Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang seks dalam berpacaran. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu ada salah seorang pendengar setia kita yang mengajukan sebuah pertanyaan, permasalahan, saya rasa cukup up-to-date untuk kita bicarakan saat ini yaitu tentang sampai seberapa jauh sebenarnya seseorang boleh melakukan hubungan seksual atau kontak-kontak dengan pasangannya itu, Pak Paul. Nah untuk membahas lebih jauh pertanyaan ini, persoalan ini, apakah ada yang Pak Paul ingin sampaikan?
PG : Pertama saya ingin membuka dengan cerita saya sendiri. Sebelum saya berpacaran saya dapat dikatakan tidaklah mengalami gangguan atau tidaklah mengalami suatu ketegangan menghadapi doronganseksual.
Saya lahir baru dan setelah lahir baru saya bisa menguasai hidup saya dengan relatif baik, tapi saya masih ingat sekali sewaktu saya mulai berpacaran, saya akhirnya mengalami pergumulan dalam hal membatasi hubungan saya secara fisik dengan pacar saya yang sekarang adalah istri saya. Permasalahan timbul karena sebelum berpacaran tidak ada orang di sebelah saya, namun sekarang setelah berpacaran ada orang di sebelah saya, dengan kata lain sekarang saya bisa melakukan hal-hal yang tidak bisa saya lakukan sebelumnya. Dulu memang tidak ada pacar, tidak ada yang di sebelah saya, sekarang sudah ada orang di sebelah saya. Nah, masa-masa berpacaran menjadi masa-masa yang penuh dengan pergumulan buat kami berdua, karena kami senantiasa harus menjaga batas sampai seberapa jauh kami harus menahan diri kami. Saya harus akui bahwa itu adalah masa yang berat buat saya secara pribadi. Nah, sekarang saya ingin menempatkan diri saya sebagai seorang pemuda di abad ke 21 ini. Saya kira situasinya sudah sangat berbeda dengan waktu-waktu ketika saya masih berusia 20 tahun, ya lebih dari 20 tahun yang lalu. Sekarang kita bisa melihat begitu banyak adegan seksual melalui internet, melalui komputer yang ada di rumah kita sendiri, tidak lagi kita harus mencari-cari film-film porno di luar, kita bisa mendapatkannya dengan begitu mudah dalam jangkauan hampir setiap anak-anak, remaja atau pemuda dewasa ini. Dengan kata lain, saya harus mengakui bahwa godaan atau gangguan secara seksual meningkat berkali-kali lipat untuk generasi sekarang ini. Berikutnya saya harus menempatkan diri dalam generasi sekarang ini dan mengakui bahwa godaan itu begitu besar, karena dulu misalkan pada 20 tahun yang lalu kalaupun si pria ingin melakukannya, pada umumnya para wanita itu akan dengan cepat menolak usaha-usaha pria untuk melakukan hubungan seksual dengannya. Namun seperti kita bahas pada kali yang terakhir, nilai-nilai moral sudah begitu sangat berubah sehingga sekarang bukan saja pria yang menganggap hubungan seksual itu tidak apa-apa, sekarang makin banyak kaum wanita yang menganggap itu juga tidak apa-apa, sehingga cukup banyak wanita, baik yang remaja maupun yang sudah pemudi, bersedia untuk melakukan hubungan seksual. Nah dari dulu prianya mau, dari dulu prianya siap, tapi dulu wanita tidak siap, sekarang wanitanya lebih siap untuk menyambut ajakan si pria untuk berhubungan seksual dengannya. Oleh karena itu sekarang bagi seorang pemuda, pada usia belasan tahun hingga usia 20-an dorongan seksualnya memang sedang mencapai puncaknya. Jadi saya bisa katakan seorang pria dan seorang wanita yang berpacaran dalam abad ini memang menghadapi suatu tantangan yang luar biasa beratnya. Dari luar tantangan sudah begitu berat, dari dalam dirinya gangguan atau gejolak seksual juga memang sedang pada puncaknya. Nah bagaimana dia menahan diri menghadapi semua ini memang merupakan perjuangan yang sangat besar, jauh lebih besar daripada perjuangan kita 20 tahun lebih yang lalu, sewaktu kita masih menjadi seorang pemuda.
