Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di manapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Heman Elia, M. Psi. beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini kami beri judul "Orang Tua Otoriter." Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Heman, istilah otoriter itu memang sering kita dengar, tapi selama ini biasanya itu dikaitkan dengan pemerintahan, dengan sistem di kemiliteran dan sebagainya. Nah ini kalau dikaitkan dengan hubungan orang tua dan anak, otoriter itu artinya apa Pak?
HE : Nah kalau kita mau melihat apakah orang tua itu otoriter atau tidak kita bisa mengukurnya dari orang tua itu sendiri. Yaitu seberapa banyak orang tua melakukan tindakan mengekang anak dan idak membiarkan anak-anak memiliki ruang geraknya sendiri.
Jadi orang tua yang otoriter tidak mengizinkan anaknya mempunyai pendapat sendiri, mempunyai minat yang berbeda atau melakukan sesuatu yang berbeda. Anak-anak selalu berada di dalam tekanan terus-menerus untuk bertindak bahkan juga untuk berpikir sesuai dengan keinginan orang tua.
GS : Sering kali kita orang awam menyebut itu orang tua keras sekali.
HE : Ya, bisa kadang-kadang dalam istilah sehari-hari kita katakan bahwa itu orang tua yang keras sekali tapi sebetulnya itu tindakan yang otoriter.
GS : Apakah ada yang berbalikan dengan itu yang berbalikan 180° dengan orang tua yang otoriter ini, orang tua apa Pak?
HE : Orang tua yang permisif atau dikatakan dengan istilah kadang-kadang disebut Laissez-faire. Jadi orang tua yang membiarkan anaknya, tidak melakukan tindakan apa-apa untuk anak-anaknya.
GS : Jadi otoriter ini dinyatakan atau bisa kita lihat lewat tindakan orang tua itu Pak?
HE : Lewat tindakan orang tua.
GS : Nah, tapi kita sebagai orang tua itu tentunya menghendaki anak-anak kita itu nanti menjadi orang yang baik, sehingga sebagian besar orang tua memang mempunyai prinsip saya harus mendidik anak saya itu untuk menurut pada saya. Bukankah saya lebih tua, saya lebih pengalaman, saya lebih banyak tahu, begitu Pak Heman?
HE : Ya itu betul, prinsip itu betul tetapi pada saat prinsip itu diterapkan kita harus sungguh-sungguh memikirkan beberapa hal supaya kita tidak bertindak otoriter atau semena-mena. Jadi untukmembedakan mana yang otoriter dan mana yang tidak otoriter itu memang dibutuhkan kepekaan yang ekstra dari orang tua atas dirinya sendiri.
Kalau kita bisa memikirkan misalnya apa yang dipikirkan pada anak selagi kita melakukan hal ini, melarang ini, melarang itu, apa yang mereka rasakan setiap kali kita berkomunikasi dengan mereka maka kita akan mulai memiliki kepekaan ini. Kepekaan apakah saya sedang melakukan sesuatu yang otoriter atau tidak. Jadi kalau misalnya anak selalu kita salahkan, apapun yang mereka lakukan kita marahi, jadi mereka sering kali menjadi ragu-ragu tidak bisa begini, tidak bisa begitu akhirnya mereka menjadi apatis atau memberontak habis-habisan (sebaliknya dari apatis), nah ada kemungkinan di sana kita sudah bertindak otoriter.
GS : Kalau begitu berarti orang tua ini perlu ada suatu kedekatan tertentu dengan anak-anaknya Pak?
HE : Betul, kalau misalnya anak-anak ini selalu menjauh dari orang tua dan tidak merasa nyaman berdekatan dengan orang tuanya, nah di situ ada kemungkinan orang tua sudah bertindak otoriter.
GS : Jadi kalau orang tua itu terlalu menekankan disiplinnya tetapi kedekatannya sangat rendah dengan anak-anaknya, itu bisa menjadi orang tua yang otoriter begitu Pak?
HE : Ya betul, tetapi masalahnya adalah kapan kita tahu bahwa kita itu sudah memaksakan kehendak diri kita sendiri.
