Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Bersama dengan kami Ibu Collins Martin seorang ibu dari 3 orang anak, dua pria dan satu wanita, dan beliau saat ini sedang mendampingi suaminya, seorang hamba Tuhan dan melayani di kota Malang ini. Kali ini kami akan melanjutkan perbincangan kami tentang masalah-masalah yang dihadapi dalam pembentukan a girl menjadi a woman. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
(1) PG : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu kita membicarakan tentang masalah-masalah atau keadaan yang spesifik dalam membesarkan seorang anak wanita. Memang ada banyak orang yang bekata dikaruniai anak laki atau perempuan itu sama saja.
Tapi saya rasa dalam hal membesarkan anak pria dan wanita itu tentu mempunyai masalah-masalah yang tersendiri, Pak Paul. Pak Paul juga punya anak wanita, jadi tentu masalah-masalah apa sebenarnya yang seringkali dihadapi oleh orang tua, Pak Paul?
(2) PG : Yang umum sekali difokuskan adalah masalah dengan teman-teman pria, tapi saya kira orang tua perlu menyadari masalah dengan pria adalah satu dari sejumlah masalah lainnya. Kaau tidak hati-hati kita akhirnya terlalu menitikberatkan pada pria, pilihlah pria yang baik dan sebagainya.
Sedangkan dalam hidup ini kita sadari ada sejumlah hal-hal lain yang perlu juga diketahui oleh anak wanita kita. Tugas kitalah sebagai orang tua untuk melengkapi anak-anak wanita kita untuk bertumbuh besar menjadi wanita dewasa yang bijaksana. Nah untuk itulah pada hari ini kita mengundang seorang ibu yang bernama Ibu Collins Martin yang kebetulan anak wanitanya sudah remaja. Mungkin saya bisa langsung saja bertanya-tanya kepada Ibu Collins Martin, yang kita tanyakan sudah tentu sedikit tumpang tindih dengan apa yang sudah kita bicarakan pada waktu yang lampau. Bisa Ibu jelaskan lagi, kira-kira prinsip apa yang harus diberikan kepada anak-anak wanita kita dalam bergaul dengan teman-teman prianya?
CM : Kami di rumah ada beberapa peraturan tapi salah satunya kami tekankan, walaupun tidak terlalu tegas kami tidak izinkan laki-laki di dalam kamar anak kami, kami tidak izinkan anak laki-laki di rumah kami tanpa ada orang tua. Karena bisa terjadi sesuatu tanpa mungkin mereka memikirkan sesuatu dulu, tapi untuk mencegah masalah itu, satu peraturan yang sangat menolong.
PG : Bagaimana kalau dia berkata : "Ma.... saya ingin pergi dengan....," nah dia sebut teman prianya dan anak ibu, saya tahu baru berusia 15 tahun, apakah ibu akan mengizinkan?
CM : Belum, kecuali dengan beberapa teman lain, baru minggu lalu kami bicarakan itu dan anak mengatakan, "O.... Mami kami sudah minta izin dan anak laki-laki umur 17 tahun", kami bilang o.... kalau ada yang cocok dan macam-macam. Tapi untuk anak perempuan kami bilang belum bisa, kecuali dalam kelompok besar dan tampak aman.
PG : Apa alasannya jangan dulu sebelum usia-usia tertentu itu?
CM : Kami bicara kepada mereka. Dulu sebelum kami terlalu mengetahui mengenai membesarkan remaja, kami katakan waktu umur 16 tahun mereka boleh mulai pergi satu laki-laki satu perempuan. Tapi sekarang kami katakan bahwa kita lihat kedewasaan mereka dan kami usul supaya mereka jangan berdua dulu karena dari data-data dan statistik-statistik anak remaja yang mulai berpacaran lebih muda lebih banyak masalah yang mereka alami, lebih banyak kesempatan tentang seks pada waktu itu kalau mereka bergaul terlalu cepat. Dan juga untuk menjaga mereka kami menjelaskan bahwa kami mengasihinya.
PG : Jadi berpacaran terlalu dini membuka peluang kontak seksual yang lebih pagi, terlalu prematur. Saya setuju dengan Ibu Collins, Pak Gunawan dan Ibu Ida, di rumah kami pun, kami jauh-jauhhari mengatakannya bahwa mereka tidak boleh berpacaran sampai setelah lulus SMA.
