Kata kunci: Pemuridan adalah strategi Alkitabiah yang sengaja Tuhan pilih, dikerjakan sengaja dan terarah, petobat baru yang dimuridkan akan menjadi murid Kristus, proses ini bergulir dan berulang dari generasi ke generasi, jika pemuridan intensional dilakukan, orang akan mengenal Kristus, bertumbuh dewasa dan menolong orang lain bertumbuh, matang secara rohani dan emosional serta karakter Kristus.
TELAGA
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara Telaga, TEgur sapa gembaLA keluarGA. Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Yosie, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., M.Phil., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Gereja Yang Memuridkan Secara Intensional". Kami percaya acara ini bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Y: Pak Sindu, akhir-akhir ini kita melihat di beberapa gereja kesulitan mencari majelis. Jikalau ada pilihan calon majelis pun tampaknya kurang memiliki kualifikasi yang memadai dalam kematangan diri, kematangan berorganisasi dan sebagainya. Tetapi sebaliknya misalnya kalau tidak ada kualifikasi dan kita paksakan nanti akan muncul masalah majelis yang memiliki konflik, mandeg secara rohani atau kabur dengan visi gereja. Bagaimana seharusnya gereja bisa bergerak ?
SK: Kalau boleh saya menambahkan yang sebelum menjawab pertanyaan Bu Yosie tadi, memang kondisi inilah yang sudah dicermati seorang tokoh dalam dunia pemuridan intensional yaitu Dawson Trotman, pendiri The Navigators yang kemudian masuk ke Indonesia bernama Para Navigator. Dia mengatakan secara umum gereja memang lebih mirip dengan tempat penitipan bayi rohani daripada sebagai pusat pendewasaan jemaat. Karena gereja isinya adalah bayi-bayi rohani maka akhirnya tidak heran muncul banyak masalah. Seperti bayi menangis, merengek, minta perhatian, iri, cemburu, marah, maka muncullah konflik-konflik yang tidak sehat, bukan konflik yang bermutu, tapi konflik yang tidak sehat, tersinggung, keluar dari gereja, tidak mau pelayanan atau kalau pelayanan mintanya semua menuruti kemauannya, ada relasi yang tidak sehat yang sesungguhnya dari keluarga asalnya masing-masing seperti dipindahkan ke dalam gereja. Bukan gereja yang menggarami keluarga, tapi yang terjadi dalam beberapa komunitas gereja adalah justru keluarga masing-masing yang menggarami pola relasi dalam gereja.
Y: Dengan kata lain tidak ada bedanya. Gereja yang seharusnya murid-murid Kristus itu tidak ada bedanya dengan komunitas keluarga dunia biasa, ya Pak.
SK: Benar, malah gereja itu akhirnya ditengarai lebih mirip seperti ghetto. Ghetto adalah istilah sebuah pemukiman eksklusif kaum Yahudi. Artinya orang-orang yang mungkin satu etnis, satu suku, satu selera, hobi, satu status sosial ekonomi mereka berkumpul, dan mereka seperti ada namanya kolekte, ada perpuluhan tapi tanpa sadar mungkin 70% dari kolekte, dari dana gereja yang terkumpul dari minggu ke minggu, 70% berputar habis untuk mereka sendiri. Semacam klub sosial cuma namanya gereja dan ini sebuah kondisi yang ironi ditambah lagi piramida gereja yang terbalik, artinya begini. Mayoritas yang terbanyak adalah bayi-bayi rohani dan yang melayani adalah majelis yang jumlahnya sangat sedikit, ada juga pendeta gembala yang satu dua orang ini harus berakrobatik menanggung, jadi puluhan ratusan hingga ribuan jemaat dengan ‘entertainment’ rohani. Paskah kali ini temanya apa, adakah dramanya apa? Untuk Natal untuk ulangtahun gereja, akhirnya penambahan jumlah anggota gereja sesungguhnya yang terjadi lebih karena ada kelahiran bayi-bayi dari keluarga-keluarga anggota gereja ini. Atestasi masuk dari kota lain, dari gereja lain, daerah lain daripada karena ada jiwa-jiwa baru yang mengenal Kristus karena gereja ini. Inilah sebuah hal yang sangat menyedihkan.
