TELAGA
Dipublikasikan pada TELAGA (https://telaga.org)

Depan > Berkomunikasi Lebih Lembut

Berkomunikasi Lebih Lembut

Kode Kaset: 
T335A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Salah satu kelemahan pria adalah berkomunikasi dengan istri secara lembut. Pria bisa menjadi seorang orator yang baik namun belum tentu ia dapat berkomunikasi dengan istri secara lembut. Mengapakah demikian? Pembahasan ini menjelaskan cara-cara agar suami belajar berkomunikasi secara lembut
Audio
MP3: 
3.4MB [1]
Play Audio: 
Your browser does not support the audio element.
Transkrip

 

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Berkomunikasi Lebih Lembut". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

 

DL : Pak Paul, saya ingin bertanya, mengapa kita harus berkomunikasi dengan lebih lembut terhadap pasangan kita ?

PG : Karena begini, kalau misalnya kita mendengar suami kita berbicara kepada kita dengan keras, kasar, seberapa besar pun cinta kepadanya, lama-lama akan membuat kita enggan untuk menjalin komunikasi dengan dia karena dia tidak suka menjadi objek kemarahannya, kekasarannya. Akhirnya lama-lama kita menjauh dengan cara mengurangi komunikasi, akhirnya yang terjadi adalah hubungan kita bukan makin mendekat malah makin retak. Kalau sudah mulai retak seperti itu, segala jenis konflik mudah untuk muncul.

GS : Kadang-kadang memang ada orang yang suaranya keras dan bahasanya juga kasar dan itu di beberapa suku tertentu di negara kita, kita bertemu dengan orang-orang yang seperti itu, Pak Paul. Jadi harus bagaimana ?

PG : Sudah tentu kalau kita berasal dari budaya yang sama, mungkin kita akan lebih mudah untuk menerimanya, tetapi kalau kita kebetulan dari budaya yang berbeda, maka sudah tentu yang harus dilakukan adalah bukan saja kita belajar menerimanya, tapi pasangan kita yang berasal dari budaya yang keras dan kasar itu juga perlu menyesuaikan diri dengan kita. Sebab sekali lagi pernikahan merupakan penyatuan dari 2 pribadi dari latar belakang yang berbeda. Kita tidak bisa berkata, "Inilah saya, kamu harus terima saya apa adanya tanpa saya harus melakukan apa pun untuk menyesuaikan diri dengan engkau". Jadi mesti ada penyesuaian dari kedua belah pihak.

GS : Seringkali terjadi di mana salah satu berkata, "Yang saya maksud bukan begitu, saya tidak marah" dan sebagainya, begitu Pak Paul.

PG : Kalau misalkan orang itu berkata seperti itu, kita yang mendengarnya bisa berkata begini, "Oke, kalau begitu saya mengerti, saya tidak apa-apa namun untuk lain kali kalau misalnya kamu berbicara lebih lembut lagi, atau gunakan kata ini daripada kata yang itu yang kamu ingin gunakan". Jadi bisa lebih diterima oleh pasangannya juga, sudah tentu kita mesti sabar bahwa pasangan tidak berubah dalam waktu 1 atau 2 minggu, tapi perlu diingatkan lagi, diingatkan lagi sehingga pasangan lebih belajar untuk melembutkan kata-katanya.

DL : Apa sebabnya orang laki-laki itu temperamennya itu lebih kasar nampaknya bila berbicara ?