Jadi kami mengatakannya itu bukan sekarang waktu anak kami berusia 14 tahun, tapi kami katakan itu beberapa tahun sebelumnya. Jadi mereka jauh-jauh hari sudah tahu bahwa tidak ada lagi kemungkinan mereka berpacaran. Jadi kemungkinan itu seharusnya mereka sudah tutup jauh hari, alasan saya sangat simpel sekali, secara psikologis seorang anak memang memerlukan teman yang banyak pada usia-usia remaja, justru teman yang banyak itu akan menyumbangkan masukan-masukan yang berguna dalam dia membentuk jati dirinya. Semakin dia terpisah dari teman-temannya yang banyak dan eksklusif dalam hubungannya semakin terasing dan semakin sedikit masukan dari teman-teman sebayanya. Jadi saya kira ada baiknya dan seharusnyalah kita menegaskan pada anak-anak kita, tidak boleh berpacaran sampai setelah lulus SMA.
IR : Orang tua juga akan mengekspresikan emosi anak itu bagaimana, Pak Paul?
PG : Saya kira untuk anak wanita memang kita perlu juga belajar memberikan arahan. Saya secara pribadi, sehubungan dengan anak-anak saya di rumah, saya tidak begitu melihat perbedaan yang mecolok antara pengekspresian emosi anak wanita dan anak laki-laki.
Maksud saya kalau marah ya dua-duanya marah, ya sama. Tapi saya kira saya tidak tahu, Ibu Collins, apa setuju atau tidak, saya kira pada umumnya anak wanita lebih sensitif daripada anak laki-laki, sehingga dalam pengaturan emosi anak wanita mungkin sekali memerlukan tenaga atau kekuatan ekstra untuk mengontrol emosinya, jangan sampai terlalu peka. Dan akhirnya dia dibawa, dia diayun-ayunkan oleh perasaannya. Itu yang saya bisa lihat pada anak-anak wanita saya dibandingkan dengan anak pria saya. Jadi misalkan ada sesuatu yang mengganggu perasaannya, anak wanita saya cenderung memang untuk berubah, untuk berdiam di kamar dan agak susah untuk mengatur perasaannya. Mungkin itu yang menjadi perbedaannya atau bagaimana komentar, Ibu Collins?
CM : Untuk laki-laki dan perempuan memang ada perbedaan. Waktu anak kami perempuan, dia masih kecil walaupun kami harus pukul pantatnya dia jarang menangis, anak laki-laki lebih menangis. Tapi setelah menjadi remaja memang ada perbedaan besar, dia tidak menangis terus, tapi ada waktu dimana dia lebih merasa sedih ketika kakek saya meninggal dunia, itu sangat mengganggu dia lebih daripada laki-laki.
PG : Dan kalau ada sesuatu yang terjadi di luar, misalkan di sekolah dengan teman-teman, saya lihat itu lebih berdampak pada anak wanita dibandingkan pada anak laki-laki. Anak-laki-laki lebi bisa memasabodohkan, mengacuhkan sedangkan saya melihat anak wanita lebih mudah untuk dipengaruhi oleh apa yang terjadi, temannya berkata ini, temannya berbuat ini, nah dia pulang akan bisa sedikit murung dan terpengaruh.
IR : Di dalam rumah Pak Paul, apakah orang tua juga perlu melatih kemandirian seorang anak perempuan. Misalnya sekalipun mereka itu ada pembantu, apakah dia dididik untuk melakukan pekerjaannya sendiri?
PG : Saya kira ada baiknya anak-anak wanita juga dipersiapkan untuk hidup mandiri, sudah tentu tanggung jawab rumah tangga perlu kita limpahkan. Saya pribadi setuju, tidak hanya pada anak waita tapi juga pada anak pria.
Namun dalam hal kemandirian saya percaya anak wanita perlu dipersiapkan untuk mandiri, bahwa dia akan menikah tidak berarti dia seharusnya tidak mempersiapkan diri untuk mandiri, saya kira itu pandangan yang keliru. Jadi saya sangat percaya anak wanita harus bisa hidup sendiri, meskipun dia menikah dia tetap bisa hidup sendiri, misalkan ada apa-apa dengan suaminya. Jadi jangan sampai anak wanita itu berpikir nanti hidup saya akan dipelihara oleh suami saya, jadi buat apa saya berusaha mandiri sekarang. Tidak tahu bagaimana pandangan Ibu Collins?
CM : Untuk saya dan suami, anak itu sangat penting untuk belajar mandiri dan khususnya juga wanita karena sekarang kami membesarkan anak dalam abad baru, anak perempuan juga mau ke Universitas, mereka mungkin mau ada pekerjaan sendiri. Walaupun saya sendiri menganggap menjadi ibu itu penting dan kami menyiapkan supaya dia bisa mandiri di rumah, dia harus bekerja sama seperti laki-laki, tapi dia harus belajar lebih banyak memasak dan macam-macam begitu. Supaya dia bisa membantu di rumah bukan hanya membantu, tapi harus masak sendiri. Dan kami ingin anak kami mandiri waktu dewasa, tapi masih ada hubungan erat dengan kami. Jadi harus ada keseimbangan, kami berusaha supaya ada keseimbangan, dia bisa mandiri tapi masih mengasihi kami.
