Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang terdahulu tentang "Tuntutan Yang Menghimpit Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu kita sudah membicarakan tentang beberapa atau tepatnya tiga tuntutan yang menghimpit anak. Tetapi rupanya belum cukup kalau hanya tiga itu dan ada beberapa hal lain lagi yang masih akan kita perbincangkan. Supaya para pendengar kita bisa mengingat kembali atau bahkan mengetahui apa yang kita perbincangkan pada kesempatan yang lalu, mungkin Pak Paul bisa mengupas secara singkat.
PG : Kadang kita sebagai orang tua membebankan tuntutan kepada anak kita yang berlebihan dan tugas kitalah sebagai orang tua untuk menyadari supaya jangan sampai kita memberikan beban yang terlalu berlebihan kepada anak-anak. Ada beberapa yang telah saya ungkapkan. Misalnya ada anak yang beranggapan karena anak ini adalah anak yang paling besar, anak yang sulung maka seharusnyalah dia yang paling bertanggung-jawab mengurus adik-adiknya sehingga kita memberikan beban kepada si anak sulung itu untuk selalu menjaga adiknya, kalau ada masalah yang terjadi kepada adik-adiknya maka dia yang dimarahi, dia yang dituntut, kalau dia minta tolong maka kita katakan "Kamu anak yang paling sulung, seharusnya kamu sudah tahu dan tidak perlu meminta tolong lagi." Jadi dengan kata lain kita mendorong anak sulung itu untuk memikul tanggung-jawab yang terlalu besar pada usia yang relatif dini dan juga pada akhirnya kita menuntut anak sulung itu seolah-olah untuk mandiri terlalu cepat sehingga tidak boleh meminta bantuan atau arahan. Kalau kita anggap melakukan hal yang terlalu kekanak-kanakan, dia yang dimarahi lagi sebab kita katakan, "Kamu anak sulung tidak seharusnya berbuat seperti ini," padahal dia juga masih anak-anak, dan dia juga masih bisa melakukan kesalahan-kesalahan sebagai anak-anak. Jadi pada akhirnya anak-anak sulung itu kehilangan masa-masa kecilnya dan ini akan berdampak buruk pada pertumbuhannya kelak. Yang berikut adalah kalau anak itu menjadi anak-anak perempuan, dia juga akan menjadi sasaran tanggung-jawab dan orang tuanya akan meminta dia untuk mengurus adik-adik, berbuat ini dan itu karena dia adalah anak perempuan, kakaknya yang laki-laki boleh pergi keluar tapi dia disuruh diam di rumah dan membantu mama untuk masak dan sebagainya. Saya bukannya melarang untuk menyiapkan anak perempuan dengan tugas-tugas rumah tangga itu, tapi kita mesti sensitif bahwa bukan saja anak perempuan yang harus belajar mengurus rumah, tapi anak laki-laki pun juga baik kalau diberikan tanggung-jawab untuk membersihkan kamarnya, membersihkan kamar mandi. Jadi kita mesti memberikan beban yang sama antara anak laki dan anak perempuan, anak perempuan itu perlu bertumbuh karena kalau kita terlalu banyak menuntutnya maka dia akan merasa seperti dipasung dan dia tidak akan lagi bertumbuh dengan bebas, seolah-olah dia tidak bisa berinisiatif dan susah menikmati hidup dan hidupnya terisi oleh kewajiban-kewajiban dan belum lagi dia menjadi mudah cemas dan mudah merasa bersalah, kalau ada yang tidak beres entah dengan adiknya, maka dia merasa bahwa dia yang harus bertanggung-jawab sehingga mudah sekali cemas memikirkan orang lain. Dan yang ketiga kita juga melihat orang tua kadang-kadang memunyai anak favorit yaitu anak yang disayang. Anak yang disayang ini di satu pihak menerima keuntungan-keuntungan, apa yang diminta akan diberikan oleh orang tua. Tapi dia juga harus bayar mahal yaitu dia dituntut untuk selalu bersikap baik, untuk selalu menurut, baik setuju maupun tidak setuju kepada orang tua tapi diharapkan agar dia setuju. Sebagai contoh kadang kita melihat kakaknya dimarahi oleh orang tua dan dia tahu sebetulnya yang salah adalah orang tuanya, karena tidak seharusnya mengatakan hal-hal seperti itu kepada si kakak. Tapi berhubung dia anak kesayangan maka dia tidak bisa membela si kakak dan dia terpaksa membela si orang tua. Jadi pada akhirnya anak-anak yang manja, yang disayangi ini mudah sekali kehilangan objektivitas dalam hidup, tidak lagi mementingkan apa yang benar dan hanya mementingkan siapa yang benar, itu yang nanti akan dibelanya.
