TELAGA
Dipublikasikan pada TELAGA (https://telaga.org)

Depan > Merajut Masa Lalu, Merenda Masa Depan I

Merajut Masa Lalu, Merenda Masa Depan I

Kode Kaset: 
T337A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Sebagaimana kita ketahui, siapakah diri kita sekarang merupakan kepanjangan atau produk dari masa lalu yang kita alami. Dan, masa lalu yang buruk berpotensi besar memburukkan pertumbuhan diri, yang pada akhirnya berdampak negatif pada pernikahan. Itu sebabnya kita mesti menata ulang dan merenda diri secara lebih sehat agar pernikahan menjadi sehat pula. Saya akan membagikan empat langkah untuk membangun pribadi yang sehat, yang saya rangkumkan dalam empat tema:
  1. saya tidak bahagia,
  2. saya tidak layak,
  3. saya tidak berfungsi, dan
  4. saya tidak menyerah.
Audio
MP3: 
3.4MB [1]
Play Audio: 
Your browser does not support the audio element.
Transkrip

 

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Merajut Masa Lalu, Merenda Masa Depan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

 

GS : Pak Paul, sepasang suami istri yang baru memasuki pernikahan tentunya memunyai idaman, angan-angan untuk memunyai keluarga yang sehat, yang baik, yang rukun, yang harmonis, tetapi itu ‘kan dipengaruhi banyak faktor kenyataannya setelah pernikahan itu berjalan beberapa lama apa yang diidamkan itu tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Nah, apakah ada faktor-faktor yang memengaruhi hal itu, Pak Paul ?

PG : Ada, Pak Gunawan, yang akan coba saya soroti pada kesempatan ini adalah kesehatan jiwa kita secara pribadi. Memang kita seringkali mengatakan bahwa kalau pernikahan itu bermasalah berarti kedua-duanya bermasalah, kurang bisa berkomunikasi, kurang bisa mengerti yang akhirnya menjadi masalah. Sudah tentu betul ada kalanya itu yang terjadi tetapi ada satu faktor lain yang juga penting yaitu kesehatan jiwa kita masing-masing atau kematangan, kedewasaan kita. Kita memang tidak sama, ada orang yang masuk dalam pernikahan membawa diri yang relatif sehat, berani menghadapi hidup apa adanya, berani bertanggungjawab atas pilihannya dan tindakannya, bisa memenuhi kebutuhannya, tidak bergantung kepada orang lain. Tetapi ada juga yang masuk ke dalam pernikahan tidak seperti itu, akhirnya yang tidak seperti itu, tidak sesehat itu cenderung menarik yang lebih dewasa, yang lebih matang seolah-olah digandoli sehingga yang lebih sehat pun, yang lebih bertanggungjawab pun terpengaruh. Lama kelamaan relasi mereka menjadi lebih buruk, misalkan yang satu menyalahkan yang lain, lama kelamaan sesehat-sehatnya kita, sedewasa-dewasanya kita kalau terus disalahkan seperti itu ya tidak bisa tidak akhirnya berontak, marah, mungkin akhirnya kita mengeluarkan kata-kata yang kasar. Mulailah relasi kita bermasalah, karena itu kalau saya boleh mengutip perkataan dari seorang psikolog yang bernama Neal Clark Warren, ia menegaskan bahwa seberapa sehatnya pernikahan itu bergantung pada seberapa tidak sehatnya si suami atau si istri, karena yang tidak sehat cenderung menggandoli dan membawa yang sehat turun ke bawah sehingga sama-sama tidak sehat.

GS : Padahal biasanya pasangan itu ketika masih berpacaran atau pendekatan mereka salah satu mengira, yang sehat itu mengira karena dia sehat, dia akan bisa memengaruhi yang tidak sehat supaya menjadi sehat. Katakan ada sesuatu yang kurang baik yang terlihat pada pasangannya, ia yakin nanti setelah menikah bisa berubah. Nyatanya tidak, Pak Paul.

PG : Betul, jadi misalkan saya berikan sebuah contoh. Kita sayang pada kekasih kita, akhirnya kita berkata pada kekasih kita, "Apa pun kondisimu, saya akan menerimamu", misalkan kebetulan kita mengetahui bahwa kekasih kita mengalami banyak kepahitan dalam hidupnya sehingga menyimpan banyak kemarahan tapi kita berkata,"Saya akan menjadi pemanis hidupmu, saya akan menolong kamu sehingga tidak harus hidup dalam kepahitan". Kita menikah dengan dia dan baru sadar setelah menikah kepahitan itu meluap terus-menerus dalam bentuk menyalahkan kita, menyerang kita, seolah-olah kita yang salah terus. Maksudnya baik pada awalnya mau menjadi penyelamat bagi pasangannya tetapi akhirnya kita tidak tahan, kita juga berontak. Akhirnya kita berkata, "Kapan saya boleh hidup, kapan saya boleh menikmati hidup ini, kapan saya boleh didukung ? Kamu selalu meminta saya mengerti kamu, bahwa kamu seperti ini karena apa, Oke saya mengerti kamu tetapi kapan kamu mengerti saya, kapan kamu menolong saya ? Sebab semuanya ada pada pundak yang satu ini". Jadi sekali lagi kalau yang satu sehat dan yang lain tidak sehat biasanya keduanya dibawa turun melorot semuanya tidak ada yang sehat.