Y: Benar Pak, kalau saya amati juga penambahan karena saling pindah gereja, karena tersinggung tidak cocok dan sebagainya. Bagaimana seharusnya kita kembali kepada esensi yang Tuhan kehendaki, Pak ?
SK: Disinilah Bu Yosie, untuk kepada esensi dan misi gereja, kita perlu kembali ke Injil Matius 28:18-20 dikatakan, "Yesus mendekati mereka, dan berkata: ‘Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman’." Kalau kita bedah kita akan mendapati satu rumusan demikian, ada satu amanat, sasarannya adalah "Jadikanlah semua bangsa murid-Ku". Semua bangsa artinya kuantitas, murid-Ku itu menggambarkan kualitas, kemudian ada 3 karakteristik strategi, yang pertama dari kata "Baptislah" itu berarti penginjilan atau pemberitaan Injil. Yang kedua, ajarlah melakukan, itu berarti pemuridan upaya untuk menjadikan orang yang sudah lahir baru itu mencapai kualitas murid. Kata kerja yang ketiga, "pergilah", artinya ada pengutusan ke dunia yang tidak mengenal Allah.
Y: Penugasan jadi orang yang sudah dimuridkan, diselamatkan, harus melakukan hal yang sama, menginjil dan memuridkan.
SK ; Memang disini ada kata "ajar" untuk melakukan, disini bukan sekadar pengetahuan doktrin yang diberikan lewat kelas-kelas katekisasi, kelas-kelas sekolah iman, sekolah jemaat, tapi ajar untuk melakukan. Firman yang kemudian menjadi praktek hidup, firman yang mendarah daging, menjadi pelaku firman. Itulah proses pemuridan, upaya untuk menjadikan orang yang bayi rohani menjadi dewasa, punya kualitas murid Kristus. Baru kemudian ketika mencapai kualitas murid Kristus mereka kemudian diutus secara sengaja untuk menjangkau jiwa-jiwa baru, untuk menginjili dan sekaligus murid Kristus ini memuridkan yang lain. Sehingga apa yang disampaikan Amanat Agung itu bukan sekadar menjangkau jiwa baru, mencari bayi rohani, sebenarnya sudah tergambarkan adalah proses untuk meningkatkan kualitas dari bayi rohani menjadi murid Kristus. Disini Bu Yosie, kita melihat penginjilan itu bukan lagi sebuah program tapi sebuah upaya orang menghasilkan orang. Bukan sekadar kita mengatakan KKR, retreat, camp, kegiatan festival musik gereja untuk membangkitkan minat orang-orang atau bazaar di gereja, memang kegiatan tapi kita tidak boleh berhenti pada kegiatan karena butuh orang-orang yang punya kualitas murid untuk menjangkau jiwa dan memuridkan supaya orang yang punya kualitas murid Kristus ini bisa menghasilkan juga orang dengan kualitas murid Kristus.
Y: Jadi jangan berhenti hanya di program, ya Pak Sindu, tapi sungguh-sungguh manfaatkan program itu wadah untuk menjangkau pribadi lepas pribadi.
SK: Dan mempertemukan orang dengan orang. Orang yang berkualitas murid Kristuslah yang bisa untuk menjangkau dan memuridkan secara intensional sehingga sadar dan sengaja sehingga menghasilkan murid-murid Kristus lainnya. Ini sepanjang beberapa menit ini saya berulang-ulang menyebutkan murid Kristus. Siapakah murid Kristus itu ? Jadi bisa digambarkan dengan ilustrasi roda. Orang yang memunyai porosnya Kristus, jari-jari dia punya relasi dengan Allah lewat kehidupan doanya dan firman, orang yang punya relasi ke samping jari-jari yang lain, bersekutu otentik terbuka, ada pertanggungjawaban hidup dengan sesama orang percaya, ada keintiman, tapi dia juga berelasi dengan orang-orang yang belum mengenal Kristus, orang-orang dunia lewat pekerjaan, sekolah, kegiatannya untuk kemudian dia menjadi saksi Kristus. Hidupnya diwarnai seperti lingkaran roda yang tiap hari bergulir, diwarnai hidup yang taat kepada Kristus dan firman. Itulah orang yang disebut murid Kristus dan itu yang perlu dihasilkan lewat pemuridan intensional.