GS : Selain ketiga tuntutan itu tadi, selanjutnya Pak Paul, tuntutan apa lagi yang sering menghimpit anak ?
PG : Yang berikut adalah tuntutan sebagai anak terpandai, sekali lagi di satu pihak kita melihat betapa beruntungnya anak yang terpandai ini, mereka akan mendapatkan pengakuan, pujian dan sebagainya namun ada juga bebannya. Kita kadang berpikir bahwa beban terberat dipikul oleh anak yang kurang pandai di rumah, memang ada benarnya bahwa anak kurang pandai memiliki beban tersendiri untuk dipikulnya tapi kenyataannya anak terpandai dalam keluarga tidak kalah menderita tekanan. Sebagai anak terpandai pada dasarnya dia diharapkan untuk tidak pernah gagal, hasil yang dicapainya mesti selaras dengan tuntutan orang tua. Dengan kata lain, sejak dia kecil karena dia sudah menunjukkan kepandaiannya maka ada tuntutan dari orang tua, dia selalu harus berprestasi, dia tidak boleh mengecewakan orang tua dengan prestasi yang tidak maksimal.
GS : Beban ini akan semakin berat kalau orang tua suka memamerkan anak terpandainya kepada teman-temannya atau kepada keluarga besarnya, Pak Paul.
PG : Betul sekali. Jadi tekanan itu berlipat kali ganda sebab bukan saja datang dari keluarganya sendiri tapi juga dari orang-orang lain. Jadi begitu dia dikenalkan sebagai anak yang paling pandai kepada misalkan pamannya, berarti dia merasa banyak orang yang menuntutnya untuk menjadi sepandai itu. Orang yang sudah dewasa kalau dituntut seperti itu meskipun berat tapi mungkin masih bisa menanganinya. Dia terbiasa dan dia lebih kuat. Tapi bagi anak-anak untuk memikul beban seperti itu saya kira dia akan merasa terhimpit. Jadi kalau tidak hati-hati, orang tua yang menuntut anak seperti itu nanti akan membuat si anak merasa lebih seperti sapi perahan dan ia cenderung merasa berharga bila ia bisa memuaskan harapan orang tuanya. Jika tidak, ia pun merasa bahwa dirinya tidak lagi bernilai. Singkat kata karena itulah tuntutan yang diterimanya pada akhirnya dia pun memerlakukan dirinya sama dengan perlakukan orang tua terhadap dirinya. Jadi misalnya kalau orang tua terlalu menekankan prestasi pada dirinya menjadi anak terpandai, dia pun nanti hanya terpaku pada soal prestasi. Jadi kalau dia menatap dirinya, maka yang dipikirkannya hanya prestasi. Jadi apa yang diterimanya dari orang tua, itu nanti yang juga akan digunakannya untuk memandang dirinya. Dia pun akhirnya memerlakukan dirinya sebagai sapi perahan, dia pun tidak bisa melihat bagian-bagian lain dari dirinya sebab semuanya hanya terfokus pada satu hal yaitu prestasinya, kalau tidak berhasil mencapai prestasi itu maka dia merasa tidak lagi bernilai. Pada akhirnya, Pak Gunawan, orang-orang ini akan menghapus kata kegagalan dari kamus hidupnya dan keberhasilan menjadi dewa yang disembahnya.
