TELAGA
Dipublikasikan pada TELAGA (https://telaga.org)

Depan > Waktu Bersama Pasangan

Waktu Bersama Pasangan

Kode Kaset: 
T327A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Salah satu kesalahpahaman yang umum beredar di kalangan pasangan nikah adalah, berkaitan dengan soal waktu, "kualitas" jauh lebih penting ketimbang "kuantitas." Sudah tentu kualitas penting oleh karena pada akhirnya terpenting bukanlah sekadar menghabiskan waktu melainkan membagi dan menikmati waktu bersamanya. Ada dua hal penting yang hanya dapat bertunas di dalam koridor waktu bersama: (a) KETERBIASAAN dan (b) PENYESUAIAN. Disini akan dijelaskan dengan lebih detail mengenai kedua hal tersebut.
Audio
MP3: 
3.3MB [1]
Play Audio: 
Your browser does not support the audio element.
Transkrip

 

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang “Waktu Bersama Pasangan”. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

 

GS :   Pak Paul, ada perbedaan yang besar ketika sepasang manusia saling mengasihi ketika pacaran, mereka selalu menyempatkan diri untuk bisa bersama-sama tetapi begitu memasuki era pernikahan, makin lama makin jarang untuk punya waktu bertemu. Ini bagaimana ?

PG :   Ini adalah salah satu keluhan yang cukup sering saya dengar. Banyak orang terutama istri yang mengeluhkan bahwa suami saya itu waktu sedang pacaran begitu perhatikan saya, maunya menghabiskan waktu bersama saya, tapi setelah menikah dia susah sekali diajak bicara kalau saya ajak duduk bicara, dia tidak pernah mau. Jadi inilah yang menjadi kenyataan dalam pernikahan. Jadi cukup banyak istri yang mengeluhkan masalah ini.

DL :   Betul, dan ada juga orang yang mengatakan bahwa berkaitan dengan soal waktu, kita harus mengedepankan kualitas di atas kuantitas, apakah benar demikian, Pak Paul ?

PG :   Bu Dientje, sudah tentu kualitas memang penting oleh karena kalau kita menghabiskan waktu tapi tidak ada kualitasnya memang percuma dan sia-sia. Jadi yang penting adalah membagi dan menikmati waktu bersama pasangan dan bukan hanya menghabiskannya. Sungguh pun demikian kita perlu mengingat bahwa kualitas hanya ada dalam hitungan atau rentang waktu. Artinya makin banyak kita membagi waktu bersama, maka kemungkinan terjadi sebuah interaksi yang positif dan membangun. Saya bisa menggunakan sebuah ilustrasi yaitu seorang sutradara, waktu dia memandu jalannya sebuah cerita atau sebuah film, dia mungkin akan mengambil gambar bisa berkali-kali, adegan yang sama diulang-ulang, nanti waktu editing barulah dia akan duduk dan lihat, dari yang misalnya 20 adegan yang sama direkam maka dia hanya akan ambil satu. Berarti yang diambil adalah yang memang bagi dia terbaik, itu lah yang dia akan ambil. Demikian juga dengan kita membagi waktu bersama pasangan. Yang kita sebut dan kita anggap kualitas, tapi bagi pasangan itu belum tentu. Misalnya buat seorang istri yang berkualitas adalah suami bersama dengan dia di dapur, sama-sama menyiapkan makanan atau suami menggendong anak, mengurus anak waktu istrinya sedang repot. Bagi si suami menyiapkan makanan di dapur, mencuci piring dengan istri tidak ada kualitasnya sama sekali, apalagi misalnya si istri pergi dia harus mengurusi anak, menggendong anak, maka mungkin sekali dia akan berkata, “Ini bukannya kualitas, tapi ini benar-benar buang waktu”. Tapi bagi istri ini adalah sesuatu yang akan dikenang, yang akan benar-benar menyentuh hatinya, jadi kita tidak akan pernah merasa pas merencanakan dan memastikan terciptanya waktu yang bermakna, waktu kita menjalaninya bersama-sama maka di tengah-tengah itulah kita memetik manfaat dan bisa kita katakan bahwa waktu ini adalah waktu yang indah. Jadi sekali lagi di dalam kuantitas atau di dalam ketersediaanya waktu yang kita habiskan, waktu bersama itulah berkemungkinan kita mencicipi waktu yang berkualitas.