Y: Jadi bagaimana prosesnya, Pak ?
SK: Kita perlu meniru strateginya Yesus. Yaitu strategi secara sengaja memberi perhatian bagaimana kualitas orang yang kita layani itu meningkat, supaya dengan orang yang berkualitas tersebut akan menghasilkan juga kuantitas yang berkualitas. Artinya orang yang kita muridkan secara sadar dan sengaja karena kita bimbing dari hari ke hari untuk mengenal Kristus, mengenal firman-Nya, mempraktekkan firman-Nya lewat keteladanan kita lewat apa yang dia lakukan dan kita bahas. Lewat kegiatan kebersamaan, pelayanan dan sharing kehidupan, maka dia meningkat kualitasnya dari hari ke hari mencapai gambaran murid Kristus kemudian orang inipun akan kita utus untuk menjangkau jiwa-jiwa baru dan memuridkan orang-orang yang lain. Disini, Bu Yosie, mengapa saya tekankan kata intensional. Karena begini, semua yang kita lakukan untuk memberitakan Injil, menyampaikan firman Allah, itu adalah juga pemuridan. Khotbah itu adalah pemuridan, katekisasi di gereja juga pemuridan. Pelayanan-pelayanan di kelas-kelas Sekolah Minggu, percakapan-percakapan tentang firman, Pemahaman Alkitab, tentang iman, teologi kehidupan kekristenan, bagaimana prakteknya itu adalah pemuridan. Bedanya ada yang sadar bersengaja, ada sasaran spesifik, ada yang sekadar mengalir dalam hal ini kualitas yang mau kita capai itu perlu secara intensional. Ada kurikulumnya, ada sasaran, ada penugasan, ada pengecekan dan itu relasi yang sifatnya personal. Satu membimbing dua orang tiga orang, maksimal lima orang selama sekian bulan sekian tahun, ada pertanggungjawaban, ada penugasan, latihan-latihan, mari kita belajar berdoa, kita belajar hafal ayat, kita belajar bersaksi, mari kita melakukan pelayanan bersama ini, kita bahas pengalamanmu di rumah tangga seperti apa, kehidupan studimu sebagai mahasiswa pelajar, di pekerjaan mari kita bahas, kita sharing bersama, kita retreat bersama selama 2 hari 1 malam misalnya ada tinggal bersama. Inilah pemuridan intensional kita cek kualitasnya bagaimana, kita mau tingkatkan kemana. Inilah yang menolong supaya akhirnya gereja tidak kekurangan pemimpin. Seperti yang kita bahas pada awal, jadi majelis, jadi guru Sekolah Minggu, jadi aktifis gereja itu tidak akan terjadi kekosongan apalagi berkualitas bayi rohani kalau ada pemuridan secara sadar dan sengaja, pemuridan intensional tadi.
Y: Tapi tentunya tidak semudah itu dalam memuridkan, pasti ada hambatan, ada orang-orang tertentu yang sepertinya luka batin atau kekanak-kanakan, itu sulit ditumbuhkan. Bagaimana menyikapi kendala-kendala, hambatan-hambatan seperti itu ?
SK: Maka dalam hal ini, Bu Yosie, pemuridan intensional itu perlu memakai pendekatan yang utuh. Perlu memiliki cakupan kurikulum yang komprehensif, yang utuh atau holistik. Artinya perlu memerhatikan bukan hanya sudut pembelajaran firman, kalau kita mengenal sebenarnya secara kurikulum. Ada banyak kurikulum yang sudah berkembang di buku-buku pemuridan yang dijual bahkan di toko-toko buku Kristen, kalau boleh saya sebut namanya Kambium program karena itu sifatnya tidak komersial. Ada bukunya, ada power pointnya, ada buku panduannya, termasuk bahan diskusinya. Itu bisa kita gunakan dengan mudah tinggal kita akses di internet, dan mengundang tim ini dan sebagainya. Tapi satu hal yang penting memang yang disampaikan Bu Yosie, soal orang yang mengalami kekanak-kanakan, mengalami masalah-masalah dari masa lalu keterlukaan batin, maka kurikulum pemuridan juga perlu menyentuh sisi emosional. Jadi memerhatikan sisi masa lalunya, artinya bukan kita hanya berfokus masa lalu, tidak tapi kita hari ini adalah produk masa lalu, produk masa kita sebagai bayi, sebagai balita, sebagai anak SD, SMP, SMA, masa tahun keemasan 10 tahun pertama dan 10 tahun kedua itu meletakkan fondasi jiwa kita, struktur kepribadian kita. Waktu kita lahir baru, bukan masa lalu tidak ada lagi pengaruhnya.
