TELAGA
Dipublikasikan pada TELAGA (https://telaga.org)

Depan > Bertumbuh Bersama I

Bertumbuh Bersama I

Kode Kaset: 
T334A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Pertumbuhan bukan hanya merujuk kepada pertambahan ukuran dari kecil menjadi besar. Pertumbuhan juga mengacu kepada pergantian yang baru menggantikan yang lama. Pertumbuhan bukan saja merupakan pertanda adanya kehidupan; pertumbuhan juga merupakan pertanda adanya kesehatan. Relasi nikah pun seharusnya mengalami pertumbuhan di mana yang tadinya kecil menjadi besar dan di mana yang lama digantikan oleh yang baru. Berikut akan diuraikan hal-hal apa saja dalam pernikahan yang seyogianya mengalami pertumbuh
Audio
MP3: 
3.4MB [1]
Play Audio: 
Your browser does not support the audio element.
Transkrip

 

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Bertumbuh Bersama". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

 

DL : Pak Paul, apakah yang dimaksud dengan bertumbuh bersama dan dalam hal apa orang harus bertumbuh bersama ?

PG : Jadi begini, Bu Dientje, kita menyadari bahwa kita mesti bertumbuh. Kalau kita tidak bertumbuh berarti kita mulai tidak sehat, sebab misalnya dari kecil kita bertumbuh menjadi besar, kalau dari dulu kita tidak pernah bertumbuh besar berarti memang ada yang kurang sehat dengan tubuh kita. Juga kita terus-menerus mengalami pergantian sel, sel yang lama digantikan dengan yang baru, jadi kita bisa melihat bahwa pertumbuhan menunjukkan adanya kehidupan dan kesehatan. Kalau demikianlah dengan tubuh kita dan hal-hal lain dalam hidup, bukankah semestinya begitu juga dengan pernikahan. Bahwa relasi kita seharusnya tidak sama 5 tahun yang lalu dengan hari ini dan tidak bisa sama juga antara 10 tahun yang lalu dengan hari ini. Seyogianyalah relasi nikah pun bertumbuh, sebab kalau tidak ada pertumbuhan berarti ada yang tidak beres dengan relasi nikah kita itu.

GS : Pertumbuhan ini ada yang kita sadari tapi ada juga yang tidak kita sadari, yang secara otomatis, secara alamiah bertumbuh, tadi Pak Paul katakan, kita dari kecil menjadi besar. Memang orang tua kita menyediakan asupan yang cukup tapi kita sendiri hampir tidak menyadari sedang bertumbuh. Dalam relasi suami istri, itu suatu pertumbuhan yang kita sadari atau tidak kita sadari ?

PG : Biasanya kita sadari tatkala kita mengalami tantangan tertentu. Sebagai contoh, misalnya kita dulu kalau bertengkar bisa 2 atau 3 hari baru selesai, namun setelah menikah bertahun-tahun kemudian kita kilas balik, dulu kalau kita bertengkar bisa 2 atau 3 hari, sekarang tidak sampai 1 hari sudah selesai. Dulu pasangan saya merasa curiga tapi sekarang tidak, dia percaya pada saya. Atau kalau tidak ada dia, merasa kehilangan dia, dulu waktu berpacaran tidak sampai begitu, tapi sekarang setelah menikah kalau tidak ada dia di samping saya, saya merasa ada yang hilang dalam hidup saya. Tatkala muncul situasi atau tantangan tertentu biasanya barulah di situ kita menyadari sesungguhnya relasi kita telah bertumbuh. Sebaliknya, kalau kita merasa senang kalau dia tidak ada di samping kita, berarti ada yang tidak beres ! Atau mengapa dia pergi cepat sekali, seharusnya lebih lama, itu pertanda juga ada yang tidak beres dengan pernikahan kita. Sekali lagi, biasanya kita tidak terlalu menyadarinya sampai titik tertentu kita menengok ke belakang dan melihat bahwa kita sekarang tidak lagi merupakan pasangan yang sama. Kita telah berbeda, kita telah bertumbuh menjadi lebih baik.

GS : Biasanya pada awal-awal pernikahan seperti tubuh manusia, Pak Paul, pertumbuhan itu begitu cepatnya tetapi sampai pada suatu titik entah sudah 10 tahun menikah, atau 15 tahun menikah, seolah-olah pertumbuhan itu stagnan jadi ya tidak maju dan tidak mundur seperti itu berulang-ulang kali menjadi suatu kebiasaan dalam rumah itu, menjadi sistem dalam keluarga itu. Ini bagaimana, Pak Paul ?

