Kata kunci: Rengkuh hal mendasar, lepaskan lainnya, terapkan manajemen krisis dalam bentuk memotong anggaran pengeluaran finansial dan menunda atau memodifikasi rencana pengeluaran, jangan lupakan waktu pribadi dengan Tuhan, jajagi peluang penambahan finansial, berkegiatan ringan dan membangun kebersamaan dengan anggota keluarga.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara Telaga, TEgur sapa gembaLA keluarGA. Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Yosie, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., M.Phil, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Emosi Tangguh Di Masa Krisis" bagian kedua. Kami percaya acara ini bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Y: Kita menyambung pembicaraan kita ya, Pak Sindu, tentang "Emosi Tangguh Di Masa Krisis". Di bagian pertama Bapak sudah menjelaskan pentingnya kita bisa melewati tahapan dan merangkul dukacita kita. Bagaimana dengan langkah kedua, Pak Sindu, setelah kita menerima dukacita kita, merangkulnya, apakah cukup sampai disitu ?
SK: Ya, jadi langkah pertama tadi, terimalah keterhilangan dan rangkul dukacita bahkan kemudian kita lanjutkan untuk membangun emosi yang tangguh di masa krisis adalah terapkan manajemen krisis, yakni rengkuh hal mendasar dan lepaskan yang lainnya.
Y: Wah, menarik ya kata-kata manajemen krisis ini, detilnya seperti apa, Pak?
SK: Prakteknya itu mirip dengan situasi kapal laut, ketika sebuah kapal laut mengalami serangan badai yang sangat dahsyat dan bahkan kapal laut itu dibuat nyaris tenggelam oleh serangan badai yang sangat dahsyat itu, maka umumnya SOP (prosedur operasi standard manajemen krisis) untuk penyelamatan kapal dan para awaknya maka prosedur standardnya adalah sebanyak mungkin muatan kapal dibuang ke laut.
Y: Seperti kisah Yunus, ya ?
SK: Tepat, itulah SOP sejak zaman Perjanjian Lama sampai hari ini. Jadi muatan-muatan dari yang dianggap tidak terlalu penting sampai yang sangat penting bertahap terpaksa dibuang supaya beban kapal itu menyusut diharapkan kapal itu tidak tenggelam.
Y: Masih bisa memertahankan kehidupannya.
SK: Itulah pula didalam konteks kita di masa krisis, di masa pandemi, di masa resesi ekonomi, di masa kita menghadapi bencana alam, bencana sosial sehingga akhirnya supaya kita bisa menyelamatkan diri termasuk emosi yang tangguh itu kita perlu membuat langkah-langkah penyelamatan lewat manajemen krisis ini.
Y: Kalau misalnya kita bicara tentang ekonomi, apa yang bisa kita lakukan untuk mngatur krisis ekonomi kita?
SK: Bentuk manajemen krisis itu, Bu Yosie, seperti yang Bu Yosie sampaikan memang pada umumnya yang sudah kita pahami dan kita lakukan antara lain memotong beberapa anggaran pengeluaran finansial, misalnya kita terbiasa makan di luar rumah dari seminggu sekali akhirnya kita lakukan 2 minggu sekali atau sebulan sekali. Kita tidak membeli pakaian baru, terkecuali benar-benar dibutuhkan. Potong anggaran-anggaran, pos-pos tertentu keuangan kita. Yang kedua, kita menunda beberapa rencana pengeluaran atau mungkin memodifikasi, mengubah misalnya biasanya tiap akhir tahun ada tamasya, piknik ke luar negeri, ke luar provinsi, memakai pesawat udara dengan biaya yang besar. Kita tiadakan.
Y: Diganti ke luar kota saja, naik mobil.
