Oleh Ev. Sindunata Kurniawan.
Kata kunci: Dewasa jiwani dan mental bukan dewasa secara umur; menikah bukan untuk membuat utuh namun saling memberi sumbangsih; kriteria primer dan sekunder untuk memilih calon pasangan; dalam pernikahan kedua insan harus terus bertumbuh dewasa; tujuan pernikahan yang salah berarti berdosa kepada Kristus dan jemaat-Nya; pernikahan memiliki mandat ilahi.
TELAGA 2019
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama dengan kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Yosie, akan berbincang-bincang dengan Bapak Ev. Sindunata Kurniawan, MK. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Menikah Hanya Untuk Orang Dewasa". Kami percaya acara ini bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Y : Pak Sindu, judul yang menarik "Menikah Hanya Untuk Orang Dewasa". Apakah selama ini banyak orang yang belum dewasa menikah? Atau anak-anak menikah? Maksudnya seperti apa Pak, apa yang ingin Bapak paparkan melalui perbincangan kita kali ini?
SK : Bahasan ini untuk, sekali lagi, menegaskan tentang pengertian kita berkenaan orang dewasa. Lebih mudah kita, masyarakat, berpikir menikah hanya untuk orang dewasa itu semata-mata berkenaan dengan usia. Misalnya "Menurut UU saya sudah boleh menikah. Saya sudah umur 21 tahun.", "Saya sudah umur 30 tahun apalagi. Jadi saya sah. Saya sudah dewasa menurut UU Negara ini". Namun kebenarannya kata dewasa itu bukan sebatas usia, tahun kelahiran tapi dewasa disini menyatakan tentang dewasa jiwani.
Y : Atau secara mental begitu, Pak?
SK : Benar. Bahwa yang dibutuhkan dalam pernikahan yang sehat adalah orang-orang yang dewasa secara mental, orang-orang yang dewasa secara jiwani. Barulah akan bisa membangun pernikahan yang sehat dan bahagia.
Y : Kalau dewasa secara usia jelas di atas 17 tahun kita dapat KTP dan dianggap dewasa. Lalu bagaimana dengan dewasa jiwani yang Bapak katakan tadi? Tolok ukur apa Pak, orang dapat disebut dewasa secara mental atau jiwani?
SK : Yaitu orang-orang yang memiliki keutuhan, orang-orang yang bisa mandiri dan orang-orang yang bisa mengelola dirinya sendiri. Orang-orang inilah yang bisa dikatakan orang-orang yang dewasa jiwani dan siap untuk menikah.
Y : Ini berkaitan dengan bahasan pribadi yang tidak utuh ya, Pak? Dimana relasi untuk mengisi kekosongan diri, Pak Sindu?
SK : Iya. Jadi bahwa pernikahan itu adalah sarana untuk saling memberi sumbangsih satu sama lain secara positif, bukan sarana untuk membuat diri menjadi utuh atau menjadikan pasangan sebagai pelengkap bagi ketidakutuhan dirinya. Itulah bukan maksud dari pernikahan. Jadi pernikahan hanya untuk orang-orang dewasa, artinya orang-orang yang utuh dengan dirinya. Artinya orang-orang yang memiliki cukup kematangan secara emosi, kematangan secara sosial, kematangan secara ekonomi untuk dia bisa menghidupi orang lain, mendukung pasangannya untuk berkembang dengan tanpa dirinya menguasai pasangan itu hanya untuk membuat dirinya utuh.
Y : Apa Pak? Saya tertarik dengan perkataan Bapak tadi bahwa pernikahan itu untuk memberi sumbangsih dan bukan untuk saling membuat utuh? Lalu apa bedanya di dalam pernikahan itu memberi sumbangsih, dengan kita itu membutuhkan pasangan sebagai pelengkap yang mengutuhkan hidup kita?
