Tanggung Jawab yang Terlupakan
Salah satu cara memandang pernikahan ialah melihanya sebagai suaru transaks. Transaksi adalah suatu pertukaran, baik itu jasa maupun bena. Pernikahan dapat dilihat sebagai transaksi sebab masing-masing pihak, istri atau suami, diharapkan untuk memberi dan mengharapkan untuk menerima sesuatu dari pasangannya. Sebenarnya, bukan saja kita mengharapkan; sesungguhnya, kitapun menuntut pasangan kita untuk memberikan yang kita harapkan itu. Dengan kata lain, kita menuntut tanggung jawabnya untuk melunasi bagian dari transaksi yang kita sebut, pernikahan.
Membagi tanggung jawab dalam pernikahan mencakup banyak aspek dan yang termudah di antaranya adalah tanggung jawab yang bersifat kasatmata, seperti, siapa yang menyeterika, siapa yang mematikan lampu pada malam hari, siapa yang memasak, dan sebagainya. Bagian yang sulit adalah membagi tanggung jawab untuk hal-hal yang tidak kasatmata namun jelas di mata, seperti siapa yang memulai percakapan setelah pertengkaran, siapa yang merayu terlebih dahulu sebelum hubungan intim dilakukan, siapa yang mengalah tatkala dua kepentingan bertabrakan, apa yang harus dilakukan jika anak bermasalah, dan sederet daftar panjang lainnya. Kalau disarikan, pada intinya kita mengharapkan pasangan kita untuk mengerti isi hati kita dan melakukannya sesuai kehendak kita.
Mengerti isi hati sudah tentu merupakan daerah yang sangat luas tanpa batas dan celakanya, tidak habis-habisnya serta sangat dipengaruhi oleh pelbagai faktor luar. Misalnya, kapankah kita membutuhkan belaian tangan pasangan kita? sudah tentu pertanyaan ini dapat dijawab dengan gampang, "Oh, saat kita bersedih hati." Namun, apakah kita selalu membutuhkan belaian tangan pasangan kita setiap saat kita beredih? Saya kira jawabannya adalah, sudah tentu tidak selalu. Permintaan atau tuntutan untuk dibelai bergantung pasa misalnya, apakah saat itu kita atau oleh peristiwa yang melibatkan orang lain. Bisa jadi, kita tidak rela menerima belaian tangannya bila dialah yang membuat kita bersedih. Atau, kita justru menginginkan belaian tangannya karena belaian itu menandakan penyesalan yang telah membuat hati kita bersedih.
Sekali lagi saya ulangi. Membagi tanggung jawab untuk hal-hal yang bersifat fisik jauh lebih mudah dibanding dengan membagi tanggung jawab untuk hal-hal yang bersifat emoional. Malangnya, pembagian tugas yang bersifat fisik hanyalah mencakup persentase yang relatif kecil ketimbang tanggung jawab untuk hal-hal yang bersifat emosional. Sering kali kemarahan yang muncul merupakan reaksi atas tidak terpenuhinya tanggung jawab yang bersifat emosional ini. Kita marah sebab dia tidak mengerti isi hati kita, sudah tentu dia akan melakukan yang kita harapkan atau sebaliknya, dia tidak akan melakukan tindakan yang tidak kita harapkan itu.
Pertanyaannya sekarang ialah, bagaimanakah caranya agar kita dapat membuat pasangan kita melakukan tanggung jawabnya? Saya ingin menawarkan tiga jalan.
Pertama, jalan toleransi. Jalan ini meminta kita untuk membiarkan pasangan kita apa adanya dan memberinya kebebasan melakukan yang dikehendakinya, tanpa hambatan (dalam koridor bukan dosa). Misalnya, sewaktu bertengkar, pasangan kita mempunyai kebutuhan untuk berdiam diri selama beberapa jam sebelum dapat menyambung tali komunikasi dengan kita kembali. Pada awalnya sudah tentu kita tidak menerima perlakuan "mendiamkan kita itu." Kita protes dan memintanya untuk mengubah sikapnya yang tidak kita sukai. Dengan kata lain, kita memberinya tanggung jawab untuk berkomunikasi setelah pertengkaran. Kita beranggapan bahwa kita telah melakukan tanggung jawab kita yakni mencoba memulai percakapan dengannya; jadi, sekarang dialah yang harus mengerjakan bagiannya. Namun setelah terjadi sekian kalinya dan setelah sekian kalinya pula kita mencoba mengoreksi sikapnya dan ternyata ia tetap bersikap seperti itu, kita akhirnya memutuskan untuk membiarkannya. Kita menempuh jalan toleransi dan tidak lagi menuntut tanggung jawabnya untuk berubah seperti yang kita harapkan.