PG : Memang saya tidak mengatakan bahwa semua laki-laki begitu, Bu Dientje, tetapi harus saya akui cukup banyak laki-laki ada kecenderungan untuk kasar. Saya akan membaginya dalam 2 kategori, yang pertama adalah penyebab mental dan yang kedua adalah penyebab emosional. Saya fokuskan dulu pada penyebab mental. Kita mengerti bahwa berbicara merupakan sebuah proses fisik dan mental, maksudnya secara fisik kita menggerakkan lidah kita untuk berbicara namun ini juga merupakan proses mental, artinya kita menggunakan pikiran pada waktu berbicara. Makin erat jarak antara aktifitas mental atau pikiran dengan aktifitas fisik yaitu kita menggerakkan lidah kita, maka makin cepat dan makin mudah terurai perkataan itu. Misalkan, kita berkata dalam pikiran kita, "Saya mau makan", nah makin cepat dan erat kaitan antara aktifitas mental kita yang berpikir, "Saya mau makan" dan lidah kita yang mengatakannya, maka makin mudahlah kita mengeluarkan perkataan-perkataan tersebut. Ternyata dalam hal ini pria memunyai keunikanlah saya sebutkan, pada umumnya jarak antara aktifitas pikiran atau mental dan aktifitas fisik, pergerakan lidah pria, terbentang relatif lebih lebar ketimbang jarak yang sama pada perempuan. Dengan kata lain, kalau pria berpikir, "Saya mau makan" ternyata jarak antara pikiran "Saya mau makan" dan lidah mengeluarkan kata-kata "Saya mau makan" itu lebih lambat daripada perempuan. Perempuan jauh lebih cepat, lebih menyatu apa yang ada di pikiran keluar dalam bentuk perkataan dengan langsung. Untuk pria lebih susah, jadi bukan saja pria itu lebih lambat mengeluarkan perkataan yang telah tersusun di dalam pikirannya, ia pun lebih sukar untuk mengeluarkannya. Entah mengapa bagi kebanyakan pria mengeluarkan sederet gagasan yang telah tersusun dalam benaknya tidaklah semulus yang diinginkan, singkat kata bagi para kebanyakan pria, berbicara bukanlah aktifitas yang alamiah, yang dapat begitu saja mengambil ke luar dari pikiran ke lidah. Sebaliknya dengan wanita, bagi kebanyakan wanita, berbicara merupakan aktifitas yang begitu alamiah sehingga dapat dilakukan dengan mudah. Ternyata pada kebanyakan wanita jarak antara aktifitas dalam pikirannya misalkan dia berkata, "Saya mau makan" dan gerakan lidahnya yang berkata, "Saya mau makan" itu jauh lebih pendek jaraknya lebih singkat. Itu sebabnya pada umumnya wanita dapat mengungkapkan gagasan dalam pikirannya jauh lebih cepat dan jauh lebih mudah dibandingkan dengan pria.

DL : Tapi ada juga wanita yang sulit kalau mau mengutarakan pembicaraannya dengan suaminya, suaminya lebih cepat. Itu ada yang begitu, Pak Paul.

PG : Memang ada sebagian kecil wanita yang lebih susah untuk mengeluarkan isi hatinya. Kalau sampai terjadi begitu, besar kemungkinan penyebabnya bukanlah sesuatu yang dibawa dari lahir, tapi pengaruh dari lingkungan. Misalnya dalam rumah atau dalam keluarganya ia dianggap anak paling kecil, sehingga tidak sering ditanya sedangkan kakak-kakaknya lebih dominan, lebih sering berbicara, lebih menonjol sehingga si anak wanita waktu kecil bertumbuh besar cenderungnya diam, tidak terbiasa mengeluarkan pendapatnya karena tidak sering ditanya dan yang seringnya maju ke depan langsung mengeluarkan pendapat adalah kakak-kakaknya. Akhirnya dia lebih susah, tetapi sebetulnya kalau hanya melihat secara lahiriah, bawaan dari lahirnya, umumnya perempuan lebih mudah dibandingkan laki-laki sebab di Amerika Serikat terbukti dari pelbagai penelitian yang dilakukan dari anak-anak mulai SD sampai SMU, di tes berkali-kali dalam pelbagai riset hasilnya sama, yaitu pria cenderung dalam kemampuan verbal atau kemampuan berbicara itu lebih rendah dibandingkan dengan siswa wanita. Siswa wanita entah kenapa, jauh lebih pandai dalam mengeluarkan isi hatinya atau pikirannya lewat perkataan.