(1) GS : Tapi panggilan Tuhan terhadap kita justru menjaga kesucian kehidupan ini, Pak Paul, baik yang pria maupun yang wanita. Tadi Pak Paul katakan dorongan itu begitu besar, godaan itu begitu besar, lalu apa yang harus dilakukan, Pak Paul?
PG : Nah, sekarang kita harus melakukan beberapa hal yang bersifat pencegahan, yang pertama adalah saya anjurkan bagi yang sedang berpacaran dari awalnya baik wanita maupun si pria harus menentkan batas fisik seberapa dekat mereka akan mendekatkan diri.
Dalam pengertian begini, dua-dua harus menyepakati hal apa yang boleh dilakukan dan hal apa yang tidak boleh dilakukan. Misalkan sudah tentu baik si pria dan si wanita harus menyepakati mereka tidak boleh menyentuh bagian-bagian tubuh yang erotis misalnya seperti payudara ataupun alat-alat kelamin mereka. Jadi dua daerah itu menjadi daerah yang tertutup, dua-duanya harus saling mengingatkan bahwa dua daerah ini adalah daerah yang tidak boleh mereka langgar. Yang berikutnya mereka juga harus membatasi diri dalam hal misalnya berpelukan, sebab waktu pria dan wanita berpelukan ke depan-depan sudah tentu akan ada sentuhan dengan anggota tubuh yang erotis, nah itu perlu juga dicegah. Jauh lebih baik berpelukan misalkan dari samping atau tidak mengenai bagian tubuh yang erotis tersebut. Yang berikutnya yang bisa dilakukan juga adalah menjaga berapa panas, berapa jauh berciuman, ciuman bisa menjadi sesuatu yang sangat lembut, tapi bisa menjadi sesuatu yang sangat bersifat erotis atau panas sekali. Nah, ciuman-ciuman yang lebih ke arah erotis itu yang harus dijaga, jadi saya menganjurkan bagi pasangan yang sedang berpacaran, dari awal dua-dua harus sudah membicarakan batas-batas apa yang harus dihormati kedua belah pihak.
GS : Jadi sebenarnya masing-masing harus tahu bagaimana caranya menjaga begitu Pak Paul yang satu pasangan berbeda dengan pasangan yang lain tentunya.
PG : Memang bisa berbeda, tapi saya berharap bedanya tidak terlalu besar, jadi bagi kita orang Kristen kita harus menghormati bahwa tubuh pasangan kita adalah kudus. Sewaktu saya memegang-megan sembarangan saya mencemari tubuh yang kudus tersebut, jadi baik pria maupun wanita harus melihat tubuhnya sebagai tubuh Tuhan yang kudus sehingga tidak boleh sembarangan mencemarinya.
Nah saya kira kalau dua orang ini, sudah kehilangan perspektif bahwa tubuh adalah tubuh Kristus yang kudus itu, dia akan mudah sekali mencemarinya. Tapi kalau dia menyadari bahwa ini adalah tubuh Tuhan yang kudus, dia lebih didorong untuk tidak melanggarnya atau mencemarinya. Dan yang lainnya lagi adalah bukankah waktu kita bisa sembarangan memegang tubuh pacar kita sesungguhnya respek kepada dia pun menurun, karena kita menganggap dia 'gampangan' dan segalanya yang gampangan tidak terlalu berharga. Jadi saya mau mengingatkan baik kepada pria maupun wanita, waktu memberikan tubuh sembarangan yakinlah satu hal bahwa engkau telah membuat dirimu sangat murah di hadapan pasanganmu. Nah, janganlah membuat diri kita menjadi begitu murah, hormati diri kita; kalau kita tidak menghormati diri kita, jangan berharap orang akan menghormati diri kita. Jadi mulai dengan menghormati diri sendiri baru orang akan menghormati diri kita. Kalau kita sembarangan memberikan tubuh kita, sama saja dengan kita berkata bahwa tubuh kita memang murah, silakan engkau berbuat sesukanya.