GS : Padahal kita, dalam hati kecil kita itu tentu bermaksud mendidik mereka supaya nantinya menjadi baik, Pak?
HE : Ya ukurannya adalah bagaimana kita masih menyediakan ruang gerak bagi mereka, sebisa mungkin kalau misalnya itu tidak membahayakan diri anak-anak itu. Kita juga harus memikirkan bahwa serig kali kita melarang ini dan melarang itu, sebetulnya itu lebih beralasan untuk memuaskan keinginan kita, ambisi kita, tujuan-tujuan kita sendiri dan kita kurang memikirkan bahwa ini sebetulnya hanya masalah perbedaan antara anak dengan orang tua.
Perbedaan gaya, perbedaan cara berpikir, perbedaan situasi, latar belakang, suasana sosial sekarang ini dsb. Nah itu yang harus kita pikirkan, kalau kita memang lebih mudah untuk melarang semua hal tetapi masalahnya adalah bahwa anak kemudian tidak bertumbuh sesuai dengan irama mereka sendiri, perkembangan mereka sendiri dan akhirnya mereka menjadi lumpuh secara sosial, mereka tidak berani mengambil keputusan sendiri. Bahkan mereka menjadi orang yang tidak berani bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Nah ini kerugiannya kalau kita sebagai orang tua bertindak otoriter.
GS : Pak Heman, sering kali memang yang sulit itu adalah bagaimana kita menempatkan diri kita pada diri anak itu, makanya kita lebih gampang menuntut supaya anak itu yang menempatkan dirinya pada diri kita, Pak?
HE : Ya betul, ini kesimpulan yang baik sekali, saya kira inilah masalah dari orang tua sering kali kita tidak bisa membayangkan kita sebagai anak. Memang ini karena sebagian kita itu sudah jau dari kehidupan anak, kita sudah melewati masa anak-anak sudah sekian lama dan kita mungkin akhirnya meniru pola orang tua kita mendidik kita.
Lalu daripada kita susah-susah sudah begini saja dan kita memaksakan kehendak kita pada anak-anak. Padahal mungkin belum tentu itu hal yang cocok atau pas buat anak-anak.
GS : Kita memakaikan baju kita kepada anak pasti tidak cocok Pak, kalau sikap otoriter orang tua ini berkelanjutan, apakah dampaknya terhadap kehidupan anak-anak, Pak Heman?
HE : Ada dua kemungkinan yang ekstrim, memang ini masih bergantung pada masing-masing anak. Kadang-kadang kita juga bisa mendapati anak-anak yang rasanya masih bisa bertumbuh dengan wajar, tetai dalam keadaan yang normal ada dua kemungkinan yaitu yang pertama anak itu menjadi apatis atau pasif.
Karena segala sesuatu sudah dikerjakan oleh orang tua, dan orang tua yang selalu benar dan anak selalu salah sehingga anak-anak tidak berani melakukan apa-apa dan akibatnya dia juga tidak berani untuk mengambil keputusan, pasif, apatis. Nah di lain pihak ada anak-anak yang lebih berani, pada anak-anak yang lebih berani mereka akan melawan habis-habisan, memberontak. Kenapa habis-habisan? Karena ketika mereka melawan menunjukkan tanda-tanda pemberontakan, baru tanda saja itu sudah ditekan habis oleh orang tua. Mereka tidak boleh berbeda dengan orang tua dan semakin ditekan anak-anak ini semakin memberontak, nah ini dua hal yang kemungkinannya bisa terjadi.
GS : Pak Heman, kadang-kadang kita itu memang sudah menghindari untuk tidak bertindak otoriter, tetapi ada waktu-waktu tertentu kita itu secara jelas melihat anak kita itu sedang menuju sesuatu yang berbahaya Pak, yang bisa merugikan dia, nah apakah dalam waktu atau kondisi seperti itu kita tidak boleh bertindak otoriter?
HE : Ini pertanyaan yang baik sekali, dan memang saya kira kita juga harus bijak, kita harus berhikmat. Jadi adakalanya itu terjadi, kita harus mengambi tindakan yang otoriter. Tetapi mengambiltindakan yang otoriter bukan berarti kita sepanjang waktu bersikap otoriter kepada anak.