GS :   Jadi sebenarnya pada masa pacaran, lebih banyak kuantitasnya dari pada kualitasnya karena hal-hal yang dibicarakanpun bukan tentang masa depan tapi hanya pendek-pendek saja, Pak Paul.

PG :   Justru, itu adalah bagian yang memang penting dan kalau kita bandingkan dengan kita sudah menikah sudah tentu kualitas percakapan kita setelah menikah berbeda dengan sebelum kita menikah karena kita sudah lebih mengerti pergumulan hidup dan sebagainya, namun itu adalah tahapan yang harus kita lalui. Pada masa berpacaran sudah tentu percakapan akan lebih ringan, seru dan nanti setelah menikah tuntutan hidup juga berbeda dan secara alamiah percakapan itu akan digiring masuk ke dalam topik-topik yang jauh lebih serius yang akan memengaruhi hajat kehidupan bukan saja dua orang, tapi mungkin juga ada anak-anak dan sebagainya. Jadi memang tetap harus dilalui.

GS :   Tapi sebenarnya, Pak Paul, itu bisa dipersiapkan pada saat pacaran, karena tidak dengan serta merta seseorang atau dua orang ini tiba-tiba jadi akrab berkomunikasi senang bersama-sama, jadi harus diawali dengan ketika mereka sedang dalam berpacaran.

PG :   Bagus sekali apa yang Pak Gunawan katakan, jadi memang kalau pasangan nikah itu sudah mulai membiasakan dirinya pada masa berpacaran untuk mulai melakukan pembicaraan yang juga serius, memikirkan atau merancang masa depan atau menceritakan tentang diri, memberanikan diri untuk terbuka dengan isi hatinya, sudah tentu ini menjadi modal yang sangat besar dibandingkan kalau dua orang berpacaran hanya bisanya senang-senang kesana-kesini, ketawa-ketawa tapi tidak ada yang benar-benar dibicarakan, tidak ada perencanaan masa depan, tidak ada cerita tentang diri dan sebagainya. Sudah tentu relasi yang seperti itu relatif dangkal, jadi nanti setelah menikah mereka kaget, menemukan pasangan saya seperti ini dan begitu. Ini sebenarnya cukup sering terjadi bukan hanya pada masa berpacaran tapi justru ini sering terjadi pada masa setelah menikah karena kita tahu pada masa berpacaran memang relasi itu tidak bisa menjadi begitu mendalam, jadi baru mulai bisa mendalam setelah menikah. Masalahnya adalah pada zaman sekarang orang itu sibuk, jadi cukup banyak pasangan nikah apalagi di kota-kota besar, baru bertemu di malam hari dimana sudah terlalu capek untuk melakukan sesuatu, sehingga relasi itu menjadi relasi yang tidak bertumbuh, jarang terjadi interaksi yang sungguh-sungguh bermakna, apalagi kalau misalnya salah satu di antaranya sering pergi dalam tugas-tugasnya, jadi lebih sedikit lagi. Apalagi misalnya ditambah dengan kalau ada apa-apa misalnya konflik, terbiasa yang satu atau suami tidak mau hadapi, keluar rumah dan pulang malam, istri sudah tidur, dan besok pagi istrinya mau bicara tidak bisa, dan dia mungkin berkata, “Saya tidak mau bicarakan lagi, kita hentikan saja, itu sudah kejadian yang lalu dan sekarang jangan bicarakan lagi” akhirnya berhenti. Nanti munculnya ini setelah anak-anak sudah besar dan ketika mereka kembali hidup berdua barulah terasa, “Kamu sekarang menjadi seperti ini” padahal dulupun juga begitu tapi memang tidak ketahuan dan mungkin tidak berkesempatan untuk dimunculkan, jadi bukan hanya pada masa berpacaran tapi setelah menikah pun banyak yang seperti itu.

GS :   Jadi yang Pak Paul maksudkan dengan perbincangan yang berkualitas atau kedekatan yang berkualitas itu seperti apa, Pak Paul ?

PG :   Jadi sebetulnya mayoritas yang kita bilang berkualitas, memang yang benar-benar menyentuh hati, membuat kita menyadari bahwa kita bersama-sama di dalam pernikahan ini bahwa saya disayangi, bahwa saya akan diperhatikan, bahwa saya akan berada di sana untuk dirimu. Jadi pesan-pesan seperti itulah yang nanti akan lebih banyak disambung atau disampaikan kepada satu sama lain.