IR : Itu juga tergantung dengan iman seseorang ya Pak Paul, kalau iman mereka tidak kuat mungkin juga mudah untuk melakukan hubungan seks itu.
PG : Tepat sekali, kalau ada pasangan yang tidak mempunyai keyakinan sama seperti tadi telah saya paparkan, seks menjadi sesuatu yang bagi mereka boleh dilakukan asal keduanya sama-sama senang.Sebab tidak ada kaitannya dengan kehendak Tuhan.
GS : Nah, Pak Paul biasanya kaum pria itu lebih cepat terangsang, untuk menghindari hal-hal seperti itu pasti si wanita juga harus pandai-pandai menjaga jarak atau juga bahkan menolak. Tetapi seringkali yang menjadi permasalahan itu ada kekhawatiran juga dari pihak wanita, nanti kalau ditolak malah ditinggalkan.
PG : Betul sekali, jadi adakalanya wanita memberikan tubuhnya karena takut kehilangan pacarnya, nah ini adalah hal yang sangat salah dan saya juga mengerti ada pria yang sengaja memanfaatkan ha ini.
Misalnya pria yang mengancam bahwa kalau engkau mencintai saya, serahkan tubuhmu, jika engkau tidak memberikan tubuhmu berarti engkau tidak mencintai diriku. Nah, hal-hal seperti itu adalah tipuan, itu tipu daya, jadi kalau ada pria yang mengatakan seperti itu, si wanita harus langsung dengan tegas berkata engkau sedang menipu dirimu sendiri dan engkau tidak bisa menipu aku, sebab cinta tidak identik dengan penyerahan tubuh sebelum pernikahan. Cinta mengandung unsur menghormati, kalau kita mau memakai, mau mencemari tubuh orang, maka kita tidak menghormati orang tersebut. Nah, jadi wanita di sini juga harus bersikap tegas jangan sampai termakan oleh tipuan pria yang seperti itu. Pak Gunawan dan Ibu Ida mungkin juga pernah mendengar kasus-kasus di mana bukankah kalau sudah berhubungan seksual dan putus sebelum menikah, siapa yang paling dirugikan ?
IR : Wanita.
PG : Tepat sekali, wanita yang langsung mengalami kerugian yang terbesar, nanti dia berpacaran dengan pria yang lain dia harus mengakui, sebab memang mempunyai bekasnya. Jadi akhirnya yang cuku sering terjadi adalah kalau hubungan ini sudah ditandai dengan hubungan seksual dan putus, si wanita itulah yang depresi berat.
Sampai-sampai ada yang kehilangan jati dirinya, sampai-sampai depresi tidak mau makan, bahkan ada yang akhirnya berpikiran untuk mengakhiri hidupnya, karena merasa hidupnya tidak ada lagi gunanya, semua yang berharga telah diberikan kepada pacarnya. Sekarang pacarnya pergi. Yang terutama, seorang pria pada umumnya akan menghormati wanita yang tidak bersikap sembarangan, justru kalau wanita itu bersikap begitu dan sembarangan memang si pria akan menikmatinya sebab dia akan mendapatkan kepuasan yang dia inginkan itu. Tapi dalam lubuk hatinya dia tidak lagi menghormati wanita itu. Jadi di hadapan si pria, wanita itu tidak ada lagi harganya.
IR : Wanita murahan, bisa dikatakan begitu, Pak Paul?
PG : Betul sekali dan dianggap sebagai wanita yang tidak lagi ada harganya. Jadi hati-hati dengan rayuan dan tipuan pria yang seperti itu. Untuk membuktikan cinta, berikan tubuhmu; jangan, itu dalah ancaman yang sama sekali salah.
IR : Nah, Pak Paul kalau sudah bercacat seperti itu, bagaimana tanggung jawab si laki-laki itu ?
PG : Kalau memang mereka itu sudah berpacaran, saya kira yang harus dilakukan adalah mereka harus menikah. Namun saya juga mau mengatakan kalau mereka adalah dua orang yang tidak cocok, tidak aa kesamaan kepribadian, lebih sering diisi dengan pertengkaran, saya lebih menganjurkan mereka untuk tidak menikah.