PG : Tapi sesungguhnya meskipun seolah-olah stagnan, Pak Gunawan, sebetulnya kalau tidak ditandai dengan pertengkaran, lebih banyak ditandai dengan pengertian dan sebagainya, sebetulnya telah terjadi pertumbuhan. Memang pada awal-awal pernikahan ada lebih banyak tugas yang mesti kita selesaikan, sehingga kita bisa saling menyesuaikan diri, oleh karena itu kita lebih bisa melihat pertumbuhan itu, perbedaan itu, tapi setelah mencapai titik tertentu biasanya pertumbuhan itu tidak lagi terlalu jelas tapi lebih mendalam sehingga kita jauh lebih membutuhkan dia, kita lebih menghargai dia, kita lebih mau mencari dia ketika kita mengalami masalah. Kita benar-benar merindukan seorang pendamping, seorang sahabat baik. Waktu kita ditanya, "Siapa yang kamu biasanya berbagi perasaan", kita mungkin akan langsung berkata, "Istri kita" atau "Suami kita", itu pertanda sebetulnya relasi kita telah mengalami pertumbuhan.

GS : Langkah-langkah apa yang patut kita perhatikan supaya pernikahan itu terus bertumbuh, Pak Paul ?

PG : Ada beberapa hal yang mesti kita fokuskan, meskipun tadi telah kita katakan bahwa pertumbuhan itu bisa berjalan dengan alamiah, tapi untuk diskusi pada hari ini saya akan membaginya dalam beberapa bagian. Yang pertama, kita mesti bertumbuh dalam pengenalan, pengertian dan penyesuaian. Pernikahan bukan saja menyediakan wadah terciptanya pengenalan, pernikahan juga mengharuskan pasangan untuk saling menyesuaikan diri lewat pengenalan yang telah terjalin. Maksudnya, kita tidak cukup hanya saling mengenal. Saling mengenal tujuannya apa ? Tujuan akhir dari saling mengenal lebih mendalam adalah agar terjadi penyesuaian sehingga kita bisa hidup dengan harmonis. Namun untuk terjadinya penyesuaian mesti ada pengertian, jadi setelah pengenalan, saling kenal, mesti juga akhirnya bertumbuh adalah pengertian. Sebab untuk apa makin mengenal tapi makin tidak mau mengerti. Semestinya makin mengerti, dengan perkataan lain dimulai dengan pengenalan dilanjutkan dengan pengertian dan berakhir dengan penyesuaian. Namun sekali lagi pertama yang mesti bertumbuh adalah pengenalan sebab tanpa pengenalan kita tidak mungkin menumbuhkan pengertian dan juga penyesuaian. Ini yang seringkali menjadi masalah di dalam pernikahan berhubung kita makin hari makin sibuk, pengenalan itu akhirnya berhenti. Kita tidak lagi memberi waktu yang cukup untuk saling mengenal.

DL : Kalau misalnya suami istri ini tinggal berjauhan, yang suami bekerja di luar kota dan jarang pulang, bagaimana dia bisa mengenal istrinya lebih dekat, Pak Paul ?

PG : Ini tidak bisa tidak menjadi masalah, Bu Dientje, sebab pengenalan lewat telepon atau SMS tidak sama dengan pengenalan yang terjadi lewat interaksi yang riil atau nyata. Sudah tentu dalam kondisi itu, pengenalan akan mengalami hambatan namun di pihak lain kita juga mau mengerti situasi pasangan nikah yang tidak selalu ideal, ada waktu-waktu tertentu terjadilah krisis keuangan, kehilangan pekerjaan atau apa sehingga harus berpisah. Nah kalau itu harus terjadi, ya sudah, dilakoni saja tapi tolong pelihara terus komunikasi sehingga terus terjadilah percakapan dan sedapatnya jangan biarkan situasi ini terus berlanjut. Sedapatnya usahakanlah mendapat pekerjaan di dalam kota yang sama, meskipun misalnya penghasilan berkurang, tidak sama, tidak apa-apa sebab hal ini sangat berharga.

GS : Yang Pak Paul maksudkan pengenalan di sini, sebenarnya dalam hal-hal apa yang penting kita kenali terhadap pasangan itu, Pak Paul, karena setelah menikah sekian lama pun ada orang yang mengatakan bahwa ia tidak mengenal istrinya.