Nah ada keadaan-keadaan darurat yang kita sudah tahu pasti bahayanya tetapi anak-anak tidak tahu dan karena mendesaknya waktu, kita tidak sempat lagi memberikan anak pilihan-pilihan ataupun kita berdiskusi, berdialog dengan mereka. Dan saya kira pemimpin manapun juga termasuk orang tua sebagai pemimpin tentu pernah melakukan tindakan atau keputusan sepihak tanpa persetujuan bawahannya yaitu terutama dalam situasi darurat, situasi perang misalnya. Tindakan seperti ini seolah-olah seperti suatu tindakan pembedahan untuk mengobati penyakit. Nah keadaan darurat itu seperti misalnya kalau kita melihat anak itu memanjat ke atas gedung atau dia lari ke jalan raya yang ramai atau dalam keadaan tertentu karena keadaannya yang parah anak harus dipaksa ke dokter atau anak-anak yang masih terlalu muda dan mereka belum bisa mengatur waktu belajarnya sendiri. Nah di sini kita harus mengambil tindakan yang tegas juga tanpa memberikan pilihan kepada mereka.
GS : Tetapi kalau memungkinkan kita masih bisa memberikan pilihan kepada anak atau anak-anak kita?
HE : Sejauh mungkin, sebisa mungkin kita harus memberikan pilihan kepada mereka meskipun pilihan-pilihan ini tetap kita batasi juga.
GS : Itu contoh konkretnya bagaimana?
HE : Misalnya nah ini sekali lagi juga saya tekankan bahwa memberikan pilihan itu jangan pilihan yang kita tidak bisa tolerir jadi di dalam batas-batas yang kita bisa izinkan jadi misalnya di dlam hal belajar.
Kalau kita melihat bahwa ada gaya-gaya belajar tertentu pada anak dan kita ingin mengajarkan kemandirian kepada mereka, kita bisa tawarkan kepada mereka apakah mereka mau belajar sendiri atau mereka mau belajar dengan kita. Tentu saja kita harus juga memberitahukan konsekuensinya, apa konsekuensinya kalau mereka belajar sendiri, apa konsekuensinya kalau belajar dengan kita. Kalau kita mau mengontrol belajar mereka karena mereka belum bisa menguasai diri kita juga perlu memberitahukan hal ini. Dan kemudian dalam hal makanan, misalnya mereka sekarang belum boleh makan makanan gorengan, nah kita bisa tawarkan kepada mereka apa yang boleh mereka makan. Misalnya kamu hari ini mau pilih makan apa? Mau makan soto atau mie kuah dsb. begitu sejauh yang kita bisa izinkan. Kalau kita mau memberikan mereka kursus, kita tawarkan kepada mereka, mereka mau kursus ini atau kursus itu dan juga kemudian sekalian konsekuensinya seperti itu.
GS : Menyinggung makanan, biasanya anak kalau sudah senang dengan satu jenis makanan dia akan memilih makanan itu terus, Pak. Misalnya dia memang senang soto, dan setiap kali ditanya mintanya soto terus. Padahal kita sebagai orang tua tahu bahwa dia membutuhkan makanan yang bervariasi supaya tumbuh dengan baik.
HE : Ya betul, tetapi adakalanya kita perlu memberikan kesempatan kepada mereka juga untuk berlaku berbeda. Sampai pada suatu titik, ketika melihat bahwa ini sudah berlebihan kita tawarkan lagipilihan-pilihan yang lain dan kalau misalnya anak tidak mau mengikuti pilihan ini artinya memperkaya gizi mereka, menyeimbangkan makanan mereka maka kita boleh melakukan tindakan untuk mengarahkan secara lebih tegas lagi.
Tapi sejauh mungkin di mana kita bisa memberikan pilihan, kita berikan pilihan.
GS : Ada beberapa orang tua itu yang bersikap membiarkan anaknya memilih agamanya sendiri. Nah kita percaya imannya sendiri itu boleh dipilih sendiri, itu menurut Pak Heman bagaimana?