Sebab dosa telah dilakukan itu betul, tapi jangan menimbun dosa dengan dosa-dosa yang lebih parah lagi. Nah saya mengetahui akhirnya ada kasus-kasus di mana karena dua-dua sudah saling berhubungan ya sudahlah langsung menikah, padahalnya tidak cocok sama sekali. Dua-duanya tidak cocok namun akhirnya terjerat oleh masalah seksual. Menikah dalam ketidakcocokkan, dalam waktu beberapa bulan atau mungkin beberapa tahun persoalan mereka akhirnya menggurita, makin banyak problem, makin banyak percekcokan dan sekarang ada anak-anak. Akhirnya apa yang terjadi makin merugikan anak-anak dan akhirnya bercerai. Jadi saya juga mau berpikir lebih panjang lagi, memang seolah-olah menikahkan adalah hal yang paling benar, tapi saya yakin bukan untuk setiap kasus, karena kalau tidak cocok itu akan menimbulkan problem lain yang jauh lebih besar di kemudian hari.
GS : Saya rasa bukan cuma sekadar tidak cocok Pak Paul, kadang-kadang mereka masih terlalu muda untuk menikah.
PG : Betul, betul, bukankah adakalanya ini yang terjadi, misalkan umur 17 tahun berhubungan dan akhirnya hamil, kemudian orang tua biasanya langsung berkata dua-duanya harus dikawinkan. Itu belm tentu merupakan solusi yang paling baik untuk keduanya, belum tentu sama sekali ya, kalau memang tidak ada kecocokan, tidak ada kematangan, belum siap untuk menikah dan kita nikahkan, kita hanya memang bisa menutupi rasa aib kita untuk sejenak.
Tapi sebetulnya kita memunculkan problem lain yang lebih besar.
GS : Nah, sebagai makhluk sosial kalau sudah sampai terjadi hubungan yang sejauh itu, apakah ada dampaknya terhadap masyarakat yang ada disekelilingnya Pak Paul, maksud saya apakah masyarakat sekelilingnya itu bisa menerima keadaan seperti itu atau menolaknya atau bagaimana, Pak?
PG : Biasanya kalau sudah misalnya hamil sebelum nikah, biasanya akan tetap menjadi pergunjingan masyarakat. Nah, sudah tentu pergunjingan ini akan lebih banyak memberikan tekanan pada pasanganmuda ini.
Tapi itu memang konsekuensi yang harus dihadapi. Namun saya juga mau meminta agar kita di pihak Gereja tidak terus-menerus memberi sanksi sosial seperti itu, kita tidak menyetujui perbuatan tersebut tapi kita juga dipanggil Tuhan untuk mengampuni dan menerima kembali orang yang telah berdosa dan bertobat. Jadi jangan sampai kita bersifat kritis, mengucilkan mereka dan terlalu menghakimi, saya kira kita perlu juga menyambut mereka.
GS : Karena kadang-kadang kejadian itu sampai menimpa mereka, itu karena desakan orang-orang yang di sekelilingnya, masyarakat itu, Pak Paul. Mendesak pasangan yang masih muda ini, yang masih sedang berpacaran untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak boleh mereka lakukan sebelum pernikahan, jadi dalam hal ini sebenarnya masyarakat juga punya tanggung jawab.
PG : Tepat sekali, tepat sekali, saya setuju dengan yang Pak Gunawan katakan sebab kita harus akui bahwa kita-kita ini memang yang lebih tua, kita-kita yang lebih dewasa, adakalanya tidak membeikan contoh yang baik pula.
Dan contoh-contoh yang tidak baik itu memberikan penguatan perilaku seksual anak-anak muda yang lebih bebas sekarang, jadi memang kita orang-orang yang lebih tua tidak bisa semena-semena hanya menyalahkan anak-anak remaja. Kita harus melihat juga diri kita, apa yang kita telah lakukan, apakah kita memang merintangi mereka, atau tanpa disadari kita seolah-olah mengijinkan mereka untuk berbuat seperti itu.
GS : Katakanlah kita menemui pasangan di jalan atau di mana, yang agak terlalu berlebihan kita pun segan untuk menegur mereka, Pak Paul.