GS : Dalam hal itu apakah tidak ada jalan keluarnya, Pak Paul ? Karena mereka sebagai pasangan tentu saja akan berusaha, hal-hal apa yang harus mereka kerjakan ?

PG : Pada intinya kita harus kembali kepada diri kita dan melihat siapakah diri kita. Kita mesti berubah pada intinya, saya kutipkan dari Roma 12:2 [2], firman Tuhan berkata, "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah : apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna". Dengan kata lain, kita benar-benar harus mengalami transformasi atau perubahan dan kita tidak bisa lagi hanya melihat pasangan. Kita mesti menengok pada diri kita dan berkata, "Ya, Oke saya memunyai masalah, saya memunyai kelemahan di sini, mau diubahkan". Setelah kita mengalami semua ini baru kita bertumbuh lebih dewasa. Kalau kita terus hanya menatap pasangan, menyalahkannya terus-menerus, sampai kapan pun tidak akan ada perubahan.

DL : Berarti mengalah untuk suatu kemenangan dalam keluarga.

PG : Seringkali kita harus bersedia melihat diri kita, Bu Dientje dan memang mengakui kelemahan-kelemahan kita supaya kita bisa mengoreksinya, jangan sampai kita hanya membebankan semua problem kita pada pasangan kita.

GS : Tapi perubahan itu tidak bisa terjadi dalam sekejap, lalu bagaimana Pak Paul ?

PG : Perubahan itu harus melewati fase-fase, memang tidak sekejap. Kita juga mau mengatakan kepada para pendengar kita kalau kita merasa pasangan kita seperti itu, kita memang harus bersabar karena pasangan itu tidak bisa berubah dengan cepat, perlu waktu yang panjang. Pada kesempatan ini saya akan bagikan dua langkahnya dulu dan pada kesempatan berikutnya kita akan bahas yang dua lagi. Yang pertama yang ingin saya angkat adalah sebuah konsep "Saya tidak bahagia", yang kedua yang akan kita bahas juga adalah konsep "Saya tidak layak". Dalam rencana Tuhan yang memang tidak selalu kita bisa pahami, Tuhan menempatkan kita dalam keluarga yang berbeda-beda. Ada yang ditempatkan di keluarga yang hangat, ada yang kurang hangat, ada yang tenteram, ada yang sering bertengkar, ada yang harmonis, ada yang sering bergontokan. Kalau kita kebetulan ditempatkan Tuhan dalam keluarga yang tegang, dingin, sering berkonflik akhirnya kita harus menyadari satu hal, bahwa sebetulnya orang tua kita orang tua yang tidak bahagia. Bertahun-tahun mereka hidup dalam problem, tidak ada kebahagiaan sama sekali akhirnya mereka benar-benar menjadi pribadi-pribadi yang tidak bahagia. Kondisi itu mereka tidak bisa tidak akan mulai tularkan kepada kita, anak-anaknya sehingga pada akhirnya kita akan menerima. Mengapa begitu ? Sebab orang tidak bisa terus-menerus hidup dalam ketidakbahagiaan, pada waktu papa tidak bahagia, mama tidak bahagia, mereka akan melampiaskan ketidakbahagiaan itu kepada satu sama lain dan akhirnya kepada anak-anak pula. Dimulailah sebuah siklus di sini, kita tidak merasa bahagia kita lemparkan kepada pasangan kita akhirnya anak-anak kita juga tidak merasa bahagia. Berputar-putarlah siklus itu, akhirnya yang terjadi adalah begitu kita tidak merasa bahagia, kita juga melemparkan ketidakbahagiaan kita kepada orang yang dekat kita, dalam hal ini nantinya kepada pasangan kita sendiri. Kita adalah produk dari keluarga yang tidak bahagia, orang tua kita tidak bahagia, ketidakbahagiaan mereka jatuh kepada kita, kita juga tidak merasa bahagia dan akan melemparkan ketidakbahagiaan kita kepada istri kita atau suami kita. Dari sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa ketidakbahagiaan itu menular dan menjalar. Karena satu orang tidak bahagia, dua orang tidak bahagia; karena dua orang tidak bahagia, tiga orang tidak bahagia dan begitu seterusnya akhirnya satu keluarga tidak bahagia.

GS : Kalau mau kita runtut orang tua kita itu juga produk dari kakek nenek kita, jadi tidak ada habisnya. Apakah kita bisa begitu saja menyalahkan orang tua kita bahwa saya ini tidak bahagia karena berasal dari keluarga yang tidak bahagia. Tidak bisa secepat itu, Pak Paul.