GS : Mungkin ada sedikit perbedaan yang saya lihat, Pak Paul, terhadap anak-anak saya. Yang pria, kemandirian itu nampak di luar rumah, di luar rumah misalnya dia bisa mengendarai sepeda motor sendiri, pergi sendiri, lepas dan kami merasa masih tetap aman, dulu diantar. Nah sedang kemandirian di dalam rumah itu lebih banyak didominasi atau dikuasai oleh anak perempuan, Pak Paul. Jadi dalam hal mengatur kamar dan sebagainya rasanya dia lebih terampil, lebih bisa, apakah itu membedakan anak pria dan anak wanita, Pak Paul?
PG : Mungkin dalam hal itu ada pengaruh budaya ya Pak Gunawan, jadi kita ini sebagai orang tua cenderung lebih mengharapkan anak wanita terlibat dalam pekerjaan rumah apalagi di kalangan orag tua kita atau kakek-nenek kita.
Saya kira budaya itu jauh lebih kuat dan sekarangpun masih ada tekanan budaya yang seperti itu. Mungkin itu sebabnya anak-anak laki-laki tidak merasa dia harus terlalu terlibat dalam pekerjaan rumah, dia merasa ada sedikit hak untuk mendelegasikannya kepada orang tuanya atau adik perempuannya atau kakak perempuannya. Lebih dari kemandirian sosial dan karier, saya juga mengharapkan anak-anak wanita bisa mandiri secara emosional. Dalam pengertian dia tetap menjadi seorang yang lengkap, meskipun sendiri, jangan sampai anak wanita bertumbuh besar dengan suatu konsep bahwa hidupnya barulah lengkap kalau dia dicintai oleh seorang pria dan dinikahi oleh seorang pria. Adakalanya konsep itu cukup menguasai para anak wanita kalau belum menikah, berarti ada yang kurang dalam dirinya. Jadi ketergantungan emosional telah dipupuk dalam hidup anak wanita sejak kecil. Hal ini yang saya kira anak-anak perlu belajar dan tidak harus mendapatkan cinta atau disukai oleh pria barulah dia menjadi seorang wanita yang lengkap. Ini saya coba tekankan, kalau Ibu Collins sendiri bagaimana tentang hal ini?
CM : Saya setuju dan sebetulnya tadi saya memikirkan kalau kita mau wanita yang dewasa, dewasa penuh, mereka bukan cuma lulus dari SMA dan masuk ke Universitas dan sebagainya. Mereka harus tahu siapa diri mereka dan mereka sudah lengkap, saya sangat setuju dengan apa yang Pak Paul katakan.
PG : Ya, sebab ada kecenderungan kalau seorang wanita terlalu bergantung itu bukannya menjadi daya tarik baginya, justru itu menjadi kelemahan baginya. Kelemahan dalam pengertian pria sebetunya menghargai wanita yang mandiri, justru wanita yang terlalu bergantung pada akhirnya kurang dihormati oleh pria.
Memang pada awalnya pria akan senang dengan wanita yang manja, tapi saya yakin kemanjaan itu hanya mempunyai daya tarik pada masa berpacaran. Setelah menikah kalau wanitanya terus manja dan semua harus disediakan oleh prianya, sifat tersebut tidak lagi menjadi daya tarik, justru menjadi hal yang mengganggu si pria. Kedua, kenapa saya kira wanita perlu diajar untuk mandiri secara emosional, sebab dia membuka peluang untuk dimanfaatkan, tatkala seorang pria melihat dia adalah wanita yang begitu membutuhkan pria. Jadi mudah sekali dimasuki oleh pria yang bermaksud buruk dan akhirnya memanfaatkan. Saya kira sejak kecil atau sejak usia remaja penting bagi seorang ibu dan ayah menanamkan konsep ini kepada mereka. Engkau seorang yang lengkap, engkau memerlukan pria sama seperti pria memerlukan engkau, tapi engkau tetap adalah seorang yang matang dan lengkap, meskipun kalau misalnya nanti engkau sendirian tanpa pria.
GS : Tetapi ada orang tua yang berpandangan kalau wanita terlalu dominan bisa menyalahi kodratnya sebagai wanita.