PG : Jadi memang akhirnya kita juga yang menoleransi perbuatan itu.
GS : Ya semacam itu, sekarang seringkali kita melihat pasangan muda-mudi, yang pacaran di tempat umum dengan sangat demonstratif, berlebihan sekali, tapi tetap masyarakat bisa menerima itu.
PG : Jadi Pak Gunawan menyarankan agar kita lebih kritis, lebih berani untuk menegur hal-hal yang memang sudah melewati batas kewajaran.
GS : Tapi buat pasangan muda-mudi ini dianggap sesuatu yang wajar, pacaran ya seperti itu. Itu yang mereka lihat di TV, mereka lihat di film dan sebagainya.
PG : Maka kita sebagai orang tua Kristen, kita dipanggil untuk memberikan bimbingan pada anak kita ya, mungkin kita tidak bisa menegur dan membimbing anak-anak orang lain tapi kita minimal dipaggil untuk membimbing anak-anak kita sendiri.
Saya juga mau mengingatkan nasihat yang lainnya Pak Gunawan, bagi yang sedang berpacaran ingat prinsip ini, semakin lambat semakin baik, artinya jangan mengawali pacaran dengan hal-hal seksual atau jangan mengawali masa pacaran dengan tindakan fisik yang terlalu berani, terlalu cepat. Sebab kalau pada kali pertama sudah begitu cepat, tinggal tunggu waktu, sebelum akhirnya melakukan hubungan seksual. Jadi dari awalnya jangan mulai terlalu cepat, mulai bergandengan tangan, pertahankan bergandeng tangan selama mungkin. Misalkan yang lainnya mulai dengan mengecup pipi, pertahankan selama mungkin hanya mengecup pipi, jadi pertahankan tidak menaikkan kadarnya dan itu akan menolong kita. Sekali kita langgar, sekali kita kebablasan, kita akan minta yang lebih dari itu pada kemudian harinya; jadi ini prinsip yang harus disadari oleh yang sedang berpacaran.
GS : Tetapi mungkin kita-kita yang pernah mengalami berpacaran, hal itu semacam suatu petualangan Pak Paul, jadi kalau yang itu-itu juga itu akan cepat membosankan dan kita selalu dituntut lebih dari itu.
PG : Saya setuju sekali karena dorongan itu memang dari dalam diri kita dan rasa ingin tahu begitu besar, maka saya mau memberikan prinsip yang berikutnya yakni kita harus mempunyai tanggung jaab yang sama, yang konsisten antara di depan orang banyak, di depan publik dan hanya di antara kita berdua.
Artinya janganlah kita melakukan hal-hal yang tidak berani kita pertanggungjawabkan secara umum. Kalau misalkan kita sudah memegang-megang anggota seksual daripada pasangan kita sudah tentu kita tidak akan berani membicarakan ini di depan umum karena ini hal yang bagi kita salah. Nah prinsipnya adalah di depan umum dan berdua harus sama, kalau ada yang tidak sama berarti ada yang sudah terlalu jauh kita lakukan, itu berarti kita harus mundur kembali. Seks yang terlalu menjadi bagian dalam masa berpacaran akan mengaburkan perspektif orang yang sedang berpacaran. Mungkin ada ketidakcocokkan yang seharusnya mereka sadari, tidak mereka sadari karena seks telah mengikat mereka. Mungkin ada hal-hal yang harus mereka tegaskan kepada pasangannya, tidak mereka tegaskan, karena seks telah memenuhi kebutuhan mereka. Ada banyak hal yang akan dikaburkan oleh seks oleh karena itu kalau masa berpacaran terlalu diisi dengan seks, biasanya setelah menikah problem akan muncul dengan begitu banyaknya, karena ada banyak hal yang seharusnya diperhatikan tidak lagi diperhatikan, semua luput dari perhatian karena seks telah mengisi aktifitas berpacaran.
IR : Jadi itu termasuk membutakan, ya Pak Paul ?
PG : Tepat sekali Bu Ida, jadi membutakan mata karena yang di dapat itu terlalu nikmat, jadi kenapa harus pusing-pusing memikirkan pertengkaran yang lainnya. Semua langsung ditutupi dengan hubugan seks, malangnya setelah menikah, seks tidak lagi menempati posisi yang begitu tinggi dalam pernikahan, sebab semuanya menjadi biasa.