PG : Yang paling awal biasanya kita harus mengenal gaya atau kebiasaan hidup karena itu yang paling utama menonjol, muncul dalam masa awal-awal pernikahan. Kita ‘kan harus saling menyesuaikan gaya hidup yang berbeda, kebiasaan-kebiasaan hidup yang berbeda, sekarang tinggal serumah. Biasanya kita harus mengenal gaya hidup atau kebiasaan pasangan kita, makin kita mengenal maka kita lebih bisa menerima dan menyesuaikan diri dengan dia. Contoh dalam hal gaya hidup atau kebiasaan hidup, misalnya pasangan kita tidak biasa langsung bisa nonton televisi bersama dengan kita setelah pulang dari bekerja, tidak bisa. Dia perlu waktu untuk 1 jam berdiam diri dulu, mungkin membaca koran baru setelah itu bisa bercengkerama dengan kita. Selama kita akhirnya melihat, yang penting tetap bisa berbicara meskipun ada 1 jam dia meminta untuk sendiri dulu, ya tidak apa-apa. Pengertian muncul kemudian penyesuaian terjadi, biasanya yang pertama adalah itu, Pak Gunawan. Yang kedua yang penting kita mesti mengenal cara pikir, bahwa tidak sama pasangan kita misalkan lebih menekankan tidak penting sekolah yang harus bagus-bagus, yang penting anak bisa cocok dan menikmati waktu belajarnya. Mungkin kita berkata, "Tidak bisa, orang mesti dipacu baru nanti bisa memaksimalkan potensi", nah cara-cara pikir yang memang seringkali berkaitan dengan nilai-nilai hidup kita yang akhirnya membuat perbedaan di antara kita. Kita mesti mengenal dan mencoba mengerti kenapa dia menuntut anak kita bersekolah di sekolah yang baik, saling memahami latar belakangnya sehingga bisa menyesuaikan. Hal ketiga yang juga penting, yang perlu kita kenali adalah sifat atau karakter. Ini tidak selalu muncul atau terlihat dari awal, tidak, sebab sifat atau karakter itu muncul tatkala situasi tertentu muncul, misalnya orang tua kita minta bantuan keuangan dari kita karena dulunya mereka bekerja tapi sekarang sudah mulai pensiun jadi mereka agak kesulitan, tidak cukup dan tidak berani minta benar-benar, akhirnya minta secara pribadi kepada kita. Bisa jadi pasangan kita tidak menerima, dan berkata, "Kenapa mesti minta-minta, ‘kan masih ada rumah, masih ada harta, itu ‘kan masih bisa dijual. Kalau orang memang butuh, kita harus menolongnya. Ini tidak butuh, orang punya rumah, punya kendaraan, ya dijual nanti uangnya dibungakan, hidup dari bunga itu, tidak usah memunyai rumah pun tidak apa-apa, bisa tinggal dengan kita atau misalnya tidak mau tinggal dengan kita, menyewa rumah. Uang itu dibungakan untuk itu". Hal ini biasanya muncul pertengkaran, ternyata baru kita sadari bahwa pasangan kita memunyai sifat atau karakter yang di luar dugaan kita, dia sangat menghitung uang, dia bukan orang yang terlalu murah hati. Kita merasa terkejut, seringkali hal-hal itu muncul pada waktu kita berada dalam situasi tertentu.

GS : Pak Paul, dalam penyesuaian harus ada yang saling mengalah, kita tidak bisa dituntut hanya mengalah, mengerti pasangan kita tetapi pasangan kita tidak mau mengerti kita. Hal ini kadang-kadang mencari penyesuaian ini justru yang sulit, Pak Paul.

PG : Kira seringkali harus mencoba dan mencoba walaupun akhirnya gagal lagi, gagal lagi. Sebagai contoh, misalkan yang baru saja saya angkat, misalkan itu terjadi. Orang tua kita minta tolong secara halus karena sebetulnya mereka sungkan, kita sudah merasa pasti mereka perlu tapi tidak pernah minta. Kita menanyakan, "Perlukah, Ma, perlukah Pa ?" dijawab, "Tidak perlu, tidak perlu jangan untuk kamu saja, kamu ‘kan perlu !". Akhirnya terbukalah bahwa dia perlu, "Ya kalau misalnya bisa bantu, kami senang". Kita kemudian berbicara dengan pasangan kita, tapi pasangan kita kemudian berkata begitu, "Mereka masih punya uang, masih punya harta, ya dijual saja". Bagaimana kita menyesuaikannya karena kita sekarang sudah mengenal inilah watak atau karakter pasangan kita. Mungkin kita mencoba mengerti atau mencoba memahami latar belakangnya, mereka satu keluarga dari latar belakang yang relatif susah jadi masing-masing berdiri sendiri, berusaha sendiri, yang namanya belas kasihan, menolong orang tidak ada, atau mungkin kebalikannya, mereka berasal dari latar belakang yang pernah dirugikan oleh orang, ditipu atau uangnya diambil orang sehingga sangat-sangat perhitungan, ketat sekali dengan uang dan hampir tidak ada yang namanya belas kasihan. Tidak ada memberikan yang tanpa pamrih, semua harus ada perhitungannya. Bagaimana kita menyesuaikan diri dengan dia ? Dalam kondisi seperti ini, kekeliruan yang sering terjadi adalah begini, kita memaksa. Kita berkata pada pasangan kita, "Tidak, kamu harus menolong, orang tua ‘kan perlu dibantu", akhirnya kita bertengkar hebat. Yang perlu kita lakukan untuk menyesuaikan diri saat itu adalah yang terpenting jangan paksakan dulu. Kalau orang tua kita masih bisa hidup sendiri tanpa bantuan kita beberapa bulan lagi, diamkan, biarkan. Katakan pada orang tua, "Belum bisa, tapi mungkin tiga bulan lagi baru bisa", janjikan seperti itu. Kemudian kita perlahan-lahan dalam pembicaraan dengan istri kita atau suami kita, kita munculkan tentang apa yang menjadi isi hati Tuhan. "Tuhan sudah memberkati kita, Tuhan sayang kepada kita dan Tuhan juga ingin agar kita bisa memberikan berkat kepada orang lain". Atau mungkin kita mulai berkata kepada pasangan kita, "Eh, kita tolong atau berikan bantuan misalnya kepada adiknya atau kakaknya". Dengan perkataan lain, kita mau menumbuhkan rasa murah hati dalam hatinya terlebih dahulu, kalau kita paksakan dia untuk memberikan uang kepada orang tua kita, pasti ribut besar dan menimbulkan sakit hati tidak bisa sembuh-sembuh. Yang bisa kita sesuaikan adalah sikap murah hati harus ada terlebih dahulu, itu yang kita coba untuk tumbuhkan sehingga nanti ia bisa menyesuaikan diri juga dengan hal ini.