DL :   Jadi ada keterbukaan.

PG :   Betul. Dan nanti yang akan mengakrabkan mereka menjadi lebih menyatu. Jadi segala hal yang menyatukan mereka, itulah yang kita kategorikan dengan waktu yang berkualitas.

DL :   Sebetulnya apa pengaruh menghabiskan waktu bersama pasangan pada pertumbuhan hidup pernikahan ? Maksudnya apakah memang mutlak diperlukan, Pak Paul ?

PG :   Ada, pasti itu sangat diperlukan. Coba saya paparkan apa pengaruhnya yang begitu penting, yang pertama adalah keterbiasaan dan yang kedua adalah penyesuaian. Tentang keterbiasaan, makin banyak kita menghabiskan waktu bersama dengan pasangan, makin cepat terjalin keterbiasaan, bahasa Inggisnya adalah “familiarity”, makin kita terbiasa dengan kehadirannya maka kita pun akan makin cepat menjadikannya sebagai bagian permanen dalam hidup kita. Alhasil kita pun akan berkesempatan membangun hidup bersamanya. Saya berikan contoh, misalnya tatkala kita pulang ke rumah dan kita tahu bahwa pasangan sudah menunggu, dan sudah menyiapkan makanan. Atau sebagai istri di pagi hari kita bangun, kita menyiapkan makanan bagi suami, kendati tampaknya kecil dan tak bermakna, sebenarnya aktifitas rutin seperti ini menciptakan struktur kehidupan dimana kita berdua bernaung di bawahnya. Jadi di dalam tumpukan sejuta keterbiasaan kecil seperti inilah relasi di bangun. Jadi banyak sekali hal-hal yang kecil-kecil, seperti kita tidur bersama jamnya hampir sama, kita makan bersama, kita pergi ke pesta bersama, jadi begitu banyak keterbiasaan yang akhirnya membuat hidup menjadi stabil rutin sebab keterbiasaan itu ibarat kayu-kayu yang kita nanti sambung-sambung menjadi sebuah rumah. Itu sebabnya sebagai contoh kebalikannya kalau pasangan suami istri tidak menghabiskan waktu, yang satu ke mana yang satu ke mana, meskipun menikah puluhan tahun sebenarnya tidak ada rumah tangga. Karena mereka tidak pernah membangun kayu-kayu kecil, batu-batu kecil disambung menjadi sebuah rumah. Kita bisa melihat dampaknya pada waktu kehilangan pasangan. Mungkin kita pernah mengenal teman-teman yang sudah ditinggalkan oleh pasangannya dan kita mengetahui bahwa orang yang ditinggalkan pasangan, kehilangan hal-hal kecil seperti keterbiasaan-keterbiasaan yang kecil-kecil misalnya terbiasa melihat dia tidur, terbiasa melihat dia duduk di sini, saya terbiasa berbicara dengan dia di sini, saya terbiasa pergi ke pasar bersama dengan dia, itu semua keterbiasaan-keterbiasaan yang menjadikan pasangan itu sebuah rumah yang ada strukturnya. Jadi kalau kita tidak menghabiskan waktu bersama pasangan, tidak akan ada hal-hal yang seperti itu. Berarti tidak akan ada juga sebuah rumah tangga. Jadi ini faktor pertama yang penting sekali. Faktor kedua yang saya sebut penyesuaian, kenapa penting menghabiskan waktu ? Karena perlu penyesuaian. Makin sering kita menghabiskan waktu bersama, maka makin terbuka kesempatan kita untuk berinteraksi dan mengamati satu sama lain, ini berarti pengenalan terjadi karena sering bertemu, bicara, kadang-kadang muncullah perselisihan karena tidak cocok entah itu pikiran, kebiasaan sehingga memaksa kita untuk menyesuaikan dan akhirnya kita menyesuaikan diri dan bila kita berhasil melakukannya maka kita akan lebih dapat menikmati relasi nikah yang sehat. Jadi sekali lagi ini hanya bisa terjadi jikalau dua orang ini menghabiskan waktu bersama.

DL :   Bukankah ada pasangan yang tidak menghabiskan banyak waktu namun mereka bisa bertumbuh dengan baik, tapi ada pasangan suami istri yang terus bersama tapi mereka penuh masalah ? Itu bagaimana, Pak Paul ?

