Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Heman Elia, M. Psi. beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang rasa "Rasa Bersalah Orang Tua". Kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
(1) GS : Pak Heman, kita semua tahu bahwa sebagai orang tua sekalipun kita sudah berusaha dengan baik mendidik anak-anak kita, kita merasakan ada saja yang kurang. Tetapi masalahnya timbul rasa bersalah di dalam diri kita ketika melihat perkembangan anak kita tidak normal Pak Heman, entah dalam tingkah lakunya, sikapnya dan sebagainya kemudian timbul rasa bersalah di dalam diri kita itu, wah ini gara-gara saya anak kita menjadi seperti ini. Nah, sebenarnya Pak Heman apakah rasa bersalah seperti itu salah di dalam diri kita?
HE : Ada rasa bersalah yang memang tepat dan realistis, tetapi juga ada rasa bersalah yang tidak atau kurang tepat. Dan rasa bersalah yang tepat bisa kita katakan sebagai rasa bersalah yang reaistis.
GS : Maksudnya kita bisa mengintrospeksi diri kemudian lain kali kalau mempunyai anak yang lain kita lebih hati-hati, apakah itu yang Bapak maksudkan?
HE : Ya betul Pak Gunawan, tetapi rasa bersalah yang realistis sekalipun, maksudnya yang betul-betul akibat kesalahan kita bisa juga membawa dampak yang merugikan, jadi tidak selalu membuat kit mengubah perilaku dan mengoreksinya tetapi adakalanya justru membawa dampak-dampak yang kurang menguntungkan.
(2) GS : Nah, dampak-dampak yang kurang menguntungkan itu misalnya seperti apa Pak?
HE : Seperti ini Pak Gunawan, kadang-kadang kita itu karena merasa terganggu oleh rasa bersalah, kita kurang memperhatikan anak ketika mereka balita dan itu menyebabkan anak-anak ini kurang memeroleh layanan kesehatan yang memadai, maka akibatnya setelah anak ini tumbuh makin besar anak ini lemah dan setiap kali anak merasa sakit maka kita merasa bersalah.
Nah, di dalam hal ini kalau kita misalnya terus terlalu melindungi anak dari segala macam, anak menjadi tidak boleh keluar, tidak bebas dan setiap kali ke mana-mana harus diantar, diawasi dan sebagainya maka rasa bersalah ini menimbulkan suatu perilaku berlebihan dari kita, menyebabkan kita terlalu melindungi anak. Dan kalau kita tidak hati-hati kita malah akan membuat anak menjadi lumpuh atau semakin tergantung kepada kita.
GS : Kemudian kita sebagai orang tua sebaiknya apa yang kita lakukan kalau timbul rasa bersalah di dalam diri kita?
HE : Salah satunya adalah kita perlu menyadari apakah rasa bersalah ini, kita tentu harus menyadari bahwa ini rasa bersalah dan tindakan kita disebabkan oleh rasa bersalah ini. kemudian kita pu harus mengontrol dan mengukur kadar rasa bersalah ini.
Terutama kita pikirkan apa tujuan dari tindakan kita, apakah tindakan kita ini berlebihan sebagai reaksi terhadap rasa bersalah itu ataukah tindakan kita sebetulnya cukup memadai, bukan sekadar menebus rasa bersalah itu tetapi bagaimana kita tetap melakukan suatu cara untuk mendidik dan memikirkan akan masa depan anak. Sebagai contoh, untuk anak-anak yang sering sakit, kita perlu tetap melatih mereka supaya mereka mempunyai tubuh yang lebih sehat dan bukannya terus-menerus melindungi mereka.
GS : Ada suatu pola atau suatu gaya orang tua untuk menebus kesalahannya terhadap anaknya dengan memberikan materi sebanyak-banyaknya Pak Heman. Jadi mungkin karena orang tuanya itu bekerja terutama ibunya yang merasa bersalah, karena meninggalkan anaknya yang masih balita, lalu setiap kali hampir setiap kali pulang kerja dia selalu membawa oleh-oleh buat anaknya. Sikap seperti itu bagaimana Pak?
