Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan melanjutkan perbincangan kami beberapa waktu yang lalu yaitu tentang mengatasi perilaku anak yang mencuri. Kami percaya acara ini akan bermanfaat bagi kita sekalian. Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu kita sudah berbincang-bincang tentang bagaimana mengatasi anak yang mencuri, tapi karena banyaknya sisi yang harus kita lihat rupanya perbincangan itu perlu kita lanjutkan pada kesempatan ini. Supaya para pendengar kita kali ini juga mempunyai gambaran apa yang kita bicarakan pada kesempatan yang lalu, mungkin Pak Paul bisa mengawalinya secara singkat, bagaimana kita itu bisa mengenal anak yang mencuri.
PG : Secara garis besar Pak Gunawan ada tipe-tipe anak yang mencuri, jadi tidak semua itu muncul dari satu karung yang sama. Yang pertama adalah anak yang mencuri karena dia sendiri anak yan impulsif.
Impulsif berarti seseorang yang mempunyai dorongan yang kuat untuk mempunyai sesuatu, dan waktu dia menginginkan sesuatu dia harus mendapatkannya dengan seketika. Nah anak ini bisa menjadi anak yang mencuri, jika dia menginginkan sesuatu dia harus mendapatkannya. Anak yang kedua adalah anak yang membutuhkan perhatian karena hidup di lingkungan yang kurang sekali perhatian, dia sangat butuh aktifitas. Dan waktu dia membutuhkan aktifitas, yang dilakukan ialah mencuri, dengan dia mencuri dia bisa membeli barang yang ia inginkan sebab di rumah atau di sekolah kemungkinan besar dia tidak mendapatkan perhatian, jadi anak itu menyendiri. Yang ketiga adalah anak yang egosentrik, anak yang sangat egois di mana keinginannya tidak boleh dibendung, yang dia inginkan harus ia dapatkan, dia tidak mengenal batas milik, bahwa ini milik orang, ini milik saya, orang pun harus tunduk pada keinginannya. Dan yang keempat adalah anak yang bermasalah atau yang lebih sering disebut kleptomania yaitu anak-anak yang sebetulnya kompulsif, anak-anak yang mempunyai problem perilaku di mana dia harus mencuri meskipun dia tidak membutuhkan barang yang dia inginkan, dia mengambilnya, karena itu suatu perilaku yang harus dia lakukan.
GS : Pada waktu itu kita juga sudah mulai berbincang-bincang sedikit tentang selain ada masalah di dalam diri anak itu, tetapi juga lingkungan di sekitarnya yang mendukung, ada situasi-situasi tertentu yang membuat anak itu melakukan pencurian, Pak Paul?
PG : Betul, yang pertama adalah kurangnya pengawasan atas benda berharga. Jadi dalam rumah tangga itu semuanya terbuka, anak-anak boleh mengambil benda berharga di lemari ibunya, mempunyai knci untuk membuka lemari ayahnya.
Itu suasana yang kurang baik sebab tidak ada lagi batas antara yang privat dan yang umum. Dalam situasi seperti itu anak-anak bisa tergoda untuk mencuri atau tidak mengenal batas milik. Yang kedua adalah kurangnya penanaman hati nurani sehingga anak-anak ini tidak tahu lagi benar atau salah, tidak pernah diajarkan mana yang baik dan mana yang kurang baik, sehingga akhirnya mencuri. Sebenarnya hal itu bukan sesuatu yang salah baginya.
GS : Mungkin itu yang sudah kita bicarakan pada kesempatan yang lalu. Dan sekarang kita lanjutkan. Selain dari situasi itu Pak Paul, apakah ada situasi-situasi yang lain yang mendukung atau mendorong seseorang anak itu sampai mencuri, Pak?
PG : Masih ada Pak Gunawan, yang berikutnya adalah kurangnya pengawasan terhadap anak. Jadi dalam kasus ini anak-anak bebas melakukan apa saja yang dikehendakinya. Kebebasan ini bisa diperolh, biasanya karena orang tuanya bermasalah atau orang tuanya sangat sibuk sehingga tidak ada di rumah.