GS : Pengenalan, pengertian dan penyesuaian ini butuh waktu yang cukup panjang karena ini suatu proses yang berkesinambungan, Pak Paul, padahal sekarang waktu kita sangat terbatas, disibukkan dengan kesibukan yang luar biasa. Nah ini bagaimana kaitannya dengan pengenalan itu tadi, Pak Paul ?

PG : Kalau kita memang sungguh-sungguh berniat untuk mengenal pasangan kita memang sedapat-dapatnya kita lebih sering berkomunikasi, lebih sering membahas, mendiskusikan. Jadi sedapat-dapatnya terbuka terhadap pasangan kita nanti akan menolong terjadinya dialog dan waktu dialog terjadi kita akhirnya makin dapat mengenal pasangan kita dengan lebih baik lagi. Kalau kita berhasil mengenal, mengerti dan menyesuaikan maka kita akan bertumbuh makin hari makin intim, makin akrab. Kita makin dapat mendamaikan konflik dan akhirnya kita makin hari makin disatukan. Kalau tidak demikian, saling mendiamkan, tidak mau mengenal dan mungkin tidak bisa mengerti atau tidak bisa menyesuaikan dan dibiarkan begitu saja akhirnya secara relasi tidak bertumbuh. Mungkin untuk sementara tatkala anak-anak masih di rumah, persoalan tidak bermunculan, tapi begitu anak-anak ke luar rumah, kita tinggal berduaan, timbullah masalah sebab pada dasarnya kita belum sampai ke titik di mana kita berhasil menyesuaikan diri satu dengan yang lain. Setelah anak-anak pergi barulah kita diperhadapkan dengan masalah semula itu.

GS : Padahal pertumbuhan ini antara suami dan istri, kaitannya dengan anak seperti apa, Pak Paul ?

PG : Jadi begini, Pak Gunawan. Waktu anak lahir tidak bisa tidak anak akan masuk langsung terlibat dalam relasi kita berdua, sebagai contoh harapan kita, tuntutan kita, apa yang kita dambakan dalam hidup itu berkaitan dengan anak. Sebelum ada anak tidak muncul, tapi setelah anak lahir, muncullah. Apakah yang sebenarnya kita harapkan dari anak, bagaimana sikap kita kepada anak ? Misalnya, ada orang tua yang menjadikan anak benar-benar seperti trofinya, supaya dilihat orang sebagai orang yang berhasil. Anak itu juga harus berhasil, tidak boleh membuat malu orang tua, ditekankan sekali mesti berhasil, mesti berprestasi. Nah, pasangan kita mungkin tidak setuju, pasangan kita berkata, "Jangan begitu, tolong lihat kemampuan anak kita, kamu jangan membuat anak kita seperti kuda yang dipacu supaya kamu nanti bisa duduk di atasnya dan menang, tidak bisa begitu". Mungkin sekali di situ terjadi gesekan, tapi bagaimana kita menyadari hal itu ? Sewaktu anak lahir, sewaktu anak nanti akhirnya bersekolah dan mengalami kesulitan dalam prestasi belajarnya. Memang penting sekali kita bisa menyadari semua itu.

DL : Pak Paul, selain pengenalan, pengertian dan penyesuaian, dalam hal apa lagi orang yang menikah itu mereka bisa betul-betul bisa bertumbuh bersama ?