HE : Ya kalau misalnya oleh-oleh ini berdampak kepada perilaku anak yang kemudian semakin cengeng dan misalnya kalau anak ini minta sesuatu pasti dituruti oleh ibunya didorong oleh rasa bersala ini, maka nantinya anak ini justru tidak semakin baik, tetapi justru anak ini akan belajar suatu perilaku yang manipulatif.
GS : Ada pula ketika ibunya sedang bekerja anaknya jatuh, nah ibunya ini merasa sangat bersalah sekali, di mana sebenarnya harus ada di samping anaknya ternyata anaknya itu jatuh dan cukup. Nah perasaan bersalah itu positif atau negatif atau bagaimana Pak?
HE : Perasaan bersalah itu positif, perasaan itu sendiri sah dan memang harus ada tetapi yang selanjutnya kita harus kontrol adalah perilaku kita, apa yang kita lakukan terhadap anak untuk mengtasi dampak itu, dampak dari terjatuh tadi.
Yang kita harus lakukan misalnya tindakan-tindakan yang realistis, di dalam arti kita belajar bagaimana mengontrol keadaan sehingga tidak sampai anak itu terjatuh lagi dengan akibat yang fatal, tetapi bukan dengan memanjakan anak secara berlebihan atau melindungi anak secara berlebihan.
GS : Berarti ada sesuatu yang baik atau meningkatkan mutu pendidikan itu sendiri terhadap anak dengan timbulnya rasa bersalah itu Pak?
HE : Betul, ada akibat yang baik asalkan kita bisa meletakkan rasa bersalah ini pada porsi yang seharusnya.
(3) GS : Dan bagaimana kita bisa mengenali rasa bersalah yang timbul dalam diri kita itu Pak?
HE : Ada dua macam rasa bersalah, yang tadi itu adalah rasa bersalah yang realistis. Memang terjadi kesalahan pada diri kita dan akibat dari kesalahan ini membuat anak menderita sesuatu. Di lai pihak ada rasa bersalah yang juga sebetulnya kurang realistis, dalam arti ada anak yang sebenarnya melakukan kesalahan, anak mempunyai perilaku yang tidak matang atau kekanak-kanakan, tetapi bukannya kita mengoreksinya namun sebaliknya kita menanggung kesalahan anak itu.
Mengambil beban tangggung jawab yang seharusnya itu adalah beban anak menjadi beban kita, nah itu adalah rasa bersalah yang kurang realistis. Dan rasa bersalah yang kurang realistis ini akan membuat anak menjadi semakin tidak mandiri dan kalau anak peka akan hal ini, anak bisa mempermainkan rasa bersalah orang tuanya untuk kepentingan anak.
GS : Nah, itu bagaimana menyeimbangkannya supaya memiliki rasa bersalah yang proporsional seperti itu?
HE : Yang harus kita perhatikan pertama-tama adalah agar kita mengetahui, menyadari apa yang seharusnya sudah bisa dan apa yang sudah mulai menjadi beban tanggung jawab anak, dan mana yang tangung jawab kita sebagai orang tua.
Kadang-kadang misalnya anak itu menangis ketika kita tidak mampu membelikan mainan yang mahal, nah di dalam hal ini kadang-kadang orang tua merasa bersalah karena mereka tidak mempunyai penghasilan yang besar dan tidak bisa mengusahakan mainan-mainan yang mahal. Nah ini adalah rasa bersalah yang kurang realistis kenapa? Karena itu sesuatu yang tidak bisa diusahakan oleh orang tua, itu keterbatasan orang tua yang tidak bisa dihindari. Di samping itu kalau misalnya kita memberikan semua yang diminta oleh anak, mainan-mainan yang mahal dan sebagainya maka kita kehilangan suatu tujuan di dalam kita mendidik anak yaitu membuat mereka semakin bisa mengontrol diri dan semakin matang. Di dalam hal ini misalnya anak yang meminta mainan yang mahal dan sebagainya, seharusnya anak itu diajarkan untuk mengontrol diri dan mengurangi rasa frustrasinya sendiri ketika permintaannya itu tidak dipenuhi. Jadi di sini adalah adanya rasa tanggung jawab anak yaitu anak tidak boleh misalnya di dalam rasa frustrasinya itu meluapkan perasaan frustrasinya dengan cara yang tidak baik misalnya dengan marah-marah, dengan ngambek, dengan perilaku ngadat dan sebagainya.
