dpo. Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kita yang suka berkebun pasti tahu bahwa kita senantiasa harus berhadapan dengan lalang atau rumput liar. Hari ini kita cabut, besok tumbuh lagi. Itu sebab kita tidak pernah bisa berhenti mencabut ilalang; begitu berhenti, lalang akan memenuhi kebun dan menggusur tanaman yang kita pelihara. Begitu pula dengan pernikahan. Problem tidak pernah berhenti bermunculan di dalam pernikahan. Hari ini kita selesaikan satu, besok muncul sesuatu yang baru. Memang tidak selalu kita dapat menyelesaikan problem saat itu juga; adakalanya kita harus menunggu waktu yang tepat dan kadang, kita perlu membiarkan. Namun, pada akhirnya kita mesti berupaya menyelesaikannya dan tidak membiarkannya berkembang. Berikut kita akan membahas sumber problem dalam pernikahan dan bagaimana cara menyelesaikannya. Sudah tentu ada banyak problem dalam pernikahan namun bila kita perhatikan dengan saksama, ternyata kebanyakan problem dalam pernikahan berasal dari beberapa sumber. Berikut adalah beberapa di antaranya:
Watak yang Buruk
Sudah tentu tidak ada orang yang berwatak seluruhnya buruk; kebanyakan berwatak baik dan buruk. Masalahnya adalah, ada yang berwatak sangat buruk dan ada yang berwatak buruk; dan ada yang berwatak banyak buruk dan ada yang berwatak sedikit buruk. Perbedaan ini ditimbulkan oleh pelbagai faktor misalkan, latar belakang keluarga, lingkungan pergaulan, dan kematangan jiwa dan rohani. Termasuk di dalam kategori watak buruk adalah tidak bertanggungjawab, mencari kesenangan pribadi, tidak setia, pembohong, penjudi, pecandu, mau menang sendiri, gemar menyakiti orang, memanfaatkan orang, sombong, sukar meminta maaf. Dapat kita bayangkan betapa sulitnya kita memunyai pernikahan yang sehat bila kita menikah dengan orang dengan watak buruk seperti itu. Kadang kita memunyai anggapan bahwa pada waktu menikah kita berdua adalah orang kudus, yang akhirnya berubah berdosa karena menikah, seakan-akan kita berubah buruk gara-gara menikah dengan pasangan kita. Pada kenyataannya tidak demikian. Kita masuk kedalam pernikahan sebagai orang berdosa, yang seyogianya harus berubah karena dikuduskan oleh Roh Kudus melalui pasangan kita. Masalahnya adalah, ada yang cepat dan ada yang lama berubah sebab watak buruk yang telah terbentuk tidak mudah hilang. Makin buruk, makin susah dan makin lama hilang. Itu sebab, dalam perjalanannya watak buruk menjadi lalang, yang terus bertumbuh meski dicabuti setiap hari.
Tuntutan dan Pengharapan yang Tidak Terpenuhi
Kita masuk kedalam pernikahan membawa serta tuntutan dan pengharapan kita masing-masing. Misalkan kita berharap pasangan adalah seorang yang matang dalam berpikir dan bersikap. Atau, kita berharap pasangan adalah seorang yang cakap mengatur rumah tangga dan bijak membesarkan anak. Atau, kita berharap pasangan akan melimpahkan kita dengan kasih sayang serta membuat kita merasa berharga. Tetapi ternyata pasangan tidak seperti yang kita harapkan. Pengharapan biasanya muncul dari dua sumber. Pertama adalah GAMBAR IDEAL tentang suami-istri dan ayah-ibu yang selama ini ada pada diri kita. Mungkin gambar ideal itu kita peroleh dari orangtua kita yang memang memunyai relasi seperti itu. Atau mungkin sebaliknya, orangtua kita tidak seperti itu. Maka kita pun berharap pernikahan kita tidak menjadi seperti pernikahan orangtua kita. Adakalanya gambar ideal itu kita peroleh dari sumber lain seperti buku yang kita baca atau orang yang kita kenal. Misalkan, kita berharap suami mengasihi kita sebab itulah yang kita baca di Efesus 5:25, "Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya." Atau, kita berharap istri akan tunduk kepada kita sebagaimana diperintahkanTuhan di Efesus 5:22-23, "Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat." Sumber kedua dari pengharapan adalah KEBUTUHAN yang kita bawa kedalam pernikahan. Sebagai contoh, oleh karena kita dibesarkan di dalam kondisi ekonomi yang tidak menentu, setelah dewasa kita memunyai kebutuhan rasa aman yang besar. Kita takut dan tidak mau jatuh miskin lagi; itu sebab kita berharap pasangan memenuhi kebutuhan ekonomi dengan baik. Begitu kondisi ekonomi mulai tidak menentu, kita cemas dan marah kepada pasangan. Kita pun menuntutnya untuk bekerja lebih keras. Atau, oleh karena orangtua sering konflik, kita membutuhkan ketenteraman. Kita menjadi mudah terganggu oleh ketegangan dan tidak suka mendengar suara yang keras dan meninggi. Pada akhirnya kita berupaya untuk menghindar dari konflik, dan ini membuat pasangan frustrasi sebab masalah menjadi tidak terselesaikan. Kita lebih suka tutup mulut dan menjauh dari pasangan. Baik gambar ideal maupun kebutuhan, keduanya melahirkan pengharapan bahwa pasangan seyogianya menjadi seperti yang kita harapkan. Namun di antara keduanya, kebutuhan adalah faktor yang lebih mendesak dan dapat dengan cepat berubah menjadi tuntutan. Sewaktu kebutuhan tidak terpenuhi, kita akan menuntut pasangan untuk memenuhinya. Dan ini biasanya berujung pada pertengkaran.