GS : Tapi ada sebagian anak yang sudah disanjung-sanjung sebagai anak terpandai dan pada suatu saat nilai-nilainya merosot semua. Apakah itu salah satu bentuk pemberontakan di dalam dirinya bahwa dia tidak mau disebut-sebut seperti itu lagi, Pak Paul ?
PG : Saya rasa itu adalah salah satu penyebabnya, jadi ada anak-anak yang berkata, "Sudah cukup" dan tidak mau lagi hidup di dalam beban seperti itu, jadi dia berontak dan dia benar-benar mematahkan belenggu yang telah merantainya itu, dia mau bebas dengan cara memerosotkan nilai prestasinya. Sehingga nanti tidak ada orang yang menuntutnya sebab memang tidak ada lagi yang bisa dibanggakan.
GS : Tapi dia tidak bisa mengatakan hal itu terus-terang kepada orang tuanya dan ini menjadi beban tersendiri bagi dia.
PG : Sebab kalau dia mengatakan secara langsung, dia akan merasa percuma karena dia merasa orang tuanya tidak akan mengerti sebab orang tuanya akan terus berkata, "Kamu ini memang pandai, jadi seharusnya kamu bisa." Saya juga meminta kepada orang tua untuk mengerti, saya bukannya berkata kalau anak itu pandai tidak perlu dipacu, tapi kita harus memang menyadari bahwa anak itu perlu pacuan, perlu dorongan namun yang saya minta adalah kita fleksibel dan jangan terlalu menekankan aspek itu dalam diri si anak. Sebab anak itu tidak hanya terdiri dari satu aspek yaitu prestasi akademiknya, tapi anak itu terdiri dari berbagai macam elemen-elemen dirinya dan orang tua juga harus melihat yang lain, misalnya kesukaannya pada binatang, kesukaannya pada menggambar, kesabarannya menunggu, kebaikannya untuk menolong, jadi kekurangan-kekurangnnya juga harus kita mengerti dan menerima. Jadi kadang-kadang ada orang tua yang seperti ini, karena anak itu tidak pernah memuaskan atau memenuhi tuntutannya, nanti yang diangkat justru prestasi akademiknya, misalnya orang tua berkata seperti ini, "Kamu percuma, sekolah pandai padahalnya dalam urusan yang sepele seperti ini kamu tidak bisa," yang keluar justru perkataan yang seperti itu. Jadi dengan kata lain, orang tua tidak bisa menerima kelemahan sama sekali, seolah-olah karena dia pandai di sekolah, dalam semua aspek kehidupannya dia selalu harus tahu, selalu harus bisa, selalu harus menunjukkan level pengertian yang paling top. Jadi akhirnya anak itu benar-benar hidup di dalam tuntutan yang begitu meluas.
GS : Belum lagi beban yang harus dipikul oleh anak yang dianggap terpandai ini, Pak Paul, mereka dituntut untuk menggantikan posisi orang tuanya pada suatu saat nanti. Atau paling tidak mewujudkan impian orang tuanya yang dulu tidak terwujud.
PG : Itu seringkali terjadi. Jadi banyak orang tua yang berpikir, anak saya pandai maka anak ini nantinya harus menggantikan saya, kalau tidak hati-hati anak ini justru akan patah di tengah jalan, justru tidak meneruskan usaha orang tua, tidak menjadi seperti yang diharapkan oleh orang tua, karena di tengah jalan dia berkata, "Cukup, dan saya tidak lagi memikul tanggung-jawab ini, tuntutan ini jadi lebih baik saya patah saja." Cara dia patah adalah dengan cara melakukan kebalikan dari yang dituntut oleh orang tuanya, justru menjadi orang yang tidak lagi dihargai atau dibanggakan oleh orang tuanya. Sayangnya untuk menjadi anak yang seperti itu seringkali yang dimaksud adalah dia melakukan perilaku yang negatif.