PG : Saya kira itu ketakutan dan dilema wanita yang harus saya akui sebetulnya ditimpakan kepada wanita secara tidak adil. Wanita merasa terjepit antara mandiri dan dituduh dominan, kalau di terlalu mandiri dikatakan dia dominan, sedangkan di kalangan pria, anak pria yang mandiri itu dianggap sebagai suatu karakteristik yang baik.
Dan dominan pada pria justru dianggap sesuatu yang juga baik, tapi sebetulnya dua hal itu tidak harus sama, tidak harus dalam satu paket yang sama. Di sini saya juga harus bersimpatik dengan wanita, sebab karena dia ingin mandiri, dia dituduh dominan, kalau dia terlalu bergantung dituduh seperti lintah, menempel terus pada pria. Jadi wanita benar-benar diharapkan mempunyai peranan yang sempurna dan pas sekali, tidak terlalu dominan, tidak terlalu lemah, barulah dia menjadi wanita yang pas.
IR : Itu memang sangat sulit, biasanya kalau anak wanita itu mandiri menjadi dominan, Pak?
PG : Dituduhnya begitu ya Bu, padahal tidak harus begitu, bagaimana pandangan Ibu Collins?
CM : Saya suka laki-laki yang bisa menerima wanita yang mandiri, mungkin istilah yang bisa dipakai, mereka masih bersandar kepada teman-teman dan suami, masih saling menolong tapi tidak menganggap dominan, tapi masih bisa diterima. Dan itu tidak, saya mengritik apa yang Pak Paul katakan mengenai wanita harus sempurna, harus tidak boleh terlalu ini, tidak boleh terlalu itu, ini memang susah untuk wanita. Misalnya ada sifat suka menjadi pemimpin sering kali tidak diterima dan kasihan karena Tuhan memberi karunia yang berbeda-beda untuk setiap orang.
PG : Jadi mungkin seorang ibu terutama di sini seorang ibu perlu memberikan lebih banyak petuah kepada anak wanita, bukan melarang anak wanita menjadi mandiri tapi mengajarkan anak wanita baaimana menempatkan diri.
Menempatkan diri terutama dengan pria. Maksudnya begini, pada umumnya pria senang jika pendapatnya didengarkan terlebih dahulu. Pria tidak terlalu berkeberatan dengan argumentasi, perdebatan yang rasional, yang mempunyai landasan-landasan buktinya. Namun pada umumnya berkeberatan dengan wanita yang belum apa-apa sudah mengedepankan pandangannya, tanpa wanita itu memberikan kesempatan pada si pria untuk mengutarakan pikirannya. Jadi dalam hal ini si ibu bisa mengajarkan kepada anak wanita bahwa jika engkau nanti menikah dengan suamimu, dalam proses pengambilan keputusan mintalah pandangan suamimu terlebih dahulu. Dan dengarkan pandangannya sebaik mungkin setelah itu barulah berikan pandanganmu, nah jadi di sini saya kira kita tidak perlu membuat si wanita itu bergantung, tapi kita juga bisa membuat dia mandiri yang pas, sehingga bisa diterima penuh oleh suaminya. Karena kalau tidak kita juga bisa menciptakan anak wanita kita menjadi wanita yang susah diterima di mana-mana. Sebab sekali dia berpikir apa, langsung dia lontarkan, dia merasakan apa dia langsung lontarkan. Pada umumnya pria keberatan bersama wanita yang terlalu ekspresif dengan ide-idenya dan kurang memberikan kesempatan kepada pria untuk mengutarakan pikirannya. Hal ini memang bukan soal benar salah, tapi itulah kenyataan dalam kehidupan sosial kita. Jadi kita perlu mempersiapkan anak wanita kita pula agar bisa hidup dan diterima dalam masyarakat. Bagaimana pandangan Ibu Collins?
CM : Tadi saya katakan mandiri dan saya bermaksud itu suatu hal yang positif dan bukan mandiri dari laki-laki atau suami, tapi ada keseimbangan. Saya perhatikan kalau wanita memakai cara dan tidak terlalu memaksa ide-ide mereka, mereka mau mendengar dulu itu sangat menolong laki-laki karena memang kita beda. Dan saya perhatikan mengenai hal-hal membesarkan anak atau membentuk a girl menjadi a woman, kita sebagai ibu-ibu harus menjadi teladan terhadap anak-anak supaya mereka belajar bagaimana mereka bergaul dengan laki-laki, bagaimana bergaul dengan suami, itu sangat penting. Dan mereka bisa belajar dan itu tidak mudah, saya ingat waktu saya hamil anak pertama, saya sadar aduh anak ini akan menjadi seperti saya, O..... Tuhan tolong ubah saya dan Dia menolong, belum sempurna, tapi Dia beri saya baca buku, ada teman yang memberi nasihat dan Dia memberi hikmat lewat firmanNya, supaya saya menjadi teladan buat anak perempuan saya, karena itu tanggungjawab saya.