PG :   Sebagaimana telah dibahas tadi, pengenalan itu tidak secara otomatis menghasilkan penyesuaian dan bukan karena kita saling kenal tahu sifat masing-masing secara otomatis kita harmonis, ini dua hal berbeda yaitu yang satu mengenal dan menyesuaikan diri, satu hal lainnya. Untuk mengenal diperlukan waktu bersama, untuk menyesuaikannya juga diperlukan waktu. Ada misalnya kebiasaan yang kita tidak ketahui tapi kita baru ketahui setelah kita menikah, selama menghabiskan waktu bersama pasangan pengenalan itu mencelikkan mata kita terhadap kebiasaan yang kita tidak suka, atau karakternya yang mungkin kita anggap buruk, berarti kita harus mulai bekerja keras untuk menyesuaikannya. Pertanyaannya tadi, kenapa ada pasangan nikah yang tidak menghabiskan waktu terlalu banyak tapi baik dan sehat ? Yang menghabiskan waktu bersama malah terus disakiti  ? Kuncinya adalah besar kemungkinan ini disebabkan oleh kenyataan bahwa kita tidak masuk ke dalam pernikahan dengan modal yang sama. Jadi ada orang yang memulai pernikahan membawa segudang masalah, ada orang yang hanya membawa sekantong masalah. Sudah tentu yang membawa segudang masalah akan harus mengeluarkan lebih banyak tenaga, usaha untuk menyelesaikan masalah-masalahnya dan itu akan memakan waktu lebih banyak karena sudah tentu akan membuat pasangan itu dilanda oleh banyak konflik. Sehingga bagaimana bisa menumbuhkan relasi, malahan pertama-tama tahap awal pernikahan mungkin bisa 4-5 tahun hanya mengurusi masalah yang memang dibawa ke dalam pernikahan. Sebagai contoh, ada orang misalnya sejak kecil dibesarkan dalam rumah di mana dia tidak mendapatkan kasih sayang yang cukup jadi akhirnya butuh kasih sayang dan dia menikah, dia mengharapkan misalnya si suami memberikan  kasih sayang yang besar kepadanya. Akhirnya yang terjadi adalah si suami tidak boleh sedikit pun lalai menunjukkan kasih sayang, sedikit lalai saja maka istri langsung sensitif, menuntut, menyalahkan, marah. Jadi suami tidak bisa memberikan perhatian lebih kepada orang lain misalnya kepada keluarganya atau orang tuanya, dan istrinya tidak akan terima dan dia akan marah sekali. Jadi benar-benar pada tahun pertama pernikahan dan mungkin bisa lama urusannya adalah urusan yang dibawa, dan membereskan itu semua. Jadi benar-benar membereskan dan setelah itu baru mereka bisa membangun kembali relasi mereka berdua. Jadi sekali lagi, makin banyak masalah yang kita bawa dari masa lampau berarti makin banyak waktu yang dibutuhkan untuk membereskan masalah itu dulu, setelah itu baru mereka berkesempatan membangun relasi mereka itu sendiri.

GS :   Tapi itu sebenarnya bisa diketahui ketika mereka itu akan menikah. Dalam masa pacaran, masa mereka berbicara mereka tahu, dari pada mereka masing-masing membawa segudang masalah dan itu membutuhkan waktu yang lama sekali, jadi tidak harus dipaksakan.

DL :   Atau mungkin masih ada yang disembunyikan ?