PG : Yang saya maksudkan adalah, saya tidak mau kita menyuburkan sikap menyalahkan orang tua, menyalahkan keturunan di atas kita, tidak ! Yang saya mau coba lakukan adalah mengajak kita melihat anatominya, prosesnya mengapa sampai seperti ini. Saya coba untuk menyederhanakan konsep ini dan bahwa sebetulnya semua dimulai dari ada dua orang yang tidak bahagia dalam keluarga kita, oleh karena dua orang tidak bahagia, keduanya saling melemparkan ketidakbahagiaannya kepada satu sama lain. Anak-anak yang dibawa akhirnya menerima tetesan ketidakbahagiaan itu. Pada waktu orang tua saling menyalahkan, bertengkar dan sebagainya, semua itu akan menetes kepada anak-anak dan anak-anak tidak mungkin bahagia dalam keluarga yang seperti itu pula. Jadi masing-masing menyimpan ketidakbahagiaan, kalau kita bicarakan dari sudut kebahagiaan dan sebagainya tampaknya sangat duniawi seolah-olah kita tidak boleh berbicara tentang kebahagiaan tetapi sebetulnya ini hal yang penting. Kalau hati kita tidak ada kebahagiaan, tidak ada sukacita bagaimana bisa menjalin relasi yang penuh sukacita dan bagaimana anak-anak kita bisa menikmati relasi keluarga yang hangat, saya kira hal itu tidak mungkin.

GS : Apakah ada ciri-ciri dari relasi yang tidak membahagiakan itu, Pak Paul ?

PG : Orang yang tidak bahagia biasanya akan menuntut orang lain untuk membahagiakan dia, jadi artinya dia akan benar-benar memaksa pasangannya untuk mengerti dirinya. Semakin dia dimengerti, semakin dia bahagia, harus mengetahui apa yang dia inginkan dan apa yang tidak diinginkan, harus mengerti isi hatinya. Dengan kata lain, sebetulnya dia menuntut orang dalam hal ini pasangannya untuk membahagiakan dia, pada waktu orang itu tidak bisa mengerti dia dengan begitu baik, tidak bisa mengetahui isi hatinya dengan baik, dia marah karena dia merasa, "inilah tugasmu seharusnya membahagiakan saya". Mengapa begitu, karena pada dasarnya dia sudah tidak bahagia.

GS : Tuntutan itu diberikan kepada pasangan maupun anaknya, begitu Pak Paul ?

PG : Seringkali demikian, jadi akhirnya ketidakbahagiaan tersebut makin hari makin kompleks karena misalnya suami tidak bahagia, melemparkannya kepada si istri sehingga istri juga tidak bahagia sebab suami juga mengomel dan mengeluh. Si istri juga tidak bisa lagi hidup dengan bahagia, pada akhirnya si istri memikul dua ketidakbahagiaan, dia tidak bahagia, suaminya tidak bahagia, dia membawa kedua-duanya. Si suami tidak bahagia, si istri dituntut seperti itu tidak bahagia, dia juga memikul dua ketidakbahagiaan. Si anak menerima dari papa dan mama ketidakbahagiaan itu, si anak akhirnya akan menyerap dua ketidakbahagiaan, baik dari ayah maupun dari ibu ditambah dia sendiri tidak bahagia berarti dia memikul tiga ketidakbahagiaan. Makin bertambah besar makin bertambah kompleks. Ketika anak yang tidak bahagia melihat papa mamanya tidak bahagia besar kemungkinan dia tidak bisa secara hitam putih menentukan siapa yang salah, siapa yang membuat yang lainnya tidak bahagia. Kadang-kadang tidak begitu jelas akhirnya dia merasa bingung karena dia mencoba melihat dari sisi papanya, mamanya salah; dari sisi mamanya papanya salah akhirnya dia tambah merasa tertekan tidak bisa melihat lagi solusinya bagaimana. Benar-benar anak merasa bingung dan kompleks sekali ketidakbahagiaan itu dalam hidupnya.

GS : Jadi sebenarnya secara teoritis makin panjang urutan keluarga itu, makin ke bawah makin bertambah tidak bahagia, Pak Paul.

PG : Yang saya saksikan dalam banyak kasus, anak-anak yang lebih kecil harus menanggung misalnya kemarahan-kemarahan kakak-kakaknya, kadang-kadang ada anak bukan saja korban orang tuanya tidak bahagia sering konflik. Anak-anak yang di bawah, yang kecil-kecil itu juga harus menanggung kemarahan-kemarahan, masalah-masalah perilaku dari kakak-kakaknya, jadi kena semua.

GS : Bagi suami istri itu sendiri ketika orang tuanya atau mertuanya masih hidup, yang dia merasa ketidakbahagiaan itu berasal dari mereka, itu ‘kan menambah ketidakbahagiaan suami istri itu sendiri ?

