Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan melanjutkan berbincang-bincang tentang nasihat praktis untuk mengasuh anak usia 0-9 tahun. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu kita sudah memperbincangkan tentang bagaimana memberikan suatu asuhan pada anak-anak khususnya dalam aspek emosional, dan waktu itu Pak Paul banyak menekankan tentang bagaimana kita menunjukkan kasih kita kepada anak ataupun anak-anak kita. Yang seringkali timbul Pak Paul, kadang-kadang anak bisa salah mengerti tentang kasih yang kita berikan sehingga dia menjadi manja Pak Paul, dan orang tua jadi kerepotan juga setelah anaknya manja, mau menang sendiri dan seterusnya. Dalam hal ini bagaimana membatasinya supaya apa yang kita maksudkan baik yaitu melimpahkan kasih pada anak ditanggapi pula dengan seimbang?
PG : Saya mengibaratkan kasih dengan gizi, jadi anak-anak memerlukan gizi untuk pertumbuhannya, tanpa gizi yang cukup pertumbuhan anak akan terhambat. Demikian juga dengan cinta kasih Pak Guawan, jadi anak-anak itu mutlak memerlukan kasih agar dia bisa mengembangkan dirinya dengan kasih.
Tapi kita juga tahu bahwa kalau kita memberikan gizi secara berlebihan kepada anak, tubuhnya justru tidak akan sehat, tanpa olah raga, tanpa pengeluaran gizi yang telah diterimanya dia tidak akan mencapai keseimbangan dalam kesehatannya. Jadi yang Pak Gunawan tadi sudah munculkan adalah hal yang memang sangat tepat, yakni anak bukan saja memerlukan cinta kasih, anak-anak juga memerlukan unsur yang lainnya yaitu disiplin, ini adalah kebutuhan emosional anak. Jadi disiplin bukanlah sesuatu yang boleh ada, boleh tidak ada, seringkali kita memikirkan disiplin seperti itu. Disiplin adalah sesuatu yang diperlukan anak, merupakan kebutuhan yang sama seperti dia membutuhkan cinta kasih dan dalam aspek jasmani sama seperti dia memerlukan gizi yang cukup. Jadi disiplin itu merupakan kebutuhan pokok anak yang harus orang tua berikan.
(1) GS : Tapi kelihatannya agak bertentangan Pak Paul antara di satu pihak mengasihi, di lain pihak mendisiplin, mengasihi itu sendiri sudah sulit. Nah secara praktis karena kita sedang berbicara tentang nasihat-nasihat praktis Pak Paul, bagaimana kita menerapkan disiplin kepada anak yang masih di bawah umur 10 tahun ini?
PG : Disiplin adalah upaya kita untuk memangkas anak. Ibarat pohon, kita memangkasnya agar pohon itu dapat menumbuhkan carang-carangnya dengan indah, dengan baik kalau tidak pohon itu akan tmpak liar.
Anak yang terlalu banyak cinta kasih tanpa disiplin akan menjadi anak yang terlalu kuat dan pada usia remaja orang tua akan kewalahan. Biasanya pada usia kecil masih belum tampak masalahnya, jadi orang tua dari kecil harus sudah mulai mendisiplin anak. Ada beberapa hal yang bisa saya bahas di sini, yang pertama adalah disiplin dilakukan dengan suara, dengan pukulan yang terkendali. Biasanya waktu kita mendisiplin, kita menggunakan suara misalkan kita memarahi si anak atau menegurnya. Nah penggunaan suara di sini haruslah terkendali, jangan sampai kita menunjukkan ketidakterkendalian suara kita, misalkan mencaci maki dia, saking kasarnya anak terluka, atau kita mengeluarkan suara yang begitu keras dan histeris. Itu menandakan kita tidak menguasai diri dan itu menjadikan hukuman yang kita berikan kepada anak bukanlah sesuatu yang membangunnya malahan terlalu menakutkan dan akhirnya berdampak tidak positif bagi si anak. Pukulan kita juga harus terkendali jangan kita memukul semena-mena, seenaknya, kita sedang marah kepadanya, kita mau memukul tubuhnya, kita pukul sekeras-kerasnya, atau kita ingin menampar mukanya, kita tampar semau kita. Saya selalu mengatakan anak boleh dan seharusnya dipukul, namun pukullah di bagian yang memang cocok, saya selalu meminta orang tua memukul anak di bagian pantatnya dan jangan menyuruh anak membuka celananya, memukul pantatnya langsung pada kulitnya itu juga terlalu sakit. Biarkan dia pakai celana gunakan tangan kita atau kalau ada orang berkata tangan adalah lambang kasih jadi jangan digunakan untuk memukul anak, harus menggunakan misalnya rotan atau apa. Silakan untuk saya tidak menjadi soal, kalau saya pribadi lebih suka menggunakan tangan saya karena saya bisa tahu berapa keras kita telah memukulnya. Jadi intinya suara kita, serta pukulan kita haruslah terkendali, barulah pendisiplinan itu berjalan seefektif mungkin.
