Keluarga yang Berprioritas
Pada masa saya berkuliah dulu, seorang dosen saya pernah bersaksi bahwa sewaktu ia bersekolah di seminari, ia berkomitmen untuk mendahulukan keluarganya di atas tuntutan kuliahnya. Ia berkeyakinan, komitmen itulah yang telah menolong keluarganya lolos dari masa perkuliahannya dengan tidak babak-belur. Nasihat itu saya camkan baik-baik dan saya terapkan tatkala saya menyelesaikan kuliah saya. Selama 6 tahun Santy memberi dukungan kepada saya yang berkuliah, berkeluarga, bekerja penuh waktu dan melayani di gereja. Bukan masa yang mudah namun bisa dilewati dengan pertolongan Tuhan dan adanya prioritas yang benar. Pada akhirnya bukan saja kami sanggup melalui masa yang penuh kesibukan itu, kami pun dapat melihat ke kurun itu sebagai masa yang penuh kenangan indah.
Tanpa komitmen pada prioritas yang jelas, saya dan keluarga niscaya sudah tercabik-cabik dan terombang-ambing tanpa arah. Bak jangkar, prioritas membuat biduk rumah tangga bertahan di tengah terpaan ombak dan angin tuntutan luar; bak layar, prioritas menentukan arah perjalanan hidup. Itu sebabnya penting bagi kita untuk memiliki prioritas hidup yang dapat kita sepakati bersama. Tanpa kesepakatan bersama, perahu rumah tangga tidak akan berlayar ke mana-mana, malah terancam mengalami perpecahan.
Di bawah ini saya akan membagikan hal-hal yang seyogyanya menjadi prioritas kita, namun sebelumnya saya ingin mengajak Saudara memeriksa prioritas Saudara terlebih dahulu. Pada bagian akhir saya pun akan membagikan beberapa prinsip prioritas yang saya dan istri terapkan untuk menjaga keutuhan keluarga kami.
Memeriksa Prioritas
Prioritas adalah hal-hal yang kita utamakan atau dahulukan; dengan kata lain, prioritas merupakan cerminan nilai hidup akan hal-hal yang kita anggap penting. A.W. Tozer memaparkan tujuh hal yang merefleksikan nilai-nilai hidup dan komitmen yang kita anut. Saya kira jawaban yang jujur atas pertanyaan-pertanyaan berikut ini bisa menolong kita memeriksa dan menetapkan prioritas.
- Apakah yang paling kita inginkan?
- Apakah yang paling sering kita pikirkan?
- Bagaimanakah kita menggunakan uang kita?
- Apakah yang kita lakukan pada waktu senggang?
- Teman-teman seperti apakah yang kita nikmati kehadirannya?
- Siapakah dan apakah yang kita kagumi?
- Hal-hal apakah atau siapakah yang kita tertawakan?
Menetapkan Prioritas
Sejak awal pernikahan kami telah menetapkan Tuhan sebagai prioritas pertama; dengan kata lain, secara pribadi maupun bersama-sama, kami berusaha untuk tunduk kepada kehendak-Nya. Firman Tuhan mengingatkan, ".......pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah........Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada Tuhan!" (
Kita tahu bahwa sering kali pencarian kehendak Tuhan lebih merupakan proses pembentukan diri sendiri. Kadang saya berpikir bahwa ternyata yang penting bukan "apa" kehendak Tuhan itu, melainkan "bagaimana" kita menundukkan diri untuk terbuka terhadap segala kemungkinan akan kehendak Tuhan. Dan, itulah yang terjadi dalam situasi kami. Setelah menggumulinya selama dua tahun, akhirnya kami memutuskan untuk pulang ke Indonesia.
Saya kira jika kami berdua tidak terbuka terhadap segala kemungkinan akan kehendak Tuhan, mustahil bagi kami untuk mencapai kesepakatan. Dalam uraiannya tentang tahapan pembentukan komunitas, Scott Peck mengemukakan bahwa komunitas hanya akan dapat terbentuk bila masing-masing anggotanya berhasil menihilkan dirinya. Dengan kata lain, peleburan dirilah yang memungkinkan terciptanya komunitas. Saya kira itulah yang harus terjadi dalam diri suami-istri sewaktu mencari dan mengutamakan Tuhan: menyangkal diri sepenuhnya. Tatkala ini terjadi, barulah kehendak Tuhan bisa mengisi hati kita yang sekarang telah kosong dari keyakinan pribadi akan kehendak Tuhan.
Setelah Tuhan, kami menempatkan keluarga di urutan atas dalam daftar prioritas. Kami tidak menempatkan pelayanan di urutan kedua sebab bagi kami urutan kepentingannya sangat jelas: Pelayanan yang sehat hanya dapat muncul jika dan tatkala keluarga sendiri sehat. Firman Tuhan berkata, "Jikalau seorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus jemaat Allah?" (
Kendati inilah pemahaman umum tentang pelayanan, secara pribadi saya meyakini bahwa pelayanan jauh lebih luas daripada itu. Bagi saya,
Berikutnya, saya pun tidak mengidentikkan pelayanan - dalam pemahaman umum atau religius tadi - dengan mengutamakan Tuhan; bagi saya, mengutamakan Tuhan berarti beribadah atau menundukkan diri kepada Tuhan. Itu sebabnya saya menempatkan keluarga - bukan pelayanan - di urutan kedua dalam daftar prioritas. Keluarga dapat diibaratkan seperti sepatu - tidak menonjol dibandingkan busana atau topi namun sangat penting. Jika sepatu kita terlalu kecil, terlalu besar, atau terisi kerikil, kita akan sulit berjalan, apalagi berlari. Kalaupun berjalan, kita akan berjalan dengan tertatih-tatih atau terseok-seok. Dengan kata lain, kita tidak akan dapat leluasa dengan sepatu yang bermasalah. Demikian pulalah dengan kita jika keluarga kita bermasalah; mungkin kita masih dapat melayani namun pelayanan kita telah kehilangan keseimbangannya, kita melayani dengan tertatih-tatih atau terseok-seok. Pada akhirnya kita mudah jatuh.
