Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang Kasus-kasus khusus dalam Berpacaran. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Memang cukup banyak topik yang kita bicarakan tentang berpacaran, Pak Paul.
Tapi selalu ada celah atau bagian-bagian yang luput dibicarakan. Kali ini kita mau mengangkat sebuah perbincangan tentang kasus-kasus khusus dalam berpacaran. Apa saja kasus itu, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu semua orang tua, semua pasangan berharap pada masa berpacaran dapat berjalan mulus sampai bangku pelaminan, namun pada kenyataannya tidak selalu demikian. Ada saja masalah yang timbul yang perlu perhatian dan tindakan khusus. Jadi kita coba angkat beberapa kasus yang sering terjadi. Yang pertama adalah kasus khusus berpacaran jarak jauh. Kita tahu sekarang perkenalan bisa terjadi secara online. Tidak jarang berpacaran pun dilakukan secara online atau jarak jauh. Sudah tentu pertemuan tatap muka menjadi terbatas. Sebagai akibatnya, pengenalan terhadap pasangan juga berkurang. Setidaknya ada tiga hal yang saya ingin kita perhatikan untuk kita pertimbangkan sebelum kita memutuskan menjalani relasi jarak jauh. Yang pertama adalah berpacaran jarak jauh berpotensi menciptakan kesan dan akhirnya kesimpulan yang tidak tepat. Oleh karena kita hanya bertemu sekali-sekali, maka perasaan senang dan cinta berkemungkinan besar tetap tinggi dan tidak sempat turun ke level yang lebih realistik. Bahaya terbesar disini adalah kita langsung memutuskan untuk menikah atas dasar saya tetap cinta, senang kalau ketemu dia. Mungkin kita katakan hubungan kita baik-baik saja dan cinta kita sangatlah kuat. Masalahnya adalah kesan dan kesimpulan itu belum tentu benar karena berdasarkan hanya pada perjumpaan sesekali itu. Ini berbahaya karena bisa menciptakan kesan dan akhirnya kesimpulan yang tidak tepat.
GS : Tapi bagaimana kalau mereka intens berkomunikasi walaupun secara online, Pak
Paul ?
PG : Saya tetap tidak setuju. Ini membawa kita pada poin berikutnya, sebab bagaimanapun berpacaran jarak jauh, kendati intens berkomunikasi, tidak memberi ruang yang cukup untuk mengenal pasangan secara menyeluruh. Pada akhirnya apa yang kita ketahui tentang pasangan sepenuhnya berasal dari penuturannya semata. Kita tidak dapat memastikannya karena memang kita tidak
berkesempatan melihatnya secara langsung. Nah, hal ini berarti aka nada banyak penyesuaian yang mesti kita lakukan setelah menikahinya. Masalahnya adalah penyesuaian ini bisa ringan, tapi juga bisa berat. Jadi kadangkala barulah tahu barulah melihat dengan mata kepala sendiri setelah bersama-sama. Jadi pacaran jarak jauh seringkali tidak memberikan kesempatan kepada kita mengenal pasangan dengan lebih menyeluruh.
GS : Apa lagi kesulitannya kalau kita berpacaran jarak jauh, Pak Paul ?
PG : Membuat kita mengalami kesulitan mengembangkan keterampilan memecahkan masalah bersama-sama. Maksudnya, karena tidak bersama-sama jadi kalau ada masalah, kita tidak berkesempatan mendiskusikannya, mencarikan solusinya bersama-sama. Alhasil setelah menikah, barulah kita berkesempatan mengembangkan keterampilan menyelesaikan masalah bersama-sama dan mengambil keputusan bersama-sama. Nah, masalahnya adalah oleh karena kita tidak begitu paham, maka besar kemungkinan kita akan jatuh bangun belajar memutuskan persoalan dan mendamaikan konflik bersama-sama. Kesimpulannya, pasangan yang berpacaran jarak jauh harus berjuang keras menyelaraskan diri satu sama lain. Saya mengerti tidak semua harus seperti itu namun menurut saya resiko ini tidaklah kecil. Jadi saya menganjurkan, sebelum memutuskan menikah, hendaklah pasangan yang berpacaran jarak jauh menyempatkan diri untuk tinggal dalam satu kota untuk satu kurun waktu supaya perkenalan dapat berlanjut dan berkembang.