Kedua, jalan bertengkar. Saya menemukan bahwa dalam pernikahan kami pertengkaran sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari interaksi kami. Kami tidak sering bertengkar, tetapi kami masing bertengkar. Menyangkut pertengkaran, menurut saya yang penting bukannya bagaimana menghilangkannya, melainkan bagaimana bertengkar secara beradab (tidak merusak dan tidak menghancurkan) dan berapa seringnya. Masih adanya pertengkaran di antara kami menunjukkan bahwa baik istri saya maupun saya sendiri masih ingin mempertahankan individualitas kami. Pertengkaran juga membuktikan bahwa kami menginginkan pasangan kami untuk "mengerjakan bagiannya", baik itu bersikap lebih dewasa, berbicara lebih logis, berbuat lebih banyak untuk kepentingan pasangan, dan sebagainya.
Ada hal-hal yang dapat kita toleransi namun ada hal-hal yang tidak bisa kita diamkan dan yang tidak bisa kita diamkan harus kita suarakan-kadang kala dengan nada yangtinggi agar keurgenan dan kepentingannya dapat terkomunikasikan dengan jelas. Misalnya, tanggung jawab moral untuk setia kepada pernikahan adalah hal yang tidak bisa ditawar lagi. Pada waktu pasangan kita mulai menjalin hubungan akrab dengan lawan jenis, sudah seharusnyalah kita menuntut tanggung jawabnya untuk melepaskan diri dari relasi itu. Atau, kepekaannya yang tinggi sehingga segala sesuatu dapat memancing kemarahannya. Saya kira dalam kasus seperti ini pun sudah seyogyanyalah kita berkata dengan tegas bahwa kita tidak ingin berkomunikasi dengannya kalau ia tetap bersikap sebagai bom waktu yang setiap saat siap meledak. Melalui jalan pertengkaran kita menuntut tanggung jawabnya untuk bisa mengendalikan emosi dengan lebih baik dan kita menyatakan bahwa kita tidak bersedia menoleransi kelemahannya itu.
Jalan ketiga adalah jalan melengkapi. Ada satu prinsip yang berlaku pada hampir semua pernikahan, yakni kelemahan pada seseorang merupakan kelebihan pada pasangannya. Prinsip ini membuktikan bahwa sering kali pemilihan pasangan nikah didasari atas prinsip ketertarikan pada yang berlawanan dengan kita. jadi, jika kita rasional, pasangan kita cenderung emosional. Kalau kita mudah putus asa, pasangan kita cenderung tabah dantekun. Bila kita mudah terombang-ambing dalam kebingungan, pasangan kita kokoh dalam keputusannya.
Pada masa berpacaran kita bisa berbangga hati mengatakan bahwa kita saling melengkapi. Masalahnya adalah, meski kita menyadari prinsip melengkapi ini namun dalam kenyataannya, karakteristik yang berlawanan bukannya mendorong kita untuk melengkapi kekurangan pasangan kita. Malah sebaliknya, kita cenderung menyerang atau setidaknya, kurang menghargai kelemahannya itu. bukankah kita lebih sering merasa tidak sabar dengan kesulitannya membuat keputusan daripada mencoba menolongnya membuat keputusan? Bukankah kita lebih sering benci dengan kerasionalannya daripada membantunya untuk lebih mempertimbangkan aspek emosional dalam suatu keputusan? Daftar ini masih masih panjang namun semuanya memperlihatkan kesukaran kita berfungsi sebagai penolong bagi pasangan kita. Kita lebih cenderung menuntut tanggung jawabnya untuk berubah dan kita tidak merasa bertanggung jawab untuk menolongnya memperbaiki kekurangannya.
Firman Tuhan mengingatkan kita, "Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus." (
Kelemahan pasangan adalah beban kita dan setahu saya, tidak ada seorang pun yang senang memikul beban orang lain. Masalahnya adalah, setelah menikah, beban atau kelemahan pasangan menjadi beban kita pula. Tuhan meminta kita memikulnya, bukan membuangnya kembali ke pundaknya. Apa yang tidak sanggup dilakukannya dengan baik adalah bagian kita untuk membantunya. Inilah tanggung jawab kita yakni tanggung jawab untuk menolong. Anehnya dan ini yang lebih sering terjadi - tatkala kita mulai melakukan tanggung jawab kita untuk melengkapinya, ia pun lebih tergerak untuk melakukan tanggung jawabnya, yaitu melengkapi kita pula.
- Log in dulu untuk mengirim komentar
- 6544 kali dibaca