PG :   Ada yang memang menyembunyikan secara sengaja, tapi cukup banyak yang tidak menyembunyikannya dengan sengaja, dan saya juga mengakui adakalanya memang sulit melihat hal-hal itu. Jadi saya harus akui dalam tugas saya membimbing pasangan pranikah dan sebagainya, masih kadang-kadang saya menemui kejutan, artinya ada pasangan-pasangan yang saya bimbing yang saya sungguh-sungguh tidak melihat bahwa orang ini memunculkan masalah, tapi dalam anugerah Tuhan akhirnya mereka ada yang sudah disiapkan lewat bimbingan pranikah, namun sebelum menikah terjadi sesuatu yang muncul, waktu muncul baru kelihatan. Jadi sebelum dia melewati situasi tertentu masalahnya tidak keluar, saya berikan contoh misalnya seorang suami istri hubungan mereka relatif baik, sehat tidak ada apa-apa, dalam satu pertengkaran si istri itu mengatakan perkataan yang menyakiti hati si suami. Karena dia sedang marah maka dia keluarkan kata-kata seperti itu dan hanya sekali dia mengeluarkan kata-kata seperti itu. Misalnya dia berkata, “Dasar kamu suami tidak berguna” kebetulan si suami itu misalnya dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga yang penuh dengan caci maki, kritikan sehingga dari kecil ditanamkan, “kamu itu anak tidak berguna, tidak bisa apa-apa, bodoh dan sebagainya”. Jadi dia bekerja sekeras mungkin untuk mengubah nasibnya dan dia anggap dia sudah berhasil, jadi ini sudah dianggap masa lalu yang sudah dikubur. Tiba-tiba waktu sedang bertengkar si istri mengeluarkan perkataan itu, bagi dia seolah-olah sebetulnya yang terjadi adalah dia panik sebab yang dikira dia sudah kubur dan orang tidak lagi mencium masalah itu ternyata muncul dan istrinya tahu. Dan benar-benar membuat dia tidak aman sebab ini sesuatu yang menakutkan dia, dia sangat membuat dia tidak nyaman dengan perlakuan orang tua yang sering meremehkan dan menghina dia. sekarang istrinya berkata begitu, dia tidak merasa aman lagi dengan istrinya sehingga satu perkataan itu bisa mengubah kehidupan mereka dan menjadikan si suami penuh dengan kepahitan dan dendam dan hanya ingin membalas. Jadi sekali lagi itu munculnya karena dalam situasi tertentu, kadangkala ada hal-hal yang muncul secara tak terduga tapi saya setuju dengan Pak Gunawan bahwa seyogianyalah sebelum menikah dua-dua benar-benar melihat dengan jelas. Tapi memang tidak selalu terjadi karena kadang-kadang memang membutuhkan situasi tertentu untuk memunculkannya. Yang kedua adalah kita harus menyadari bahwa waktu kita masih muda, kita cenderung menggampangkan, “Tidak apa-apa pasti bisa, ini bukan hal besar, jadi kita mencoba saja, kita bergumul bersama”. Mungkin juga karena kita sudah terlanjur tertarik karena dia orang menarik dan sebagainya, jadi kita langsung melangkah masuk ke pernikahan. Akibatnya setelah menikah barulah nantinya kita melihat hal-hal seperti itu dan baru kita sadari, “Kenapa orang ini seperti ini” barulah kita berkata, “Saya tidak sanggup menyesuaikan diri”. Jadi sekali lagi, kalau kita masuk ke dalam pernikahan membawa segudang masalah maka pastilah tahun-tahun pertama hanya harus mengurusi hal-hal yang seperti itu. Dan kalau orang itu juga tidak mau berubah dan tidak mau mengatakan, “Ini memang masalah saya”, dan terus melemparkan kepada pasangan, “Kamulah yang tidak mengerti saya” padahal pasangannya sudah benar-benar bekerja keras mengerti dirinya, tapi dia tidak mau terima dan dia menyalahkan pasangannya, berarti makan waktu lama dan kadang-kadang malahan tidak terjadi perubahan apa-apa.

GS :   Kalau sudah dalam hal itu, Pak Paul, apakah kebiasaan-kebiasaan kecil yang mereka lakukan itu tidak ada manfaatnya ?

PG :   Ada. Makanya keterbiasaan itu yang kita lihat misalnya dia mandi jam berapa, dia makan jam berapa, dia suka makan apa. Hal-hal kecil seperti itu kalau memang dihabiskan waktu bersama itu akan menolong dan mengikat, kalau tidak ada itu dan penyesuainya memang berat maka tinggal tunggu waktu akan bisa berantakan. Jadi pribadi yang dirundung masalah, mereka ini bertumbuh menjadi pribadi yang tidak dewasa dan ketidakdewasaan menghambat proses penyesuaian sebab ketidakdewasaan membuat kita sulit mendengar, sulit berubah dan tidak bisa mendengar itu hanya menyalahkan orang saja tidak mau berubah. Ketidakdewasaan biasanya juga dikaitkan dengan besarnya kebutuhan emosional yang perlu dipenuhi dan tidak selalu cukup dan terus ingin dilayani, ini juga mengganggu proses penyesuaian. Jadi singkat kata, ada sejumlah faktor lain yang berperan dalam proses penyesuaian bukan hanya menghabiskan waktu bersama, namun sekali lagi untuk menyelesaikannya perlu waktu, untuk menciptakan penyesuaian juga tetap perlu waktu.