GS : Tapi biasanya ini menyangkut pekerjaan, Pak Paul. Masing-masing bekerja di kota yang berbeda.
PG : Makanya memang agak susah juga. Tapi sekali lagi kita mesti pertimbangkan.
Apakah ini sesuatu yang rela kita resikokan ? Ini 'kan komitmen seumur hidup. Kalau memang hal ini kita anggap penting, ya sudah salah satu mengalah, misalkan meninggalkan pekerjaannya, pindah ke kota tersebut. Namun yang sekarang sering terjadi adalah pertemuan online, Pak Gunawan. Kita tahu sekarang media sosial menjadi kegandrungan anak-anak muda. Mereka berkenalan secara online. Akhirnya sudah menganggap kenal baik karena sudah kenal sudah bisa berbincang, sudah bisa face time atau muka dengan muka, pakai Skype dan sebagainya. Itu sudah dianggap berpacaran. Tidak! Itu tidak sama. Kita memang harus mengenal, hidup satu kota, sehingga benar-benar bisa mengamati dengan lebih menyeluruh. Ada ini terjadi, ada itu terjadi. Sebagai contoh, hal yang sederhana. Ada orang yang tahu pasangannya itu beremosi tinggi gara-gara pergi bersama. Naik mobil tidak bisa didahului orang. Dia pasti marah, dia harus kejar dan maki-maki orang itu. Orang lain tidak bisa berbuat sesuatu yang tidak berkenan di hatinya, dia langsung mengamuk. Itu 'kan tidak mungkin terlihat kalau kita hanya bertemu dengannya sekali-sekali dan lebih sering bicara secara online.
GS : Apalagi kalau orangnya pandai menyembunyikan emosinya, akan sulit sekali menghadapi orang seperti itu, Pak Paul.
PG : Betul sekali, Pak Gunawan.
GS : Kasus khusus berikutnya apa, Pak Paul, selain berpacaran jarak jauh menimbulkan masalah.
PG : Kehamilan, Pak Gunawan. Kendati sudah menjaga batas, adakalanya anak-anak Tuhan tetap jatuh ke dalam dosa perzinahan yang mengakibatkan kehamilan. Apakah yang mesti diperbuat ? Biasanya yang terpikir adalah menggugurkan kandungan. Dengan kata lain, berupaya menyelesaikan masalah dengan cara menghilangkannya. Saya percaya sesungguhnya kita semua tahu bahwa mengaborsi janin bukanlah tindakan yang menyenangkan hati Tuhan. Sebab bagaimana pun anak adalah pemberian Tuhan dan seorang manusia. Jadi jangan melakukannya. Pilihan kedua adalah langsung menikah karena sudah hamil. Apabila relasi berpacaran itu memang sudah mencapai titik kematangan yang baik atau cocok, pilihan menikah adalah pilihan yang baik. Namun jika tidak, misal baru berkenalan, baru saling mengenal, ini bukan pilihan yang baik. Begitu banyak pernikahan yang dirundung masalah karena keduanya masuk ke dalam pernikahan di dalam ketidak siapan. Akhirnya relasi yang belum matang itu menjadi ladang subur bertumbuhnya masalah. Acapkali sekurangnya satu pihak yang akan merasa terpisah, gara-gara hamil jadi harus menikah. Alhasil bukan kebahagiaan yang dicicipi melainkan konflik dan penyesalan. Sekali lagi bila pernikahan bukan pilihan yang sesuai, tindakan terbaik adalah memelihara janin sampai kelahiran.
GS : Kalaupun pilihan kedua yaitu mereka akan menikah, yang dipilih di antara keluarga itu, ketika kehamilan masih sangat muda tapi sudah diketahui positif, atau menunggu beberapa saat untuk mencari titik temunya ?