Y: Itu maksud saya begitu, pak.
SK: Jadi pemuridan intensional yang utuh dan komprehensif perlu memerhatikan rekam jejak masa lalunya. Kita menilai kepribadiannya, kita cek dengan kuesioner perjalanan dia sebagai anak dulu bagaimana, relasi dengan ayah dan ibu di masa-masa tahun keemasan bagaimana, dia punya masalah-masalah seksualitas, apakah dia pernah dilecehkan secara seksual, apakah ada pengalaman berkaitan dengan okultisme, soal jimat, apakah ada masalah trauma-trauma yang dimiliki ? Bila kita memunyai kuesioner untuk mengecek orang yang hendak kita muridkan, itu akan menolong kita punya peta yang utuh. Dia bukan kertas putih yang tidak ada apa-apanya, tidak, sudah punya banyak coretan. Goresan-goresan ini juga bagian dari kurikulum pemuridan untuk kita layani, pemulihannya dan sekaligus upaya untuk menumbuhkan pola pikir dan gaya hidup yang baru sebagai murid Kristus. Jadi disini maka tidak ada lagi wilayah yang terabaikan dalam pemuridan intensional yang utuh dan komprehensif.
Y: Jadi ukuran gereja yang memuridkan dengan sehat atau dengan baik seperti apa, ya Pak Sindu?
SK: Gereja yang mampu menghasilkan orang-orang yang berkualitas murid Kristus yang bisa melayani orang lain. Kalau boleh saya pakai istilah semoga tidak dibingungkan dengan istilah. Itu adalah kualitas pekerja Kristus, jadi kita adalah istilah dalam dunia pemuridan intensional, ada istilah petobat baru atau orang yang baru lahir baru, kemudian ada murid Kristus, yaitu orang yang menghidupi nilai-nilai Kristus dalam hidupnya, punya pergaulan karib dengan Firman, dengan doa, bersekutu dan bersaksi dan hidupnya diwarnai ketaatan. Itu murid Kristus. Dari murid Kristus ditingkatkan lagi ke level pekerja Kristus akhirnya murid Kristus yang menghasilkan murid-murid Kristus yang lain. Gereja yang sehat pemuridannya adalah gereja yang menghasilkan orang-orang dengan kualitas pekerja Kristus, yaitu murid Kristus yang melayani orang-orang lain untuk menjadi murid Kristus, ada pelipatgandaan rohani. Maka gereja yang sehat sejalan dengan itu, menurut Rick Warren, seorang pendeta yang kita kenal dengan bukunya "Purpose Driven Church", "Purpose Driven Life", itu mengatakan kesehatan sebuah gereja diukur berdasarkan kapasitas pengutusannya atau bahasa Inggrisnya "Sending Capacity" bukan berdasarkan kapasitas pengunjung ibadah Minggunya atau "Seatting Capacity", jadi jangan puas bila kebaktian seribu orang, tahun depan jadi 2000 orang. Ini menipu, yang datang ribuan orang tapi bisa jadi bila mereka tidak pernah dimuridkan secara intensional, mereka adalah bayi-bayi rohani, semakin banyak bayi semakin banyak cekcok konflik yang tidak sehat, semakin banyak masalah karena semuanya ingin dilayani, maka boleh kita ada ribuan anggota karena KKR, musik yang bagus, acara-acara yang sesuai dengan generasi milleneal, generasi Z dan generasi tetha dan sebagainya, tapi jangan berhenti sampai disana. Bagaimana mereka yang banyak ini dimuridkan satu per satu supaya meningkat kapasitas mereka dari petobat baru ke murid, dari murid ke pekerja. Dan pekerja inilah yang kita utus ke berbagai bidang kehidupan, politik, pemerintahan, bisnis, keluarga, entertainment, sosial, pendidikan, budaya, di seluruh bidang kehidupan di dunia ini untuk menjadi saksi-saksi Kristus untuk menjangkau jiwa dan memuridkan lagi yang lain di lingkar bidang masing-masing yang ada di dunia. Itulah gereja yang sehat dan sekaligus gereja yang sehat pemuridannya secara intensional. Tidak bisa lakukan sekadar mengalir tapi harus ada tujuan, sasaran, program, kurikulum, pengecekan dan upaya-upaya secara sadar dan sengaja tadi.