SK: Atau muncul juga model "staycation" dari kata ‘stay’ sama dengan tinggal, ‘cation’ dari vacation, liburan di halaman rumah atau di dalam rumah nonton nobar, unduh dari youtube, dari media sosial satu film tertentu, film keluarga ditonton dengan suami, istri, anak sambil makan ‘pop corn’, makanan tertentu jadi menciptakan suasana berbeda dari rutinitas. Itulah salah satu wujud manajemen krisis yaitu rengkuh hal mendasar, lepaskan yang lain dalam wujud secara finansial atau secara fisik itu tadi, Bu Yosie.
Y: Benar ya Pak, apa pun boleh kita lakukan asalkan halal dan tidak menipu seperti menciptakan suasana nonton di rumah. Itu tadi menurut saya hanya menahan anggaran, tapi ada yang benar-benar kehilangan pekerjaan, benar-benar tidak punya pemasukan, sehingga kita benar-benar khawatir, benar-benar "down". Apa yang harus kita lakukan, Pak ?
SK: Betul, jadi situasi bisa jadi memang tidak cukup lagi sekadar memotong anggaran karena penghasilan utamanya sudah tidak ada, apalagi yang mau dipotong ? Dalam hal ini, sebagai respons manajemen krisis, kita sangat perlu untuk membuka peluang-peluang lain apa pun yang halal untuk memberi pemasukan finansial, asalkan itu halal tidak menipu, bukan tindak kejahatan wajib bahkan untuk kita lakukan, untuk membuka, mengisi dompet pundi-pundi keuangan kita.
Y: Apa saja walaupun bukan bidang kita, harus belajar berani menerapkan hal baru.
SK: Tepat, misalnya sebuah kisah ekstrem yang mungkin pernah kita dengar atau baca dan ketahui, ada beberapa pilot pesawat udara, pilot pesawat terbang komersial, maskapai swasta terpaksa berhenti karena memang penerbangan terhenti di masa pandemi. Menganggur, tidak ada pemasukan, apa yang dilakukan ? Dia berjualan mie ayam.
Y: Atau berjualan burger, saya pernah baca di facebook.
SK: Begitu ya, ada juga seorang anak SD karena pandemi tidak bisa sekolah secara tatap muka di kelas sekolah, secara daring (atau dalam jaringan/online) butuh pulsa padahal kedua orangtuanya adalah pedagang kecil kaki lima, apa yang dilakukan ? Anak itu di luar jam sekolah daring, dia memakai gerobak orangtuanya untuk berjualan camilan supaya dari penghasilan yang didapatkan minimal bisa membeli quota data. Jadi memang disinilah yang diperlukan berani "out of the box", keluar dari kotak, keluar dari ‘comfort zone’, keluar dari zona nyaman karena memiliki kesadaran krisis. Kadang kita masih jaim, jaga image, malu. Aku ‘kan pilot, aku ‘kan pendeta, aku ‘kan eksekutif perumahan mewah, masa harus mencangkul, masa harus membajak di sawah ! Itu berarti kita belum memunyai "sense of crisis".
Y: Kita masih merasa bertahan pada posisi kita.
SK: Inilah yang perlu berani kita terobos, kembali manajemen krisis melakukan sesuatu yaitu dengan cara merengkuh hal mendasar, menyelamatkan dapur, bisa makan, punya perlindungan kesehatan dan hal-hal lainnya dilepas termasuk gengsi, rasa malu asal pekerjaannya tetap halal bukan mencelakan orang lain. Praktekkanlah "the power of kepepet", kepepet dalam bahasa Jawa, dalam bahasa Indonesia artinya terdesak, terpojok, terjepit. The power of kepepet, kuasa yang muncul, enerji kreatifitas yang lahir karena tidak punya pilihan yang lain. Manfaatkan anugerah yang Tuhan berikan, potensi yang melampaui rutinitas dan kelaziman yang biasa kita lakukan bertahun-tahun di masa pandemi, masa krisis, masa-masa sulit secara ekonomi, secara finansial, secara sosial. Kita berani menerobos di luar kotak yang selama ini kita kenali dan hidupi.