PG : Ini penting sekali dalam hal hikmat, ini yang sesuatu yang mutlak harus ada dan bertumbuh dalam pernikahan kita. Sebab apa ? Sebab dalam hidup itu ada sejumlah hal yang mesti dihadapi dan semuanya menuntut hikmat. Amsal 24:3-4 [2] berkata, "Dengan hikmat rumah didirikan, dengan kepandaian itu ditegakkan dan dengan pengertian kamar-kamar diisi dengan bermacam-macam harta benda yang berharga dan menarik". Dari firman Tuhan ini kita bisa menyimpulkan bahwa hikmatlah yang diperlukan untuk mendirikan rumah, dalam hal ini rumah tangga kita. Bila kita tidak bertumbuh dalam hikmat kita cenderung mengambil keputusan yang keliru dan merugikan keluarga. Mungkin kalau terjadinya hanya sekali-sekali, baiklah pasangan akan mengerti, anak-anak akan menoleransi tetapi bila kerap terulang, kita mengambil keputusan yang salah lagi, salah lagi, tidak bisa tidak hubungan kita dengan pasangan dan anak pasti terganggu. Mereka mungkin saja marah, menyimpan kepahitan oleh karena kesalahan yang kita perbuat, itu sebabnya kita mesti bertumbuh dalam hikmat sebab kalau tidak berhikmat pada akhirnya pernikahan kita akan mengalami kerusakan.

GS : Tapi tidak ada pasangan suami istri yang begitu sempurna, memunyai hikmat yang luar biasa seperti itu, Pak Paul, seandainya terjadi dan seringkali memang terjadi ada keputusan-keputusan kita sebagai orang tua itu keliru, apa dampaknya, Pak Paul ?

PG : Dampaknya bergantung pada berapa besarnya keputusan tersebut, sebagai contoh kalau ada orang mengambil keputusan yang keliru melibatkan hukum akhirnya dia harus masuk ke penjara. Ini tampaknya besar, sebab anak-anak akan kehilangan orang tuanya selama di penjara atau yang lebih besar lagi adalah rasa malu, lingkungan akan mencemooh, membicarakan tentang masalah ini. Jadi akhirnya repot sekali, mestilah kita berhikmat dalam mengambil keputusan sebab kita mesti memikirkan keluarga kita. Jangan hanya memikirkan kalau berhasil kalau bisa, tetapi tidak memikirkan dampak buruknya kalau tidak berhasil.

DL : Bagaimana kalau sampai ada anak memunyai akar pahit terhadap orang tuanya karena masa lalu yang dihadapi, Pak Paul ?

PG : Banyak anak yang menyimpan rasa pahit, Bu Dientje, misalnya ada anak yang menyimpan rasa pahit, marah, karena dikirim ke sekolah berasrama di luar kota, mungkin secara intelektual dia berkembang tapi secara emosional dia menyimpan kepahitan atau ada anak yang harus merasakan susahnya hidup karena kesalahan orang tuanya. Tidak bisa tidak, mereka tidak bisa respek kepada orang tua, mulailah terjadi pemberontakan, kurang ajar, tidak menganggap apa yang dikatakan oleh orang tuanya, sehingga orang tua tidak bisa lagi berfungsi sebagai orang tua di rumah. Respek itu akhirnya hilang dan

sudah tentu kalau isinya adalah kemarahan-kemarahan maka kasih sayang dan kepedulian terhadap orang tua akhirnya memudar, tidak peduli dan tidak mau mengacuhkan pada orang tua sama sekali.

GS : Tapi mengirimkan anak ke asrama seperti itu tidak selalu keliru, Pak Paul ? Ada keluarga karena tinggal di kota yang kecil, anaknya dikirim ke kota yang lebih besar dan diasramakan tetapi hubungan mereka tetap baik karena pertama-tama anak itu sudah diberitahu mengapa mereka harus studi di luar kota dan hubungan mereka masih sering. Jadi kalau hari Sabtu atau Minggu orang tuanya masih menjemput dan sebagainya, begitu Pak Paul.

PG : Memang tidak sama pada tiap kasus, itu betul sekali. Ada anak yang memang lebih siap, mungkin waktu dia masih lebih kecil, hubungannya dengan orang tua lebih kuat, lebih dekat sehingga akhirnya dia lebih bisa menghadapi itu, tetapi ada anak yang tidak bisa. Nah, kita sebagai orang tua mesti menimbang ulang kalau kita melihat anak itu memberi reaksi yang buruk kita mesti bersiap untuk mengubah keputusan kita dan memulangkan dia kembali jadi tidak memaksakannya. Sekali lagi perlu kepekaan waktu melihat reaksi anak itu.

GS : Dan hikmat itu adalah hikmat yang dari Tuhan. Aspeknya apa saja, Pak Paul ?