PG : Betul sekali, kalau dia mengingat-ingat orang tuanya begini begitu, tambah marah, tambah tidak bahagia jadi sekali lagi kita melihat bahwa ketidakbahagiaan itu akan sangat kompleks sekali. Waktu ini terjadi kita berusaha mencari solusi untuk melenyapkan ketidakbahagiaan karena kita tidak bisa hidup terus-menerus dengan hati yang tidak bahagia, tidak bisa ! Kita mau mencari solusi, ada yang solusinya salah, berjudi, ada yang bekerja siang malam, ada yang berselingkuh, kalau anak ada yang mencari solusinya dengan berbuat ulah di sekolah, bermasalah dengan pergaulan, tetapi ada orang tua yang mencari solusinya dengan cara memberi tuntutan kepada anak untuk melenyapkan ketidakbahagiaannya. Artinya anak dituntut untuk meringankan beban orang tuanya. Kalau anak dituntut seperti itu, anak akan terlibat dalam relasi yang tidak sehat, mengapa ? Di satu pihak dia mendapatkan "kehormatan" untuk menjadi penyelamat orang tuanya, tapi di pihak lain dia harus mengabaikan kepentingan dirinya demi kebahagiaan orang tuanya, artinya dia tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, dia terpaksa hidup hanya untuk membahagiakan orang tuanya. Akhirnya benar-benar buat dia misi hidup ini hanya satu, bagaimana membahagiakan orang tuanya, oleh karena itu yang dituntut oleh orang tuanya.

DL : Ada juga anak yang karena keadaan begitu, dia merasa tidak usah menikah daripada membuat orang lain menderita.

PG : Ada karena memang sudah melihat contoh yang tidak baik dalam keluarganya. "Untuk apa yang menikah kalau akhirnya akan menjadi seperti orang tua saya juga". Tidak usah menikah !

DL : Untuk mengatasi anak seperti ini, apa nasihat kita, Pak Paul ?

PG : Memang agak sulit kalau kita memang bermasalah, sebab bagaimana pun juga anak akan berkata, "Papa mama tidak usah berbicara, untuk apa memberitahu kepada kami anak-anak bagaimana memelihara pernikahan, disuruh menikah dan sebagainya, papa mama sendiri seperti ini hidupnya !" Jadi agak susah kalau kita sendiri sudah bermasalah.

GS : Tetapi dengan anak ini tidak menikah itu menimbulkan ketidakbahagiaan lagi di dalam dirinya dan itu tetap akan dituntut kepada orang tuanya atau kepada pihak lain.

PG : Misalnya kepada rekan-rekan kerjanya dan sebagainya, memang kalau kita tidak bahagia akhirnya kita akan menuntut sana sini untuk membuat kita bahagia. Ada satu hal lagi yang saya ingin sampaikan yaitu dampak langsung ketidakbahagiaan orang tua pada sikap atau cara anak berelasi. Orang tua yang tidak bahagia akan melampiaskan ketidakbahagiaannya kepada anak, seringkali pelampiasan itu berwujud pertama keluhan dan kedua kritikan, coba saya jelaskan. Keluhan artinya orang tua itu akan terus-menerus mengeluh tentang situasi yang tidak membahagiakannya, gerejanya, tempat pekerjaannya, teman-temannya, hidup itu diisi dengan keluhan, keluhan, keluhan. Yang kedua, orang tua yang tidak bahagia cenderung melemparkan kritik-kritik kepada si anak, kamu seharusnya begini dan begini, akhirnya anak dari kecil terus mendengar keluhan orang tuanya dan mendengar kritikan orang tuanya. Apa dampaknya kepada anak ? Kalau dia sering mendengar keluhan-keluhan, anak mengembangkan pandangan negatif terhadap orang lain, tidak lagi percaya pada niat baik orang lain. Anak akan menganggap dunia ini penuh dengan orang-orang yang tidak baik, palsu, sedangkan anak yang terima kritikan dari orang tua "Kamu begini, seharusnya begitu" dan lain-lain dibanding-bandingkan dengan anak lain karena orang tuanya tidak bahagia, anak akan memandang diri dengan negatif. Ia akan melihat dirinya kurang, tidak sama dengan anak lain, banyak masalah dan sebagainya. Si anak hidup dengan konsep diri yang sudah buruk.

GS : Ada sebagian anak yang mengambil sikap bertahan, defensif, apakah itu juga merupakan salah satu cara anak ini menahan kritikan-kritikan, Pak Paul ?

PG : Normal sekali akhirnya anak tidak lagi mau menerima kritikan karena dia harus melindungi diri, akhirnya dia mencoba melawan orang tuanya dikritik, nah dia bawa hal ini ke dalam kehidupannya, ke dalam pernikahannya. Dia menjadi orang yang tidak bisa diberitahu oleh pasangannya, bila pasangannya memberitahu dia, marah, defensif tidak bisa terima karena memang sudah terlalu sering dikritik dulu, sehingga tidak bisa mudah menerima kritikan dari orang lain pula.

DL : Menghadapi anak seperti ini bagaimana, Pak Paul ?