GS : Tapi itu juga bisa dipengaruhi oleh lingkungan keluarganya, Pak Paul. Jadi kalau anak ini melihat ayahnya yang pendiam, sulit berbicara dibandingkan dengan ibunya yang berbicaranya banyak sekali, mungkin ia juga terlatih bahwa sebagai pria itu sedikit saja bicaranya. Apakah hal itu ada pengaruhnya, Pak Paul ?

PG : Ada, memang sebetulnya dia susah, lalu melihat ayahnya juga pendiam mungkin akhirnya dia terpengaruh juga untuk menjadi pribadi pendiam lagi. Karena itu kalau kita melihat secara umum salah satu keluhan istri atau ibu, "suami saya itu jarang atau susah berkomunikasi". Kita jarang menemukan pria yang mengeluh, "Istri saya itu jarang berkomunikasi" malah kebalikannya, "Istri saya terlalu sering berbicara".

GS : Kalau dipaksakan, Pak Paul, bisa menimbulkan anak menjadi gagap. Saya tidak mengetahui, saya hanya memunyai beberapa teman yang semuanya laki-laki yang gagap. Saya tidak pernah memunyai teman wanita yang gagap, Pak Paul.

PG : Sebetulnya yang menarik adalah ini bukan masalah lingkungan atau pengaruh dari luar, tapi ini memang bawaan. Riset memerlihatkan bahwa angka gangguan bicara jauh lebih tinggi pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. Jadi sekali lagi bukan karena lingkungan namun kalau lingkungan membuat dia cemas maka bertambah parah gagapnya. Sebetulnya penyebabnya itu bukan, saya sendiri memunyai bawaan gagap, kadang-kadang saya bisa gagap nah bukannya karena dibuat oleh lingkungan, tetapi memang bawaan saya dari kecil begitu. Saya mengetahui kalau saya merasa cemas, atau mau berbicara banyak tetapi mulut tidak bisa mengikuti, muncullah gagapnya saya. Memang kadang-kadang kita bisa melihat dengan jelas bahwa anak laki-laki lebih susah untuk mengeluarkan isi hati dan pikirannya lewat perkataan dibandingkan dengan perempuan. Ini nanti berpengaruh di dalam kekasarannya, karena dia susah mengeluarkan perkataannya kadang-kadang ia kasar, waktu keluar sudah dibumbui dengan rasa marah, karena sudah tegang dulu, sudah susah untuk bicara jadi bicara merupakan usaha yang lumayan berat untuk pria. Bahkan waktu ia berbicara sesuatu yang mengandung emosi, makin susah akhirnya yang keluar kasar.

GS : Kalau begitu sebenarnya hal ini bisa dilatih atau bisa dipelajari supaya seseorang itu secara mental bisa berimbang di dalam berbicara dan berpikir.

PG : Betul, jadi nanti kita akan coba hal-hal apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi kemungkinannya untuk bersikap kasar dalam ucapan kita.

DL : Selain penyebab mental, ada lagi, Pak Paul ?