GS : Ya itu masalahnya.
PG : Itu sendiri juga masalah, sehingga tidak ada yang mengawasi. Akhirnya mereka bisa melakukan hal-hal yang negatif. Teman-teman mengajak mencuri atau teman-temannya mengatakan ambil saja arang orang tuamu, ya dia ikuti.
Dia ingin membeli sesuatu dan tidak ada uang, temannya mengajarkan agar mengambil barang orang tuanya, dia ikuti juga. Itu karena tidak ada pengawasan yang baik terhadap anak-anak, jadi anak-anak itu dibiarkan bebas, seperti liar.
GS : Atau mungkin Pak Paul, keluarga itu terdiri dari keluarga yang besar sekali, misalnya anaknya banyak sehingga tidak bisa mengawasi satu per satu.
PG : Itu juga bisa, betul Pak Gunawan. Jadi akhirnya orang tua sangat repot, mungkin dengan kehidupan mereka sendiri dan juga anak-anak yang banyak. Sehingga dalam kondisi seperti itu kurangbisa memberikan pengawasan pribadi pada setiap anak.
Banyak perilaku anak yang sebetulnya berpotensi untuk negatif, tapi mengapa tidak berkembang menjadi negatif, karena kehadiran orang tua yang mengawasi anak. Maksud saya begini, ada seorang yang pernah berkata, kalau mau menciptakan monster dalam rumah mudah sekali, lepaskanlah anak-anak kita. Maksudnya biarkan mereka tidak perlu dididik, akhirnya yang negatif akan muncul tapi kalau diawasi dengan baik, yang negatif itu bisa kita tekan dan kita arahkan kembali.
IR : Karena kecenderungan anak itu selalu melakukan yang negatif, ya Pak Paul?
PG : Betul, cukup banyak anak yang memang cenderung seperti itu. Contohnya mengambil barang, anak-anak itu sejak kecil susah sekali melepaskan barang kepada orang lain, mainannya mainan dia,mainan orang lain ya juga mainan dia.
Kalau meminjam barang orang, orang harus berikan, tapi waktu orang meminjam barangnya, sangat susah untuk dia berikan.
GS : Egosentriknya tadi ya Pak Paul?
PG : Betul, jadi kecenderungannya adalah nanti anak-anak itu mengambil barang orang yang ia inginkan.
GS : Tadi yang Pak Paul maksudkan dengan pengawasan, sampai sejauh mana kita sebagai orang tua mengawasi tingkah laku anak kita?
PG : Yang saya maksud adalah orang tua sebetulnya harus tahu apa yang sedang terjadi dalam hidup anaknya, apa yang dia lakukan. Pada siaran yang lalu Ibu Ida memberikan contoh, kalau anak-ank pulang membawa barang-barang tertentu, orang tua harus tahu.
Jadi orang tua harus sering misalnya ke kamar si anak, mengobrol dengan si anak, dan melihat-lihat barang-barang yang dimiliki. Orang tua harusnya mengingat-ingat pernah membelikan apa, sekarang mengapa ada barang yang tidak dibelikan, dari mana, Otomatis juga orang tua yang harus membelikan, bukan sopir atau suster yang membelikan.
IR : Dengan demikian anakpun juga tidak bebas memiliki?
PG : Betul, anak-anak itu harus tahu bahwa dia diawasi, karena waktu dia mengetahui bahwa tidak diawasi kecenderungannya adalah berbuat melewati batas. Jadi perlu mendirikan pagar di rumah, alau boleh saya ilustrasikan dengan pagar, anak harus tahu batas pagarnya.
Kalau kita gagal memberikan pagar di rumah, dia akan menginjak-injak tanaman orang lain di luar.
IR : Apakah kondisi sosial ekonomi yang tidak mendukung juga membuat anak mencuri, Pak Paul?