SK : Jadi misalnya, ada suatu gejala misalnya pria yang kekanak-kanakan dan dia menarik perhatian bagi wanita yang sangat dominan, wanita yang tumbuh menjadi sosok pribadi yang selalu merasa bertanggungjawab terhadap kondisi orang lain. Maka ketika bertemu, mereka seperti ada daya tariknya.
Y : Seperti melengkapi, menarik.
SK : Iya. Seperti ada ‘chemistry’, ada kimiawi cinta yang tumbuh di antara kedua insan ini. Dan mereka kelihatannya klop.
Y : Iya. Betul. Saling melengkapi tadi, "Being with you makes my life complete"
SK : Jadi bahwa merasa inilah pasangan yang cocok tetapi kebenarannya mereka dalam kondisi yang berkekurangan, kondisi yang tidak utuh secara jiwani. Jadi akhirnya yang terbangun dalam pernikahan bukan relasi 2 orang dewasa, tapi relasi 2 orang yang tidak dewasa dan artinya nantinya ketika pernikahan sudah terjadi dan berjalan akan kelihatan bahwa yang pria kekanak-kanakan ini akan merasa "Pasangan istri saya, semula waktu pacaran kelihatannya sangat mengayomi, keibuan"
Y : Penuh perhatian begitu ya, Pak?
SK : "Dan setelah menikah tampak menguasai, mendikte saya, saya tidak bisa melakukan apa yang saya mau sedikit pun." Sementara yang wanita merasa, "Aku ingin menolong dia, aku ingin mengayomi dia." Tapi setelah sekian tahun menikah istrinya menemukan, "Lho, pria yang aku nikahi adalah seorang suami yang apa-apa selalu membutuhkan pertolongan".
Y : Tidak berani ambil keputusan. Tidak berani mengambil tanggung jawab.
SK : Iya. "Dan saya capek ‘kan jika terus menerus seperti ini. Siapa yang menjadi kepala keluarga, sepertinya saya? Dan siapa yang bisa saya gantungi? Tidak ada. Malah dia yang menggantungi saya." Inilah karena latar belakang pernikahan dari dua orang yang tidak dewasa.
Y : Dewasa jiwani tadi ya, Pak. Menarik, Pak. Kadang-kadang kita tidak menyadarinya bahwa kita belum dewasa sehingga kadang kita mengisi atau pun berharap pasangan kita yang mengisi ketidakdewasaan atau kekanak-kanakan tadi.
SK : Iya. Sebaliknya, dua orang dewasa yang menikah contohnya adalah sang pria punya kelebihan di dalam soal memasarkan sebuah produk dalam dunia kerja. Dia tipe untuk bisa pandai memengaruhi orang lain, mempersuasi.
Y : Marketing yang handal ya, Pak?
SK : Iya. Sementara istrinya seorang yang ahli dalam pembukuan didalam mengelola proses manajemen perkantoran, sehingga keduanya bisa saling mengisi dalam arti bisa memberi sumbangsih yang positif. Yang istri pandai untuk bersosialisasi dengan yang lain atau dunia pertemanan yang luas, sementara yang pria tipe analis yang baik. Sehingga mereka bisa saling mengisi, baik dalam dunia kerja atau pun juga dalam kehidupan rumah tangga, dimana keduanya bukan orang yang saling menguasai, saling bergantung untuk kehidupan dirinya. Jadi mereka bisa memberikan hal-hal positif untuk lebih memperkaya pasangannya. Nah, inilah…
Y : Itu yang seharusnya yang sehat ya, Pak?
SK : Iya. Pernikahan dari dua orang yang dewasa.
Y : Saya mengerti dengan contoh tadi menjadi lebih jelas tentang pernikahan yang dewasa dengan yang hanya untuk mengisi kekanak-kanakan kita.