GS : Itu betul sekali Pak Paul, saya mengenal ada sebuah keluarga yang anaknya bercita-cita menjadi musisi dan mau sekolah musik tapi dilarang oleh orang tuanya, sekarang dia menjadi pemulung. Jadi rumahnya penuh dengan barang-barang bekas dan sebagainya yang memang dia jual lagi dan memang dia tinggal di rumah orang tuanya, jadi rumahnya penuh dengan barang-barang bekas, dia disuruh menikah namun dia menolak malahan menjadi pemulung. Jadi dia keliling kota hanya untuk mengumpulkan barang-barang bekas, itu bisa menjadi suatu bentuk pemberontakan, Pak Paul ?
PG : Bentuk pemberontakan secara halus tapi yang paling besar adalah rasa frustrasinya dalam hidup. Dia tidak bisa menjadi seperti yang diidamkannya yang sesuai dengan kebisaannya atau kemampuannya, karena dia tidak bisa menjadi seperti yang diinginkan maka kemudian dia berpikir dia tidak ingin menjadi apa-apa. Jadi seolah-olah, "Lebih baik seperti ini, jadi keinginan antara saya dan orang tua tidak terwujud," dengan dia menjadi seperti ini maka apa yang orang tua harapkan dan dia harapkan semuanya tidak terwujud. Jadi sepertinya dia membuang hidupnya, itu sangat disayangkan karena sepertinya dia membuang sesuatu yang sangat berharga dan akhirnya dibuang menjadi sampah.
GS : Tapi sekarang akhirnya orang tua menjadi sangat malu memunyai anak seperti itu sehingga orang tua juga sering meninggalkan rumah, pergi atau tinggal di rumah anaknya yang lain. Jadi rumah itu dikuasai oleh anak ini yang sebenarnya bisa menjadi musisi yang cukup bagus karena prestasinya sudah kelihatan dan menghasilkan uang tapi sekarang rumahnya menjadi seperti itu.
PG : Sayang sekali, ini adalah contoh kalau kita tidak berhati-hati dalam menuntut anak secara berlebihan.
GS : Hal lain yang bisa membuat tekanan atau himpitan kepada anak apa, Pak Paul ?
PG : Yang terakhir adalah tuntutan sebagai anak rohani, ini juga sering terjadi pada anak-anak Kristen, anak-anak yang rajin ke gereja, yang rajin membaca Firman Tuhan. Tentu orang tua senang melihat anak bertumbuh secara rohani, misalkan gemar membaca Firman dan rajin ke gereja, namun masalah muncul tatkala orang tua menuntut anak untuk selalu bersikap dan berperilaku rohani dalam pengertian tidak boleh marah, tidak boleh kecewa, tidak boleh ragu, tidak boleh berkecil hati, tidak boleh putus asa. Kemudian yang langsung dicetuskan adalah, "Kamu ini adalah anak Tuhan, kamu ini adalah anak yang disayangi Tuhan," jadi semua dibangkit-bangkitkan. Sudah tentu tuntutan ini tidak realistis. Kendati dia adalah anak yang rohani, tapi sebagai manusia ia pun dapat melakukan kesalahan. Dan kita pun harus menyadari meskipun dia rohani tapi tidak selalu dia berbuat sesuai dengan ajaran Firman Tuhan, sebab dia manusia biasa. Jadi adakalanya dia pun akan berdosa dan tugas orang tua adalah menyikapinya dengan tepat dan jangan sampai waktu anak menunjukkan ketidak sempurnaannya sebagai anak Tuhan, kemudian kita marah, kita tuntut dia dan kita berusaha mengingatkan dia sebagai anak-anak Tuhan. Meskipun maksud kita baik tapi saya kira perkataan-perkataan itu makin membuat si anak terpuruk dan terhimpit, "Sekarang saya menjadi anak yang rohani, saya harus menjadi seolah-olah seperti malaikat." Tidak heran akhirnya di antara mereka berhenti menjadi anak-anak yang rohani, melepaskan semuanya, "Saya tidak mau lagi menjadi anak-anak yang rohani, karena menjadi anak-anak yang rohani dengan membaca Firman, menaati Tuhan, rajin ke gereja, beribadah kepada Tuhan akhirnya saya dituntut menjadi orang-orang kudus yang sama sekali tidak boleh berbuat dosa," justru karena hal itu akhirnya dia tidak tahan. Konsekuensinya sangatlah buruk di luar pengharapan orang tuanya.