PG : Bisa, meskipun tidak semuanya. Tadi contoh-contoh itu bisa terjadi pada rumah tangga yang mapan, namun situasi ekonomi yang lemah bisa juga mendorong anak untuk mencuri. Ini tidak haruslemah dalam pengertian sangat susah, bisa juga yang sedang-sedang tapi kebetulan dia berada di lingkungan yang melampaui kemampuan ekonominya.
Jadi teman-temannya memakai baju yang bagus, cincin yang bagus atau apa, akhirnya dia juga tergoda untuk memilikinya. Ini cukup sering terjadi, jadi orang tua sebetulnya harus bijaksana menempatkan, di mana anak-anak itu bermain, dengan siapa dia itu bergaul. Kalau anak kita adalah anak yang biasa sebaiknya jangan kita menyekolahkan dia di sekolah di mana mayoritas teman-temannya adalah orang-orang yang sangat berada. Ini tidak sehat bagi si anak, sebaiknya dia sekolah dengan anak-anak yang setara derajat ekonominya. Sehingga yang ia miliki, juga teman-temannya miliki, yang teman-temannya miliki, itu juga yang ia miliki; itu lebih baik sebetulnya.
IR : Juga perlu atau tidak, Pak Paul, orang itu menanamkan hidup yang sederhana, misalnya untuk membeli barang yang tidak perlu bermerk ?
PG : Bagi saya yang paling penting, mengajarkan kepada anak apa yang terbaik. Nah yang baik itu memang bisa berbeda-beda, dalam keadaan ekonomi yang kurang, otomatis tidak bisa membeli baran yang bermerk.
Kita hanya bisa membeli barang yang cukup baik tapi tidak bermerk. Namun harus kita akui satu hal yang juga merupakan fakta, yang bermerk kualitasnya bagus, kenapa bagus? Karena memang dibuat dari bahan- bahan yang lebih bagus sehingga menuntut biaya yang lebih tinggi. Jadi merk bagus kebanyakan berarti mempunyai mutu yang lebih bagus.
IR : Tapi kadang-kadang merk hanya untuk gengsi, Pak?
PG : Itu yang salah, jadi yang perlu kita tanamkan pada anak bukan gengsinya, bukan prestisenya, tapi mutunya. Kita ini mengajarkan, barang yang bermutu, yang baik. Contohnya saya dulu perna membeli sepatu, sepasang sepatu yang cukup murah, benar saja tidak ada setahun sudah rusak sehingga tidak bisa dipakai.
Istri saya belum lama ini beli sandal atau sepatu saya lupa, dia senang sekali katanya murah, tidak ada 2 minggu lepas semuanya. Jadi yang kita ajarkan kepada anak bukan mengirit tetapi bijaksana, mengerti apa yang kita butuhkan, apa itu kemampuan kita, yang bisa kita beli, dan cobalah beli yang memang bermutu baik, itu saya kira prinsipnya. Jadi kalau menghemat tanpa tujuan, yang jelas kurang bijaksana, jatuhnya bisa lebih mahal. Saya membeli sepatu memang mahal, tapi saya bisa menggunakannya selama 9 tahun.
IR : Tapi anak-anak remaja sekarang cenderung untuk membeli barang bermerk hanya karena gengsi.
PG : Itu yang salah, dan anak-anak yang dikelilingi teman-teman yang bergengsi seperti itu, sedangkan dia sendiri tidak mampu, dia akan cenderung mencuri. Atau sebetulnya dia mampu, dia tahuorang tuanya mampu, tapi orang tuanya tidak mau membelikan itu bisa juga mendorong dia untuk mencuri.
Jadi intinya kita harus mengawasi, dengan siapa anak-anak kita bergaul, apakah selevel atau tidak. Meskipun sebetulnya selevel dengan kita, tapi kita menginginkan anak kita mempunyai tingkat kehidupan yang seperti itu. Kalau kita tidak menginginkan kita harus perhatikan, dengan siapa dia bergaul.