PG : Yang tadi sudah saya singgung penyebab emosional. Jadi bagi kebanyakan pria emosi bukanlah sesuatu yang merupakan bagian hidupnya yang alamiah, maksudnya meskipun pria itu bisa merasakan emosi, bisa mengekspresikan emosi namun pada kebanyakan pria emosi bukanlah sesuatu yang diterima atau disambut sebagai bagian dari dirinya. Hanya dalam waktu dan kondisi tertentu pria itu bebas dalam mengungkapkan emosinya, terutama dalam mengungkapkan emosi negatif yaitu kemarahan. Justru bagi kebanyakan pria hidup yang ideal adalah hidup tanpa gejolak emosi, itu sebabnya kalau pria merasakan emosi negatif misalnya marah, reaksi pertama biasanya meredam, menahan, tidak mau dikeluarkan. Sebaliknya dengan wanita, bagi kebanyakan wanita, emosi merupakan bagian dirinya yang hakiki, bukan sesuatu yang dianggap asing atau dianggap di luar dari dirinya. Itu sebabnya kebanyakan wanita lebih terbuka, lebih menyambut aktifitas emosi pada dirinya. Itu justru menjelaskan mengapa umumnya wanita tidak keberatan untuk tenggelam dalam emosi, maksudnya untuk bisa menangis, bisa sedih. Kalau pria tidak nyaman untuk menangis, untuk sedih, tergesa-gesa mau keluar dari semuanya. Ini nanti berkaitan dengan kekasarannya pria, yaitu waktu pria harus mengeluarkan perkataan yang bermuatan emosi, kesulitannya menjadi ganda. Tadi sudah diuraikan secara mental tidak mudah, tidak cepat untuk mengeluarkan isi hatinya ditambah dengan kesulitan dan keengganannya untuk mengutarakan emosi akhirnya pria mengalami kesukaran mengutarakan pikiran yang bermuatan emosi, pada waktu keluar yang keluar adalah dalam bentuk kekasaran. Ia sudah frustrasi bagaimana mengeluarkannya, dia merasa susah untuk mengeluarkannya. Emosinya juga susah untuk dikendalikan akhirnya yang keluar adalah biasanya kekasaran. Istrinya yang harus mendengarkan kata-kata kasar yang keluar dari mulut si suami.

GS : Katakan si suami tidak sampai mengeluarkan kata-kata, tetapi dari tindakannya saja sudah kelihatan kekasarannya, Pak Paul.

PG : Betul, meskipun dia belum mengeluarkan kata-katanya, tapi dari sikap memang biasanya sudah terlihat.

GS : Padahal seperti saat itu si istri menghendaki, "Kamu lebih baik bicara daripada bertindak kasar", ini kaitannya bagaimana ?

PG : Masalahnya adalah dia tidak bisa mengeluarkannya secara langsung, tidak bisa oleh karena itu sebagian pria yang lebih parah lagi kesulitannya untuk mengungkapkan perasaan, ia akhirnya memukul tembok, membanting barang, membanting pintu karena energinya tidak bisa tersalurkan lewat perkataan, susah untuk dia, bukannya tidak mau, ini yang kadang-kadang keliru dimengerti oleh para istri. "Kamu bicara saja tidak bisa, mengapa mesti marah seperti begitu, bicaralah !" Justru pointnya adalah tidak bisa, karena tidak bisa jadi yang keluar adalah ledakan emosi. Kalau dia masih bisa menahan maka yang keluar hanya ledakan emosi, tapi kalau dia tidak bisa menahan maka yang keluar adalah kekasaran secara fisik, memukul tembok, membanting barang atau membanting pintu dan sebagainya.

GS : Sebenarnya pada saat seperti itu, pria itu membutuhkan pertolongan dari si istri untuk tidak memaksakan supaya pria itu mengeluarkan kemarahan dengan kata-kata, Pak Paul.

PG : Tepat sekali, justru yang lebih cocok untuk pria adalah diam dulu, jangan diajak bicara, tenangkan dirinya dulu karena kalau dia dibombardir, apalagi jika istrinya tidak bisa diam, memborbardir dia dengan perkataan menyerangnya, dia makin tidak berkutik untuk membalas, mengutarakan pikirannya, kalah cepat dan sukar, akhirnya ledakannya bersifat fisik, kasar. Betul kata Pak Gunawan, istri harus mundur kalau melihat suami kesulitan, marah sudah mulai menanjak. Setop dulu, biarkan dia tenang sebab dalam keadaan tenang dia lebih bisa untuk berbicara.

DL : Tapi ada juga istri yang dominan, Pak Paul. Membentak suaminya dan suaminya diam saja.

PG : Betul, karena itu dalam situasi seperti itu si suami diam, mungkin sekali dia menghindari terjadinya pertengkaran yang lebih hebat. Daripada ditanggapi, lebih baik dia tutup mulut, tidak bicara sebab dia mengetahui hal itu tidak akan ada habisnya dan dia tidak akan bisa mengikuti irama kemarahan istrinya. Lebih baik dia diam karena dia juga tidak mau pada akhirnya ia bertindak kasar. Memang ada yang seperti itu, Bu Dientje.