SK : Jadi dengan demikian kalau kita mengenali potensi demikian, baiklah kita mengecek kondisi kita kalau kita masih lajang; apakah saya pribadi yang utuh atau saya pribadi yang ada di dalam ketidakutuhan diri. Maka kalau kita ada ketidakutuhan diri, mari cari pertolongan baik kepada tubuh Kristus dengan kita ikut kelompok pertumbuhan iman, kita ikut kelompok pertumbuhan emosi, kita ikut pembimbingan kelompok, atau pun kita memiliki mentor atau bahkan mendatangi seorang konselor. Supaya bisa memetakan di sisi-sisi mana kita tidak utuh, di sisi-sisi mana kita masih kekanak-kanakan dan di sana kita bisa mengembangkan target pertumbuhan atau sasaran pertumbuhan atas apa yang perlu dilakukan untuk mencapai pertumbuhan itu, bagian demi bagian. Dengan demikian nantinya pada satu titik kita sudah lebih siap untuk berpacaran, lebih siap untuk menikah karena kita sudah memenuhi kriteria sebagai orang dewasa; orang yang dipandang dan dikenal sudah cukup dewasa secara jiwani.
Y : Iya. Sebab seringkali standar menikah dan berpacaran itu hanya karena umur, "Kamu umur 25 tahun sudah bisa mencari kerja, tunggu apalagi? Cepat cari jodoh!" begitu Pak. Padahal seharusnya tidak. Pribadi yang dewasa itu butuh proses, butuh pendampingan, butuh pembimbingan yang seringkali memang kita tidak pahami.
SK : Iya. Jadi termasuk di dalamnya, kita bisa mengecek kita yang masih lajang tentang latar belakang orangtua; pernikahannya bagaimana, bagaimana kualitas relasi pernikahan orangtua kita. Karena kalau kita bisa mengecek, itu akan menolong kita untuk mengenali potensi kerawanan kita. Kita akan memilih pasangan sesungguhnya tidak jauh dari model kedua orangtua kita. Kalau kata peribahasa ‘buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’. Jadi kadang kita akan memilih pasangan yang kalau kata orang, "Tidak cocok. Cewek itu cewek yang terlalu depresif. Cewek itu adalah cewek yang terlalu dominan, kamu akan dikuasai" atau "Cowok itu adalah cowok yang tidak bertanggungjawab, pemarah. Dia cowok yang suka untuk tidak bertanggungjawab" namun untuk saya muncul ketertarikan pada cowok yang seperti itu atau cewek-cewek yang seperti ini, "Mengapa perasaan tertariknya kuat sekali." Sementara sudah dikenalkan atau semacam dijodohkan pada cowok yang baik, keren, yang cukup dewasa, yang bisa membangun pernikahan yang baik namun tidak ada perasaan tertarik atau malah merasa minder, rendah diri. Nah, inilah tanda…
Y : Ketidakutuhan tadi.
SK : Iya. Dan dilandasi dari sejarah panjang pernikahan orangtua kita; tontonan menjadi tuntunan. Kita menyerap kondisi emosi yang tidak sehat dari orangtua kita, dari pernikahan kedua orangtua kita. Akhirnya kita terbiasa dengan yang tidak sehat. Kita nyaman untuk mencari yang tidak sehat. Akal sehat kita mungkin berpikir cari yang sehat tapi selera jiwa kita, selera emosi kita, selera relasi romantik kita dipengaruhi dari relasi pernikahan orangtua kita. Maka supaya kita tidak salah pilih, kalau kata orang "Love is blind" atau cinta itu buta dan kalau saya plesetkan dengan kata lelucon dan pakai bahasa Jawa ‘blaen temenan’ artinya celaka sungguh-sungguh. Maka karena cinta itu buta artinya sebelum jatuh cinta bereskan dulu ketidakberesan diri kita, ketidakutuhan kita dan sambil kita jalan nantinya dalam relasi romantik dengarkanlah mentor-mentor kita atau teman-teman kita yang sehat untuk memberi rekomendasi; apakah dia tepat atau tidak, apakah pria atau wanita ini memenuhi kriteria sehat atau tidak itu sudah kita tetapkan terlebih dulu sebelum jatuh cinta.