IR : Apa ada hukuman yang lain, Pak Paul?
PG : Yang berikutnya adalah kita perlu memberikan disiplin yang sesuai usia dan juga kesalahannya. Adakalanya untuk anak yang sudah besar misalnya sudah umur 12 tahun, kita hanya beri dia dsiplin yang sangat ringan misalnya kamu harus berdiri di belakang pintu.
Sebenarnya itu tidak akan terlalu berdampak positif karena tidak terlalu membawa aspek hukuman pada si anak. Atau kebalikannya anaknya masih kecil kita hukum terlalu berat itupun tidak boleh, jadi berilah hukuman sesuai dengan usia anak. Juga berikan hukuman sesuai dengan kesalahan anak, jangan sampai kesalahan yang natural dilakukan anak-anak kecil, kita jadikan itu sebagai suatu kesalahan besar. Saya ingat sekali nasihat Dr. James Dobson seorang psikolog Kristen, beliau selalu mengatakan hukumlah anak untuk kekurangajarannya, untuk sikap mau melawan kita secara sengaja. Jangan hukum anak untuk kekeliruan atau kesalahan yang lazim dilakukan oleh anak-anak kecil. Misalkan anak kecil umur 4, 5 tahun sedang makan di meja, karena tangannya bergerak-gerak akhirnya menumpahkan gelas atau piring makanannya. Nah kita tidak perlu bereaksi terlalu keras, memarahi dia, kemudian memukul dia. Itu merupakan kesalahan, tapi sebetulnya untuk si anak itu merupakan bagian dari anak yang tidak bisa diam dan koordinasi tubuhnya belum begitu baik sehingga akhirnya menyentuh gelas atau piringnya. Jadi selalu bedakan apakah ini tindakan kurang ajar, melawan kita dengan sengaja, untuk yang itu kita perlu mengkonfrontasi, menghadapi si anak dan menaklukkan sikap kurang ajar atau melawannya itu dengan ketegasan. Tapi untuk kesalahan-kesalahan yang lebih manusiawi, sebisanya tidak perlu menegurnya dengan keras. Misalnya katakan lihat kamu makan terlalu banyak bergerak, ini hasilnya, lain kali hati-hati ya.
GS : Tadi kalau contoh terakhir Pak Paul, katakan anak yang menumpahkan air atau kuah itu perbuatan si anak, tapi yang tadi Pak Paul katakan anak yang melawan orang tua itu juga berarti sifat dari anak itu. Nah di sini kadang-kadang disiplin itu seharusnya diterapkan bagaimana, Pak Paul?
PG : Sebisanya kita tidak memarahi karakter atau pribadi si anak, kita tidak mencaci maki siapa si anak itu tapi menyoroti pada perbuatannya. Misalnya kita sudah katakan kepada dia jangan keuar main sebelum selesai PR-mu, tiba-tiba kita melihat dia tidak ada lagi di kamar belajarnya dan kita harus mencari sebab dia sedang bermain di luar.