PG : Kita harus membereskan dulu relasi kita dengan pasangan kita dan yang kedua mengakui pada anak kita bahwa kita memunyai masalah. Yang ketiga, kita katakan pada anak kita, "Kalau pun kamu tidak bisa, hargai kami karena kami bukanlah contoh yang baik, tapi tolong dengarkan nasihat saya ini sebab nasihat ini keluar dari hati untuk menolong kamu. Tidak ada motivasi lain, kalau pun kamu tidak bisa menghargai kami tidak apa-apa, tolong dengarkan nasihat kami". Mudah-mudahan anak masih bisa mendengarkannya.

GS : Selain merasa tidak bahagia, apakah ada hal lain yang bisa merusak kesehatan suatu keluarga, Pak Paul ?

PG : Karena orang tua tidak bahagia, akhirnya ketidakbahagiaan diteruskan kepada anak-anak semuanya, dampaknya pada anak, anak seringkali merasa dirinya tidak layak untuk bahagia. Dengan kata lain, sesuatu terjadi dalam dirinya yaitu penghargaan dirinya mulai rusak, dia beranggapan bahwa dia tidak layak mengalami sesuatu yang baik, dia ditakdirkan untuk hidup susah. Dia juga meyakini bahwa dia tidak akan mengalami kebahagiaan, ini bisa dimengerti sebab dia seumur hidup tidak bahagia, melihat orang tuanya seperti itu. Dia tidak lagi percaya bahwa dia akan dapat menikmatinya kehidupannya bahagia. Masalahnya adalah dia mulai menyalahkan orang lain, bahwa "engkaulah penyebabnya saya tidak bahagia". Memang betul awalnya karena hubungan orang tuanya, tapi lama kelamaan dia membawa hal ini ke mana-mana, dia selalu melihat orang sebagai penyebab mengapa dia tidak bahagia. Dia cenderung beranggapan orang tidak suka kepadanya, orang memang berniat menolaknya, akhirnya dia makin hari makin terpisah dari orang lain dan makin merasa orang juga tidak menyukainya dan relasi mereka makin hari makin buruk.

DL : Menghadapi anak seperti ini bagaimana, Pak Paul, kalau dia merasa tidak layak dan lain-lain.

PG : Tadi saya sudah singgung memang kita harus berbicara baik-baik dengan dia bahwa "kami bertanggungjawab, kami memang penyebabnya tetapi coba dengarkan jangan sampai kamu terpuruk sebab ini hidupmu, jangan sampai kamu juga turut menghancurkan, menenggelamkan hidupmu, cobalah kamu dengarkan orang, coba kamu bergaul dengan orang, berelasi dengan orang". Jadi kita berikan dia tanggungjawab untuk memulai hidup yang lebih baik bagi dirinya sendiri.

GS : Tapi anak ini tetap menuntut orang lain supaya memberikan kebahagiaan itu kepadanya. Dia tetap merasa berhak untuk mendapat kebahagiaan itu, Pak Paul.

PG : Seringnya begitu, di satu pihak dia kasihan tidak layak menerima kebahagiaan tapi di pihak lain dia menuntut orang untuk memberikan kebahagiaan kepada dirinya. Tanggungjawab terbesar mengapa dia tidak bahagia akhirnya jatuh pada pundak orang lain, kalau kita suaminya atau istrinya, kita yang akan kena. Akhirnya kita yang terus-menerus harus menyuplai kebahagiaannya itu dan akhirnya kita merasa lelah meskipun kita mengasihi dia tapi kita tidak sanggup lagi menjadi pemasok kebahagiaan dia dan kita mengelak. Begitu kita mengelak, dia akan menuduh kita, "Kamu tidak lagi menghormati saya, tidak lagi peduli kepada saya, tidak lagi mencintai saya", dia marah, dia mengejar kita untuk memberikan kebahagiaan itu. Makin kita dikejar, makin kita mengelak, makin kita lari, makin dia mengejar kita dan makin dia merasa dirinya tidak layak, dia makin menuntut kita memberikan kebahagiaan itu kepada dirinya.

GS : Jadi selalu ada pertanyaan kepada pasangannya itu, "Kamu itu sebetulnya cinta saya atau tidak ?" Yang ditanya kadang-kadang bosan, jenuh, seolah-olah meragukan cinta kita, atau kasih kita atau usaha kita untuk membahagiakan dia, Pak Paul.

PG : Rasanya tidak akan pernah cukup, jadi memang akan lelah sebab yang satu akan berkata, "Apa lagi yang harus saya lakukan, bukankah sudah cukup saya sudah berbuat begini begini, tetapi akhirnya selalu saja ditemukan kesalahan, kekurangan, harus begini, harus begitu. Jadi kita melihat dampak yang dialami oleh dia pada waktu kecil itu, karena pada waktu kecil mungkin sekali itu yang diterimanya, orang tuanya berkata, "Kamu begini kamu begitu, kamu kurang begini, kamu kurang begitu", karena mereka sendiri juga bermasalah. Jadi kita melihat panjang dampak keluarga kalau memang bermasalah.

GS : Semakin pasangannya tidak menghiraukan dia, dia makin merasa tidak layak untuk dikasihi, begitu Pak Paul.

