Kata kunci: Kehidupan orang tua yang saleh dan rukun, ketidakrukunan berpotensi melemahkan iman anak, anak dapat menyerap banyak nilai rohaniah dari kehidupan orang tua yang saleh dan rukun, anak bertumbuh secara utuh dalam segi rohaniah, mental dan emosional.
TELAGA 2022
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada. Kita bertemu kembali dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Necholas David, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi, seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Hadiah Terbaik Untuk Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
ND: Pak Paul, berbicara tentang hadiah terbaik untuk anak, sebagai orang tua kita pasti berpikir bahwa hadiah terbaik itu memberi mainan yang mahal, menyiapkan rencana liburan ke negeri yang jauh, mendaftarkan anak ke lembaga pendidikan dengan standard tertinggi, mengembangkan bakat dan minat dia, tetapi sebetulnya bagaimana maksud Pak Paul dengan hadiah yang terbaik ini?
PG: Begini, Pak Necholas, kita bisa memerhatikan bahwa tidak pernah dunia dibanjiri oleh mainan seperti sekarang ini. Ada begitu banyak mainan yang dapat kita berikan kepada anak, sudah tentu tidak apa memberi mainan kepada anak, asal tahu batas dan sesuai usia, namun sesungguhnya ada satu hadiah yang paling dibutuhkan oleh anak, yaitu kehidupan orang tua yang saleh dan rukun. Selain dari keselamatan jiwa yang dianugerahkan Tuhan, menurut saya tidak ada hadiah yang lebih baik yang dapat kita terima daripada kehidupan orang tua yang saleh dan rukun. Saya sudah melihat begitu banyak contoh, Pak Necholas, orang-orang yang bisa kita katakan sukses didalam usahanya, pekerjaannya, pendidikannya, tapi memunyai jiwa yang tercabik-cabik. Akhirnya nanti membawa itu kedalam pernikahan sehingga mencabik-cabik juga pernikahan atau relasinya dengan pasangannya dan nanti dengan anak-anaknya. Jadi saya sering berkata betapa berbahagianya seseorang yang bisa menerima hadiah terbaik dari orang tuanya yaitu kerukunan dan kesalehan, sebab inilah hadiah yang berdampak panjang, boleh dikata seumur hidup bagi perkembangan jiwanya. Nanti ini yang akan kita bahas, Pak Necholas, kita akan mau melihat dampak kehidupan saleh dan rukun pada perkembangan diri anak, baik secara emosional maupun rohani.
ND: Maksud Pak Paul bagaimana dengan kesalehan dan kerukunan diantara kedua orang tua ini?
PG: Begini, Pak Necholas, kesalehan dan kerukunan adalah dua sisi dari satu coin yang sama. Kesalehan dibuktikan melalui kerukunan dan kerukunan disempurnakan oleh kesalehan. Sewaktu anak melihat kita rajin ke gereja dan terlibat aktif dalam pelayanan, namun hidup tidak rukun, anak akan menemukan kejanggalan dan akhirnya berkembang menjadi kemunafikan, atau misalnya anak melihat kita rajin membaca firman, kita rajin memelihara saat teduh, kita juga rajin mengunjungi orang, kita baik sekali dalam memberi nasihat kepada orang atau memberi pertolongan kepada orang, namun anak melihat kita tidak hidup rukun, kita sering konflik dengan pasangan kita atau dengan ayah atau ibu anak kita. Tidak bisa tidak, anak akhirnya melihat kita ini munafik, didepan orang kita menampilkan kerukunan, sedang di rumah kita hidup tidak rukun.
ND: Sebetulnya patokannya rukun itu apa ya, Pak Paul, apakah harus sering sependapat dalam berbagai hal atau bagaimana batasan-batasannya yang bisa kita katakan bahwa kedua orang tua ini rukun?