Kita memanggilnya dan kita marahi dia, tadi saya sudah katakan tidak boleh keluar tapi sekarang saya temukan kamu di luar. Itu adalah kenakalan dan ada aspek melawannya, silakan kita marahi perbuatannya itu, kita katakan "tadi saya katakan tidak boleh keluar engkau tetap keluar berarti engkau membangkang, engkau harus saya hukum." Jangan kita mencaci maki dia misalnya yang tidak boleh kita lakukan adalah kita berkata kepadanya "engkau memang anak yang bebal, engkau memang anak yang tidak bisa diajar", kata-kata seperti itu jangan kita katakan. Sama seperti anak pulang membawa nilai buruk, jangan kita berkata "kamu memang anak yang bodoh" atau apa lagi kita berkata, "saya malu punya anak seperti engkau". Itu adalah serangan-serangan yang menohok langsung pada pribadi si anak dan akan melukainya. Tapi waktu kita menegur perbuatannya, itu tidak melukai hati atau jiwa anak, misalkan dia pulang hasil tesnya buruk, kita berkata, "Bukankah Mama atau Papa sudah katakan engkau harus belajar kemarin, engkau tidak mengulang lagi dan ini hasilnya engkau kurang bertanggung jawab dengan pekerjaanmu, maka engkau mendapatkan nilai yang buruk". Itu jauh lebih bisa membangun anak dan hukuman itu tetap bisa kita berikan pada si anak. Kadangkala ini yang saya lakukan pada anak, waktu saya harus memukulnya saya berkata ini kesalahanmu, kira-kira berapa kali pukulan di pantat yang engkau layak terima dari saya. Kadang-kadang dia berkata misalnya 2 kali, nah kalau saya lihat kesalahannya agak besar misalnya saya berkata, tidak saya minta 4 kali akhirnya kami negosiasi, ya sudah 3 kali, saya pukul dia 3 kali. Hukuman seperti itu jauh lebih efektif daripada kita memukul dia sembarangan. Saya ini juga tidak sempurna, Pak Gunawan dan Ibu Ida, saya pernah juga memukul anak saya berlebihan, saya seharusnya bertanya dulu. Tapi karena terjadinya begitu spontan, saya langsung minta dia turun, saya minta dia berbalik kemudian saya pukul pantatnya tanpa saya bernegosiasi. Adakalanya bisa negosiasi, adakalanya tidak juga tapi sebisanya waktu kita mengajak anak bernegosiasi engkau layak menerima berapa pukulan, si anak lebih menyadari bahwa kesalahan ini kesalahannya dan pemukulan orang tua adalah akibat dari perbuatannya itu. Jadi penting sekali kita mulai meletakkan tanggung jawab pada si anak.
IR : Kadang-kadang si anak kesalahannya selalu berulang-ulang, berarti disiplin kita perlu kita tingkatkan juga, Pak Paul. Sampai seberapa jauh disiplin itu kita tingkatkan, kalau anak ini selalu mengulang kesalahannya?
PG : Secara teoritis Bu Ida, kalau dari kecil kita sudah menambahkan bobot hukuman seyogyanya itu tidak lagi diulang oleh si anak. Nah ini kadangkala yang terjadi dalam rumah tangga, Ibu Idadan Pak Gunawan, biasanya anak tidak terlalu takut pada ibu, anak biasanya lebih takut pada ayah, sebab ayah memang mewakili figur otoritas.
Itu sebabnya firman Tuhan di Kolose juga meminta ayah untuk membesarkan anak dalam disiplin, dengan kata lain Tuhan meminta ayah yang mendisiplin anak karena ayah adalah figur otoritas. Seyogyanya waktu seseorang mengalami kesulitan mendisiplin si anak, dia melibatkan suaminya sehingga ini menjadi dukungan atau bantuan yang mencoba atau membatasi perilaku si anak yang nakal itu. Kalau pada masa kecil dilakukan seperti itu dengan konsisten, seharusnya memang tidak diulang, kalau sampai diulang berkali-kali meskipun kita menggunakan bantuan, mungkin kita harus mengubah strategi kita, mungkin hukuman itu kurang cocok, atau mungkin kita sendiri yang kurang konsisten sehingga anak tidak bisa menghormati wibawa kita.
GS : Memang saya merasa ada pola yang berbeda Pak Paul, ibu yang marah dengan ayah yang marah. Ibu yang marah banyak mengeluarkan kata-kata keras tapi lama sekali, sedang ayah kata-katanya tidak terlalu banyak tapi tangannya yang memukul dan sebagainya. Tapi masalah konsistensi itu penting, karena seringkali anak bingung juga bila pada suatu saat dia dihukum, lalu pada kesempatan yang lain dengan kesalahan yang sama dia tidak dihukum.