PG : Kita baru bisa memiliki hikmat dalam Tuhan jika pertama-tama kita takut kepada Tuhan, karena firman Tuhan berkata, "Awal dari hikmat adalah takut akan Tuhan", jadi mesti takut kepada Tuhan sehingga tidak mau main-main dengan Tuhan, tidak mau berdosa, kita takut pada Tuhan. Yang kedua adalah kita mesti memiliki kerendahan hati, karena Amsal penuh dengan nasihat tentang hikmat dan rata-rata hikmat diperoleh lewat kerendahan hati untuk belajar, untuk menyerap apa yang harus kita ketahui sehingga kita tidak salah melangkah, bersedia ditegur atau dibimbing oleh orang-orang lain.

GS : Pak Paul, ada orang yang memiliki hikmat Tuhan seperti itu tetapi ada juga yang kurang. Tidak tahu hubungannya bagaimana, tetapi kita melihat dia lebih menonjolkan hikmat manusia, pertimbangan-pertimbangan manusia yang berakibat keluarganya tidak harmonis dan sebagainya. Lalu bagaimana kita harus menyikapinya, Pak Paul ?

PG : Kita memang harus datang kepada Tuhan, mengakui bahwa kita kurang berhikmat dan meminta Tuhan untuk menyediakan hikmat kepada kita, jadi terus datang kepada Tuhan dan meminta Tuhan untuk menyediakan hikmat itu kepada kita.

GS : Apakah ada ayat yang bisa mendukung pernyataan ini dan sekaligus mengakhiri perbincangan kita kali ini, Pak Paul ?

PG : Ada, Pak Gunawan. Yakobus 1:5 [3] berkata, "Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat hendaknya ia memintakannya kepada Allah yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati dan dengan tidak membangkit-bangkit maka hal itu akan diberikan kepadanya". Jadi minta kepada Tuhan, setelah minta ikuti, takut akan Tuhan jangan main-main dengan Tuhan, jangan main-main dengan dosa dan cobalah rendah hati, dengarkan masukan dari orang lain juga.

GS : Pak Paul, perbincangan kita ini tentang "Bertumbuh Bersama" apakah masih ada aspek-aspek yang lain yang perlu nanti kita bicarakan ?

PG : Masih ada, Pak Gunawan.

GS : Untuk kali ini kita sudahi perbincangan ini, namun kita tentunya berharap para pendengar kita bisa mengikuti lanjutan perbincangan ini. Terima kasih Pak Paul dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Bertumbuh Bersama" bagian yang pertama dan kami berharap Anda sekalian bisa mengikuti perbincangan selanjutnya agar memunyai gambaran yang lebih jelas, lebih lengkap tentang "Bertumbuh Bersama" ini, sedang bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org [4] kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org [5]. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.

Ringkasan

Pertumbuhan bukan hanya merujuk kepada pertambahan ukuran dari kecil menjadi besar. Pertumbuhan juga mengacu kepada pergantian yang baru menggantikan yang lama. Pertumbuhan bukan saja merupakan pertanda adanya kehidupan; pertumbuhan juga merupakan pertanda adanya kesehatan.

Relasi nikah pun seharusnya mengalami pertumbuhan di mana yang tadinya kecil menjadi besar dan di mana yang lama digantikan oleh yang baru. Berikut akan diuraikan hal-hal apa saja dalam pernikahan yang seyogianya mengalami pertumbuhan.

·         Pengenalan, Pengertian, dan Penyesuaian.
Pernikahan bukan saja menyediakan wadah terciptanya pengenalan, pernikahan juga mengharuskan pasangan untuk saling menyesuaikan diri lewat pengenalan yang telah terjalin. Nah, agar terjadi penyesuaian, diperlukan pengertian. Dengan kata lain, dimulai dengan PENGENALAN, berlanjut dengan PENGERTIAN, dan berakhir dengan PENYESUAIAN. Pengenalan mesti bertumbuh agar tercipta pengertian dan pengertian mesti bertumbuh agar tercipta penyesuaian. Dan kita tahu, relasi harmonis mustahil tercipta tanpa adanya penyesuaian.

Banyak pasangan nikah yang tidak memberi cukup waktu untuk saling mengenal. Begitu masuk ke dalam pernikahan, mereka langsung "berlari" mengejar impian. Pulang malam, mereka jarang bercakap-cakap. Tubuh terlalu letih sehingga kebutuhan terbesar adalah beristirahat. Akhirnya pengenalan mereka pun mandek.

Masalahnya, begitu pengenalan berhenti berkembang, pengertian terhadap satu sama lain makin menipis pula. Problem makin sering muncul akibat kurangnya pengertian antara satu sama lain. Pada akhirnya konflik mulai berjamur karena kita tidak mengerti mengapa pasangan melakukan sesuatu atau melihat sesuatu lewat lensanya yang berbeda dari lensa kita.

Jika kita dapat menyelaraskan perbedaan, kita akan dapat membangun kedekatan tetapi apabila kita tidak dapat mendamaikan konflik, kita makin bertumbuh secara terpisah. Kita tidak terbiasa menyesuaikan diri dan kalaupun mau, kita tidak tahu bagaimana caranya.