GS : Tuntutan ini menjadi semakin berat di kalangan anak-anak dari mereka yang berjabatan gerejawi atau bahkan menjadi pendeta atau penginjil, atau semacam itu. Jadi dianggapnya agar anak-anaknya harus menjadi seperti orang tuanya dan masyarakat melihat seperti itu, jadi tidak boleh salah sedikit pun, begitu, Pak Paul ?
PG : Betul. Maka ada sebagian dari mereka yang tidak tahan lagi dan benar-benar melakukan yang kebalikannya, sehingga orang tua menjadi kecewa, orang tua kecewa dan semua kecewa, tapi dia merasa bahwa dirinya itu bebas dan tidak lagi hidup di dalam tuntutan yang begitu tinggi. Jadi justru sebagai orang tua, tugas kita adalah menuntun anak untuk bisa menghadapi kegagalan melakukan sesuatu seturut kehendak Tuhan. Kita jangan memarahinya dan membangkitkannya tentang dia adalah anak Tuhan, harus seperti ini dan dan seperti itu, kita harus memahaminya bahwa dia adalah manusia jadi bisa melakukan kesalahan dan sama seperti kita juga yang pernah salah dan akan salah. Jadi kita mesti menuntunnya agar dapat menghadapi kegagalannya hidup seturut dengan kehendak Tuhan. Misalnya dengan mengajar anak untuk meminta pengampunan dari Tuhan dan yang juga penting adalah untuk bisa memberi pengampunan kepada dirinya sendiri, sebab kalau tidak hati-hati ada anak yang rohani dan dituntut sedemikian tinggi, akhirnya sulit mengampuni dirinya sendiri, dia tidak bisa menerima bahwa dirinya gagal, dia tidak seperti yang diharapkannya. Jadi jangan sampai orang tua itu justru memperalat kerohanian anak untuk kepentingan orang tua.
GS : Kalau orang tua itu memunyai beberapa anak, apakah hal itu terjadi hanya pada sebagian anak atau kepada semua anak, dituntut seperti itu ?
PG : Memang yang biasanya dituntut adalah anak yang sudah menunjukkan minat rohani. Justru anak-anak yang tidak menunjukkan minat rohani tidak terlalu dituntut tapi yang menunjukkan minat rohani itulah yang nantinya dituntut kamu harus hidup seperti ini. Jadi kadangkala orang tua setelah anak-anak itu mulai dewasa kadang-kadang memanfaatkan hal ini untuk kepentingan mereka. Misalkan ada orang tua yang melarang anaknya untuk studi ke kota lain kemudian memperalat mereka dengan perkataan, "Karena kamu adalah anak yang berbakti kepada Tuhan, harus berbakti kepada keluarga, kamu harus sayang dengan orang tua, jadi jangan tinggalkan kami." Jadi sebenarnya anak itu bisa pergi mengembangkan dirinya dan sebenarnya orang tuanya juga tidak mempermasalahkannya, tapi anak ini tidak bisa pergi karena perasaannya atau rasa bersalahnya dimainkan oleh orang tuanya sehingga tetap tinggal di rumah dan mengorbankan hidupnya.