GS : Lalu apa ada situasi yang lain selain 4 situasi yang sudah Pak Paul sebutkan tadi?
PG : Yang terakhir yang bisa saya pikirkan adalah situasi budaya, Pak Gunawan, jadi saya harus akui ada budaya yang membolehkan pencurian.
GS : Bagaimana itu?
PG : Misalnya begini, Pak. Ada budaya atau sistem kehidupan, cara hidup di lingkungan- lingkungan tertentu yang seolah-olah memberikan toleransi kepada orang mencuri atau mengambil barang yag lainnya.
Terutama mencuri dari orang yang lebih berada. Seakan-akan tersirat suatu asumsi, asal tidak terlalu merugikan pemiliknya ya tidak apa-apa. Atau yang lainnya adalah rasionalisasi yaitu bukankah dia seharusnya membagikan hartanya dengan saya yang tidak punya ini. Ini tercermin misalnya dari cerita Robin Hood, kita susah mempersalahkan Robin Hood. Orang cenderung mendewakan Robin Hood karena dia mengambil dari raja-raja yang kaya yang dianggap lalim, kemudian memberikannya kepada orang-orang yang miskin. Ini juga diulang lagi di Amerika, Robin Hood di Inggris, di Amerika adalah Jessie James. Perampok bank yang dikenal sangat dermawan, merampoki kereta-kereta api yang membawa uang dari bank kemudian membagikannya kepada orang miskin. Hal ini terjadi juga pada cerita Pablo E. Dia adalah bos mafia di Amerika Latin, saya lupa itu di negara apa tapi di Amerika Latin. Katanya dia juga dermawan luar biasa, suka memberikan kepada orang-orang yang miskin sehingga meskipun dia terlibat dalam obat-obat bius dan yang dikenal sangat jahat oleh negara-negara lain, tapi dianggap sebagai pahlawan di lingkungannya. Jadi kadangkala kita, manusia ini karena sudah berdosa, sistem nilai kita tercemar sehingga kita akhirnya membolehkan hal yang tidak boleh. Salah satunya adalah kasus penjarahan di kota-kota yang dijarah pada tahun lalu. Banyak orang mengambil barang dan merasa tidak apa-apa, ini bukan hanya terjadi di negara kita. Waktu tahun '91 atau '92 peristiwa R. King, orang hitam yang dipukuli oleh polisi kemudian dibebaskan, maksudnya polisi itu dibebaskan oleh pengadilan, lalu orang-orang hitam di Amerika demonstrasi dan menyerang toko-toko orang kulit putih dan toko-toko orang Korea di Los Angeles. Saya masih ingat sekali, orang-orang yang tidak ikut pun begitu melihat terjadi kekacauan, semua keluar mengambil barang, mengambil barang-barang orang, toko dimasuki diambil barangnya. Kita tahu di Amerika sebetulnya tidak ada alasan orang miskin, tidak punya pekerjaan pun mendapat dukungan dari negara, bisa hidup dengan layak.
GS : Tapi masih tetap mencuri, karena lingkungannya mengizinkan, situasinya mendukung waktu itu.
PG : Seolah-olah alasan yang diberikan kepada orang, kepada diri sendiri adalah yang punya toko masih orang kaya. Saya mengambil satu televisi juga tidak apa-apa, seolah-olah ada asumsi yangtersirat yaitu seyogyanyalah engkau memberikan barang ini kepadaku, engkau rela berikan yang bagus, engkau tidak rela memberikan ya saya ambil dengan sembunyi-sembunyi atau dengan paksa.
Ini budaya yang tadi saya katakan membolehkan sistem nilai kehidupan, yang membolehkan orang untuk mencuri meskipun sebetulnya tetap salah karena dalam iman Kristiani kita yang salah ya salah, yang benar ya benar. Tuhan tidak pernah membiarkan atau memperbolehkan perbuatan Robin Hood, atau Jessie James.