Pada umumnya masalah mulai bermunculan ketika anak sudah tidak bersama kita lagi. Oleh karena anak sudah tiada, kita terpaksa berhadapan kembali dan harus melihat fakta bahwa sesungguhnya kita tidak tahu bagaimana hidup bersama. Tidak jarang, akhirnya kita memilih untuk menjalani hidup terpisah kendati masih hidup serumah. Itu sebabnya penting bagi kita untuk menumbuhkan pengenalan terhadap satu sama lain agar pengertian pun bertumbuh. Dan, tatkala pengertian bertumbuh, kita pun dapat menyesuaikan diri dengan lebih mudah.

·         Hikmat.
Banyak hal yang mesti dihadapi dalam hidup dan semua menuntut hikmat. Amsal 24:3-4 [2] berkata, "Dengan hikmat rumah didirikan, dengan kepandaian itu ditegakkan, dan dengan pengertian kamar-kamar diisi dengan bermacam-macam harta benda yang berharga dan menarik." Bila kita tidak bertumbuh dalam hikmat, kita cenderung mengambil keputusan yang keliru dan merugikan keluarga. Mungkin bila hal ini terjadi sekali-sekali, pasangan dan anak akan dapat menoleransi. Namun bila hal ini kerap terulang, tidak bisa, relasi dengan pasangan dan anak niscaya terganggu. Besar kemungkinan mereka marah dan menyimpan kepahitan oleh karena kesalahan yang kita perbuat. Itu sebabnya kita harus bertumbuh dalam hikmat sebab tanpanya, pernikahan akan mengalami kerusakan. Ada banyak anak yang menyimpan kepahitan terhadap orang
tua akibat tindakan atau keputusan orang tua yang tidak berhikmat. Misal, ada anak yang menyimpan rasa marah karena sejak kecil dikirim ke sekolah berasrama. Memang secara intelektual si anak mengalami perkembangan, namun secara emosional, ia mengalami kepahitan. Atau, ada anak yang harus merasakan susahnya hidup akibat keputusan orang tua yang salah. Mungkin bisnis merugi berulang kali sehingga rumah terpaksa dijual. Atau, uang dipinjamkan tanpa jaminan, sehingga harus menanggung rugi.

Tindakan dan keputusan yang tidak berhikmat cenderung memengaruhi kehidupan semua anggota keluarga. Itu sebabnya kita mesti belajar berhikmat. Firman Tuhan mengajarkan bahwa hikmat didirikan di atas

  1. takut akan Tuhan dan
  2. kerendahan hati
untuk mendengarkan dan belajar dari orang lain dan pengalaman hidup. Bila kita tidak takut Tuhan, kita mudah tergelincir jatuh ke dalam dosa dan dosa pasti merugikan keluarga. Kita pun mesti rendah hati supaya cepat mengakui kekurangan dan belajar memerbaikinya. Tanpa takut akan Tuhan dan kerendahan hati, kita terus berkubang dalam kehidupan tanpa hikmat.

·         Kekudusan.
Ada kecenderungan setelah menikah untuk waktu yang lama, kita menjadi begitu terbiasa dengan pasangan sehingga kurang berhati-hati menjaga perilaku dan perkataan. Mungkin kita berubah menjadi lebih kasar atau bersikap lebih "seenaknya." Kita tetap harus menjaga kekudusan alias hidup benar. Jangan meremehkannya dan jangan menyia-nyiakannya. Selain dari itu, kita pun harus menjaga kekudusan hidup secara menyeluruh. Jangan bermain dengan dosa dan jangan lengah. Kekudusan adalah perisai pernikahan. Tanpa kekudusan, pernikahan tersungkur ke dalam dosa.

Kita tidak selalu setuju namun sewaktu kita melihat betapa kudusnya hidup pasangan, kita akan menghormatinya. Inilah dasar respek yang kokoh. Ketika kita melihat pasangan berdoa dengan sungguh-sungguh, kita pun akan makin respek kepadanya. Tatkala kita melihat pasangan bergelut dalam Firman, kita pun akan makin menghormatinya.

Hidup kudus adalah hidup yang

  1. mencari Allah dan
  2. menghalau dosa
. Makin serius kita mencari Allah dan makin besar usaha yang kita berikan untuk jauh dari dosa, makin kuduslah hidup. Dan, makin kudus hidup, makin kokoh pernikahan dan makin dilindungi kita dari segala pencobaan. Pernikahan tidak mungkin bertumbuh bila kita terus direpotkan dengan masalah pasangan yang hidup tidak kudus.