Y : Untuk melangkah dalam relasi yang serius.
SK : Iya. Bahkan sebelum tertarik sebaiknya kita sudah punya daftar kriteria primer dan kriteria sekunder. Kriteria primer misalnya harus lawan jenis, yang kedua orang yang sama-sama mencintai Kristus sebagaimana saya, orang yang sama-sama mau bertumbuh secara utuh di dalam Kristus. Itu kriteria primer dan bisa ditambahkan. Kriteria sekunder artinya ‘kalau ada itu bonus, kalau tidak ada itu tidak apa-apa. Kita bisa tetapkan tinggi badan, warna kulit, atau soal etnik, hal-hal hobi; sekunder itu jadi kalau ada itu bonus tidak ada itu tidak apa-apa. Kita perlu punya, sebelum tertarik pada lawan jenis. Dengan demikian kita akan melindungi perjalanan pacaran dan pernikahan kita kelak.
Y : Iya. Membukakan wawasan bagi kaum lajang yang tadinya mungkin tidak memahami. Lalu bagaimana pasangan yang sudah menikah, Pak?
SK : Bagi pasangan yang sudah menikah perlu terus bertumbuh. Mungkin dengan pembahasan ini jadi terbuka matanya, "Oh pantas saja pernikahan saya seperti ini"
Y : Iya, bahkan ada pernikahan yang babak belur.
SK : Iya. "Jadi ternyata saya menikah dengan seseorang yang tidak dewasa. Saya yang menjadi korbannya. Lalu bagaimana ini?" Maka dalam hal ini bukan berarti membenarkan perceraian. Tapi ini adalah langkah untuk mari diri kita sendiri terus mau bertumbuh menjadi semakin dewasa, bagaimana menghadapi dengan sehat dan membangun batasan yang sehat perlu supaya kita tidak menjadi korban. Kemudian bagaimana juga kita mendoakan, menstimulasi, memberi pancingan untuk pasangan bertumbuh. Dalam hal ini akan lebih tertolong kalau kita punya ‘timses’ atau tim sukses, misalnya ada pendeta, teman atau sahabat yang mendoakan, komunitas di gereja atau komunitas pertumbuhan iman; orang-orang yang bisa menolong kita untuk memenangkan hati pasangan kita supaya dia, pasangan kita itu dalam kasih karunia Tuhan bisa tersentuh mencari pertolongan juga untuk mau berubah dan bertumbuh. Sekalipun jalan tidak akan semudah membalikkan telapak tangan, tetapi di dalam doa dan upaya yang sehat kita masih tetap berharap untuk kasih karunia Tuhan bagi pertumbuhan pasangan kita tersebut.
Y : Setuju Pak. Bahkan sebetulnya ketika kita sama-sama dewasa jiwani pun kita tetap perlu terus bertumbuh, tidak ada kata stop untuk bertumbuh. Sebab kita akan terus belajar hal-hal yang baru dan terus mengasah diri akan memperkaya diri; saya senang dengan kata-kata ini.
SK : Karena ini penting bahwa jangan lupa pernikahan itu bukan sebatas kegiatan manusia di dunia, tetapi pernikahan adalah sebuah kegiatan, sebuah pekerjaan yang bernilai rohani dan bernilai kekal. Hal yang kita lakukan dengan setia di dalam pernikahan kita Tuhan akan melihat. Sekalipun pernikahan kita bukanlah pernikahan yang ideal, yang sangat baik, atau seperti kata Bu Yosie ‘pernikahan yang babak belur’ tadi. Tetap Tuhan akan melihat apakah kita tetap setia sebagai sosok suami, sosok istri untuk membangun kedewasaan. Nah, kesetiaan ini bernilai kekal di hadapan Tuhan yang Maha Tahu. Jadi jangan berputus asa, lakukan bagian kita. Bersyukur di Indonesia sudah tumbuh berbagai pelayanan pernikahan, komunitas kamp-kamp pernikahan, kamp-kamp pria, kamp-kamp wanita yang secara teratur dalam setahun bahkan ada beberapa kegiatan rutin. Mari cari informasi, mari bergabung. Ini adalah anugerah Tuhan yang besar. 10, 20, 30 tahun yang lalu tidak ada. Ini adalah kemewahan. Ini anugerah, kalau ada di masa sekarang maka manfaatkan supaya kita mendapatkan tim sukses yang lebih luas.