PG : Tepat dan tadi kita sudah singgung tentang intensitas pemukulannya atau hukuman itu sendiri. Kalau orang tua memberikan hukuman yang berlebihan, seyogyanya menghentikan perilaku anak yag tidak kita inginkan.
Tapi kecenderungannya justru perilaku anak tidak berhenti malah diulang. Jadi akhirnya kita melihat bahwa ketepatan hukuman itu sangat penting, karena hukuman yang tidak tepat justru tidak menghentikan perilaku anak yang nakal itu malahan mengundangnya lagi untuk melakukan hal yang sama. Dan di sini memang seolah-olah si anak menantang, seolah-olah anak berkata "engkau tidak bisa menaklukkan saya". Seolah-olah anak berkata "aku bukanlah semudah itu engkau taklukkan, aku masih bisa melakukannya lagi". Akhirnya terjadilah pergumulan kekuasaan di sini.
GS : Pak Paul, kalau begitu yang dilihat oleh anak, yang menjadi pelajaran buat anak itu bukan yang dia rasakan tetapi yang dia lihat.
PG : Tepat sekali Pak Gunawan, jadi hal ketiga yang perlu dilihat bukan saja orang tua menyediakan cinta kasih, disiplin yang cukup. Orang tua juga harus memberi panutan, contoh dan teladan.Anak itu senantiasa belajar bagaimana berjalan, bagaimana berbicara, bagaimana bersikap.
Itu semua adalah hal-hal yang dia pelajari terutama dari orang tuanya. Jadi orang tua perlu sekali menjadi teladan yang nyata dalam kehidupan si anak. Itu sebabnya saya menggunakan istilah di sini orang tua harus hidup di rumah, apa maksudnya dengan hidup, misalnya orang tua bergaul, dengan siapa dia bergaul, teman-teman seperti apa yang datang ke rumah, itu dilihat oleh anak. Misalnya yang lain, orang tua berdialog antara satu dengan yang lain, antara orang tua dengan anak, orang tua berselisih pendapat bagaimanakah mereka berselisih, berteriak-teriakkah, atau bisa mungkin suara meninggi tapi kemudian bisa juga akhirnya menyelesaikan masalahnya. Apakah orang tua meminta maaf kepada satu sama lain atau kepada anak, nah ini adalah hak yang akan dilihat oleh anak. Hal-hal kecil seperti ini seolah-olah memang tidak bermakna, tapi sebetulnya merupakan pelajaran-pelajaran yang sangat berharga yang anak-anak rekam tanpa dia harus merekamnya dengan sadar , jadi dia sudah merekam dan itu menjadi hal yang baik untuk si anak.
GS : Nah, Pak Paul selain ada aspek emosional yang kita sudah bicarakan, beberapa waktu yang lalu kita bicarakan ada aspek yang lain yaitu aspek sosial, bagaimana konkretnya?
PG : Pada usia 0-9 tahun anak-anak itu memerlukan ketrampilan bergaul. Dengan kata lain anak-anak mulai terjun ke lingkup sosialnya yang lebih besar dari rumahnya sendiri, nah untuk itu dia erlu mempunyai ketrampilan-ketrampilan.
Saya melihat ada beberapa tugas orang tua di sini, yang pertama adalah orang tua secara sengaja harus mengajarkan beberapa ketrampilan penting dalam pergaulan. Misalnya anak perlu belajar untuk membagi, meminjamkan barangnya, untuk berkata ini separuh untukmu, ini separuh untukku, itu perlu diajarkan. Sebab anak-anak tidak secara natural bisa berbagi milik atau kesenangannya, tugas orang tua di sini adalah memberi pelajaran itu kepada anak. Kalau dia tidak bisa belajar berbagi, dia tidak bisa masuk ke dalam lingkup pergaulan teman-temannya. Yang lainnya lagi yang saya bisa pikirkan adalah anak misalnya perlu mengalah, tidak bisa kehendaknya yang selalu terjadi, sekali-sekali anak harus berkata,"silakan engkau dulu", misalkan seperti itu.