Y: Tapi Pak apakah hanya tentang hal-hal uang, apakah cukup hal-hal lahiriah pokoknya ada makan, papan, sandang. Bagaimana dengan hal-hal yang batiniah, apa yang harus kita rengkuh hal mendasar dan lepaskan yang tidak, itu seperti apa prakteknya ?
SK: Betul, didalam menerapkan manajemen krisis karena kita makhluk bio psiko spiritual, maka benar yang disampaikan Bu Yosie, kita sebagai makhluk lahiriah dan batiniah, kita pun juga merengkuh hal mendasar bukan semata hal lahiriah finansial, tapi juga hal-hal batiniah yakni cinta dan kegembiraan.
Y: Bagaimana merengkuh cinta dan kegembiraan ? Di tengah keadaan yang kita secara jiwa kering di masa sulit.
SK: Sebelum kita lebih jauh, saya ingin menjelaskan mengapa cinta dan kegembiraan sebagai hal batiniah mendasar? Karena kita memang diciptakan Allah sebagai makhluk cinta. Tanpa kita dicintai Tuhan dan dicintai orang lain bahkan termasuk tanpa kita mencintai diri sendiri, kita mengalami kematian. Seperti bayi lahir, fisik ya, tapi hanya diberi dot susu tanpa sentuhan, tanpa ada kata-kata "Hei, anak kecil yang lucu". Tidak ada stimulasi cinta, bayi itu lebih cepat sakit dan meninggal. Ada sebuah penelitian empiris yang pernah membuktikan itu apalagi ketika tumbuh di masa balita dan seterusnya. Sampai dewasa kitapun butuh dicintai dihargai, jadi cinta adalah emosi dasar, hal batiniah mendasar, universal. Kemudian kegembiraan sama, kita lahir di dunia ini untuk bergembira, maka orang tidak tahan terus-menerus tertekan, sedih, muram, suram, orang ujungnya depresi, sampai depresi klinis, bunuh diri. Cinta dan kegembiraan perlu kita nyalakan setiap hari apalagi di masa krisis.
Y: Justru seperti menghadirkan kebalikannya, untuk memerangi kesulitan kita harus membangkitkan kebalikannya yaitu semangat, cinta, kebahagiaan, gairah, begitu ya, Pak ?
SK: Betul, tepat yang disampaikan Bu Yosie. Semakin kita menghadapi kesuraman, ketidakberdayaan, kesedihan semakin kita punya alasan cinta dan kegembiraan kita harus munculkan sebagai vaksin jiwa, sebagai perlindungan antibodi.
Y: Bagaimana kita merayakannya ?
SK: Yang pertama, Bu Yosie, kita perlu membangun, merayakan tiap hari, pertama adalah keintiman dengan Tuhan, baik lewat firman, doa, pujian, persekutuan dengan Tuhan maupun dengan saudara seiman dan pelayanan kita juga kepada Tuhan lewat orang lain. Justru itu tidak boleh berhenti, relasi vertikal dalam bentuk doa dan firman, relasi dengan Tuhan. Relasi horizontal dengan sesama, baik lewat persekutuan dengan saudara seiman, fellowship, ada interaksi bersama, KTB (kelompok tumbuh bersama), kelompok sel, sharing dan pelayanan baik dalam tubuh Kristus maupun pelayanan di luar tubuh Kristus. Justru ketika kita melakukan empat jari-jari roda murid Kristus yang taat yaitu doa, firman dan bersekutu dan bersaksi, melayani orang lain. Empat jari-jari kehidupan murid Kristus ini, maka disanalah cinta dan kegembiraan kita nyalakan.
Y: Ya karena memang yang menjadi dasar adalah hubungan kita dengan Tuhan yang menciptakan kita. Tanpa keintiman cinta Tuhan, kita ya mati tentunya.