Y ; Itulah hakekat gereja yang sesungguhnya ya, benar-benar jadi terang dunia. Bukan berapa banyak orang yang harus kita jangkau, tetapi orang yang berkualitas, yang seperti apa.
SK: Karena itu dalam hal ini kalau kita mengadakan statistik gereja atau statistik pelayanan, ini bukan hanya untuk gereja semata, tapi mungkin sebuah lembaga pelayanan, parachurch, juga bisa. Jangan hanya bersikukuh berapa jiwa petobat barunya, tapi hitung juga berapa yang punya kualitas murid Kristus, berapa yang punya kualitas pekerja Kristus. Itu penting. Berapa pemimpin yang sudah kita hasilkan tahun ini? Siapakah Timotiusmu? Kalau bahasa Alkitab di Perjanjian Baru. Kita menjadi Paulus, siapa Timotius-Timotiusmu ? Jangan mengatakan, "Oh, tidak tahu, pokoknya aku sudah memberitakan kepada ribuan orang". Itu maaf, bukan itu yang Yesus kehendaki. "Jadikan semua bangsa murid-Ku". Artinya kualitas murid, siapa Timotius-Timotiusmu? Siapa murid-murid Kristus yang sedang kamu muridkan ? Murid-murid yang sudah kamu muridkan itu, seberapa banyak murid lagi yang mereka dihasilkan ? Ini yang perlu jadi ‘mindset’, pola pikir, paradigma dari gereja atau pelayanan kita masing-masing supaya apa yang ada dalam hati Kristus, hati Allah Bapa itu juga yang ada pada kita. Apa yang Yesus lakukan 2000 tahun yang lalu itu pula yang kita lakukan, strategi yang serupa, pemuridan intensional.
Y: Jadi dampak gereja yang memuridkan itu seperti apa, Pak Sindu ?
SK: Dampaknya adalah muncul gereja atau komunitas pelayanan yang dipenuhi orang-orang yang mengenal Kristus dan aktif untuk membuat Kristus dikenal. Menjadi murid Kristus dan memuridkan yang lain. Membuat orang lain mengenal Kristus lewat hidup dan perkataan dan perbuatan dan pengajarannya. Kemudian muncul gereja yang dipenuhi orang-orang yang bertumbuh dewasa dan menolong orang lain bertumbuh. Muncul orang-orang di dalam gereja atau komunitas pelayanan itu yang mengenali panggilan khususnya di gereja dan dunia dan bagaimana mereka kemudian menjadi satu tubuh bersinergi dengan anggota tubuh Kristus yang lain untuk saling melengkapi. Jadi dengan demikian ibaratnya, gereja itu dipenuhi orang-orang yang punya level Kopasus, Komando Pasukan Khusus. Bedanya apa, Bu Yosie, bedanya anggota Kopasus dengan Satuan militer yang biasa saja, bedanya apa?
Y: Memunyai misi khusus, Pak.
SK: Selain misi apa lagi ?
Y: Metode-metode khusus.
SK: Selain itu bagaimana soal kemampuannya, yang Kopasus dan yang bukan Kopasus ?
Y: Pasti memunyai kemampuan khusus.