DL : Jadi sekarang bagaimana seorang pria bisa berkomunikasi lebih lembut terhadap pasangannya ?

PG : Ada beberapa yang bisa saya sarankan. Pertama, pria harus lebih menyadari apa yang terjadi pada dirinya, dia harus menyadari bahwa untuk berkata-kata dia perlu waktu, perlu usaha, tidak bisa dengan begitu saja mengeluarkan apa yang ada dalam pikirannya. Apalagi bila bermuatan emosi tanpa ledakan emosi. Jadi dia mesti menyadari, "Ini merupakan problem dalam diri saya", sehingga nanti dia akan lebih bisa mengatur, mengelola dirinya dan akhirnya tidak langsung muncul dalam bentuk kasar atau kemarahan.

GS : Tapi sebenarnya, Pak Paul, bagi kita, para pria, kalau pun itu bermuatan emosi, emosi itu lebih cepat reda dibandingkan dengan kaum wanita, kaum istri misalnya yang berkepanjangan tidak selesai-selesai. Oleh karena itu kami sebagai pria berharap, yang tadi dikatakan, diamkan saja. Sebentar lagi turun.

PG : Jadi kita mungkin bertanya, kenapa pihak wanita susah berhenti waktu marah ? Karena mereka, mungkin Bu Dientje bisa memberikan tanggapan dalam hal ini, pada umumnya wanita memerlukan untuk mengeluarkan semua perkataannya, isi hatinya, baru emosinya reda. Jadi benar-benar emosi itu dalam bentuk perkataan. Kalau mau mengurangi emosi, yang harus dikeluarkan adalah perkataannya, ini sangat berbeda dengan kita para pria, kalau misalnya emosi sangat tinggi, kita akan berteriak, membanting barang atau memukul tembok. Emosi kita lebih mereda karena diekspresikan secara fisik, tapi wanita emosinya dalam bentuk perkataan. Apabila mau dikurangi perkataannya harus dikeluarkan. Ini yang seringkali menjadi dilema.

DL : Kadang-kadang bila wanita emosi, sudah mengeluarkannya, akan merasa lega.

PG : Memang perlu dikeluarkan lewat perkataan baru merasa lega. Jadi perlu kerjasama, di pihak wanita perlu mengendalikan diri, dia perlu mengetahui bahwa akan ada waktunya dia mengeluarkan perkataan-perkataan ini tapi bukan sekarang. Kalau sekarang akan terjadi ekskalasi, peningkatan ! Akhirnya pertengkarannya tidak terkendali, biarkan suami tenang lebih dahulu baru setelah itu istri mengutarakan isi hatinya.

GS : Hal lain lagi apa, Pak Paul ?

PG : Setelah menyadari apa yang terjadi pada dirinya, siapakah dia, prosesnya mengeluarkan perkataan dan kesulitannya, pria harus menyesuaikan dirinya dengan kondisi tersebut. Artinya dia harus hidup dengan keterbatasan ini, sadarilah besar kemungkinan bila dia berbicara ia akan bersikap kasar. Sebaiknya dia meminta pasangan untuk memberinya waktu terlebih dahulu, sesudah itu dia harus meminta pasangan untuk tidak membombardir dirinya dengan kemarahan atau serangan lain. Jadi kerjasama dengan istri, "tolong waktu kamu melihat saya begini, kamu setop dulu. Waktu saya misalkan berkata ‘setop, tolong setop’, nanti kalau saya sudah tenang, kamu mau melanjutkan silakan, sebab kalau kamu lanjutkan terus menjadi ‘perang’ dan saya kuatir saya bertindak kasar, saya tidak mau kasar kepada kamu jadi tolong kamu juga membantu saya. Saya bersedia mendengarkan kamu, saya mau mendengarkan kamu sebab itu penting untukmu bisa mengeluarkannya tapi jangan sekaligus dan tidak harus saat ini juga, perlahan-lahan. Coba tolong dipilah-pilah, setelah ini saya tenang, silakan kamu berbicara lagi".