Satu hal lagi yang saya temukan berkenaan dengan menempatkan keluarga di atas pelayanan adalah, sewaktu keluarga saya sehat, mereka pun lebih memberi keleluasaan kepada saya untuk melayani. Sebaliknya, bila mereka tidak mendapatkan perhatian dari saya, bukan saja mereka akan berusaha membatasi ruang gerak pelayanan saya, mereka pun tidak akan dapat mengamini dan memberkati pelayanan saya. Alasannya sederhana: Mereka memandang pelayanan sebagai perebut waktu dan perhatian yang seharusnya mereka terima dari saya. Dengan kata lain, mereka melihat pelayanan sebagai musuh yang harus dienyahkan dan pada akhirnya, mereka membenci pelayanan. Pada sebagian keluarga, mereka malah membenci Tuhan.
Pekerjaan menempati urutan ketiga dalam daftar prioritas kami. Firman Tuhan memberikan pengarahan yang jelas, "......karena kami tidak lalai bekerja di antara kamu, dan tidak makan roti orang dengan percuma tetapi kami berjerih payah siang malam supaya jangan menjadi beban bagi siapa pun di antara kamu.......jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan. (
Berdasarkan pemahaman ini saya menempatkan bekerja di urutan berikutnya di bawah keluarga. Saya menempatkannya di bawah Tuhan dan keluarga sebab bekerja harus tunduk pada hukum Tuhan dan tidak boleh merugikan kepentingan keluarga. Bekerja harus dalam koridor kekudusan Tuhan; kita tidak bisa seenaknya memilih pekerjaan yang tidak memuliakan Tuhan, apalagi melanggar perintah-Nya. Bekerja juga harus berdiri di dalam naungan keluarga dalam pengertian, kita tidak mengorbankan kepentingan keluarga demi pekerjaan. Dengan kata lain, bila kita berada di persimpangan jalan antara promosi dan hilangnya kesempatan mendampingi keluarga, beralaskan prioritas ini, saya akan memilih keluarga dan merelakan kehilangan kesempatan promosi. Bagi saya, yang penting adalah mencukupi kebutuhan mendasar keluarga dan jika kebutuhan ini sudah terpenuhi, maka saya akan merelakan kehilangan kesempatan untuk meningkatkan karier ataupun sumber pemasukan kalau itu akan merugikan keluarga di pelbagai aspek lainnya.
Pada urutan keempat, saya menaruh pelayanan dalam pengertian sempit sebagaimana umumnya dipahami yakni melakukan perbuatan-perbuatan untuk orang lain atas nama pekerjaan Tuhan, misalnya terlibat dalam pelayanan gerejawi. Bagi keluarga yang sehat dan tercukupi fisik dan batinnya, pelayanan menjadi pelimpahan kasih yang dialami dalam keluarga itu. Pelayanan bukanlah sesuatu yang dilakukan; pelayanan adalah sesuatu yang dibagikan. Adakalanya anak kami bertanya, apa yang saya lakukan tatkala saya memberikan ceramah keluarga. Saya menjelaskan kepadanya bahwa saya ingin membagikan kepada orang lain apa yang saya alami dan terima dalam keluarga ini yaitu kasih sayang yang melimpah.
Saya berkeyakinan, bila kita hidup dalam urutan prioritas yang benar - Tuhan, keluarga, dan pekerjaan - maka, pelayanan akan secara alamiah mengalir keluar. Pelayanan adalah akibat dari - bukan penyebab - keluarga yang sehat. Pelayanan menjadi ekspresi nyata dari kerinduan kita untuk membagikan kasih yang kita alami secara berlimpah dalam keluarga. Kita melayani karena kita rindu melihat orang lain mengalami apa yang telah kita alami.
Ada sebuah kejadian yang dicatat di Alkitab yang meneguhkan apa yang saya kemukakan di sini. Setelah orang Gerasa itu dimerdekakan dari kuasa iblis, ia meminta agar ia diizinkan mengikut Tuhan Yesus, namun apa jawab Tuhan? "Pulanglah ke rumahmu dan ceritakanlah segala sesuatu yang telah diperbuat Allah atasmu." (
Bagi yang telah berkeluarga, keindahan seorang pelayan Tuhan tidaklah terlihat tatkala ia berjalan sendirian melayani sesama. Sebaliknya, keindahan seorang pelayan Tuhan terpancar ketika ia berjalan bersama keluarganya dalam kasih. Dapatkah kita menyaksikan bahwa Tuhan telah memberikan hidup yang berlimpah kepada kita jika kehidupan keluarga kita jauh dari berlimpah? Pelayanan adalah pembagian hidup yang berlimpah itu - awalnya dari Tuhan kepada keluarga dan sekarang kepada sesama kita.
Kesimpulan
Tanpa prioritas yang jelas dan benar, kita akan kehilangan keseimbangan hidup. Berkali-kali saya menjumpai kasus di mana orang menyusun dan menjalani prioritas yang tidak jelas atau tidak tepat. Ada yang menempatkan pekerjaan di atas Tuhan dan keluarga; ada yang menempatkan keluarga di atas Tuhan; ada yang menempatkan pelayanan di atas keluarga, pekerjaan, bahkan Tuhan sendiri. Prioritas adalah tiang yang menyanggah keluarga; tanpa prioritas yang kokoh dan tepat, keluarga akan menderita.?
- Log in dulu untuk mengirim komentar
- 8957 kali dibaca