SK: Ya dan lebih daripada sekadar kesatuan militer yang lain, jadi kapasitasnya berlipat ganda. Itulah visi gereja yang Tuhan inginkan, bahwa kita menghasilkan jemaat yang punya kualitas Kopasus, bukan kualitas sekadar prajurit biasa-biasa saja. Maka disinilah nanti juga akan bermanfaat, Bu Yosie, akan menelorkan generasi, kita tidak akan kesulitan cari pendeta, misionaris, mencari seorang yang memimpin pelayanan-pelayanan baru atau menjadi saksi Kristus di dunia bisnis, di dunia ‘market place’, katakan dalam dunia militer, kepolisian, politisi, pemerintahan karena ibaratnya orang-orang ini sudah siap jiwanya, pikirannya, ibaratnya kualitas Daniel di Perjanjian Lama, kualitasnya Yusuf di Mesir, kualitasnya rasul Paulus di Perjanjian Baru, tinggal panggilan khususnya apa, oh kamu jadi prajurit militer, kamu dipanggil di dunia politik pemerintahan, kamu dipanggil di dunia bisnis, dunia pendidikan, di dunia budaya, hiburan, di dunia media sosial, media digital. Ini yang sebenarnya panggilan menerangi dan menggarami dunia. Maka itu untuk strategi itu tidak cukup hanya Komsel, Bu Yosie, Komsel itu lebih menekankan relasi sejajar, secara horizontal saja, perlu juga upaya vertikal. Bagaimana kualitas orang-orang ini meningkat? Maka mungkin ada gereja yang strateginya ada kelas-kelas pembinaan yang berjenjang, tapi bukan hanya ajaran teologis, doktrinal, kognitif, tapi penerapanmu bagaimana? Pemulihan, luka-lukamu seperti apa, distorsimu apa? Tentang seksualitas, tentang sisi soal relasi dengan keluarga karena kita perlu lihat, dimensi orang bisa jadi dia tahu doktrin tapi dia tidak menghidupi. Dia tahu doktrin tapi doktrinnya tidak berkaitan dengan bidang-bidang keuangan, dengan bidang-bidang seksualitas, bidang-bidang relasi isu-isu tertentu. Ini perlu ada kurikulum yang dikembangkan, kelas-kelas dengan penerapannya plus Komselnya tetap jalan, plus bagaimana dia punya mentor, mengecek ada ‘assessment’, akuntabilitas pertanggungjawaban. Bagaimana pelayanan dia dengan orang lain, relasi dengan keluarganya bagaimana, pasangan nikahnya atau pacarnya, relasi di tempat kerja secara utuh dan holistik, secara komprehensif, dengan strategi yang seperti ini fokusnya, maka ketika itu menjadi "industrinya" gereja, bisnisnya gereja, maka yang menangani akan mengalir secara alamiah, karena hasil kuantitas, rupa-rupa pelayanan hasil dari kualitas orang-orang yang menjadi fokus dari gereja atau pelayanan itu.
Y: Ini sekaligus pecut buat setiap kita untuk tidak hanya pelayan yang memuridkan, tapi kita sebagai orang awam mau memproses diri atau memberi diri untuk dimuridkan, untuk menjadi jemaat yang dewasa.
SK: Benar, jadi ini membutuhkan kita pun sebagai orang yang diselamatkan, perlu terus punya jiwa murid, sekalipun kita sudah level pemimpin, katakan level pekerja Kristus, tetap butuh mentor, orang yang mengecek hidup kita sambil kita menjalani sebagai gaya hidup murid Kristus, hidup dalam firman, hidup dalam ketaatan, tapi ada orang lain yang mengecek kita sebagai bentuk pertanggungjawaban, sebagai bentuk hati seorang murid yang kita hidupi.
Y: Dengan demikian gereja akan bertumbuh sehat dan dua arah, tidak ada satupun yang merasa lebih baik ataupun merasa tidak mampu, tapi sama-sama berdaya untuk menggenapi rencana Tuhan.
Baik, terima kasih Pak Sindu untuk topik yang menarik ini. Saya percaya ini menjadi berkat bagi setiap kita baik yang sudah menjadi pekerja Kristus atau pun kita yang masih baru tapi kita memunyai semangat untuk bertumbuh dan menjadi murid Kristus. Para pendengar sekalian, terima kasih, Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., M.Phil. dalam acara Telaga, TEgur sapa gembaLA keluarGA. Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Gereja Yang Memuridkan Secara Intensional". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK, Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda dapat mengirimkan email ke telaga@telaga.org . Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.