Nah pada saat itulah kita makin menyadari bahwa kita ini tidak cocok dengan pasangan kita, itu sebabnya masa berpacaran sebaiknya dan seharusnya tidak diisi dengan aktifitas seksual untuk kepentingan kedua orang ini pula.
GS : Nah, bagaimana Pak Paul kalau terjadi misalnya di dalam hal berpacaran ada pihak yang memang menyerahkan dirinya terhadap pasangan yang lain, apa sebenarnya yang mendorong atau melatarbelakangi si remaja itu, dia terang-terangan memberikan dirinya.
PG : Kadangkala hal itu dilakukan karena si remaja berpikir inilah yang harusnya dilakukan pada masa berpacaran.
GS : Pengertian yang keliru begitu saja.
PG : Pengertian yang keliru, nah jadi ini yang harus kita tegaskan. Orang yang berpacaran seharusnya tidak berhubungan seksual. Nah nilai moral sekarang sudah begitu bergeser sehingga ada anakanak remaja yang berpikir ini bagian dari berpacaran, kalau tidak ini justru bukan bagian berpacaran.
Dan yang tadi Pak Gunawan sudah singgung ada anak-anak yang takut kehilangan pacarnya sehingga akhirnya melakukan hubungan seksual untuk mengikat hubungan yang memang tidak kuat ini.
GS : Nah sejauh ini, Pak Paul, apa yang Firman Tuhan itu mau berikan sebagai bekal, sebagai pedoman khususnya bagi saudara-saudara kita yang sedang berpacaran.
PG : Saya akan ingatkan dari 1 Korintus 6:19, "Tidak tahukah kamu bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah dan bahwakamu bukan milik kamu sendiri."
Jadi sekali lagi Firman Tuhan menegaskan bahwa tubuh kita adalah rumah Allah, oleh karena itu tidak bisa kita berbuat sembarangan dengan rumah Allah. Kalau kita membaca Firman Tuhan pada Perjanjian Lama, kita tahu Tuhan sangat tegas dengan kekudusan rumah Allah dengan yang namanya persembahan-persembahan di rumah Allah, itu sebabnya kedua anak Harun langsung meninggal karena memberikan persembahan dengan tidak benar. Anak-anak Imam Eli dihukum dengan kematian pula, melakukan hal yang tidak benar dalam peribadatan rumah Allah, raja Manasye mengotori rumah Allah dan Tuhan menghakiminya, jadi Tuhan sangat serius dengan rumah-Nya. Nah tubuh kita rumah Allah, jadi kita harus sadar bahwa kita tidak boleh main-main dengan rumah Allah, yakni tubuh yang Tuhan huni ini. Nasihat saya yang terakhir adalah meskipun kita bergumul jangan menyerah, hari ini kita menyerah, besok lawan lagi, jangan sampai kita berkata ya memang sudah nasib saya, saya tidak bisa menguasai nafsu saya, memang inilah saya, malangnya saya tidak, jangan menyerah dan jangan menurunkan standar Tuhan, yang tidak boleh tetap tidak boleh. Meskipun kita bergumul jangan sampai kita menyerah, ini nasihat saya.
IR : Dan kalau sudah melakukan, mereka harus bertobat, Pak Paul?
PG : Betul, jadi kalau sudah melakukan mereka harus berhenti, karena apa jangan sampai menyerah, ingat ini adalah tubuh Tuhan, rumah Tuhan harus dihormati.
GS : Saya percaya sekali bahwa perbincangan kita ini sebagian besar tentu akan menjawab pertanyaan dari salah seorang pendengar yang begitu perhatian dengan acara ini dan telah mengirimkan surat kepada kami, kami ucapkan terima kasih melalui kesempatan ini kepada saudara kita yang mengajukan pertanyaan yang sangat relevan ini. Dan saudara-saudara pendengar demikianlah tadi kami telah persembahkan kehadapan Anda sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang seks dalam berpacaran. Dan bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami harapkan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.