Y : Bagaimana peran kita sebagai komunitas tadi atau gereja dan orang tua dalam hal ini, Pak?
SK : Jadi sebaiknya orang tua dan gereja memiliki tanggung jawab untuk bagaimana menumbuhkan anak-anak di dalam gereja, anak-anak di dalam keluarga-keluarga Kristen menjadi sosok-sosok yang dewasa. Jadi jangan hanya bergerak dan bertanggungjawab secara administratif; "Ini yang bujangan ayo adakan kamp tulang rusuk, kamp perjodohan, kamp persahabatan. Ketemu tulang rusuk. Ayo yang orangtua kenalkan, jodohkan supaya bisa punya pasangan yang seiman". Itu baik, tetapi lebih baik lagi gereja dan orangtua keluarga-keluarga Kristus ini memikirkan secara sengaja langkah-langkah untuk melahirkan anak-anak dan remaja-remaja, pemuda-pemuda yang jelas bergerak ke arah kedewasaan atau ke arah keutuhan. Dalam hal ini pembinaan keluarga, pembinaan keluarga-keluarga pendampingan orangtua-orangtua dalam menjadi orangtua yang efektif bagi anak-anaknya.
Y : Kelas-kelas parenting, begitu ya Pak?
SK : Gereja perlu secara sengaja melakukan. Jangan hanya berhenti pada bulan keluarga. Kadang kalau sudah ada kalender gereja bulan keluarga misalnya bulan September, Agustus, Oktober, bulan Juli, "Sudah selesai. Hore. Kami sudah melaksanakan program di bulan keluarga. Cukup sudah." Sesungguhnya ini ‘kan keseharian. Maka jadikan pemuridan pasutri muda, pemuridan orangtua muda, pendampingan orangtua yang anaknya memasuki masa remaja atau masa dewasa awal, ini dilakukan secara teratur atau ‘kontinue’ berkesinambungan oleh gereja, oleh tubuh Kristus ini. Maka juga kalau orangtua mendapati anaknya tidak dewasa atau kekanak-kanakan, apalagi maaf gangguan jiwa, maka jangan sekali-kali dinikahkan.
Y : Iya betul, Pak.
SK : "Aduh capek mendampingi anak saya yang sudah dewasa. Sudah carikan suami atau istri. Tinggal nanti saya bayar, kasih toko atau kasih bisnis. Biar saya istirahat, pensiun." Maaf, jika demikian kita telah berdosa di hadapan Kristus dan tubuh Kristus. Pernikahan itu bukan melemparkan sampah keluarga kepada orang lain, bukan melepaskan tanggungjawab secara sosial dilepaskan kepada orang lain. Tapi pernikahan itu mandat ilahi untuk melahirkan keluarga, pasangan yang memang dewasa dan membawa gambar Kristus.
Y : Iya. Betul setuju, Pak. Sebab saya pernah menjumpai kasus itu; anak yang sedikit keterbelakangan malah cepat-cepat dinikahkan dengan harapan kalau menikah ada yang memelihara begitu Pak, ada yang memerhatikan. Padahal itu hanya akan memperbesar masalah ya, Pak?
SK : Iya. Jadi kalau tidak tepat maka akan melahirkan anak-anak yang semakin parah kondisinya karena lahir dari pernikahan dan orangtua yang tidak dewasa. Dan itu melahirkan anak-anak yang terluka, tertolak dan tambah buruk kondisinya.