HE : Kalau menurut saya ini soal iman, soal yang lain. Soal iman kita perlu membimbing mereka sejak mereka muda. Ini pertanyaan yang baik sekali karena ada hal-hal tertentu termasuk soal agama tu kita tidak boleh memberikan pilihan kepada anak sebelum waktunya karena mereka belum tahu, mereka belum bisa mengambil pilihan.
Jadi ketika anak yang masih muda misalnya selain keadaan darurat tadi ada anak-anak yang masih terlalu muda itu belum bisa memilih, karena dia belum tahu dan kita harus memilihkan untuk mereka. Dan pada saatnya nantilah ketika anak itu sudah tahu mana yang baik, mana yang tidak baik barulah kita berikan kesempatan pilihan yang lebih banyak kepada mereka.
GS : Justru itu alasan orang tua selalu mengatakan daripada nanti anaknya bingung, sekarang ini saya tidak mendidik agama tertentu kepada anak saya, biar nanti kalau katakanlah remaja atau pemuda dia memilih sendiri begitu Pak.
HE : Nah ini saya kurang setuju, karena firman Tuhan mengajarkan bahwa kita harus mendidik anak-anak kita di dalam rasa takut akan Tuhan. Dan rasa takut akan Tuhan itu apa, ya sesuai dengan ima kita kepada Tuhan, Tuhan itu seperti apa dan sebagainya.
Ini kita harus membimbing mereka sejak mereka masih muda, kalau tidak demikian, kalau tidak ada bimbingan maka kemungkinan anak-anak itu tersesat sangat-sangat besar.
GS : Pak Heman, kalau ada sebagian anak di mana boleh memilih dan sebagian lagi kita yang menentukan apakah hal itu tidak membingungkan anak?
HE : Tidak membingungkan anak, saya kira asal orang tua itu tegas, artinya begini tegas itu bukan berarti otoriter tetapi ia mengambil peran sebagai seorang pemimpin. Jadi pemimpin itu selalu mngarahkan dan ada hal-hal yang secara konsisten kita membuat pilihan-pilihan.
Ada hal-hal yang kita katakan kepada anak bahwa belum saatnya mereka boleh memilih sendiri seperti itu.
GS : Berarti pilihan-pilihan itu juga ditentukan oleh usia anak itu yang harus kita pertimbangkan Pak?
HE : Ya tepat sekali Pak Gunawan, jadi usia ini mengambil peran penting ketika kita harus melakukan tindakan tertentu, jadi artinya begini ketika anak-anak pada usia yang dini memang gaya mendiik kita adalah gaya mendidik yang lebih cenderung ke arah otoriter, mengingat bahwa anak-anak pada usia dini belum mempunyai bekal untuk memilih.
Dan semakin besar, anak itu perlu dididik secara demokratis, lebih banyak dijelaskan, mendapatkan penjelasan bukan "Pokoknya kamu harus begini!" tidak. Tetapi diajak diskusi dsb, dan sampai pada saat remaja anak seharusnya semakin memperoleh kebebasan untuk memilih, mengambil keputusan bagi dirinya sendiri. Jadi kita harus menyelesaikan banyak dasar-dasar penanaman moral yang baik, kebiasaan yang baik itu sesaat sebelum anak menginjak masa remaja.
GS : Ya memang berdasarkan pengalaman seperti itu Pak Heman, jadi waktu anak-anak kita masih kecil kita berikan pengarahan atau dasar-dasarnya itu sudah cukup baik, kalau remaja-pemuda kita agak berikan pilihan dan tentu dia akan memilih yang biasa dia terima sejak kecilnya Pak?
HE : Ya, betul, jadi kita sebagai orang tua juga tidak ingin anak-anak kita besoknya hidup menyimpang sekali dari jalan Tuhan.
GS : Jadi berarti otoritas kita itu sebenarnya dibutuhkan ketika anak masih kecil Pak ya?
HE : Ya, otoritas kita maksudnya pemaksaan-pemaksaan kita, itu lebih dibutuhkan pada saat anak-anak masih kecil.