PG: Rukun bukan berarti bebas konflik. Jadi tidak ada menurut saya, pasangan yang tidak pernah mengalami konflik, dua orang berbeda, dibesarkan dari latar belakang berbeda dengan pola pikir berbeda, pengalaman hidup berbeda, tidak bisa tidak akhirnya akan kadang-kadang benturan. Jadi yang dimaksud dengan rukun bukanlah bebas konflik melainkan dapat mengatasi konflik. Anak perlu melihat bahwa kita ini bisa mengatasi konflik, bukannya anak perlu melihat kita tidak pernah konflik, bukan, itu tidak realistik, itu tidak justru sehat untuk anak, namun anak perlu melihat kita bisa menyelesaikan konflik. Artinya kita bisa berdamai, kita bisa menemukan titik temu, atau kalaupun kita tidak bisa menemukan titik temu, kita bisa saling mengerti sehingga tidak terus-menerus membangkitkan masalah yang sama atau apalagi menyerang pasangan dengan masalah yang sama itu. Dan yang kedua yang sama pentingnya adalah anak perlu melihat bahwa kita ini bukan saja bisa mengatasi konflik, tapi kita tidak sering konflik. Memang sudah tentu baik kalau kita bisa setiap kali konflik bisa menyelesaikannya, tapi kalau anak terus melihat kita konflik meskipun kita bisa menyelesaikannya, itu tidak baik karena akan dilihat oleh anak, kita tidak memunyai kedamaian sama sekali. Kita tidak bisa hidup berdua, tidak bisa menyelaraskan pandangan kita sama sekali, oleh karena itu setiap menghadapi persoalan kita akan konflik, kita akan konflik tanpa bisa menyelesaikannya. Jadi sekali lagi bebas konflik bukanlah yang saya maksud dengan rukun, tapi bisa menyelesaikan konflik dan tidak sering konflik. Inilah yang saya maksud dengan rukun.
ND: Jadi tadi Pak Paul katakan bahwa tidak ada kerukunan atau konflik yang terus terjadi dan berkepanjangan dalam keluarga ini bisa berbahaya bagi perkembangan anak, seperti apa Pak Paul, bahayanya?
PG: Bahaya terbesar disini adalah ketidakrukunan berpotensi melemahkan iman anak, anak berkesimpulan, untuk apa percaya dan mengikut Tuhan bila hasilnya adalah ketidakrukunan dan kemunafikan. Anak pun berpikir ternyata iman dan ketaatan pada Tuhan tidak mengubah hidup, buktinya adalah orang tuanya. Pada akhirnya ia berkesimpulan buat apa beriman? Untuk apa hidup taat kepada Tuhan, itu sebab penting sekali kita hidup saleh dan rukun, karena kalau kita hidup tidak rukun, potensi melemahkan iman anak besar sekali, sebaliknya adalah benar bila kita hidup rukun maka kerukunan kita berpotensi justru memerkuat iman anak.
ND: Kalau begitu mungkin ada pendengar yang berpikir, sebagai orang tua saya lebih waktu berantem atau konflik dengan pasangan didalam kamar saja, tidak usah ketahuan anak, jadi orang tua berusaha selalu menyembunyikan konflik mereka, didepan anak ya baik-baik, dibelakang bisa konflik besar, bagaimana Pak Paul bila seperti itu?
PG: Pada prinsipnya sebaiknya apalagi waktu anak-anak masih kecil, kita tidak konflik didepan anak, karena konflik itu menegangkan dan ketegangan itu bukanlah sesuatu yang baik untuk pertumbuhan jiwa anak, sedapatnya kita konflik diluar anak sehingga anak tidak harus menyaksikannya, namun tatkala anak mulai besar tidak apa sekali-sekali kita biarkan konflik terbuka, anak melihat bahwa kita ini beradu pendapat, kita menampakkan kekesalan kita secara nyata, tidak apa-apa supaya anak melihat bahwa inilah kenyataan hidup berumah tangga bahwa tidak selalu orang tuanya rukun. Tapi terpenting adalah pada akhirnya anak melihat kita berdamai kembali, kita melanjutkan hidup kita, apalagi bila anak akhirnya melihat konflik demi konflik yang kita hadapi makin memerkuat relasi kita, makin memertebal kepercayaan kita, kedewasaan kita dan juga makin menambahkan kasih kita kepada pasangan, bila itu yang dilihat oleh anak, ini berdampak positif bagi perkembangan jiwa anak.
ND: Jadi konflik pun ada sisi positifnya ya, karena itu realitas yang anak juga akan hadapi ketika mereka suatu saat berumah tangga.