GS : Itu kadang-kadang bisa ditanggapi dengan diam terus, istri tidak mau berbicara, "ya sudah bila kamu tidak mau mendengarkan" , dia tidak berbicara secara berkepanjangan, Pak Paul. Ketika kita sudah reda secara emosi sebenarnya sudah siap untuk mendengarkan, dia mengatakan, "Saya sekarang yang tidak siap untuk bicara".

PG : Ya, kalau itu yang terjadi ya sudah tidak apa-apa, mungkin inilah proses penyesuaiannya, Pak Gunawan. Mungkin istri karena sudah terlanjur diam, dia sudah lupa tapi setiap kali ini terjadi kalau istri sudah mengetahui dia bisa berbicara sebanyak ini dan kemudian diam, mungkin dia akan menyesuaikan. Dia mengetahui ini batasnya dimana dia bisa berbicara supaya suami masih bisa mendengarkan, dia bicara sebegitu dulu, lain kali waktu suasana lebih memungkinkan, silakan mengeluarkan isi hatinya.

GS : Masalahnya bukan lupa, Pak Paul, tetapi karena memutus pembicaraannya itu tadi, mau mengutarakan isi hatinya lalu diputus oleh si suami, jadi ia merasa jengkel pada suaminya.

PG : Jadi penting bagi suami untuk menjelaskan bahwa dia tadi begitu bukan untuk memutus pembicaraannya tetapi untuk menolong dirinya bersikap kasar. Jadi kita harus menjelaskan kepada istri bahwa tujuannya baik, tujuannya bukan untuk membungkamkan mulut istri, tetapi untuk mengekang diri kita jangan sampai kasar.

DL : Selain itu ada lagi, Pak Paul ?

PG : Ada lagi, yaitu waktu sudah tenang, ada baiknya pria meminta istri untuk duduk mendengarkannya tanpa memberi reaksi apa-apa. Mengapa begitu ? Sebab ketika suami melihat istri tidak lagi menyerangnya, besar kemungkinan ia akan jauh lebih tenang. Dalam situasi tenang tanpa tekanan, dia mengetahui tidak akan dibombardir oleh istrinya, mungkin ia akan lebih dapat mengutarakan isi hatinya dengan lebih lembut. Jadi sekali lagi yang saya ingin tekankan di sini adalah kalau suami sudah mengantisipasi, dia bicara begini begini, istrinya akan menjawab begitu begitu, sebelum dia mengeluarkan perkataan itu sebetulnya emosinya sudah menanjak dan kesulitan dia untuk mengeluarkannya bertambah, bukannya berkurang. Dia makin susah oleh karena itu waktu mengeluarkan kata-kata, kasar. Istri benar saja jawabannya seperti yang diantisipasi, menyerangnya dia seperti itu. Dia makin sulit mengeluarkannya atau dia makin mau tergesa-gesa mengatakannya, sebab dia takut sebelum dia selesai, istrinya sudah terlanjur berbicara lagi oleh karena itu terjadilah pertengkaran yang hebat. Oleh karena itu perlu masa "cooling down", tenangkan dan dinginkan hati, setelah tenang baru berbicara pada istri, "coba tolong kamu dengarkan saya dahulu, jangan bicara apa-apa, kamu tidak setuju tidak apa-apa, saya mau dengarkan tapi tolong jangan dipotong, dengarkan saya sampai selesai". Setelah itu dia bicara, dia mengetahui bahwa istrinya akan diam mendengarkan dia, pembicaraannya akan lebih tenang sehingga kata-kata itu bisa keluar dengan lebih baik.

GS : Di dalam hal itu apakah istri bisa bertahan beberapa lamanya untuk tidak bicara apa-apa, Pak Paul ? Tapi mendengarkan !