PG : Nah, akhirnya dia seolah-olah makin berkata, "Bukankah benar saya memang tidak layak, oleh karena itu pasangan saya juga tidak mengasihi saya", tapi dia luput melihat dia berandil, dia juga menyumbangsihkan mengapa pasangannya tidak tahan dengan dia. Sulitnya dia tidak bisa melihat itu, dia hanya berkata mengasihani dirinya, "Saya memang tidak layak, saya memang tidak layak" tapi tidak mau melihat saya bersumbangsih juga dalam masalah ini.

DL : Berarti pasangannya juga harus banyak berdoa menghadapi orang yang seperti ini.

PG : Benar-benar harus banyak berdoa, karena dengan kekuatan sendiri tidak bisa, kita akan merasa lelah dan bisa jadi benar-benar kita mau mengelak dari dia.

GS : Jadi kita juga tidak bisa mengharapkan dia berubah apalagi dalam waktu singkat, satu-satunya cara ya kita yang harus berubah menyikapi pasangan yang seperti ini karena bagaimana pun juga kita percaya bahwa itulah pasangan yang Tuhan sediakan bagi kita, begitu Pak Paul.

PG : Meskipun letih tapi kita berusaha untuk mengomunikasikan kepada dia bahwa "saya tetap mencintaimu, saya hanya kadang-kadang letih dan berikanlah saya ruangan untuk menyendiri sebentar tapi saya akan bersamamu lagi". Dia mesti mengetahui bahwa kita tidak meninggalkannya, mungkin dengan keterbukaan kita seperti ini dan mudah-mudahan dia bisa percaya jadi bisa berlanjutlah relasi ini.

GS : Memang bukan suatu pekerjaan atau tugas yang mudah untuk merajut masa lalu yang sudah terkoyak-koyak itu sekaligus merenda masa depan kita dalam suatu keluarga. Perbincangan ini semakin menarik saja namun karena keterbatasan waktu kita akan hentikan di sini dan kita akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang, tentunya kita berharap para pendengar kita akan mengikuti perbincangan kita pada kesempatan yang akan datang.

Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Merajut Masa Lalu Merenda Masa Depan" bagian yang pertama, kami berharap anda bisa mengikuti kelanjutan dari perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org [3] kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org [4]. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.

Ringkasan

Neal Clark Warren, seorang psikolog Kristen di Amerika, menegaskan bahwa seberapa sehatnya suatu pernikahan sesungguhnya bergantung pada seberapa tidak sehatnya si suami atau si istri itu sendiri.

Martin Berkowitz, seorang pakar pendidikan karakter di Amerika, menyimpulkan dengan tepat, "Cara terbaik menciptakan dunia yang lebih adil dan lebih mempedulikan satu sama lain (caring) adalah dengan cara menciptakan manusia yang lebih adil dan lebih mempedulikan satu sama lain." Singkat kata, cara terbaik menciptakan pernikahan yang lebih sehat adalah dengan cara menciptakan pribadi suami dan istri yang lebih sehat pula.

Firman Tuhan pun mengajarkan hal yang sama. Perubahan atau transformasi mesti terjadi pada level pribadi, sebagaimana disarikan dengan indah dalam Roma 12:2 [2], "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna."

Sebagaimana kita ketahui, siapakah diri kita sekarang merupakan kepanjangan atau produk dari masa lalu yang kita alami. Dan, masa lalu yang buruk berpotensi besar memburukkan pertumbuhan diri, yang pada akhirnya berdampak negatif pada pernikahan. Itu sebabnya kita mesti menata ulang dan merenda diri secara lebih sehat agar pernikahan menjadi sehat pula. Saya akan membagikan empat langkah untuk membangun pribadi yang sehat, yang saya rangkumkan dalam empat tema:

  1. saya tidak bahagia,
  2. saya tidak layak,
  3. saya tidak berfungsi, dan
  4. saya tidak menyerah.

Ø  SAYA TIDAK BAHAGIA

Berikut akan dijelaskan beberapa ciri relasi yang tidak membahagiakan dan dampaknya pada anak.

Pertama, secara alamiah kita tidak nyaman dengan ketidakbahagiaan dan akan berusaha untuk mengeluarkannya. Masalahnya adalah, bukan saja kita melampiaskan ketidakbahagiaan itu kepada satu sama lain, kita pun melampiaskannya pada anak-anak pula. Jadi, dimulailah sebuah siklus berputar: Karena merasa tidak bahagia, kita melampiaskannya pada satu sama lain. Alhasil baik pasangan maupun anak merasa tidak bahagia karena ditimpakan ketidakbahagian. Mereka pun melemparkan ketidakbahagian itu kepada kita. Begitu seterusnya.

Kedua, akibat perputaran ketidakbahagiaan itu, sebenarnya ketidakbahagiaan bertambah besar dan bertambah kompleks. Ketika suami merasa tidak bahagia dan melemparkan ketidakbahagiannya itu kepada si istri sehingga membuat si istri tidak bahagia. Sewaktu orangtua melemparkan ketidakbahagiaannya kepada anak, tidak bisa tidak, anak akan menyerap dua ketidakbahagiaan—dari ayah dan ibu. Bukan saja bertambah besar, ketidakbahagiaan itu makin bertambah kompleks. Anak akan bingung karena ia melihat dari masing-masing sisi—ayah dan ibu. Ia pun tambah tertekan karena ia tidak melihat solusi dari kemelut masalahnya.