PG: Betul, jadi kita tidak mau menyajikan sebuah skenario kehidupan yang tidak riil, ini tidak sehat untuk anak, kalau anak sama sekali tidak pernah melihat orang tua berkonflik takutnya nanti dia masuk kedalam pernikahan mengharapkan pernikahannya seperti "kerukunan orang tuanya" yang tidak pernah konflik itu. Ini nanti akan sangat menyulitkan pasangannya, karena sama sekali tidak diberikan ruangan untuk menyatakan ketidaksetujuan, untuk mengungkapkan kekesalan dan untuk juga sekali-sekali menyatakan kemarahan. Ini tidak sehat, jadi sekali lagi yang sehat adalah kita izinkan anak sekali-sekali melihat konflik kita setelah anak kita memang mulai besar.
ND: Boleh dikatakan anak melihat kita juga sebagai manusia apa adanya, seperti dirinya yang bisa marah, bisa kesal, bisa berbeda pendapat dengan orang lain.
PG: Betul sekali, betul sekali, jadi akhirnya anak mengerti ya inilah bagian kehidupan yang riil, bukan untuk dihindari tapi untuk diatasi. Ini akan menolong anak lebih siap masuk kedalam pernikahannya kelak.
ND: Dengan adanya kerukunan dan kesalehan diantara kedua orang tua ini, manfaat yang lain apa, Pak Paul, yang bisa dipetik oleh anak?
PG: Manfaat lain adalah, anak akan dapat menyerap banyak nilai rohaniah dari kehidupan orang tuanya yang saleh dan rukun. Pada umumnya anak menolak nilai moral dan iman orang tua bila anak melihat kehidupan orang tua yang tidak rukun, sebaliknya anak cenderung menyerap nilai moral dan iman orang tua jika anak menyaksikan kehidupan orang tua yang rukun. Mari saya jelaskan melalui ilustrasi berikut ini. Untuk dapat menyerap satu pelajaran, kita mesti memunyai kerangka untuk menaruh pelajaran itu. Dengan kata lain, kita harus melihat kekonsistenan antara apa yang kita pelajari di ruang kelas dan kenyataan hidup di luar kelas. Sebagai contoh, kalau kita belajar gravitasi, daya tarik bumi, di dalam ruangan kelas ya kita keluar dari kelas, kita mesti melihat bahwa apapun yang kita jatuhkan akan jatuh ke bawah, bukan jatuh ke atas. Kalau apa yang kita jatuhkan, jatuh ke atas ‘kan kita tahu ini berbeda dengan apa yang kita pelajari, kita tidak bisa menaruh pelajaran itu didalam konteksnya atau kenyataannya. Nah, dari orang tua, anak dapat belajar banyak nilai moral dan rohani. Untuk dapat menyerap dan menjadikan itu bagian dari dirinya, anak perlu secara riil menyaksikan kehidupan orang tua yang rukun. Inilah kerangkanya. Jika kita tidak hidup rukun, anak tidak dapat menaruh pelajaran itu dalam kerangkanya, sebaliknya jika anak melihat kehidupan kita yang rukun, maka anak akan dapat menaruh pelajaran itu didalam kerangkanya. Saya berikan contoh, misalkan kita sebagai orang tua mengajarkan kepada anak-anak untuk memaafkan. Anak perlu melihat, memaafkan dalam konteksnya, dalam kerangkanya, yaitu anak melihat kita memaafkan satu sama lain sehingga kita tidak menyimpan dendam, kita bisa membereskan masalah kita. Jadi waktu anak melihat kita saling memaafkan, maka pelajaran memaafkan itu ditempatkan anak di dalam kerangkanya, di dalam rumahnya sehingga anak bisa belajar. Sebaliknya kita mengatakan mesti memaafkan, tapi kalau kita bertengkar dengan pasangan kita, bisa sampai 2 minggu kita tidak bicara dengan pasangan kita. Saling mendiamkan, meskipun kita tidak menjelaskan kepada anak apa yang terjadi, kesimpulan anak adalah ternyata papa dan mama tidak dapat saling memaafkan, karena itu bisa tahan tidak bicara, dua mingguan. Apapun yang kita ajarkan tentang memaafkan tidak bisa anak tempatkan dalam konteksnya, dalam kenyataannya, dalam kerangkanya. Apa yang akan terjadi dia akan buang, dia akan singkirkan pelajaran itu, sebab pelajaran itu tidak dapat ditempatkan didalam konteks kehidupan yang nyata, maka penting sekali sebagai suami istri, sebagai orang tua, kita hidup rukun supaya apapun yang kita ajarkan, anak dapat terima dan tempatkan dalam rangka kenyataan hidup sehingga nanti menjadi pelajaran yang dapat dibawanya seumur hidup.