SK: Betul, maka yang kedua adalah keintiman dengan keluarga terdekat dan sahabat rohani kita, baik itu pasangan nikah kita, anak kita, orangtua kita, mertua kita, menantu kita, sahabat-sahabat rohani. Ini lingkar terdalam kita, kita hidupkan keintiman dengan Tuhan dan dengan keluarga terdekat serta sahabat rohani kita. Maka dengan begini kembali kehangatan cinta dan kegembiraan kita perbesar nyalanya di dalam jiwa kita, dengan begitu hal mendasar sedang kita pertahankan sementara hal-hal yang lain kita lepaskan tidak apa-apa. Manajemen krisis di tengah situasi krisis.
Y: Jadi ini maksudnya yang harus kita rengkuh, hal yang paling mendasar adalah cinta dan kegembiraan itu yang tetap harus kita rangkul.
SK: Betul, maka untuk itu Bu Yosie, bentuknya antara lain waktu pribadi dengan Tuhan baik itu saat teduh firman, meresapi firman dan janji-janji Tuhan, berdoa pribadi dan dengan keluarga kita atau berdoa lewat kalau kita di masa pandemi tidak boleh bertemu, seperti pandemi Covid-19 yang pernah dan sedang kita alami misalnya, kita bisa pakai dalam bentuk video call, zoom, seperti itu atau lewat telepon. Kita bisa bernyanyi bersama, berdoa saling mendoakan, termasuk ucapan syukur kita naikkan didalam doa kita dan untuk menyemangati saat teduh firman kita bisa bagikan satu dua kalimat hasil saat teduh kita lewat pesan singkat, baik itu lewat chat, whatsapp kita atau kita memakai telegram, pesan messenger facebook kepada beberapa orang. Supaya begini kadang orang bicara, "Aku tidak bisa saat teduh rutin, ikuti suasana hati", supaya tidak demikian disiplin itu ditolong lewat kita berjanjian dengan orang lain. Ada pertanggungjawaban, oke aku ‘mood’nya lagi sedih tapi karena tiap hari aku sudah berjanji bahwa tiap hari aku dengan lima orang harus saling membagi berkat, dipaksa dengan suasana eksternal, kita terpaksa melakukannya karena orang lain. Kita sudah berjanji, baca saja firman Tuhan 5 menit, baca 3 ayat, direnungkan, Tuhan berbicara apa. Diketik, "Tuhan mengingatkan aku untuk tetap mengucap syukur di masa sulit", satu kalimat kemudian dikirim. Itu akan menolong jangkar firman itu tertancap di dalam jiwa kita dan perasaan kita akan terangkat dari firman yang kita tuliskan itu. Karena kita bagikan kepada orang lain, orang lain itu juga diberkati lewat apa yang kita tulis yang hanya satu kalimat. Ketika kita membaca orang lain yang kita kirimi, kita juga diberkati. Jadi manfaatkan kekuatan relasi ini secara positif. Jangan ini ‘kan privasi, saat teduh, tidak bisa diketahui oleh orang lain. Ya, tidak boleh diketahui orang lain bila itu untuk dipamerkan, tapi kalau dilakukan dalam semangat positif untuk membangun tubuh Kristus dan saudara kita, tidak apa-apa.
Y: Kegiatan-kegiatan ringan lainnya ya, Pak. Misalnya pergi dengan keluarga, walaupun tidak bisa ke luar negeri, paling tidak ke perumahan, jalan-jalan bersepeda, itu membantu ya, Pak ?