Y : Semakin memperburuk keadaan, Pak?
SK : Iya.
Y : Baik Pak. Apa kesimpulan terakhir yang bisa Bapak sampaikan dan tentunya kebenaran firman Tuhan yang boleh mendukung pembicaraan kita kali ini, Pak?
SK : Jadi pernikahan adalah kesatuan dari dua orang yang utuh dan cukup dewasa, orang-orang yang siap saling memberi sumbangsih, saling menyumbang berbagai bakat, kemampuan, pengalaman 2 insan yang siap membangun kemitraan atau partnership untuk saling merayakan kesatuan ini. Saling memberi kebahagiaan satu sama lain. Siap untuk memberi dan menerima. Siap untuk memberi kebebasan dan sekaligus memikul tanggungjawab. Siap saling memberi kasih yang berkorban dan sekaligus kasih yang menumbuhkan. Inilah yang sangat dibutuhkan untuk pernikahan yang akan kita jalani atau yang sedang kita jalani. Untuk itu saya akan membacakan, Bu Yosie, dari 1 Korintus 13:11, "Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu." Di sini rasul Paulus membahas tentang peralihan kedewasaan rohani konteksnya, dari 1 Korintus 13. Ada butuh kejelasan peralihan itu dari kanak-kanak menjadi dewasa. Dan ketika menjadi dewasa berarti meninggalkan sifat kanak-kanak rohani. Dalam konteks bahasan TELAGA ini, saya memperluas ke terjemahannya termasuk dewasa secara jiwani. Mari kita berani untuk menjadi dewasa jiwani. Berani untuk melepas hal yang buruk, merangkul yang baik. Berani untuk mengambil tanggungjawab, sekaligus memberikan kebebasan untuk orang berbeda di dalam kebenaran. Dengan demikian kita berarti siap untuk menikah, siap juga untuk menjalani pernikahan yang sehat dan bahagia. Melahirkan anak-anak yang bertumbuh juga ke arah kedewasaan karena kedua orangtuanya membangun dan menjalani pernikahan yang dewasa.
Y : Karena kedewasaan itu pilihan ya, Pak? Jadi tidak hanya keadaan contohnya "Saya umur 30, berarti saya dewasa." Tapi kalau saya menyimpulkan dari perbincangan kita, kita siap meninggalkan kekanak-kanakan itu berarti pilihan untuk mengambil tanggung jawab dan menjadi pribadi yang dewasa.
Sk : Betul jadi memang sebagian hidup kita dipengaruhi masa lalu. Tetapi kita tetap bisa menjadi dewasa dengan cara diawali berani memilih, seperti kata Bu Yosie. "Oke aku korban dari masa lalu, pengasuhan orangtua yang menjadikan aku kekanak-kanakan. Tapi sekarang aku memilih menjadi dewasa dengan mengambil tanggungjawab. Aku bersedia mencari pertolongan dan tim sukses. Aku bersedia untuk dibimbing. Aku bersedia untuk mencari Kristus dan tubuh Kristus. Aku bersedia menjalani konseling mendalam. Aku bersedia menjalani kelompok, kelompok pertumbuhan. Aku mau melatih diriku." Inilah titik kedewasaan itu dimulai. Dengan demikian kita pula yang akan menuai apa yang kita tabur.
Y : Lalu kita akan masuk ke dalam proses kedewasaan yang semakin kaya tadi, Pak Sindu?
SK : Iya. Memang menjadi dewasa itu membutuhkan pengorbanan tetapi itu kebahagiaan yang sesungguhnya akan kita dapatkan dari pengorbanan yang telah kita berikan.
Y : Terima kasih banyak, Pak Sindu, untuk penjelasannya. Saya yakin ini bermanfaat bagi pendengar sekalian. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan terima kasih telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Sindunata Kurniawan, MK dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menikah Hanya Untuk Orang Dewasa". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat menggunakan e-mail ke alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.