ND: Bisa dikatakan bahwa anak lebih banyak belajar dari apa yang kita lakukan, bukan apa yang kita ucapkan dan kita ajarkan kepada mereka.
PG: Tepat sekali, Pak Necholas, jadi sudah tentu baik mengajarkan lewat perkataan, saya tidak melarang, ini hal yang baik yang mesti kita lakukan, tapi terlebih baik lagi adalah kita menunjukkannya lewat perbuatan kita. Makin anak melihat dari hidup kita, makin anak belajar. Anak menyerap pelajaran itu, sebaliknya makin anak tidak melihat kita melakukannya, makin apa yang sudah diterimanya pun dia akan singkirkan atau dia akan buang. Jadi bukan saja dia resisten, tidak menerima pelajaran yang kita ajarkan, yang sudah diterimanya pun kebanyakan nanti dia akan singkirkan.
ND: Karena orang tuanya dianggap munafik, dia hipokrit, dia tidak melakukan apa yang dia ajarkan sendiri.
PG: Betul, betul, jadi sekali lagi anak perlu melihat kekonsistenan ini. Kekonsistenan luar biasa pentingnya bagi perkembangan, baik jiwa maupun iman anak.
ND: Dengan adanya kesalehan dan kerukunan ini berdampak pada nilai rohani. Adakah hal-hal lain yang bisa menjadi manfaat dari kedua orang tua yang hidup saleh juga rukun?
PG: Yang ketiga dan terakhir adalah bila kita hidup rukun dan saleh, anak akan dapat bertumbuh secara utuh, Pak Necholas, bukan saja dari segi rohaniah tapi juga mental dan emosional. Didalam keluarga yang tidak rukun, mungkin anak masih bisa dapat menyerap nilai rohani dari orang tua atau dari luar, namun yang pasti adalah akan ada bagian hidupnya yang kosong, atau tidak terisi. Inilah yang sering terjadi, di pihak yang satu anak tampak rohani, tapi di pihak lain anak oleng tidak berimbang, berhubung banyaknya kebutuhan mental dan emosionalnya yang tidak terpenuhi. Alhasil setelah dewasa anak bertumbuh besar, tidak matang dan tidak jarang membawa kekosongan kedalam pernikahannya. Sebaliknya bila kita hidup saleh dan rukun, anak akan mendapat kecukupan. Pertumbuhannya berlangsung menyeluruh, sebab kebutuhannya baik mental maupun emosional terpenuhi dengan baik. Ini sering saya saksikan, Pak Necholas, anak-anak yang setelah dewasa menunjukkan "pengetahuan rohani yang baik", namun dalam kenyataannya hidupnya oleng, penuh kecemasan, penuh pertanyaan, sarat dengan keraguan, mudah sekali menyalahkan diri atau bergantung pada orang, tidak bisa mandiri atau terlalu lekat, menempel pada orang, tidak bisa melepaskan, memberi ruangan kepada orang untuk berkembang. Ini semua adalah gejala adanya kekurangan didalam dirinya. Adanya kebutuhan yang tidak terpenuhi, pada masa-masa pertumbuhannya dulu, nah jadi ini yang kita mau hindarkan. Kita tidak mau anak kita nanti setelah besar masuk kedalam pernikahannya membawa kekosongan dan keolengan ini.
ND: Jika diantara pendengar ada yang sudah punya anak yang sudah besar dan dia baru menyadari bahwa dulu dia keliru, dia tidak mencocokkan antara kerukunan dan kesalehan, atau bahkan ada pendengar yang, "Oh, dulu saya belum percaya pada Tuhan sehingga saya tidak bisa memberikan teladan bagi anak saya". Untuk pendengar yang seperti ini, bagaimana dengan anak yang sudah telanjur dulunya tidak diisi dengan kepenuhan seperti yang Pak Paul maksudkan?