SK: Betul, jadi kegiatan ringan, rekreasional bisa kita lakukan. Jangan lupa "mens sana in corpore sano", di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Saya mengalami juga, saya juga sosok yang rentan, sebenarnya juga mengalami perasaan-perasaan seperti yang telah saya gambarkan, merasa muram, suram, mudah merasa bersalah. Selain dengan saat teduh firman dan juga mencurahkan isi hati kepada Tuhan. Tapi ketika saya menggerakkan badan, aerobik, hanya 10 menit saja, kegiatan senam kalau bosan saya kebetulan dalam anugerah Tuhan, kita dianugerahi jaringan digital, kita bisa masuk ke youtube, dari sana saya klik panduan aerobik, saya ikuti saja 10 menit, sudah bisa berkeringat, badan segar, jiwa juga segar. Tanpa harus bermewah-mewah ke Pusat Kebugaran (Fitness Center), tapi di rumah pun bisa dilakukan. Juga jangan lupa berjemur pagi, kita bersyukur di Indonesia matahari dominan menyala, matahari dominan bisa kita nikmati. Kalau misalnya sehari mendung saja, seharian hujan, sedih saya rasakan. Tidak heran, Bu Yosie, kalau kita pernah baca atau mengetahui bahwa di negara-negara yang mengenal 4 musim, apalagi daerah-daerah yang dekat ke Kutub Utara, Kutub Selatan, dimana ketika menghadapi musim dingin, matahari bisa seharian bahkan berhari-hari tidak bersinar, tidak muncul, beberapa orang depresi dan bunuh diri. Kita bersyukur di negara katulistiwa, ada anugerah sinar matahari, berjemur pagi dan beraktifitas sesaat di luar, jalan pagi, lari pagi, bersepeda, itu menolong mengangkat jiwa kita kembali menciptakan "Emosi Tangguh Di Masa Krisis".
Y: Apa, Pak, yang perlu dilepaskan ? Tadi kita merengkuh yang mendasar dan melepaskan. Kalau secara batiniah merengkuh cinta dan kegembiraan. Apa yang perlu kita lepaskan, Pak ?
SK: Yang dilepaskan misalnya salah satunya aktifitas-aktifitas, bisa jalan-jalan bila sedang pandemi. Kalau kita sedang manajemen keuangan, situasi keuangan memburuk, ya sudah, biasanya nonton bioskop sebulan sekali, biasanya setiap menjelang Natal, liburan sekolah, kita membeli pakaian baru, kita ini dan itu, makan di luar. Tidak bisa dilakukan, ya sudah dilepas. Tapi hal-hal yang mendasar, kebutuhan sandang papan pangan yang mendasar, kebutuhan jiwa yang mendasar, cinta dan kegembiraan tetap kita penuhi.
Y: Kalau begitu, apalagi Pak yang bisa kita lakukan untuk membangun dan merayakan, cinta dan kebahagiaan supaya kita memiliki emosi yang kuat di masa yang sulit ini?
SK: Agar bisa kita menyalakan cinta dan kegembiraan itu maka di antaranya, Bu Yosie, kita bisa kembangkan sharing, saling berbagi tatap muka dengan anggota keluarga kita di rumah. Atau kalau kaitannya di masa pandemi, misalnya tidak mengizinkan kita untuk tatap muka dengan orang yang tidak serumah, kita bisa sharing lewat ‘video call’, ‘whatsapp call’, seperti itu atau lewat telepon dengan sahabat rohani kita di rumah yang berbeda. Kita saling beban, saling berbagi kisah, pengalaman keseharian kita, saling berbagi impian, kalau pandemi ini berlalu, kalau resesi ekonomi ini berakhir, kalau situasi kerusuhan sosial ini sudah berakhir dan kondisi normal kembali.
Y: Jadi saling "brain-storming", saling berbagi ide.
SK: Jadi kembangkan sambil disertai ucapan syukur dan doa. Suasana persekutuan, saling memberi dan mendukung lewat doa, cerita.
Y: Jadi itu harus tetap dipertahankan, ya Pak.
SK: Itulah bagian dari upaya, salah satu bahan bakar dari cinta dan kegembiraan. Karena ada relasi, kita merasa dicintai dan mencintai. Saling membagi beban, bebannya lebih diangkat, kegembiraan lebih dikembangkan. Seperti itu, Bu Yosie.