Ketiga, pada akhirnya kita berusaha mencari solusi untuk melenyapkan ketidakbahagiaan. Ada orangtua yang mendapatkan solusinya di luar keluarga—dengan berjudi, bekerja siang dan malam, atau berselingkuh. Ada anak yang mencari solusi dengan berbuat ulah di sekolah atau dalam pergaulan. Sayangnya, ada pula orangtua yang mencari solusi dengan cara memberi tuntutan kepada anak untuk melenyapkan ketidakbagiaannya. Anak yang mendapat tuntutan untuk meringankan beban ketidakbahagiaan orangtua akan terlibat dalam sebuah relasi yang tidak sehat.

Ø  SAYA TIDAK LAYAK

Akibat jeratan siklus ketidakbahagiaan si anak keluar dari rumah dan masuk ke dalam dunia dengan sebuah papan pengumuman: "Saya Tidak Layak." Ia merasa tidak layak untuk bahagia. Singkat kata ia kehilangan sesuatu yang sangat penting bagi pertumbuhan anak: penghargaan diri (self-esteem). Anak yang tidak memiliki penghargaan diri pada akhirnya beranggapan bahwa ia tidak layak mengalami sesuatu yang baik. Ia ditakdirkan untuk hidup susah dan ia pun meyakini bahwa ia tidak akan mengalami kebahagiaan.

Masalahnya adalah, secara diam-diam ia menyalahkan orang lain sebagai penyebab mengapa ia tidak layak untuk bahagia. Memang pada awalnya ia menyalahkan orangtua sebagai penyebab mengapa ia menjadi seperti itu. Namun setelah ia dewasa dan berada di luar rumah, ia pun mulai mengalihkan pandangannya kepada orang di sekelilingnya.

Sudah tentu pola ini akan dibawanya ke dalam pernikahan. Ia menuntut pasangan untuk membahagiakannya. Tidak bisa tidak, sikap seperti ini akan meletihkan pasangan—dan juga dirinya. Pasangan merasa tidak sanggup lagi menjadi pemasok kebahagiaan dan berusaha mengelak. Masalahnya, begitu mengelak, dengan cepat ia akan menuduh bahwa pasangan sudah tidak mencintainya lagi. Maka dimulailah sebuah siklus baru: ia mengejar pasangan supaya membahagiakannya, pasangan berusaha mengelak dan menjauh, makin menjauh makin ia merasa diri tidak layak, dan makin merasa tidak layak, makin ia memaksa pasangan membuatnya layak dan bahagia.

Ø  SAYA TIDAK BERFUNGSI

Kegagalan akhirnya menjadi bagian hidup si anak yang tak terelakkan lagi. Ia gagal membina pertemanan sehingga pada akhirnya ia cenderung menyendiri. Persahabatan menjadi dangkal dan karena ia menyadari bahwa persahabatan akan berakhir dengan kekecewaan, ia pun menjaga jarak. Ia berteman seaman mungkin dan berusaha memelihara jarak senyaman mungkin.

Pernikahan juga menjadi ajang kegagalannya. Kendati ia lebih banyak menyalahkan pasangan, namun kenyataan pahit berada di pelupuk mata: ia telah gagal membina pernikahan yang harmonis. Pasangan tidak lagi mencintainya, anak tidak dekat dan tidak menghargainya. Semua seakan membalikkan badan dan meninggalkannya. Pada akhirnya ia melihat diri sebagai seorang manusia yang tidak lagi berfungsi.

Pada umumnya kita baru sampai pada tahap ini di usia pertengahan. Pada saat itu anak-anak sudah akil balig dan meninggalkan rumah. Hubungan dengan pasangan telah menjadi begitu renggang sehingga tidak ada lagi perasaan intim yang tersisa. Jika kita masih memunyai pekerjaan, mungkin itu menjadi penghibur tunggal. Namun tetap, di dalam hati kita merasa kosong dan tidak bahagia—sangat tidak bahagia.

Ø  SAYA TIDAK MENYERAH

Tidak peduli berapa pun usia kita, bila kita menyadari bahwa inilah gambaran diri kita, masih ada yang dapat kita lakukan untuk membelokkan arah hidup. Syaratnya satu: "Saya tidak menyerah."

Langkah pertama merajut masa lalu dan merenda masa depan adalah membuka mata lebar-lebar dan melihat apa yang telah terjadi. Cobalah melihat apa adanya tanpa rasa takut menghakimi atau memihak siapa pun. Lihatlah apa yang dilakukan orangtua terhadap satu sama lain dan terhadap kita pula. Jangan tergesa-gesa menganugerahkan pengertian dan jangan buru-buru membasuh tindakan yang salah. Lihatlah apa adanya.