PG : Bisa, Pak Gunawan. Memang terakhir saya melihat perempuan juga bisa melatih dirinya untuk menahan tidak memberikan reaksi secara langsung.

GS : Karena biasanya istri itu mengeluarkan tanggapan-tanggapan.

PG : Akhirnya dia melihat begini, "iya dengan cara begini saya memberi dia kesempatan, diam, berbicara, dan saya juga diam tidak langsung membalas, bicaranya bisa enak dan menyambung. Dia mendengarkan saya dan saya mendengarkan dia. Banyak istri berpikir bahwa hasilnya ada dengan cara begini dan hal ini menolong mereka untuk lebih bisa mengekang emosi.

GS : Ada sebagian pria yang menganggap bahwa bicara kasar dan keras menjadi identitas dari seorang pria.

PG : Tidak bisa, mesti kita sadari bahwa ini memang masalah kita. Jangan berarti "memang saya sudah dilahirkan begini akan terus begini". Kita melihat ini sebagai kelemahan yang perlu diperbaiki, bukan keunikan yang mesti dipertahankan. Ini yang ingin saya sampaikan kepada kita para pria.

GS : Dalam hal ini, Pak Paul, apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?

PG : Ada, Pak Gunawan. Firman Tuhan di Matius 5:5 [2] berkata, "Berbahagialah orang yang lemah lembut karena mereka akan memiliki bumi", ini janji dari Tuhan kita Yesus Kristus". Juga dalam Galatia 5:23 [3], kelemahlembutan dicantumkan sebagai wujud nyata dari buah Roh yakni kasih. Jadi dari sini jelas terlihat bahwa Tuhan menghendaki kita menjadi orang yang lemah lembut, bukan kasar. Jadi teruslah berusaha berkomunikasi dengan istri secara lebih lembut.

GS : Berkomunikasi dengan lemah lembut itu bukan berarti menjadi kewanita-wanitaan, Pak Paul, karena ada sebagian orang mengartikan hal itu seperti itu. Jadi salah persepsi itu.

PG : Betul, sama sekali tidak sama.

GS : Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Berkomunikasi Lebih Lembut". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org [4] kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org [5]. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.

Ringkasan

Salah satu kelemahan pria adalah berkomunikasi dengan istri secara lembut. Pria bisa menjadi seorang orator yang baik namun belum tentu ia dapat berkomunikasi dengan istri secara lembut. Mengapakah demikian?

Berikut akan dipaparkan anatomi bicara dan emosi pria yang mengatur jalannya komunikasi.

·         Penyebab Mental

Kita mafhum bahwa bicara merupakan sebuah proses fisik dan mental. Bukan saja kita menggerakkan lidah dan mulut, kita pun menggunakan pikiran sewaktu berbicara. Makin erat jarak antara aktivitas mental atau pikiran dengan pergerakan lidah, maka makin cepat dan mudah terurai perkataan.

Entah mengapa, bagi kebanyakan pria, mengeluarkan sederet gagasan yang telah tersusun dalam benaknya, tidaklah semulus yang diinginkan. Singkat kata bagi kebanyakan pria, berbicara bukanlah sebuah aktivitas yang alamiah—yang dapat begitu saja mengalir keluar dari pikiran ke lidah. Sebaliknya dengan wanita. Bagi kebanyakan wanita, berbicara merupakan aktivitas yang begitu alamiah sehingga dapat dilakukan dengan mudah.

·         Penyebab Emosional

Bagi kebanyakan pria, emosi bukanlah sesuatu yang merupakan bagian hidupnya yang alamiah. Hanya dalam waktu dan kondisi tertentu pria merasa bebas untuk mengungkapkan emosinya, terutama emosi negatif, seperti kemarahan. Bagi kebanyakan pria, hidup yang diidamkan adalah hidup tanpa gejolak emosi. Itu sebabnya sewaktu merasakan emosi (negatif), pria berusaha keras untuk meredamnya. Sebaliknya dengan wanita. Bagi kebanyakan wanita, emosi merupakan bagian dirinya yang hakiki. Emosi bukanlah sesuatu yang dianggap asing atau berasal dari luar dirinya. Nah, ketika hendak berbicara tentang suatu hal yang bermuatan emosi, kesulitan pria untuk mengungkapkannya menjadi dobel. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, secara mental, tidak mudah dan tidak cepat buat pria mengatakan isi hatinya. Nah, ditambah dengan kesulitan dan keengganannya mengutarakan emosi, akhirnya pria mengalami kesukaran besar untuk mengutarakan pikiran yang bermuatan emosi.