PG: Sebagai orang tua kita bisa terbuka apa adanya kepada anak, mengakui hal-hal yang seharusnya diberikan, tapi tidak diberikan kepada anak. Mengakui ada hal-hal yang seharusnya menjadi bekal hidupnya tapi karena tidak diberikan oleh kita, tidak menjadi bekal. Jadi penting kita mengakui apa adanya. Nah, kedua, saya juga anjurkan penting bagi kita bukan saja mengakui tapi meminta maaf atas kesalahan kita di masa lampau. Kita katakan, "Saya berbuat ini, sekarang saya mengerti saya salah, tidak seharusnya saya melakukan itu". Saya mengatakan ini kepadamu, sekarang saya sadar tidak seharusnya saya katakan itu kepadamu. Tidak apa waktu Tuhan ingatkan, kita kemudian akui di hadapan anak dan mintalah maaf kepadanya. Terpenting setelah itu adalah kita hidup rukun, kita hidup saleh. Jadi apa yang sudah terjadi, kita tidak bisa lagi kembali mengubahnya, kita fokuskan pada sekarang dan masa depan yang bisa kita kerjakan. Ubahlah hidup kita, biarlah anak bisa mencicipi kerukunan dan kesalehan mulai dari hari ini dan Tuhan bisa nanti melipatgandakan efeknya dalam hidup si anak, sehingga apa yang menjadi kekurangannya dengan kuasa Tuhan akan dapat dicukupi oleh apa yang diterimanya sekarang.
ND: Bagaimana dengan orang tua yang karena satu dan lain hal, ia harus membesarkan
anaknya sendiri, mungkin sudah sejak kecil anaknya, ia menjadi ‘single parent’, bagaimana orang tua dalam posisi seperti ini bisa mengajarkan anak tentang kesalehan dan kerukunan ini, Pak Paul?
PG: Memang kita tidak bisa menggantikan kehidupan rumah tangga yang utuh, jadi meskipun kita bisa berbuat sebaik-baiknya sebagai orang tua tunggal, tapi memang kita tidak bisa menggantikan peranan komplit yang dapat diberikan oleh orang tua yang utuh. Namun kita memang bisa tetap memberikan sebaik-baiknya kepada anak. Kerukunan kita bisa kita tunjukkan bukan dengan pasangan karena tidak ada lagi pasangan, tapi dengan anak. Kita tidak mencari-cari perkara, kita bisa mengerti anak, bisa memahami apa yang anak lakukan, memahami pikiran anak, semua itu adalah bekal ilmu yang anak perlukan untuk dapat hidup rukun, untuk dapat mengatasi persoalan dalam hidupnya. Ini yang dapat kita berikan kepada anak kita.
ND: Jadi boleh dikatakan selain dengan anak langsung, kita menjaga kerukunan, bisa jadi kita tunjukkan dalam pergaulan bersama rekan-rekan atau dengan keluarga besar dimana anak dan orang tua tunggal ini bisa saling melihat bahwa mereka bisa bergaul erat dengan komunitasnya.
PG: Betul, betul sekali, jadi itu yang bisa kita berikan, memang tidak sempurna tapi akan memadai, menjadi bekal untuk anak.
ND: Baik, Pak Paul, mungkin ada ayat firman Tuhan yang boleh dibagikan kepada pendengar agar bisa kita renungkan bersama.
PG: Amsal 31:10 berkata, "Istri yang cakap siapakah akan mendapatkannya? Ia lebih berharga daripada permata". Kata ‘cakap’ disini berarti berkarakter mulia, jadi bukan ‘cakap’ mampu melakukan banyak hal. Ini berarti berkarakter mulia, sudah tentu kita dapat menerapkan ini bukan hanya pada istri tapi juga suami. Suami yang cakap, suami yang berkarakter mulia, siapakah akan mendapatkannya? Ia lebih berharga daripada permata. Berkarakter mulia, berharga lebih dari permata, jadi inilah hadiah terbaik yang dapat kita berikan kepada anak dan menantu kita nanti.
ND: Baik, Pak Paul, terima kasih atas paparan yang sudah disampaikan kepada pendengar. Saya sendiri juga diingatkan kembali bahwa yang penting itu adalah karakter yang baik, yang mulia di dalam keluarga bukan hal-hal material lainnya yang di luar.
Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (TEgur sapa gembaLA keluarGA), kami baru saja berbincang-bincang tentang "Hadiah Terbaik Untuk Anak". Jika Anda berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat mengirimkan email ke telaga@telaga.org; kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org; saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.