GS : Hal itu juga sering dialami oleh anak bungsu dimana kakak-kakaknya itu memunyai kesempatan studi di luar kota dan yang bungsu ini seolah-olah ditahan oleh orang tua, "Kamu jangan tinggalkan kami, di sini hanya tinggal kamu masakan kamu juga akan meninggalkan kami." Itu juga menghambat masa depan anak, Pak Paul ?
PG : Betul sekali, anak bungsu ini cukup kasihan dan dia yang benar-benar harus berkorban. Semua bisa mencicipi pendidikan yang lebih baik tapi dia tidak bisa. Jadi sebagai orang tua kita mesti berhati-hati. Khusus tentang anak yang rohani ini, kita mesti berhati-hati sebab jangan sampai kita ini merancukan pengertian anak akan sesuatu yang rohani sebab kalau tidak hati-hati, maka kerohanian itu akhirnya ditukar dengan keinginan dan selera orang tua. Selama kita melakukan keinginan dan selera yang sesuai dengan orang tua berarti rohani, padahalnya belum tentu. Jadi jangan sampai anak-anak itu cepat sekali menimbun rasa bersalah dan berdosa padahalnya dia tidak berdosa, sesungguhnya dia tidak melakukan apa yang diharapkan oleh orang tuanya saja dan itu belum tentu dosa. Tapi orang tua yang mencampur adukkan keduanya, akhirnya membuat anak jauh lebih cepat merasa berdosa.
GS : Apalagi kalau nasihat-nasihat itu dikatakan dengan mengutip ayat-ayat Kitab Suci yang sesuai dengan selera orang tuanya Pak Paul, hal itu kadang membuat anak menjadi muak dan tidak lagi mau untuk membaca Kitab Suci.
PG : Betul, kalau tidak hati-hati maka itu yang akan menjadi reaksi anak, bukan malah mendekat namun menjadi menjauh dari Tuhan.
GS : Kalau Pak Paul sudah menguraikan sebegitu banyak tentang tuntutan-tuntutan yang bisa menghimpit anak, dampak secara keseluruhan itu apa, Pak Paul ?
PG : Sekurang-kurangnya ada empat yang bisa saya paparkan, Pak Gunawan. Yang pertama adalah kaku. Ada sebagian anak yang bertumbuh dengan kepribadian yang kaku, ia sukar melihat interaksi, dia hanya bisa melihat aksi reaksi, dia cepat marah, dia tidak suka dengan ketidak konsistenan, tidak mudah mengerti kenapa orang berbeda dari dirinya. Dia menjadi anak yang kaku karena tuntutan cenderung membuat kepribadian menjadi kaku. Jadi tuntutan itu harus fleksibel, tuntutan yang kaku juga akan menciptakan kepribadian anak yang kaku. Yang kedua yang sering kita lihat adalah perfeksionis artinya dia menuntut kesempurnaan di atas segalanya, dia tidak menoleransi kegagalan baik pada dirinya atau orang lain. Standart hidup dan karyanya sukar diturunkan karena ia tidak mudah berkompromi sebab adanya tuntutan yang berlebihan sehingga akhirnya dia sangat meninggikan bahwa segala sesuatu harus sempurna, harus sebaik-baiknya, harus berprestasi sehingga tidak menoleransi kegagalan atau ketidak sempurnaan dalam dirinya atau diri orang lain. Dampak yang ketiga yang bisa kita lihat pada anak-anak yang dituntut berlebihan ialah menjadi sering menyalahkan, mudah sekali menyalahkan karena dia besar oleh tanggung-jawab jadi jika ada kesalahan, orang tua kerap untuk menyalahkannya. Untuk menghindar dari disalahkan, ia pun menghindar sebisa mungkin untuk bertanggung-jawab sebaik-baiknya. Masalahnya adalah makin bertanggung-jawab, maka makin sering dan makin mudah ia menyalahkan orang yang dianggapnya tidak bertanggung-jawab sebagaimana dirinya. Inilah proses yang melestarikan pola menyalahkan, maka dia akan mudah sekali menyalahkan dan menyalahkan orang lain kalau tidak bisa memenuhi tanggung-jawab yang diharapkannya. Dan dampak yang terakhir adalah anak-anak ini mudah cemas, pada umumnya mudah tegang sebab hidup tidaklah bebas karena dari kecil sering dituntut dan akhirnya tidak memiliki kebebasan dan seringkali tegang. Baginya hidup adalah bekerja sepenuhnya dan tidak ada ruang untuk beristirahat dan santai, semua mata memandangnya sehingga dia harus selalu memperlihatkan perilaku dan diri yang terbaik. Jika ada kekurangan dan kesalahan dia cepat menyalahkan diri, merasa takut dihukum, pada masa remaja dan dewasa hukuman terberat baginya adalah penolakan, dia takut ditolak kalau dia tidak bisa menyenangkan orang, membuat orang terkesan dengan dia. Itu sebabnya dia didesak oleh dirinya sendiri untuk selalu berprestasi.
