberi lahir dari jiwa Tuhan kita Yesus yang penuh dengan kasih karunia, yang memberi kepada kita walau kita tidak selayaknya menerima apapun dari-Nya. Roma 5:8 [4] berkata, "Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa". Dengan kata lain, Tuhan tidak menunggu sampai kita layak baru Ia bersedia mati untuk kita, Ia mati untuk kita di saat kita tidak layak menerima apapun dari-Nya apa lagi menerima pengorbanan hidup-Nya.
GS : Jadi dasar dari memberi kita memberi memang kita harus melihat Tuhan Yesus sendiri yang sudah memberikan kepada kita yang tidak layak, menerima sesuatu karena ini semata-mata anugerah yaitu keselamatan dan inilah dasar kita bisa memberikan apa yang Tuhan berikan kepada kita kepada orang lain.
PG : Tepat sekali.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Jiwa Memberi" bagian yang kedua dan yang terakhir. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telagatelaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org [5] Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
Ringkasan

Berkaitan dengan hal memberi, sesungguhnya ada dua jenis orang di dunia ini: Ada yang berusaha untuk memberi dan ada yang berusaha untuk tidak memberi. Orang yang berusaha memberi adalah orang yang mencari kesempatan untuk memberi sedang orang yang tidak memberi, senantiasi mencari alasan untuk tidak memberi. Dengan kata lain, yang membedakan keduanya adalah, yang satu mencari kesempatan sedang yang satu mencari alasan. Kita mafhum bahwa Tuhan menghendaki kita untuk menjadi orang yang memberi namun ada sebagian kita yang terus bergumul dalam hal memberi. Tidak soal sudah seberapa lama kita mengenal Kristus, kita tetap mengalami kesukaran untuk memberi. Akhirnya kalaupun kita memberi, kita melakukannya sebagai sebuah transaksi yaitu kita memberi sebab kita mengharapkan Tuhan membalas pemberian kita berlipat ganda. Apabila pemberian Tuhan tidak sesuai dengan yang diharapkan, kita pun tidak segan-segan mengurangi atau bahkan menghentikan pemberian itu.