PG : Saya kira dari awal, Pak Gunawan. Begitu diketahui ada kehamilan, harus segera dilihat dan dievaluasi, sesungguhnya apakah mereka siap menikah atau tidak. Jangan sampai kita asal menutupi aib makanya menikah. Saya mengerti sebagai orang tua kita bisa merasa malu dan sebagainya. Tapi kita mesti melihat jauh. Sebab begitu banyak pernikahan yang dirundung masalah gara-gara tidak siap menikah tetapi harus menikah karena sudah mengandung. Terlalu banyak masalah dan kasihan anak-anaknya nanti akan menjadi korban, harus melihat orang tuanya terus bertengkar. Sebaiknya kalau memang hamil, kita harus lihat apakah siap atau tidak. Kalau tidak siap, kedua orang tua harus bertekad berkata, lebih baik jangan dulu, tunda. Biarkan anak ini melahirkan bayinya. Kalau kita merasa malu, coba singkirkan dulu. Saya tahu ada beberapa tempat yang menampung orang-orang yang hamil di luar nikah. Biarkan tinggal di sana sampai anak itu lahir, setelah itu baru diputuskan apakah memang siap menikah. Kalau memang tidak siap, lebih baik anak itu diserahkan untuk diadopsi daripada memaksakan menikah di dalam ketidaksiapan.
GS : Tapi itu seolah-olah si pria itu bebas, tidak ada tanggung jawabnya, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu jika itu yang diputuskan, misalnya anak itu akan dititipkan dimana selama masa kehamilan, pihak pria harus ikut andil, ambil bagian dalam bidang keuangan dan sebagainya. Dan kalau memang harus diserahkan, keduanya harus
siap sedia menyerahkan anak itu untuk diadopsi. Saya mengerti adakalanya anak itu usianya terlalu muda untuk memunyai anak, tidak sehat ya, tidak baik dipaksakan menikah. Tapi serahkan saja untuk diadopsi. Jangan tergesa-gesa memaksakan anak untuk menikah.
GS : Memang yang terbaik adalah mencegah agar tidak terjadi kehamilan itu. PG : Betul, Pak Gunawan.
GS : Kasus khusus yang lain, apa Pak Paul ?
PG : Yang ketiga adalah kekerasan, Pak Gunawan. Kadang pada awal berpacaran kita belum dapat melihat sisi kekerasan pada pasangan kita. namun setelah melewati kurun waktu barulah kita melihatnya. Mungkin kita melihat pasangan memukul atau membanting barang. Melihat pasangan memunyai kecenderungan yang tinggi untuk meledak. Dan mungkin kitapun telah menjadi korban kekerasannya. Apa yang mesti kita lakukan ? Langkah pertama, kita mesti melihat pasangan secara utuh. Dalam pengertian apakah memang secara keseluruhan dia adalah orang yang bertemperamen keras dan labil. Bila ya, hal ini perlu dipertimbangkan dengan serius. Namun bila tidak, besar kemungkinan reaksi kekerasannya merupakan cetusan frustrasi karena tidak dapat berkomunikasi dengan kita, tidak dapat membuat kita mengerti, atau tidak dapat membuat kita menerima perkataannya. Singkat kata, kita perlu melihat apakah kita memang berandil dalam memicu reaksi kekerasannya. Apabila kita mendapati bahwa memang dia dibesarkan dalam kekerasan dan cenderung mengeluarkan reaksi keras dan sangat mudah terpicu, nah saya harus menyarankan agar pertunangan atau pernikahan ditunda. Masalah ini perlu diselesaikan terlebih dahulu sebelum keputusan untuk menikah dibuat.
GS : Tapi kekerasan ini tidak harus fisik. Kadang lewat kata-kata yang tajam, bukankah itu juga perlu dipertimbangkan ?