GS : Itu berarti harus diajarkan kepada anak itu secara bertahap Pak, tidak mungkin sekaligus kita bisa menjelaskan kepada anak tentang hal itu?
HE : Betul sekali, ini memang menjadi sesuatu yang harus membuat orang tua peka. Jadi pertama memang tahapan-tahapan itu dan tahapan-tahapan itu sebetulnya menyangkut hal yang kedua yaitu bagaiana kita membedakan antara apa yang sungguh-sungguh menjadi kebutuhan anak dan yang seharusnya kita penuhi dan mana sebetulnya keinginannya yang didasarkan pada ketidakmatangannya.
Ini harus kita bedakan betul-betul dan ini memang terlalu mudah untuk membedakannya.
GS : Katakan kita sudah bisa membedakan itu, langkah selanjutnya apa Pak?
HE : Langkah selanjutnya adalah kita meletakkan proporsi tanggung jawab itu kepada diri anak-anak kita dan kepada diri kita. Saya berikan contoh demikian misalnya anak tidak mau belajar, kadangkadang anak itu perlu mengalami konsekuensi-konsekuensi dari tindakannya, misalnya kemudian anak mendapat nilai jelek dan sebagainya.
Nah, kalau misalnya orang tua selalu berusaha supaya anak itu belajar, anak itu menyelesaikan PR-nya, orang tua selalu mengerjakan PR bagi anak-anaknya ini berarti membuat anak tidak merasa bertanggung jawab. Dan ketika orang tua tidak sempat untuk mengajar anak-anaknya atau membuatkan PR, anak-anak akan menyalahkan orang tuanya sehingga beban ini terbalik yang seharusnya rasa bersalah ini ada pada anak, ternyata menjadi beban orang tuanya dan ini tidak mendewasakan anak-anak. Jadi langkah selanjutnya adalah meminta anak juga bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahannya sendiri.
GS : Tetapi kalau dari hasil evaluasi itu ternyata justru kita yang memang betul-betul bersalah, apa yang harus kita lakukan Pak?
PG : Ada beberapa hal, pertama kita harus menyadari bahwa itu adalah kesalahan kita dan kalau kita merasa mempunyai rasa bersalah yang berlebihan kita harus menyadarinya. Dan kemudian yang selajutnya adalah kita perlu menyadari pula bahwa setiap orang tua itu pernah mempunyai rasa bersalah.
Jadi setiap orang tua itu pernah melakukan kesalahan-kesalahan, yang penting di sini adalah bukan kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan itu, tetapi bagaimana kita bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada. Kalau misalnya kesalahan-kesalahan yang ada sudah sulit dikoreksi, maka kita juga perlu mengalihkannya. Jadi misalnya begini kadang-kadang kita semua orang tua melakukan kesalahan dan kita tahu orang tua kita juga melakukan kesalahan, tetapi kita mempunyai kesan bahwa orang tua kita itu sering kali adalah orang tua yang meskipun tidak sempurna tapi mereka memberikan kesan yang baik. Karena kita tahu mereka mempunyai tujuan yang baik dalam mendidik anak-anaknya. Demikian juga kalau kita mendidik anak kita, kita perlu memberi kesan-kesan khusus, dalam hal ini misalnya orang tua bisa menciptakan kenangan-kenangan yang indah bersama anak-anaknya. Beberapa hal yang bisa dilakukan dalam kenangan yang indah ini, misalnya saja orang tua bisa menyediakan waktu secara khusus yang berharga, menciptakan moment-moment indah bersama anak seperti misalnya bercerita tentang masa kecil anak yang lucu kemudian bercengkrama bersama mereka, bepergian ke alam bebas hanya bersama dengan keluarga saja dan kemudian di dalam perjalanan itu kita saling bercerita, membagi cerita dan kemudian juga merenungkan kebesaran Tuhan, berdoa, membaca Alkitab bersama, bernyanyi bersama anak dan sebagainya. Banyak sekali moment yang kita bisa ciptakan dan kalau moment-moment ini cukup banyak maka anak sering kali tidak membebankan kesalahan-kesalahan semata-mata kepada orang tua, tetapi bisa mengingat bahwa hubungan orang tuanya sebetulnya lebih banyak indahnya, lebih mengesankan hal-hal yang indah itu.