GS : Intinya, hal ini akan menjadikan dia sangat egois, Pak Paul, menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian dari semua orang, dia menuntut agar orang mengerti dia tapi dia tidak mau mengerti orang lain.
PG : Betul. Jadi banyak sekali kontradiksinya. Jadi di satu pihak dia egois, hidup itu berpusat pada dirinya sendiri tapi di pihak lain sebenarnya dia juga kehilangan hidup. Itu yang menjadi ironinya, dia benar-benar tidak pernah mencicipi apa arti hidup ini, susah untuk hidup senang, jarang ada moment-moment seperti itu.
GS : Karena tujuan mula-mula dari orang tua itu adalah tujuan yang positif, bagaimana orang tua memantau dan segera sadar kalau dia sudah terlalu melampaui batas dan memberikan himpitan pada anak ?
PG : Biasanya kita melihat reaksi anak, kalau anak mulai bereaksi tertekan, menangis, sering cemas, takut, mudah marah, meledak. Jadi ada sesuatu bahwa kita ini terlalu banyak menuntutnya dan mungkin kita harus mundur kalau anak mulai frustrasi bicara dengan kita, merasa kalau kita tidak mendengarkan mereka maka kita juga harus mulai mengubah standart kita atau tuntutan kita.
GS : Kesimpulan dari semuanya ini apa, Pak Paul ?
PG : Saya akan bacakan Firman Tuhan, waktu Tuhan berkunjung ke Yerusalem di usia 12 tahun, dia pergi meninggalkan orang tuanya masuk ke bait Allah, mendengarkan dan berdialog dengan kaum alim ulama. Waktu Yusuf dan Maria menegurnya, maka Tuhan menjawab, "Mengapakah kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?" di Lukas 2:49. Kendati ayat ini membicarakan bahwa Yesus adalah Tuhan dan bukan sebagai anak manusia biasa tapi pelajaran Firman Tuhan juga bisa ditarik secara relevan untuk pembahasan kita. Kendati anak adalah keturunan kita, misi utamanya adalah dia bertumbuh sesuai dengan kehendak Tuhan. Tugas utama seorang anak adalah menjadi seperti yang dikehendaki Tuhan dan bukan kita, jadi besarkanlah anak untuk bertumbuh berdasarkan arah yang ditetapkan Tuhan.
GS : Ini menjadi tanggung-jawab dan kewajiban orang tua untuk mengarahkan anak sesuai dengan kehendak Tuhan, Pak Paul ?
PG : Betul sekali.
GS : Jadi apa yang diberikan atau karuniakan kepada kita memang harus dipertanggung-jawabkan kepada Tuhan karena saya yakin Tuhan pun juga meminta pertanggung-jawaban kita sebagai orang tua. Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tuntutan Yang Menghimpit Anak" bagian yang kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.