GS : Aspek sosial akan dipelajari oleh banyak anak di sekolah Pak Paul, kalau dia sudah mulai sekolah.
PG : Seringkali kita berpikir bahwa sekolah merupakan tempat anak bergaul, sesungguhnya kalau kita pikir dengan lebih serius, sekolah itu hanya menyediakan sedikit waktu bagi anak untuk bergul.
90% waktu anak di sekolah sebetulnya hanya dipusatkan pada satu figur yaitu guru, mereka duduk berhadapan tidak dengan satu sama lain tapi dengan guru. Kebetulan kalau gurunya tidak ada, ketika jam pelajaran yang ke-1, itu mereka bisa gunakan untuk saling ngobrol. Tapi kalau gurunya selalu ada berarti mereka harus menujukan mata mereka hanya pada satu arah yaitu guru. Keluar main hanya 10 menit misalnya, 2 kali keluar main ya hanya 20 menit, anak-anak di sekolah bisa sampai 6, 7, bahkan 8 jam. Jadi sebetulnya kesempatan bergaul tidak banyak, di sinilah peran orang tua sangat dibutuhkan untuk mengajarkan ketrampilan-ketrampilan. Yang lainnya lagi juga bisa saya munculkan adalah anak-anak perlu bersikap adil. Maksudnya bersikap adil waktu kedua temannya berselisih, dia perlu bisa membedakan mana yang salah atau mana yang betul atau dia perlu menempatkan diri di antara keduanya. Kadang-kadang hal ini yang dihadapi oleh anak kita, dilema-dilema seperti ini. Sekali lagi kalau orang tua dan anak mempunyai hubungan yang akrab, anak kadang-kadang dengan sukarela bercerita, saya menghadapi masalah ini, teman saya begini, ribut dengan yang ini saya harus bagaimana. Nah, kita di sini bisa memberikan masukan kepada mereka.
GS : Bagaimana dengan kesempatan anak untuk bisa bersosialisasi, kalau dia cuma anak tunggal?
PG : Terbatas Pak Gunawan, otomatis sebisanya kalau kita memang dikaruniai kemampuan mempunyai anak lebih dari satu, saya menganjurkan sebaiknya lebih dari satu. Kalau tidak memang kita haru proaktif membawa anak ke tempat saudara kita, atau ke rumah temannya.
Nah yang lain dari itu, meskipun kita punya anak dua atau tiga, saya kira sekarang ini orang tua harus memikirkan dengan terencana mengenai aspek sosialisasi anak. Dengan begitu padatnya pelajaran di sekolah, anak-anak makin mengalami kesulitan menemukan waktu bermain dengan teman-teman. Jadi sebaiknya waktu libur atau hari Sabtu dan hari Minggu, kita berikan kesempatan mereka untuk main. Pulang sekolah pun ada baiknya diberikan waktu kepada mereka untuk santai atau bermain dulu, jadi waktu bermain itu tidak terhilang sebab bermain dan bergaul dengan teman merupakan tulang punggung sosialisasi anak.
(2) GS : Nah sebagai orang tua Kristen, Pak Paul, tentu kita mau mencoba menanamkan aspek rohani, tapi ada banyak masalah yang dihadapi orang tua. Jadi bagaimana kita menanamkan aspek rohani ini kepada anak-anak kita sedini mungkin?
PG : Pada usia 0-9 tahun saya kira satu aspek tentang Tuhan yang kita perlu tanamkan pada anak ialah Tuhan sebagai pencipta dan penjaga atau pemelihara hidupnya. Kita perlu mulai mengajarkankepada anak bahwa Tuhanlah yang menciptakan alam semesta termasuk isinya.