GS : Sehingga ketika nanti beranjak dewasa, pemuda, remaja dia sudah terpola dengan pola pikir kita juga, begitu Pak?
HE : Betul, dan ada satu tambahan Pak Gunawan, sehubungan dengan tadi, bahwa anak-anak usia muda kita lebih bertindak otoriter, tetapi tetap kita tidak boleh melupakan akan tahapan perkembanganmereka.
Jadi kita tetap harus membayangkan mereka yang masih muda, yang tidak terlalu bisa banyak konsentrasi, mereka yang perlu lebih banyak bergerak, mereka yang lebih sering menangis dsb. ini perlu kita tolerir.
GS : Pak Heman, sekalipun anak-anak kita itu sudah remaja atau pemuda, kadang-kadang mau tidak mau kita sebagai orang tua itu sekali-sekali bertindak otoriter itu Pak, apakah hal itu berdampak negatif kepada anak yang sudah remaja atau pemuda itu?
HE : Saya kira tidak, selama kita bisa menjelaskan kenapa begitu terutama pada anak-anak remaja yang hidupnya masih bergantung penuh kepada kita. Kita katakan bahwa selama anak-anak ini hidup d rumah kita maka mereka harus juga mendengarkan, menaati kita.
Dan ini juga sesuai dengan prinsip Alkitab bahwa anak-anak harus menaati orang tuanya di dalam Tuhan.
GS : Ya tetapi itu memang masa-masa pemberontakan di dalam diri pemuda-remaja itu kadang-kadang sulit Pak Heman bisa diatasi oleh orang tua. Saya mengenal sekali ada orang tua yang sejak kecil sebenarnya sudah mengajarkan kepada anaknya ini untuk sungguh mengasihi Tuhan dalam iman yang benar. Tetapi karena pengaruh lingkungannya ternyata anak ini memilih suatu ajaran yang campur baur tidak karu-karuan, sehingga orang tuanya itu menjadi sangat sulit sekali mengendalikan anak ini, mau dipaksa pun sulit karena dia sudah beranjak ke dewasa.
HE : Ini kasus yang baik juga, jadi sebetulnya kalau kita sudah memberikan, menanamkan ajaran-ajaran moral kemudian kerohanian yang baik kepada anak, maka ada kemungkinan memang anak di dalam msa untuk sementara waktu seolah-olah menyimpang.
Tetapi kalau memang dasarnya sudah baik, dia tidak akan tahan lama-lama menyimpang di jalan itu, dia akan kembali lagi ke jalan yang semula. Kebanyakan seperti itu.
GS : Itu memang menjadi harapan orang tuanya dan harapan kita semua Pak, suatu saat bisa melihat dia kembali bahkan sungguh-sungguh menyadari akan kesalahannya dan sekarang sungguh-sungguh menekuni apa yang benar.
HE : Betul, dan di sini doa mengambil peran penting, jadi saya percaya kalau orang tua berdoa, doa itu besar kuasanya.
GS : Ya semua percaya akan hal itu, nah Pak Heman kalau otoriter itu memang banyak segi yang negatifnya, seharusnya kita itu harus bertindak bagaimana itu sebagai orangtua itu, Pak?
HE : Kalau bisa kita lebih banyak bertindak demokratis, demokratis itu berarti memberikan ruang gerak kepada anak untuk berbeda dengan orang tuanya. Kadang-kadang di dalam hal yang kecil saja msalnya di dalam hal belajar, anak kadang-kadang harus atau baru bisa belajar dengan baik kalau dengan bergerak.
Jalan ke sana-ke sini kadang-kadang sambil memakai walkman, dengan begitu dia bisa belajar dengan lebih baik. Tetapi orang tua yang tidak memahami, bisa melakukan pemaksaan dengan mengharuskan dia duduk di depan meja dsb dengan penerangan yang sekian dan sebagainya. Kita kalau misalnya mengarah ke demokratis kita bisa memberikan pilihan-pilihan atau juga mendengarkan apa yang diinginkan oleh anak, apa yang anak-anak senangi dsb, nah itu orang tua yang demokratis memberi ruang bagi anak untuk bertanya dan juga mencari alasan kenapa sesuatu hal yang itu diizinkan sedangkan hal yang lain tidak diizinkan selain dari otoriter.