Y: Ya, menarik Pak. Tanpa relasi baik dengan Tuhan maupun dengan sesama, kita sangat kering, cenderung untuk cepat menyerah. Putus asa, seperti sudah "end of the world".
SK: Termasuk berbagi pada orang lain, seringkali kadang dalam kondisi krisis atau pun kita mengalami keuangan yang sangat terbatas, kita lebih punya alasan untuk tidak pernah memberi secara finansial ataupun materi pada orang. Jangan seperti itu, sekalipun kondisi keuangan kita pas-pasan atau berkekurangan, apa yang bisa kita bagikan, makanan kita, barang kita, bantuan kita, berikan dengan murah hati. Karena siapa yang bermurah hati seperti memiutangi Tuhan. Membuat Tuhan merasa berutang dan kita memberi dengan hati yang tulus bukan karena pamer, Tuhan melihat hal yang tersembunyi ini, niat yang tulus ini, Tuhan malah merasa berutang dan memberkati kita berlipat ganda. Jangan lupa ini hukumnya Tuhan, tapi bukan ajang memancing, beli Mercy, Ferrari ah itu namanya …….
Y: Mencobai Tuhan, Pak.
SK: Dan tindakan yang mamon-isme. Bukan Tuhan yang disembah, tapi mamon. Kembali dengan semangat yang tulus kita berbagi, justru disana pintu surga diketuk, berkat finansial, kesehatan, berkat pertolongan Tuhan akan kita lebih bisa terima.
Y: Amin. Itu yang membuat kita juga tetap semangat karena kita merasa berarti bagi hidup orang lain.
SK: Betul. Maka disinilah Bu Yosie, sejalan dengan Mazmur 126:5-6, "Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya". Bagian Firman Tuhan ini mengingatkan situasi kesusahan, Bu Yosie, ketika orang ada dalam masa pembuangan di negeri Babel. Ketika kembali mengalami pun juga banyak susah payah karena negeri yang porak poranda, mereka harus membangun kembali dalam posisi kehancuran, membangun menanam kembali tanah yang kering kerontang, membangun kembali rumah-rumah mereka dengan mencucurkan air mata, tapi akan pasti ujungnya menuai, atau berjalan kembali, menuai dengan sorak sorai dan membawa hasilnya. Jadi apa yang kita lakukan di dalam Tuhan, sekalipun diawali dengan air mata, karena kesedihan dan perjuangan keras yang kita lakukan, tapi asal dengan semangat "Ora et Labora", berdoa, berharap kepada Tuhan, sambil kita setia mengerjakan apa yang bisa kita kerjakan dengan langkah-langkah tadi itu, baik itu yang pertama, menerima keterhilangan dan merangkul dukacita; yang kedua menerapkan manajemen krisis yaitu merengkuh hal mendasar dan melepaskan lainnya, ketika kita mau, ada berkat Tuhan yang dikatakan, pasti kita akan berjalan kembali untuk menuai dan membawa berkas-berkasnya dengan sorak sorai, ini janji Tuhan, ya dan amin. Pasti kita akan mengalami ketika kita mau melakukannya dengan penuh iman.
Y: Amin. Bersyukurlah kita orang-orang yang percaya sebab di dalam Tuhan selalu ada pengharapan.
SK: Amin.
Y: Terima kasih banyak, Pak Sindu, saya percaya ini menjadi berkat untuk setiap kita yang mendengar. Para pendengar sekalian, terima kasih. Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K, M.Phil. dalam acara Telaga, TEgur sapa gembaLA KeluarGA, kami baru saja berbincang-bincang tentang "Emosi Tangguh di Masa Krisis" bagian kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK, Jl. Cimanuk 56 Malang atau Anda dapat mengirimkan email ke telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda. Sampai jumpa dalam acara Telaga yang akan datang.