Berikut akan dibahas faktor apakah itu yang membuat seseorang berjiwa memberi atau tidak.
  1. Jiwa memberi lahir dari kesadaran bahwa apa pun itu yang ada pada kita berasal dari pemberian-baik dari Tuhan ataupun sesama kita. Ada orang yang beranggapan bahwa apa pun itu yang ada padanya merupakan hasil keringatnya semata. Anggapan seperti ini menyulitkannya untuk memberi sebab baginya, kenapa enak betul orang menerima sesuatu darinya tanpa mengeluarkan setetes keringatpun? .
    Di dalam Alkitab ada sebuah contoh orang yang tidak memberi. Namanya adalah Nabal. Di dalam 1 Samuel 25 [6] tercatat kisah yang melibatkan Nabal dan Daud. Di dalam pelariannya Daud dan pengikutnya berkemah dekat peternakan milik Nabal. Oleh karena kehadiran Daud, maka ternak Nabal aman dari serangan perampok, sebagaimana diakui oleh para pekerja Nabal. Suatu hari Daud memberanikan diri meminta bantuan makanan kepada Nabal. Bukannya memberi, Nabal malah menghina Daud dengan berkata, "Masakan aku mengambil rotiku, air minumku dan hewan bantaian yang kubantai bagi orang-orang pengguntingku untuk memberikannya kepada orang-orang yang aku tidak tahu dari mana mereka datang?" (25:11) [7] Nabal tidak mau mengingat bahwa sesungguhnya ia telah menerima kebaikan Daud yaitu perlindungan atas ternaknya. Itu sebab ia pun tidak rela memberikan apa pun kepada Daud. Demikian pula kita. Bila kita beranggapan bahwa kita tidak merasa menerima apa pun baik dari Tuhan maupun sesama kita pun tidak rela memberi kepada Tuhan ataupun sesama. Jadi, untuk dapat menjadi orang yang berjiwa memberi kita harus menjadi orang yang selalu ingat bahwa kita sendiri adalah orang yang telah menerima pemberian baik dari Tuhan maupun sesama.
  2. Jiwa memberi lahir bukan saja dari kesadaran bahwa apa yang ada pada diri kita merupakan pemberian Tuhan dan sesama, kita pun rela untuk melepaskannya kembali sebab kita tidak pernah merasa berhak untuk memilikinya. Baik Daud maupun Saul sama-sama menyadari bahwa apa yang dimiliki mereka takhta kerajaan Israel adalah pemberian Tuhan semata. Bedanya adalah, Daud rela melepaskannya sedang Saul tidak. Sewaktu Daud jatuh ke dalam dosa, ia disadarkan akan ketidaklayakannya. Itu sebabnya ketika putranya Absalom berontak, Daud memilih untuk menyingkir. Ia pun menolak untuk membawa Tabut Perjanjian sebab ia tidak tahu apakah Tuhan akan membawanya kembali ke Yerusalem atau tidak. Coba simak apa yang dikatakannya kepada imam Zadok, "Bawalah tabut Allah itu kembali ke kota; jika aku mendapat kasih karunia di mata Tuhan, maka Ia akan mengizinkan aku kembali, sehingga aku akan melihatnya lagi, juga tempat kediamannya. Tetapi jika Ia berfirman begini, Aku tidak berkenan kepadamu, maka aku bersedia, biarlah dilakukan-Nya kepadaku apa yang baik di mata-Nya." (2 Samuel 15:25-26 [8]) Singkat kata Daud pasrah dan tidak mengungkungi takhta kerajaannya. Sebaliknya, Saul tidak bersedia melepaskan takhta kerajaannya. Sudah tentu pada awalnya ia pun menyadari bahwa sesungguhnya ia tidak layak untuk menerima kehormatan besar menjadi raja. Itu sebab pada saat Samuel ingin menobatkannya sebagai raja, ia malah bersembunyi. Coba dengarkan perkataan Saul yang begitu merendah dalam perjumpaannya dengan Samuel, "Bukankah aku seorang suku Benyamin, suku yang terkecil di Israel? Dan, bukankah kaumku yang paling hina dari segala kaum suku Benyamin? Mengapa Bapa berkata demikian kepadaku?" (1 Samuel 9:21 [9])
    Namun seiring dengan berjalannya waktu, Saul mengalami transformasiùbukan menuju ke arah kebaikan melainkan ke arah keburukan. Bukan makin merendah, ia malah makin meninggikan diri. Kendati ia jelas tahu bahwa Tuhan menolaknya, ia tidak rela melepaskan takhta. Namun ia tetap bertahan, sampai akhirnya Tuhan merengggut takhta itu dari tangannya secara tragis. Ia mati di tangan orang Filistin.
  3. Jiwa yang memberi lahir dari kesadaran bahwa rencana Tuhan terus bergulir dan bahwa pekerjaan Tuhan terus berjalan dan Tuhan mengundang kita untuk berbagian di dalamnya. Tuhan memakai pelbagai cara untuk menggenapi rencana-Nya, salah satunya adalah lewat partisipasi anak-anak-Nya melalui pemberian yang kita persembahkan kepada-Nya. Nah, kesadaran bahwa pemberian kita tidak terbuang cuma-cuma dan malah dipakai untuk kepentingan Tuhan, dapat memotivasi kita untuk memberi. Sewaktu Pendeta Andrew Gih memulai Seminari Alkitab Asia Tenggara, belum banyak orang yang memberi dukungan keuangan. Namun dukungan datang secara ajaib dan pada waktunya sehingga sekolah ini terus ada sampai sekarang. Pelayanan Telaga ini pun bisa ada sampai sekarang oleh karena dukungan anak-anak Tuhan yang memberi. Kadang Tuhan pun menggerakkan hati orang untuk memberi kepada kita sewaktu kita tengah membutuhkannya. Lewat partisipasi anak-anak Tuhan yang rela memberi, pekerjaan dan rencana Tuhan digenapi.
  4. Jiwa memberi lahir dari iman bahwa Tuhan akan menyediakan dengan setia. Jiwa memberi berkaitan erat dengan pertumbuhan iman. Bahkan dapat disimpulkan bahwa salah satu ukuran kematangan iman adalah jiwa memberi. Memberi berarti menyerahkan apa yang ada pada kita kepada pihak lain. Jika kita tidak mengimani bahwa Tuhan akan tetap menyediakan kebutuhan kita walau sekarang kita mempunyai kurang dari apa yang semula ada, akan sulit buat kita untuk memberi. Namun ada satu hal yang mesti kita camkan di sini. Cara Tuhan menyediakan belum tentu sama dengan apa yang kita harapkan. Seorang teman hamba Tuhan pernah bersaksi bahwa suatu ketika seusai ia bertugas di sebuah kota, ia bertemu dengan sekelompok anak-anak pengungsi yang kelaparan. Oleh karena iba, ia pun membelanjakan semua uangnya untuk membelikan makanan buat mereka. Masalahnya adalah, ia harus kembali ke rumahnya yang berada ratusan kilometer jauhnya. Ia lalu menghubungi salah seorang saudaranya untuk meminta bantuan. Sayangnya ternyata uang itu tidak cukup untuk membawanya pulang. Ia hanya bisa membeli karcis bus sampai kota tertentu. Dari kota itu sampai ke rumahnya ia harus mengompreng truk muatan. Kadang kita beranggapan bahwa oleh karena kita sudah memberi, maka Tuhan berkewajiban memenuhi kebutuhan kita secara pasùtidak boleh kurang dari apa yang telah kita berikan. Namun Tuhan tidak senantiasa melakukannya, bukan karena Ia kejam, tetapi karena Ia menginginkan agar relasi kita dan Dia bertumbuh menjadi relasi percaya dan kasih. Tuhan ingin agar relasi kita dan Dia bertumbuh menjadi relasi anak dan Bapa. Ia sayang kita dan akan menyediakan kebutuhan kita
  5. Jiwa memberi lahir dari kesadaran bahwa bukan saja apa yang ada pada kita merupakan pemberian, tetapi juga bahwa pemberian ini bukan untuk ditimbun melainkan untuk disebarkan. Sewaktu Tuhan memanggil Abraham, Ia menjanjikan berkat buat Abraham, namun berkat itu bukan untuk Abraham saja melainkan untuk semua kaum atau bangsa, "Aku akan . . . memberkati engkau . . . dan engkau akan menjadi berkat . . . . olehmu segala kaum di muka bumi akan mendapat berkat." (Kejadian 12:2-3 [2]) Jadi, jika kita ingin mempunyai jiwa memberi, kita pun harus selalu mengingat bahwa apa yang ada pada kita sebenarnya diberikan Tuhan kepada kita untuk disebarkan kepada lebih banyak orang, dan bukan untuk kita saja. Di dalam Lukas 12:16-21 [3] tercatat perumpamaan Tuhan Yesus tentang orang kaya yang bodoh. Disebut bodoh sebab ia terus mendirikan lumbung yang lebih besar untuk menyimpan hasil tanahnya. Ia berencana untuk ômakan, minum dan bersenang-senangö setelah menimbun semua kekayaannya. Ia bodoh sebab usahanya ternyata sia-sia. Belum sempat ia menikmati hasil tanahnya, Tuhan sudah keburu mengambil jiwanya.
  6. Jiwa memberi lahir dari kesadaran bahwa memberi tidak mesti ditentukan oleh layak atau tidaknya orang menerima pemberian melainkan oleh kerelaan untuk memberi. Berapa seringnya kita memutuskan untuk tidak memberi oleh karena di mata kita, orang itu tidak layak untuk menerima pemberian kita. Sudah tentu kita harus bersikap bijak namun kita pun mesti berhati-hati agar kita mendasarkan keputusan untuk memberi atas kelayakan orang. Bila inilah tolok ukur yang digunakan, akan ada banyak orang yang tidak lulus uji kelayakan. Singkat kata, kita akan cepat menemukan alasan mengapa orang itu tidak selayaknya menerima pemberian kita. Adakalanya kita mesti tetap memberi meski kita beranggapan bahwa orang itu tidak selayaknya menerima pemberian, sebab hanya dengan cara itu kita dapat terus menyuburkan jiwa memberi
Kesimpulan