Kita mulailah mengajarkan tentang betapa kompleksnya hidup dan semua ciptaannya. Jadi anak-anak sejak kecil memperoleh kesempatan untuk mengagumi ciptaan Tuhan dan karya Tuhan. Yang kedua, dia juga perlu belajar bahwa Tuhan pemelihara dan penjaga hidupnya, jadi kita bisa mengajak anak-anak untuk misalnya berdoa secara langsung dalam ketakutan, kesusahan, dalam problem sehingga anak-anak mulai mempunyai konsep bahwa Tuhan berada di dekatnya untuk menolongnya. Waktu dia sakit kita doakan dia, lama-lama kita bisa minta dia untuk mendoakan temannya atau saudaranya yang sakit. Sehingga anak-anak itu bukan saja mempunyai pengetahuan tentang Tuhan, diapun mulai membangun hubungan dengan Tuhan. Saya kira pada usia mendasar, inilah yang bisa kita tanamkan pada anak-anak kita.
IR : Juga kita perlu, ya Pak Paul, mengajarkan anak-anak ambil bagian dalam pelayanan?
PG : Pada usia 0-9 tahun kalau misalkan ada yang bisa mereka lakukan silakan, yang kecil yang tampaknya sederhana, misalnya ikut paduan suara anak. Itu akan membuat anak merasa senang bisa mlakukan sesuatu untuk Tuhan yang telah memelihara dan menjaga hidupnya.
GS : Bagaimana pendapat Pak Paul dengan beberapa orang yang mengatakan orang tua membiarkan anak untuk memilih agamanya sendiri ?
PG : Sangat tidak setuju, karena anak-anak itu tidak ada yang hidup tanpa arahan. Dalam hal-hal yang lain, orang tua mengarahkan anak, mengkondisikan anak menjadi seperti yang orang tua ingikan.
Mengapa dalam soal iman kepercayaan tiba-tiba kita berkata berikan hak asasi itu kepada anak, tidak. Kita tidak akan mengatakan biar dia sadar sendiri untuk menjadi anak yang adil, menjadi anak yang bisa mendahulukan teman, tidak. Kita akan mengajarkan itu pada anak, kenapa tidak mengajarkan pada anak tentang Tuhannya ?
GS : Mungkin ada banyak orang khawatir menjadi repot Pak Paul, untuk menanamkan aspek emosional maupun sosial dan rohani. Karena dari pembicaraan ini kita tahu bahwa itu bukan sesuatu hal yang mudah, tetapi sangat dibutuhkan oleh para orang tua itu bimbingan dari firman Tuhan, nah dalam hal ini apa yang Pak Paul ingin sampaikan.
PG : Saya akan bacakan dari kitab Amsal 27:5 "Lebih baik teguran yang nyata-nyata daripada kasih yang tersembunyi." Saya mau menggabungkan dua kata di sini, teguran dan kasih. Than mau kita memberikan kasih tanpa sembunyi-sembunyi, limpahkan, nyatakan kasih, tapi Tuhan juga menekankan bahwa teguran yang nyata itu baik, dan bahkan kata Tuhan lebih baik daripada kasih yang kita tidak nyatakan.
Jadi dalam membesarkan anak, dua hal ini tidak bisa terlepas, menegur anak, mengasihi anak dan menegur dengan nyata, mengasihi juga dengan nyata. Itulah firman Tuhan bagi kita sebagai orang tua.
GS : Di tengah-tengah kesibukan orang tua seperti saat ini, banyak yang mengatakan yang penting mutu dalam pertemuan dengan anak walaupun cuma sebentar, tetapi kita tahu seperti James Dobson itu selalu menganjurkan baik mutu ataupun waktunya itu harus cukup. Bagaimana menurut Pak Paul?
PG : Setuju sekali Pak Gunawan, mutu hanya muncul di dalam waktu yang tersedia, tanpa waktu yang tersedia, tidak akan cukup yang akan muncul.
GS : Jadi kalau Tuhan mengaruniakan anak atau anak-anak kepada kita itu memang tanggung jawab yang cukup besar. Pembicaraan ini sangat penting dan demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami telah memperbincangkan beberapa hal tentang nasihat praktis untuk mengasuh anak usia 0-9 tahun. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.
Comments
Anonymous (tidak terverifikasi)
Kam, 28/01/2010 - 1:01am
Link permanen
jam 1 pagi hari ini anak
Anonymous (tidak terverifikasi)
Sen, 15/02/2010 - 2:44pm
Link permanen
jam 1 pagi hari ini anak
Anonymous (tidak terverifikasi)
Kam, 28/01/2010 - 1:03am
Link permanen
suami berkata cerai