GS : Nah, moment-moment seperti itu justru sering kali itu membuat anak banyak bertanya tentang kehidupan kita, termasuk kelemahan dan kekurangan kita, lalu kita harus bersikap bagaimana kalau demikian?
HE : Adakalanya kita boleh membuka sedikit kelemahan-kelemahan kita dan kegagalan-kegagalan kita. Percuma kita menyangkali kegagalan dan kelemahan ini, karena itu akan semakin membuat anak misanya merasa pahit, merasa marah terhadap diri kita jadi kita akui saja kita katakan bahwa memang kadang-kadang orang tua melakukan kesalahan dan kadang-kadang kita perlu juga meminta maaf kepada anak-anak.
Dan dengan cara ini sebetulnya kita juga mendidik anak-anak untuk mengakui kesalahan mereka dan kemudian meminta maaf atas kesalahan mereka. Dengan demikian, rasa bersalah kita juga bisa dikontrol dengan lebih baik, kalau tidak kita akan selalu terombang-ambing antara dua ekstrim. Antara memanjakan dan terlalu ketat dan seterusnya.
GS : Ya sering kali Pak Heman kita sebagai orang tua kalau sudah ketemu kadang-kadang yang dibicarakan adalah anak-anak kita. Dan kadang-kadang juga masih tercetus atau terungkap rasa bersalah itu dalam pembicaraan kita dengan sesama orang tua, sebenarnya dampaknya itu bagaimana Pak?
HE : Saya kira itu cukup baik karena di dalam kita bicara-bicara, berbagi dengan sesama orang tua, di situ kita belajar, belajar dari kesalahan diri kita sendiri, belajar dari kesalahan orang lin, belajar bagaimana mengatasi kesalahan-kesalahan itu dan kita akan merasakan o.....ternyata
bukan saya sendiri yang melakukan kesalahan seperti ini, orang tua lain juga melakukan kesalahan seperti ini. Dan juga kadang-kadang kita beroleh penghiburan dari sana, ternyata ada kesalahan-kesalahan yang sebetulnya tidak harus menjadikan anak itu besarnya menjadi tidak seperti yang kita inginkan. Adakalanya kesalahan-kesalahan yang seperti itu justru akan membuat anak tumbuh menjadi lebih dewasa, misalnya begitu. Nah, dengan berbagi rasa bersalah kita juga akan lebih bisa dikontrol, nah ini hal yang baik juga.
GS : Ya itu supaya tidak menimbulkan kesan kita menjelek-jelekkan diri kita sendiri atau anak kita. Sampai sejauh mana kita bisa mengungkapkan hal itu kepada teman kita?
HE : Saya kira perlu kita ketahui juga mengenai lawan bicara kita, jadi kalau dua orang tua itu semakin saling terbuka sebetulnya kedua orang tua ini atau kedua belah pihak yang sedang berbicar ini semakin mau mengakui kesalahannya masing-masing, dengan demikian ada saling menerima.
Jadi di dalam hal ini tidak akan terlihat lagi saling menjelek-jelekkan, tetapi justru ada perasaan bahwa kita sedang mengakui kelemahan kita masing-masing.