IR : Di Alkitab juga dilarang mencuri.
PG : Betul, sangat jelas sekali tertulis dilarang mencuri.
GS : Waktu Akhan mencuri, sampai seluruh keluarganya dihukum mati.
(1) GS : Pak Paul yang cukup sering terjadi akhir-akhir ini, di sekolah-sekolah khususnya. Banyak anak yang berkecukupan tetapi juga ada anak yang kurang mampu di sana. Mereka itu bukan saja mencuri Pak Paul, tapi meminta dengan paksa. Sepatu misalnya atau tasnya yang diminta, sebenarnya apa yang mendorong padahal itu terhadap teman sendiri, Pak Paul?
(2) PG : Ada beberapa faktor Pak Gunawan. Faktor yang cukup umum adalah faktor menjadi orang yang berkuasa, kebanyakan adalah bagian dari kelompok yang berkuasa di sekolah itu atau di ligkungannya.
Manusia sebetulnya tidak begitu bisa menjadi orang yang berkuasa. Sedikit sekali manusia yang bisa menjadi orang yang berkuasa, sebetulnya mayoritas manusia tidak siap untuk berkuasa. Maksud saya adalah begini, waktu manusia berkuasa, manusia cenderung melakukan hal-hal yang salah. Kalau dia tidak berkuasa apa-apa justru dia melakukan hal-hal yang benar. Anak-anak yang tubuhnya kuat, bisa berkelahi, atau menjadi bagian dari kelompok yang sedang berkuasa, akhirnya melewati batas yaitu melakukan hal-hal yang salah, bertindak semena-mena, mengompas orang, kalau istilahnya kami dulu di Jakarta, merampas barang milik orang karena memang ingin memilikinya, merasa saya ini tidak punya apa-apa, dengan uang saya sendiri saya tidak bisa memiliki barang seperti itu, akhirnya melakukan tindakan yang salah yaitu merampas.
IR : Bisakah Pak Paul kalau seseorang anak itu sering kehilangan barangnya di kelas karena saat ini sering terjadi pencurian, akhirnya cenderung mencuri sebagai ganti?
PG : Bisa Ibu Ida, jadi perilaku mencuri itu bisa ditularkan, kalau lingkup kita penuh dengan para pencuri yang mencuri dan kita melihat sebagai sesuatu yang cocok, kita cenderung melakukanna seperti itu.
Dan kita pun bisa berdalih untuk mengurangi rasa bersalah kita, orang mencuri barang saya ya saya mencuri barang orang lain, sama begitu.
GS : Kalau masih dalam situasi kelas terjadi pencurian, lalu guru melakukan penggeledahan. Seandainya ketahuan siapa pencurinya, lalu guru itu mengumumkan. Apa dampaknya pada anak yang mencuri, itu sangat memalukan sekali, ya Pak Paul?
PG : Betul, dalam hal penanganan anak-anak yang mencuri kita harus menyadari ada 2 hal yang harus kita tanamkan pada si anak. Yaitu rasa bersalah dan rasa malu. Rasa bersalah membuat dia tah bahwa tindakannya itu salah, tapi tindakan salah belum cukup menghentikan orang untuk melakukan hal yang salah.