PG : Sangat-sangat perlu dipertimbangkan, Pak Gunawan. Betul, ada orang yang mungkin tidak memukul, tapi kalau memaki luar biasa kasar dan luar biasa menghinanya. Ini hal yang tidak sehat, bukan saja kepada pasangannya yang menjadi korban, tapi besar kemungkinan ke anak-anak. Karena orang yang sering memaki itu nantinya bukan hanya memaki pasangannya, tetapi juga anak- anaknya. Ini juga perlu kita perhatikan. Tentu kalau memungkinkan, dia menjalani bimbingan atau apa sehingga bisa diselesaikan. Kalau dia menolak, ini masalahnya! Atau dia berkata, saya tidak bermasalah atau malah menyalahkan kita sebagai pemicu kemarahannya, saya harus berkata lebih baik relasi ini diputuskan. Terlalu sering saya mendengar pengakuan dari korban kekerasan bahwa sesungguhnya benih kekerasan itu sudah tampak pada masa berpacaran. Biasanya si pelaku itu meminta maaf, berjanji untuk tidak melakukannya tapi kemudian mengulangnya lagi. Lebih baik jangan, resikonya terlalu besar.
GS : Sekalipun dia berkata, Saya bertobat tidak akan melakukan itu lagi, begitu Pak
Paul ?
PG : Betul. Sebab misalkan ini baru terjadi sekali dan dia benar-benar menyesali, bertobat dan tidak mau melakukannya lagi, kita harus berikan kesempatan. Namun
kalau dia mengulangnya kembali, saya kira itu lebih dari cukup. Apalagi kalau memang kita belajar dan mengetahui bahwa dia dari latar belakang yang penuh dengan kekerasan. Itu berarti kecenderungannya melakukan kekerasan itu tinggi sekali. Kalau kita tetap mencintai dia, mau bersama dia, tunda pernikahan. Minta dia menjalani bimbingan sehingga masalahnya bisa selesai dulu. Kalau masalahnya tidak selesai, lebih baik jangan.
GS : Apakah masih ada kasus khusus yang lain di dalam berpacaran ini, Pak Paul ?
PG : Ada, yaitu yang saya simpulkan dalam satu istilah Penemuan Hal Baru. Ini kasus khusus. Tidak jarang setelah menjalani relasi berpacaran kita menemukan hal-hal yang baru tentang pasangan yang tadinya tidak terlihat. Contohnya, kita baru menyadari bahwa dia adalah orang yang sangat kikir. Itu ada, Pak Gunawan ! Semua dihitung. Tidak mau keluar uang sama sekali. Kita baru tahu setelah kita pacaran dengan dia. Atau kita baru melihat betapa terikatnya dia kepada keluarga asalnya. Semua harus diputuskan bersama-sama, tidak bisa pergi ke mana-mana kalau dipanggil oleh orang tuanya atau kakaknya atau adiknya. Mereka begitu dekat dan yang dinomorsatukan adalah keluarganya, bukan kita. Itu bagi saya adalah hal yang perlu kita perhatikan. Atau, ternyata dia dililit hutang dan sering berhutang tanpa menunjukkan sikap bertobat. Gampang sekali pinjam uang, nanti tidak bisa bayar, pinjam lagi, tidak bisa bayar lagi. Atau kita menemukan bahwa dia adalah seorang pecandu pornografi atau penjudi. Singkat kata, semua yang muncul ke permukaan adalah masalah karakter atau perilaku yang buruk. Apakah yang harus diperbuat kalau semua itu muncul sewaktu berpacaran ?
GS : Tapi kadang-kadang itu juga disebabkan cara pandang kita terhadapnya, persepsi kita memandangnya. Ada orang pada waktu berpacaran, yang kikir tadi, semasa pacaran orang ini dianggap sebagai orang yang hemat, yang sangat teliti dengan keuangan. Juga yang tentang keluarga asal tadi, dikatakan ini orang yang berbakti kepada orang tuanya. Tapi setelah menikah, hal yang sama dilakukan tapi diberi label yang berbeda, kikir atau terlalu dekat dengan orang tua.