GS :   Kalau melihat hal ini, sebenarnya kebersamaan ini tidak hanya ditentukan oleh tempat. Jadi sekalipun mereka berjauhan kalau mereka tetap terbiasa untuk bersama-sama ini akan dilakukan juga ketika mereka berjauhan.

PG :   Betul. Jadi hal-hal yang memang biasa dilakukan seyogianya tetap dilakukan sehingga mereka tetap memiliki relasi yang baik. Jadi memang kadang-kadang itu terjadi, karena adakalanya pekerjaan tidak ada, mereka harus berpindah atau berpisah kota tapi sebaiknya itu tetap dilakukan untuk sementara saja dan sedapatnya nanti kalau ada pekerjaan yang sama, maka bisa kembali lagi ke kota yang sama.

GS :   Jadi faktor penyesuaian ini dibutuhkan kedua belah pihak itu bisa menyesuaikan dirinya, kalau satu sisi juga kurang memberikan hasil yang positif, Pak Paul.

PG :   Susah sekali sebab yang satu berubah, yang satu tidak berubah maka lama-lama yang berubah akan lelah dan merasa, “Kenapa dari dulu saya saja yang harus bekerja dan menyesuaikan”, kalau begini-begini terus akhirnya tidak ada lagi perubahan.

GS :   Dan faktor orang-orang yang ada di sekitar mereka di dalam satu rumah akan sangat besar pengaruhnya di dalam mereka menjalin kebersamaan, maksudnya ketika dulu mereka tidak punya anak mereka bisa bersama-sama bicara dengan baik, ketika anak lahir istri mencurahkan waktunya sebagian besar untuk anaknya sehingga suami itu merasa tersisihkan, nanti setelah anak ini sudah pergi dan meninggalkan mereka berdua, maka masalah ini pulih lagi.

PG :   Bisa, sebab hidup kadang-kadang tidak selalu mulus ideal, kadang-kadang ada hambatan tertentu, jadi tidak bisa tercipta dan nanti bisa lagi kembali semua itu.

GS :   Yang penting ada suatu dasar atau landasan kebersamaan yang kuat, dalam hal ini apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?

PG :   Saya akan bacakan dari Amsal 3:27-28 firman Tuhan berkata “Janganlah menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya. Janganlah engkau berkata kepada sesamamu: ‘Pergilah dan kembalilah, besok akan kuberi,’ sedangkan yang diminta ada padamu”. Jadi firman Tuhan meminta kita untuk memberikan kepada orang yang memang berhak menerima kebaikan, kita juga perlu memberikan kepada pasangan kita hal yang memang perlu yaitu waktu. Jadi kalau kita sebagai pasangan nikah tidak bisa memberikan itu maka akan repot. Jadi berikanlah dan jangan berkata kepada pasangan kita, “Pergilah, besok baru kuberi”. Tidak bisa seperti itu jadi sedapatnya kita berikan.

GS :   Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang “Waktu Bersama Pasangan”. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org [2] kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org [3]. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.

Ringkasan

 

Salah satu kesalahpahaman yang umum beredar di kalangan pasangan nikah adalah, berkaitan dengan soal waktu, "kualitas" jauh lebih penting ketimbang "kuantitas."  Sudah tentu kualitas penting oleh karena pada akhirnya terpenting bukanlah sekadar menghabiskan waktu melainkan membagi dan menikmati waktu bersamanya.  SUNGGUHPUN DEMIKIAN KITA PERLU MENGINGAT BAHWA KUALITAS HANYA ADA DI DALAM HITUNGAN ATAU RENTANG WAKTU.  Jadi, makin banyak waktu bersama, makin besar kemungkinan terjadinya sebuah interaksi yang positif dan membangun. 

Juga, bukankah kita tidak selalu dapat merencanakan dan memastikan terciptanya waktu yang bermakna?  Ibarat  tamasya, kita tidak senantiasa melihat pemandangan yang indah setiap waktu—hanya pada momen tertentu barulah kita dapat memandang sesuatu yang indah.  Itu sebabnya kita tidak dapat memisahkan kualitas dari kuantitas.  Di dalam kuantitas waktu, barulah kita berkemungkinan mencicipi waktu yang berkualitas.