GS : Pak Heman, kalau kesalahan yang kita buat itu berdampak sangat negatif terhadap anak kita, sehingga seolah-olah tidak bisa lagi diperbaiki, apa tindakan kita selanjutnya Pak?
HE : Kadang-kadang ada situasi yang sangat sulit di mana kita terlambat melakukan koreksi atas kesalahan kita. Dan kadang-kadang kita harus membayarnya dengan harga yang mahal, misalnya anak yag dulunya pernah menyaksikan ayahnya memukul ibunya, mungkin ayah ini memerlukan waktu yang panjang untuk memulihkan hubungan dengan anaknya.
Nah, di dalam hal ini ada satu prinsip yang boleh kita pegang yaitu usahakan supaya diri kita menjadi orang tua yang maksimal, dan kita berhenti berusaha menjadi orang tua yang sempurna. Karena kita tidak akan menjadi orang tua yang sempurna, sambil kita juga mengoreksi semaksimal mungkin apa yang masih tersisa sampai kita perlu terus berdoa bagi anak-anak kita supaya mereka tetap mempunyai masa depan yang baik.
GS : Jadi ada suatu perbedaan yang jelas antara rasa bersalah yang realistis dan rasa bersalah yang kurang realistis. Mungkin Pak Heman bisa menyimpulkan lagi, sebelum kita mengakhiri perbincangan ini.
HE : Jadi letak rasa bersalah yang realistis dengan yang tidak realistis itu terletak pada tanggung jawab yang proporsional atas suatu kesalahan. Bila kesalahan itu dibuat oleh orang tua dan orng tua merasa bersalah ini adalah rasa bersalah yang realistis.
Sebaliknya, bisa kesalahan itu dibuat oleh anak dan orang tua tidak berani mengoreksinya karena merasa bahwa itu adalah dampak dari perbuatan orang tua itu sendiri, berarti itu rasa bersalah yang tidak realistis, nah ini kesimpulannya.
GS : Dan apakah ada firman Tuhan yang mendukung prinsip itu Pak?
HE : Saya ingin bacakan dari ayat-ayat yang indah yang ditulis oleh raja Daud beberapa saat setelah dia jatuh ke dalam dosa perzinahan dengan Batsyeba dan kemudian dia menuliskan sebuah doa di alam Mazmur 51:14-15 (Disebutkan ayat 12 dan 13) dikatakan demikian : "Bangkitkanlah kembali kepadaku kegirangan karena selamat yang dari pada-Mu, dan lengkapilah aku dengan roh yang rela! Maka aku akan mengajarkan jalan-Mu kepada orang-orang yang melakukan pelanggaran, supaya orang-orang berdosa berbalik kepada-Mu."
Di sini sebetulnya Daud melakukan kesalahan yang sangat mendalam, sehingga dia berteriak kepada Tuhan di dalam kedukaannya, tetapi dia tidak berhenti sampai di situ, dia minta kepada Tuhan supaya membangkitkan kembali kegirangannya karena selamat yang dari pada Tuhan. Dan juga Daud tetap melanjutkan pekerjaannya antara lain mengajarkan jalan Tuhan kepada orang-orang, di dalam pembicaraan kita adalah anak-anak kita yang akan kita didik ketika mereka melakukan pelanggaran. Jadi kalau kita mempunyai rasa bersalah tidak dengan sendirinya kita harus berhenti di dalam mengajarkan anak-anak kita, justru kita harus bangkit kembali dan melakukan tugas mendidik anak-anak kita.
GS : Ya jadi dengan demikian saya percaya ini menjadi suatu pengharapan yang besar bahwa karena kelemahan dan dosa-dosa kita itu juga dalam mendidik anak itu tetap ada pengampunan, tetap ada jalan keluar di dalam Yesus Kristus sebagai Juru Selamat kita. Terima kasih banyak Pak Heman untuk perbincangan kita kali ini. Dan saudara-saudara pendengar, terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami bersama Bp. Heman Elia, M.Psi. dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Rasa Bersalah Orang Tua". Dan bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda dapat juga menggunakan fasilitas e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio, kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.