Maksud saya begini, kita banyak mengetahui hal yang salah tapi tetap kita lakukan, karena apa, karena seringkali rasa bersalah tidak cukup menghentikan kita untuk melakukan hal yang salah itu. Jadi perlu juga yang disebut rasa malu, orang yang saya maksud adalah terhadap diri sendiri. Kenapa saya bisa melakukan hal seperti itu, budaya malu bukanlah budaya malu eksternal. Kalau orang melihat saya malu, kalau orang tidak melihat saya tidak malu bukan begitu. Yang perlu kita tanamkan terhadap anak-anak yang mencuri ini bahwa perbuatan mencuri adalah hal yang memalukan untuk dirimu, karena merendahkan engkau sebagai manusia. Engkau menjadi seorang pencuri yang memalukan bagi dirimu sendiri. Bisakah engkau melihat dirimu dengan bangga waktu engkau mencuri, jadi itu yang perlu lebih ditekankan pada anak. Bukan malu nanti orang melihat kau anak siapa, memalukan papa saja, dengan begitu anak tidak akan merasa malu. Sebab dia tahu yang malu siapa, papanya bukan dia. Jadi kita seringkali salah kaprah, salah target di situ. Selain itu kita memang perlu memberikan pengajaran moral, nilai moral, nilai rohani. Namun penekanan sekali lagi bukan pada pelakunya. Engkau orang berdosa, engkau salah. Penanaman nilai moral yang penting adalah berpusatkan pada perbuatan yang salah. Bahwa perbuatan mencuri adalah hal yang salah karena perbuatan ini merugikan orang luar biasa dan kita tidak mau dirugikan pula. Barang yang kita miliki adalah hak milik kita, jadi perbuatan itu menjadi sorotan kita dan yang harus kita tekankan adalah melanggar perintah Tuhan sendiri. Salah satu dari hukum Taurat adalah jangan mencuri jelas itu ditekankan. Kita bisa mengajarkan juga firman Tuhan yang dengan jelas menegur orang yang mencuri, seperti yang tadi Pak Gunawan ceritakan tentang Akhan.
GS : Tapi, masalah pencuri, sekalipun orang itu ketahuan, dihukum, mungkin juga merasa malu dan sebagainya, kenapa masih mencuri lagi. Buktinya kadang-kadang anak-anak yang mencuri dimasukkan ke penjara anak dan sebagainya, keluar dia mencuri lagi, bagaimana bisa seperti itu, Pak?
PG : Betul, karena pencurian yang sudah kronis bukan lagi menjadi suatu perilaku yang terisolasi tapi merupakan bagian dari kehidupannya. Jadi kalau kita mau membereskan pencuriannya, kita hrus membereskan sistem kehidupannya secara keseluruhan.
Maksud saya begini, anak-anak yang mencuri terus, bertahun-tahun mencuri, menjadi anak yang tidak dipercayai. Salah satu cara mengubahnya untuk tidak mencuri lagi adalah kita harus memulainya dengan menambahkan kepercayaan kepadanya. Meminta dia melakukan satu hal, dua hal, waktu dia mulai dipercayai, perasaan positif ini akan sedikit demi sedikit menggeser perasaan negatifnya sebab selama dia merasa saya memang sudah begini, memang saya orang yang mencuri, saya memang orang tidak benar dan terus dia bergelimang dalam perasaan negatif itu, dia akan melanjutkan tingkah laku mencurinya. Tapi waktu dia mulai melihat bahwa dia sebetulnya orang yang dipercaya, orang yang cukup positif, orang yang bisa baik. Akhirnya dia akan mulai merasa tindakan saya mencuri ini tidak sesuai dengan gambar diri saya, saya bukannya orang yang jahat seperti itu, saya orang yang cukup baik. Jadi dengan kata lain penanganannya adalah bukan saja memberikan sanksi, tapi juga memberikan kepercayaan, tanggung jawab kepadanya. Waktu dia merasa dia bisa bertanggung jawab dan memberikan yang diinginkan oleh orang lain sesuai dengan yang diminta tadi, dia akan merasa lebih senang tentang dirinya.
GS : Jadi sebenarnya orang atau anak yang suka mencuri itu punya rasa percaya diri atau tidak, Pak Paul?
PG : Mungkin saja punya rasa percaya diri, tapi secara tepatnya saya katakan dia itu kemungkinan kurang dipercayai, kurang mendapatkan kepercayaan dari orang. Dia mungkin cukup percaya diri,dia bisa melakukan apa-apa, mampu apa-apa, tapi yang sudah pasti dia kurang dipercayai, mungkin juga kurang diawasi, kurang diperhatikan oleh orang tuanya.