PG : Ya, saya mengerti memang batas antara hemat, bijaksana, serta kikir itu kadang batasnya tipis. Batas antara berbakti kepada orang tua dan tidak bisa hidup mandiri lepas dari orang tua, batasnya juga tipis. Jadi dalam masa berpacaran, kalau kita sudah melihat hal-hal itu, kita memang harus bertanya kira-kira kita siap atau tidak bersama dengan dia dengan gaya hidupnya yang seperti itu. Ada orang yang berkata tidak apa-apa dia orang yang begitu kikir, tidak pernah beli barang baru, selalu pakai barang yang lama sampai hancur atau rusak baru diganti. Uang juga dijatah dan jatahnya sangat sedikit sekali setiap minggu untuk keperluan rumah tangga. Ada orang yang siap, ya tidak apa-apa. Kalau kita sadar kita tidak bisa hidup seperti itu, lebih baik kita arahkan dan lihat apakah bisa ada persetujuan. Kalau tidak bisa sampai pada titik temu lebih baik jangan daripada dipaksakan.
GS : Jadi apa yang harus kita perbuat jika menghadapi pasangan yang seperti ini, Pak
Paul ?
PG : Hal pertama, kita mesti ingat bahwa kita sama-sama orang berdosa dan tidak lepas dari kelemahan. Karena itu langkah pertama bukan memutuskan relasi melainkan memberikan pengampunan. Misalkan pasangan kita mengakui atau kita akhirnya menangkap basah dia suka berjudi. Sebelumnya kita tidak tahu, lalu ketahuan dia suka judi bola atau judi online. Langkah pertama adalah memberikan peringatan dan memberikan pengampunan kalau dia meminta pengampunan. Setelah itu yang juga harus kita berikan adalah kepercayaan bahwa dia tidak akan berbuat hal yang sama lagi. Namun sebelum kepercayaan diberikan, dia harus memerlihatkan pertobatan terlebih dahulu. Ia harus dapat menunjukkan penghentian semua perbuatan tersebut untuk suatu masa yang panjang. Misalnya setidaknya selama dua atau tiga tahun. Misalkan dia biasa berjudi, selama dua- tiga tahun dia harus benar-benar membuktikan dia berhenti berjudi. Dia pengguna pornografi, dia harus berhenti dan membuktikan selama dua - tiga tahun dia tidak lagi melakukannya. Apabila selama masa yang panjang itu dia benar-benar berhenti, barulah kepercayaan itu bisa diberikan kembali. Sungguhpun demikian, Pak Gunawan, saya tetap harus mengingatkan bahwa pada umumnya sesuatu yang telah menjadi bagian hidup untuk waktu yang lama, tidak mudah hilang. Kalau pun hilang, kemungkinan untuk kembali itu besar. Jadi kita tetap harus membuka mata lebar-lebar memintanya untuk hidup dalam relasi pertanggungjawaban, baik dengan kita maupun dengan seorang rohaniwan.
GS : Jadi itu sesuatu yang sudah mendarah daging. Judi, pornografi dan sebagainya itu Pak Paul. Hampir mustahil kita mengubah orang seperti itu, kecuali Tuhan sendiri yang mengubah orang seperti itu.
PG : Iya. Memang tampaknya kita kejam. Kita sudah memberikan maaf, eh dia berbuat lagi. Kita ampuni, eh dia berbuat lagi. Lalu akhirnya kita menyerah dan memutuskan dia. Mungkin orang berkata, Kamu kejam. Kamu sepertinya menganggap diri lebih suci daripada dia. Saya pikir intinya adalah apakah kita siap menanggung perbuatannya itu setelah kita menikah nanti ? Kalau kita memang mengakui kita tidak akan sanggup hidup dengan seorang yang berjudi, misalkan kita pernah mendengar seorang penjudi bisa menghabiskan semua harta benda keluarga dan kita berkata, Saya tidak mau hidup seperti itu. Tidak apa- apa! Tidak berarti kalau kita putuskan kita orang yang kurang rohani atau apa, sebab sekali lagi ini menyangkut masa depan kita dan nantinya anak-anak kita.