Jiwa memberi lahir dari jiwa Tuhan kita Yesus yang penuh kasih karunia. Ia memberi kepada kita walau kita tidak selayaknya menerima apa pun dari-Nya. Roma 5:8 [10] berkata, "Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa." Tuhan tidak menunggu sampai kita layak baru Ia bersedia mati untuk kita. Ia mati untuk kita di saat kita tidak layak menerima apa pun dari-Nya, apalagi pengorbanan hidup-Nya

Pdt. Dr. Paul Gunadi [11]
Audio [12]
Pengembangan Diri [13]
T349B [14]

URL sumber: https://telaga.org/audio/jiwa_memberi_ii

Links
[1] http://media.sabda.org/telaga/mp3/T349B.MP3
[2] http://alkitab.sabda.org/?Kejadian+12:2-3
[3] http://alkitab.sabda.org/?Lukas+12:16-21
[4] http://alkitab.sabda.org/?Roma+5:8
[5] https://telaga.org/www.telaga.org
[6] http://alkitab.sabda.org/?1+Samuel+25
[7] http://alkitab.sabda.org/?1+Samuel+25:11
[8] http://alkitab.sabda.org/?2+Samuel+15:25-26
[9] http://alkitab.sabda.org/?1+Samuel+9:21
[10] http://alkitab.sabda.org/?Roma 5:8
[11] https://telaga.org/nara_sumber/pdt_dr_paul_gunadi
[12] https://telaga.org/jenis_bahan/audio
[13] https://telaga.org/kategori/pengembangan_diri_0
[14] https://telaga.org/kode_kaset/t349b