(3) GS : Pak Paul, baik anak pria maupun anak wanita itu pasti melakukan kesalahan, cuma yang saya amati adalah rasa bersalah dari anak perempuan itu bisa berkepanjangan, lebih daripada anak pria itu, mengatasinya bagaimana ya Pak Paul, yang pria itu katakan berkelahi pasti dua-dua salah, tapi yang pria itu menganggap sudah tidak ada apa-apa, yang wanita ini masih terus saja. Entah menyalahkan dirinya, entah menyalahkan orang lain, tapi menghadapi rasa bersalah seperti ini bagaimana kita sebagai orang tua?
PG : Sebelum saya jawab, saya ingin mendapatkan juga konfirmasi dari Ibu Collins dan juga Ibu Ida, apakah ibu-ibu ini melihat yang tadi Pak Gunawan katakan bahwa wanita memang cenderung mempunyai rasa bersalah yang lebih daripada pria?
IR : Ya.
IR : Karena terpengaruh emosi ya Pak Paul?
PG : Emosi juga akan mempengaruhi sekali di situ.
CM : Tapi mungkin kebudayaan juga.
PG : Maksudnya apa, budaya?
CM : Karena cara kami dibesarkan, laki-laki sering kali diberi kesempatan bicara, saya baru dengar ada wanita bilang dia memakai suara kecil, laki-laki selalu benar, wanita selalu salah.
PG : Ya, saya tidak akan menyangkal yang ibu-ibu katakan, sebab itu betul ya. Itu yang sering kali terjadi di dalam masyarakat kita. Ada satu penyebab yang lain yaitu sejak kecil anak wanitasudah dididik untuk lebih bertanggung jawab, itu memang kenyataannya.
Kita sebagai orang tua cenderung membolehkan anak pria tidak terlalu bertanggung jawab, terutama dalam hal-hal yang berkenaan dengan pekerjaan rumah. Sedangkan anak wanita lebih dituntut untuk bertanggung jawab akan pekerjaan rumahnya. Jadi saya kira orang tua perlu berhati-hati, jangan menambahkan beban rasa bersalah pada anak, jangan terlalu sering berkata kamu anak wanita kamu harus tahu diri, kamu anak wanita jangan kalau mau berkata kamu harus berhati-hati, jangan ditambah embel-embel kamu anak wanita. Sebab seharusnyalah memang sama, jadi jangan sampai menambahkan beban rasa bersalah itu pada anak-anak kita.
GS : Memang Pak Paul kalau sepanjang yang kita bisa amati, yang kita bisa monitor lewat kehidupan ini, sering kali anak perempuan bermasalah untuk menjadi "a woman" itu justru karena pola dari orang tuanya. Karena itu apa yang firman Tuhan ajarkan kepada kita, khususnya orang tua di dalam mengatasi masalah-masalah yang muncul sehubungan dengan anak perempuan kita itu?
PG : Saya akan bacakan dari Amsal 3:11-12 "Hai anakku janganlah engkau menolak didikan Tuhan dan janganlah engkau bosan akan perintahnya atau peringatannya. Karena Tuhan memberiajaran kepada yang dikasihiNya, seperti seorang ayah kepada anak yang disayangi."
Tadi Ibu Collins mengatakan bahwa yang penting adalah seorang ibu atau seorang ayah memberi teladan kepada anak-anaknya. Dan saya kira teladan berbicara jauh lebih banyak daripada perkataan atau instruksi-instruksi, jadi bagaimana orang tua hidup, bagaimana dia memperlakukan satu sama lain dan juga orang-orang di luar, bagaimana dia melakukan tanggung jawab di rumah dan juga di luar, itu semua merupakan didikan atau ajaran yang akan diserap oleh anak-anak kita. Nah firman Tuhan jelas meminta orang tua memberikan pengajaran-pengajaran itu kepada anak-anak, jadi memang orang tua tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab tersebut. Tapi sekali lagi terlebih penting daripada perkataan, hiduplah yang akan lebih efektif menjadi ajaran bagi anak-anak kita.
GS : Jadi demikian tadi saudara-saudara pendengar yang kami kasihi kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dan juga Ibu Collins Martin dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang masalah-masalah dalam membentuk a girl menjadi a woman. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.