GS : Pak Heman, kita di dalam kehidupan berkeluarga suami-istri tentunya menghendaki anak-anak kita baik. Tetapi dalam hal sikap seperti ini kadang-kadang bisa berbeda Pak Heman, jadi saya sebagai laki-laki itu kadang-kadang bertindak otoriter, lalu istri saya atau ibunya itu memberikan kelonggaran-kelonggaran. Atau bahkan sebaliknya kadang-kadang istri saya yang kelihatan otoriter dan saya yang memberikan kelonggaran-kelonggaran, nah itu bagaimana Pak dampaknya?
HE : Nah ini yang memang paling sering terjadi, ketika salah seorang orang tua bertindak otoriter kemudian pasangannya ingin mengimbanginya dengan cara yang sebaliknya. Jadi secara tidak disadai ingin supaya anak-anak bisa lebih dekat kepada orang tua.
Tetapi tentu saja ini ada dampaknya, nah kita akan melihat polanya seperti ini, anak menjadi lebih dekat kepada orang tua yang tidak otoriter tentu saja dan lebih longgar kepada anak. Dan repotnya lagi ketika orang tua yang otoriter melihat hal ini yaitu anak lebih dekat kepada pasangannya maka secara, kadang-kadang tanpa disengaja orang tua yang otoriter menjadi semakin otoriter. Dia tidak suka dengan ini dan semakin membuat anaknya semakin menjauh dari dirinya dan kemudian juga mengakibatkan dia juga semakin jauh dari pasangannya. Untuk pasangan-pasangan yang demikian kita perlu menyadarinya bahwa pola ini sudah terjadi, kalau pola ini lebih disadari maka kita akan lebih besar kemungkinannya untuk memutuskan mata rantai ini.
GS : Ya memang bisa membuat anak bingung Pak, melihat orang tuanya yang satu begini, yang satu begitu.
HE : Ya, tapi anak-anak sering kali membaca hal ini dan anak-anak yang cerdik bisa memainkan ini.
GS : Memilih yang menguntungkan dia tentunya.
HE : Betul, dan ini akan berpotensi memecah belah keluarga.
GS : Tentunya hal ini tanpa dia sadari Pak Heman, seorang anak tidak mau orang tuanya sampai bertengkar gara-gara dia.
HE : Ya, tetapi anak inginnya untung begitu Pak.
GS : Pak Heman, kita mau melihat bagian dari Alkitab Pak Heman yang bisa mendukung perbincangan kita pada saat ini. Pak Heman bisa memberikan?
HE : Saya akan membacakan dari kitab Efesus 6:4, saya akan bacakan dari dua fersi Alkitab yaitu fersi Alkitab dari Lembaga Alkitab Indonesia dan satu lagi dari fersi Firman Allah yng hidup.
"Dan kamu bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan." Dari fersi Firman Allah yang hidup yaitu di dalam bahasa sehari-hari terbitan Kalam Hidup. "Dan sekarang sedikit nasihat kepada para orang tua, jangan terus-menerus menggusari dan mencari-cari kesalahan anak-anak saudara, sehingga membuat mereka marah dan jengkel." Tetapi didiklah mereka dengan tata tertib yang penuh kasih dan menyukakan hati Allah, dengan saran-saran dan nasihat-nasihat berdasarkan firman Allah. Jadi orang tua di sini dinasihatkan untuk tidak terus-menerus mencari-cari kesalahan anak dan membuat mereka gusar.
GS : Ya memang ini menjadi tanggung jawab dari kedua orang tua Pak, jadi bukan hanya bapak-bapak tapi juga ibu-ibu. Keduanya terpanggil untuk melakukan perintah Tuhan ini.
GS : Terima kasih Pak Heman, untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Heman Elia, M.Psi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang suatu judul "Orang Tua Otoriter". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk No. 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.