Tapi sekali lagi saya tekankan pemberian sanksi juga harus ada, harus langsung dan segera, jangan seminggu kemudian baru diomeli, tidak. Langsung ketahuan langsung diberikan sanksi, misalkan kita omeli dia dan sekali lagi waktu kita mengomeli dia sebisanya kita mengontrol lidah kita. Jangan menyerang pribadinya, kamu mencuri, tidak tahu adat atau apa, tidak. Kita fokuskan pada perbuatannya yang salah dan yang harus kita tekankan adalah rasa malunya bahwa engkau malu terhadap dirimu sendiri, nah dia hanya bisa terus merasa malu dengan dirinya kalau standar hidupnya atau standar tentang siapakah dia dinaikkan. Kalau dia merasa saya memang bejat ya dia tidak merasa malu lagi. Tapi kalau dia melihat dirinya lebih baik dari yang semula terjadilah ketidakcocokkan, itulah kesempatan dia merasa malu. Waktu dia mulai dipercaya, diberikan tanggung jawab, dia merasa cukup baik, mendapat pujian, engkau melakukan hal yang baik, dia melihat dirinya mulai baik, tidak seperti yang dulu waktu mencuri, ya seharusnya dia tidak mencuri lagi.
GS : Kalau kita menjumpai anak itu mencuri bukan barang milik kita, bukan barang dari keluarga kita, apakah kita harus mendorong anak itu mengembalikan barang itu?
PG : Bagus sekali Pak Gunawan, seperti yang kita bahas minggu lalu. Jadi anak-anak ini harus diajar untuk membayar balik, membayar balik apapun yang dia lakukan. Dia harus membayar balik, buan saja diomeli supaya dia merasakan susahnya.
Pukulan misalnya dipantat dipukul 2, 3 kali, dua menit kemudian dia lupa. Tapi dengan dia harus bayar kembali, Rp. 1.000,00 ya dia harus bayar Rp. 1.000,00 ditambah dengan bunganya misalnya Rp. 300,00, Rp. 400,00 uang jajannya diambil selama seminggu, dia harus merasakan penderitaan itu.
GS : Walaupun itu menyakitkan Pak Paul, malu sekali kalau dia harus mengembalikan barang itu, bila terhadap orang tuanya lebih mudah, tapi terhadap teman-temannya?
PG : Dengan teman-temannya saya anjurkan kalau di kelas, guru tidak mempublikasikannya. Jadi berikan kesempatan dia berbicara secara pribadi, dengan teman yang dicurinya dan meminta maaf, megembalikan ditambah dengan bayaran tambahan itu secara pribadi.
GS : Mungkin itu lebih berkesan, ya Pak Paul?
PG : Kalau tidak, kita memang menghancurkan harga dirinya dan semakin harga dirinya hancur, dia merasa cocok dengan tindakan mencurinya, jadi sama-sama rusaknya.
GS : Dalam hal ini apakah ada firman Tuhan yang Pak Paul ingin sampaikan?
PG : Firman Tuhan di Amsal 23:15 berkata : "Hai anakku, jika hatimu bijak, hatiku juga bersukacita. Jiwaku bersukaria, kalau bibirmu mengatakan yang jujur." Nah ini jelas ya, Tuan akan sangat senang kalau hati kita bijak dan mulut kita melakukan atau mengatakan hal yang jujur.
Ini tantangan untuk kita orang tua menanamkan hal ini pada anak-anak kita. Berhati bijak dan bermulut jujur.
GS : Terimakasih sekali Pak Paul.
Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan kehadapan Anda, sebuah perbincangan lanjutan yaitu bagaimana menangani perilaku anak yang mencuri, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Sekali lagi bagi Anda yang berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda untuk menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran pertanyaan dan tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami ucapkan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.END_DATA
Comments
Anonymous (tidak terverifikasi)
Rab, 12/05/2010 - 1:02pm
Link permanen
Penanggulangan