·         Kebaikan.
Pernikahan didirikan di atas kasih namun kasih harus diwujudkan dalam tindakan nyata yaitu dalam bentuk kebaikan. Makin banyak kebaikan, makin cepat pernikahan bertumbuh. Sebaliknya, makin jarang kebaikan dilakukan, makin besar jurang pemisah dan makin mengering relasi nikah.

Kita senang menerima bantuan dan sudah tentu berbahagia tatkala menjadi penerima kebaikan pasangan. Itu sebabnya kita harus sering-sering berbuat baik kepada dan untuk pasangan. Kita harus lebih cepat menggerakkan tangan menolong satu sama lain dan kita pun harus lebih murah hati. Murah hati diperlihatkan dari sikap yang tidak menghitung-hitung. Kita rela memberi walau tanpa imbalan. Sewaktu kebaikan menjadi sesuatu yang alamiah dan otomatis, pernikahan pasti bertumbuh pula.

·         Pengenalan akan Allah.
Hidup berasal dari Allah. Itu sebabnya kita hanya dapat memaknai hidup dari mata Allah sendiri. Pengenalan akan karakter Allah, cara Allah bekerja, dan rencana Allah atas manusia bukan saja memberi kita kejelasan akan makna hidup tetapi juga menempatkan kita pada jalur yang benar di dalam menjalani hidup. Jika kita berdua berjalan di jalur yang sama, kita pun akan makin disatukan dan dikuatkan dalam menjalani hidup ini. Sebaliknya, bila kita hidup di jalur berbeda dan memaknai hidup secara berlainan pula, kita makin terpaut jauh dan besar kemungkinan akan lebih sering bertabrakan dalam konflik. Pengenalan akan Allah yang mendalam dan tepat membuat kita teguh—tidak mudah terombang-ambingkan oleh situasi kehidupan. Alhasil kita pun menjadi lebih kuat. Dan, kita cenderung respek kepada orang yang kuat dalam menghadapi tekanan hidup. Itu sebabnya dengan berjalannya waktu kita pun mesti bertambah kuat menghadapi kekecewaan, kebingungan, dan kesusahan hidup. Relasi nikah sulit bertumbuh bila salah satu anggotanya terus bergantung pada yang satunya. Sebaliknya sewaktu pasangan melihat bahwa kita kokoh dalam pengenalan akan Allah dan kekuatan dari-Nya, ia pun terdorong untuk mengenal Allah lebih dalam lagi dan menimba kekuatan lewat penyerahan kepada Tuhan. Tatkala ini terjadi, pernikahan pun akan mengalami pertumbuhan. Sebaliknya bila kita tidak berminat memperdalam pengenalan akan Allah, kita tetap berada pada level kanak-kanak dan ini akan membuat pasangan letih hidup bersama kita.

·         Syukur.
Kita harus berupaya keras untuk tidak terjebak di dalam siklus mengeluh. Kita harus berusaha untuk hidup dalam sikap bersyukur yakni melihat dan menghargai pemberian Tuhan kepada kita. Relasi nikah sukar bertumbuh bila kita kerap mengeluh dan menyatakan tidak puas terhadap apa yang diterima. Pasangan pun cenderung menjauh bila kita sering menggerutu. Sebaliknya hati yang bersyukur menceriakan suasana dan memberi dorongan kepada pasangan untuk melanjutkan hidup dengan lebih riang dan ringan. Syukur bukanlah sebuah perasaan; syukur adalah sebuah sikap. Kita harus menentukan bagaimana kita akan melihat hidup. Kita dapat melihat hidup dari kacamata "kurang" atau "cukup." Bila kita terus menggunakan kacamata "kurang" maka semua akan menjadi kurang. Sebaliknya jika menggunakan kacamata "cukup" kita cepat bersyukur kepada kasih setia Tuhan.

Firman Tuhan:

"Kasih setia Tuhan dari selama-lamanya sampai selama-lamanya atas orang-orang yang takut akan Dia dan keadilan-Nya bagi anak cucu, bagi orang yang berpegang pada perjanjian-Nya dan yang ingat untuk melakukan titah-Nya." (Mazmur 103:17-18 [6])

Pdt. Dr. Paul Gunadi [7]
Audio [8]
Pranikah/Pernikahan [9]
T334A [10]

URL sumber: https://telaga.org/audio/bertumbuh_bersama_i

Links
[1] http://media.sabda.org/telaga/mp3/T334A.MP3
[2] http://alkitab.sabda.org/?Amsal+24:3-4
[3] http://alkitab.sabda.org/?Yakobus+1:5
[4] mailto:telaga@telaga.org
[5] http://www.telaga.org
[6] http://alkitab.sabda.org/?Mazmur+103:17-18
[7] https://telaga.org/nara_sumber/pdt_dr_paul_gunadi
[8] https://telaga.org/jenis_bahan/audio
[9] https://telaga.org/kategori/pranikah_pernikahan_0
[10] https://telaga.org/kode_kaset/t334a