Ketakutan terbesar—yang menjadi penghalang proses pertama ini—adalah ketakutan akan kehilangan satu-satunya yang berharga dalam hidup kita. Ibarat rumah yang terbakar, kita mengais dan berhasil menemukan puing atau sisa peninggalan yang kemudian kita simpan dan jadikan kebanggaan serta identitas diri. Misalkan kita berkata, "Sejelek-jeleknya keluarga saya, mereka tidak akan mengemis belas kasihan." Inilah puing yang kita simpan dan jadikan kebanggaan. Masalahnya adalah, kebanggaan ini akan menghalangi kita untuk melihat apa yang terjadi dengan lebih jernih. Kita tidak lagi dapat melihat kenyataan bahwa ada begitu banyak hal lain yang menyakitkan oleh karena adanya kebanggaan itu. Itu sebabnya menanggalkan kebanggaan tidaklah mudah. Melihat semua apa adanya adalah sukar namun mesti dilakukan.

Ketika kita berhasil melihat apa adanya, barulah kita dapat melihat dampak semua itu pada diri kita. Inilah langkah kedua. Kritikan telah membuat kita kritis dan sukar menerima, baik kelemahan diri sendiri atau orang lain. Keluhan membuat kita tidak mudah—dan mungkin tidak pernah—mempercayai orang lain. Ketidakbahagiaan yang mengendap membuat kita bukan saja tidak bahagia tetapi juga merasa diri tidak layak mengecap kebahagiaan.

Bila kita berhasil mengakui semua itu, barulah kita dapat mulai merajut masa lalu. Dengan kata lain, barulah kita dapat menjahit sebuah diri yang bernama, "Saya." Inilah diri kita yang seutuhnya karena kita berhasil merajut semua potongan yang tadinya tercecer dan terlupakan. Sebelumnya kita belum mempunyai diri yang utuh karena kita membangun konsep siapakah saya di atas satu atau dua puing yang kita banggakan. Baik atau buruk, membanggakan atau memalukan, hitam atau putih, kudus atau kotor, semua dirajut menjadi sebuah baju—sebuah diri—yang bernama, "Saya." Inilah langkah ketiga.

Di dalam kebebasan barulah kita dapat mulai merenda. Inilah langkah keempat dan terakhir. Di atas baju yang kosong kita mulai membubuhkan bordiran—satu demi satu. Kita menyadari apa yang dapat kita lakukan dan apa yang tidak dapat kita lakukan dengan baik. Kita menyadari kebutuhan kita sekaligus tanggung jawab kita untuk memenuhinya. Kita menyadari batas antara diri dan orang lain dan bahwa kita tidak bisa seenaknya masuk ke dalam wilayah orang dan menuntutnya untuk memberi kepada kita sesuatu yang kita inginkan. Di dalam merenda masa depan barulah kita sadar bahwa kita tidak perlu besar dan penting untuk bahagia. Yang membuat bahagia adalah menikmati apa yang telah diberikan Tuhan dan memberikannya kembali kepada Dia. Firman Tuhan berkata, "Siapa mengerjakan tanahnya akan kenyang dengan makanan tetapi siapa mengejar barang yang sia-sia akan kenyang dengan kemiskinan." (Amsal 28:19 [5])

Ada yang diberikan tanah yang luas, ada yang diberikan tanah yang kecil. Terpenting adalah kita mengerjakan tanah sendiri. Tuhan telah berjanji bahwa apabila kita mengerjakan tanah sendiri, kita akan kenyang. Dengan kata lain, tidak peduli ukuran luasnya, semua tanah yang diberikan Tuhan cukup untuk mengenyangkan kita.

Sebaliknya, bila kita menengok ke kanan dan ke kiri dan mengejar "fantasi" atau barang yang sia-sia, sampai kapan pun kita tidak akan pernah kenyang.

Tanah sendiri, baju sendiri, diri sendiri. Itulah pemberian Tuhan kepada kita. Apa pun yang terjadi di masa lalu, rajutlah semua potongan yang terkoyak menjadi satu pakaian yang pas dan nyaman. Setelah itu mulailah kerjakan. Ibarat tanah, pacullah, berilah air, taburkan pupuk, dan tanamilah. Nikmatilah hasilnya dan berikanlah kembali kepada Tuhan. Inilah yang akan membuat kita berkata, "Saya bahagia."

Pdt. Dr. Paul Gunadi [6]
Audio [7]
Pengembangan Diri [8]
T337A [9]

URL sumber: https://telaga.org/audio/merajut_masa_lalu_merenda_masa_depan_i

Links
[1] http://media.sabda.org/telaga/mp3/T337A.MP3
[2] http://alkitab.sabda.org/?Roma+12:2
[3] mailto:telaga@telaga.org
[4] http://www.telaga.org
[5] http://alkitab.sabda.org/?Amsal+28:19
[6] https://telaga.org/nara_sumber/pdt_dr_paul_gunadi
[7] https://telaga.org/jenis_bahan/audio
[8] https://telaga.org/kategori/pengembangan_diri_0
[9] https://telaga.org/kode_kaset/t337a