Waktu Bersama dan Pertumbuhan Relasi Nikah

Berikut ini akan dipaparkan pengaruh menghabiskan"waktu bersama pasangan" pada pertumbuhan relasi nikah.  Ada dua hal penting yang hanya dapat bertunas di dalam koridor waktu bersama: (a) KETERBIASAAN dan (b) PENYESUAIAN.  Makin banyak kita menghabiskan waktu bersama pasangan, makin cepat terjalinnya keterbiasaan.  Makin kita terbiasa dengan kehadirannya, kita pun akan makin cepat menjadikannya sebagai bagian permanen dalam hidup kita.  Alhasil kita pun akan berkesempatan membangun hidup bersamanya.

Sebagai contoh, tatkala pulang ke rumah, kita tahu bahwa pasangan sudah menunggu dan menyiapkan makanan.  Atau sebagai istri, pada pagi hari kita bangun untuk menyiapkan makanan buat suami.  Kendati tampaknya kecil dan tak bermakna sebenarnya aktivitas rutin seperti ini menciptakan sebuah struktur kehidupan di mana kita berdua bernaung di bawahnya.    Di dalam tumpukan sejuta keterbiasaan kecil seperti inilah relasi dibangun.

Kedua, makin sering kita menghabiskan waktu bersama, makin terbuka kesempatan kita untuk berinteraksi dan mengamati satu sama lain.  Ini berarti, pengenalan terjadi dan penyesuaian dapat segera dimulai.  Sudah tentu pengenalan tidak secara otomatis akan menghasilkan penyesuaian; kita harus bekerja keras menyesuaikan diri. Bila kita berhasil melakukannya, kita akan dapat menikmati relasi nikah yang sehat.

Mungkin sampai di sini akan ada yang bertanya, “Bukankah ada pasangan yang tidak menghabiskan banyak waktu bersama namun tampaknya relasi mereka tumbuh dengan baik sedangkan ada pasangan yang menghabiskan waktu bersama namun relasi mereka tetap bermasalah?”  Sebagaimana telah dibahas tadi, pengenalan tidak secara otomatis menghasilkan penyesuaian.  Pengenalan mungkin malah mencelikkan mata kita terhadap karakter dan kebiasaan pasangan yang buruk.  Nah, bila ini yang terjadi, sudah tentu diperlukan usaha yang lebih keras untuk membereskan masalah yang pasti timbul.

Jika kita melihat adanya pasangan nikah yang hidup dan bertumbuh sehat kendati tidak menghabiskan waktu sebanyak pasangan lain, besar kemungkinan ini disebabkan oleh kenyataan bahwa KITA TIDAK MASUK KE DALAM PERNIKAHAN DENGAN MODAL YANG SAMA.  Ada yang memulai pernikahan dengan sekantong masalah namun ada pula yang mengawali pernikahan dengan segudang masalah.  Dapat dipastikan, jika kita membawa segudang masalah, kita memerlukan lebih banyak waktu dan usaha untuk membereskannya dan membangun relasi nikah yang sehat. 

Pada umumnya pribadi yang dirundung masalah bertumbuh menjadi pribadi yang tidak dewasa.  Ketidakdewasaan niscaya menghambat proses penyesuaian sebab KETIDAKDEWASAAN MEMBUAT KITA SULIT MENDENGAR DAN BERUBAH.  Ketidakdewasaan biasanya juga dikaitkan dengan BESARNYA KEBUTUHAN EMOSIONAL YANG PERLU DIPENUHI.  Ini pun akan mengganggu proses penyesuaian.  Singkat kata, ada sejumlah faktor lain yang berperan dalam proses penyesuaian, bukan hanya menghabiskan waktu bersama.  Namun demikian, UNTUK MENYELESAIKANNYA DAN MENCIPTAKAN PENYESUAIAN, TETAP DIPERLUKAN WAKTU BERSAMA.  

 

Pdt. Dr. Paul Gunadi [4]
Audio [5]
Suami-Istri [6]
T327A [7]

URL sumber: https://telaga.org/audio/waktu_bersama_pasangan

Links
[1] http://media.sabda.org/telaga/mp3/T327A.MP3
[2] mailto:telaga@telaga.org
[3] http://www.telaga.org
[4] https://telaga.org/nara_sumber/pdt_dr_paul_gunadi
[5] https://telaga.org/jenis_bahan/audio
[6] https://telaga.org/kategori/suami_istri_0
[7] https://telaga.org/kode_kaset/t327a