Inilah yang kerap melahirkan kekasaran pada pria. Oleh karena ia sukar dan lambat berkata-kata, ia mudah frustrasi. Oleh karena ia sukar mengelola emosi, ia cenderung marah dan kasar ketika harus menyampaikan sesuatu yang bermuatan emosi. Alhasil tatkala bicara dengan istri, nada tinggi dan kasar kadang muncul.

Bagaimana Berkomunikasi dengan Lembut

·         PERTAMA, PRIA MESTI LEBIH MENYADARI APA YANG TERJADI PADA DIRINYA.
Ia harus menyadari bahwa untuk ia berkata-kata, ia perlu waktu dan usaha. Ia tidak bisa dengan begitu saja mengeluarkan apa yang ada dalam pikirannya apalagi bila bermuatan emosi tanpa ledakan emosi.

·         Nah, setelah menyadarinya, PRIA HARUS MENYESUAIKAN DIRINYA DENGAN KONDISI TERSEBUT. Misalnya, jika pria sudah merasakan bahwa besar kemungkinan bila ia bicara, ia akan bersikap kasar, sebaiknya ia meminta pasangan untuk memberinya waktu terlebih dahulu. Dan, sudah tentu ia harus meminta pasangan untuk tidak memborbardir dirinya dengan kemarahan atau serangan lain.

·         PADA SAAT TENANG KEMBALI, ADA BAIKNYA PRIA MEMINTA ISTRI UNTUK PERTAMA-TAMA, HANYA DUDUK MENDENGARKANNYA, TANPA MEMBERI REAKSI APA-APA.
Ketika suami melihat bahwa istri tidak akan menyerangnya, besar kemungkinan ia akan lebih tenang. Dalam situasi tenang TANPA TEKANAN, pria akan dapat mengutarakan isi hatinya dengan lebih lembut.

·         Pria memang mempunyai keterbatasan dalam hal bicara lembut namun itu tidak berarti pria boleh terus bersikap kasar. PRIA HARUS MELIHAT INI SEBAGAI KELEMAHAN YANG PERLU DIPERBAIKI, BUKAN KEUNIKAN YANG MESTI DIPERTAHANKAN. Firman Tuhan di Matius 5:5 [2] berkata, "Berbahagialah orang yang lemah lembut karena mereka akan memiliki bumi." Juga, dalam Galatia 5:23 [3], kelemahlembutan dicantumkan sebagai wujud nyata dari buah Roh yakni kasih. Jadi, dari sini jelas terlihat bahwa Tuhan menghendaki kita menjadi orang yang lemah lembut, bukan kasar. Teruslah berusaha untuk berkomunikasi dengan istri secara lebih lembut.

 

Pdt. Dr. Paul Gunadi [6]
Audio [7]
Pendidikan [8]
T335A [9]

URL sumber: https://telaga.org/audio/berkomunikasi_lebih_lembut

Links
[1] http://media.sabda.org/telaga/mp3/T335A.MP3
[2] http://alkitab.sabda.org/?Matius+5:5
[3] http://alkitab.sabda.org/?Galatia+5:23
[4] mailto:telaga@telaga.org
[5] http://www.telaga.org
[6] https://telaga.org/nara_sumber/pdt_dr_paul_gunadi
[7] https://telaga.org/jenis_bahan/audio
[8] https://telaga.org/kategori/pendidikan_0
[9] https://telaga.org/kode_kaset/t335a