GS : Ini merupakan masalah bagi hubungan kita atau bisa juga menyangkut orang lain di sekitar kita, Pak Paul ?
PG : Biasanya kalau kita berbicara tentang masalah-masalah tadi, yaitu kikir, terlalu terikat pada keluarga asal, berutang, berjudi dan sebagainya, sudah tentu bukan hanya kita tapi nantinya juga akan berkaitan dengan yang lainnya. Coba kita fokuskan dengan lebih seksama lagi tentang masalah-masalah ini, supaya kita lebih memiliki pengertian apakah kita sanggup hidup dengan resiko ini. Ada dua golongan yang bisa saya kategorikan, yaitu karakter dan kecanduan. Dua-duanya susah sekali untuk berubah. Suatu kita membicarakan tentang karakter,
sesungguhnya kita juga tengah membicarakan tentang kebiasaan hidup. Bukankah segala sesuatu yang dilakukan berulang kali pada akhirnya menjadi karakter kita ? Dan bukankah jikalau itu sudah menjadi karakter, kita akan terus melakukannya berulang kali ? Jadi karakter berhubungan erat dengan kebiasaan. Menurut saya masalah seperti egois, kikir, suka berbohong, suka berutang, semua termaktub dalam karakter yang akhirnya mewujudkan diri dalam wujud perilaku atau kebiasaan. Saya harus mengatakan betapa seringnya saya menghadapi kasus seperti ini dalam konseling pernikahan. Dan betapa banyaknya pernikahan yang akhirnya retak dan bermasalah karena didera oleh permasalahan karakter pada salah satu individu. Baik si suami maupun si istri. Dengan kata lain, keegoisan, kekikiran, ketidakjujuran, kebiasaan berutang, itu menghancurkan pernikahan dan keluarga. Dan tidak jarang masalah itu berkembang menjadi masalah yang lebih luas, seperti masalah berutang berkembang menjadi masalah penipuan. Mulanya ya hanya berutang, tidak ada maksud menipu. Lama-lama jadi penipuan. Masalah kekikiran berubah menjadi masalah perbuatan merugikan orang dan memanfaatkan orang. Itu sebabnya kita harus berhati-hati bila kita menemukan masalah karakter. Tapi masalah kecanduan juga bukan masalah sepele. Berjudi, kecanduan alkohol, pemakaian narkoba, adalah problem yang mengakar sehingga seringkali keinginan untuk lepas tidak kuasa untuk menahan hasrat. Akhirnya masalah kecanduan berkembang menjadi masalah karakter. Contoh, berjudi membuat orang berbohong supaya tetap dapat melakukannya. Yang lebih serius ada yang memeras dan mencuri untuk membiayai kecanduannya. Jadi kalau kita menemukan hal-hal itu dalam masa berpacaran, kita harus dengan serius membahasnya dan memertimbangkan ulang relasi kita.
GS : Memang tidak ada satupun manusia yang sempurna dan bebas dari masalah- masalah. Tapi kalau kita sudah tahu kalau masalah itu ada, ya lebih baik kita menghindari saja.
PG : Betul, Pak Gunawan.
GS : Dalam hal ini apakah ada ayat Firman Tuhan yang bisa menjadi bimbingan bagi kita semua ?
PG : Amsal 19:14 berkata, Rumah dan harta adalah warisan nenek moyang. Tetapi istri
yang berakal budi adalah karunia Tuhan. Disini firman Tuhan membandingkan
dua hal, yakni mendapatkan rumah dan harta dan mendapatkan pasangan hidup.
Perbedaan di antara keduanya adalah, mendapatkan rumah dan harta dapat dilakukan dengan kemampuan manusia, sedangkan mendapatkan pasangan hidup yang sesuai, yang bijaksana tidak dapat dilakukan dengan kemampuan manusia. Singkat kata, mendapatkan pasangan hidup yang baik memerlukan campur tangan Tuhan sendiri. itu sebabnya Amsal menyimpulkannya dengan kata karunia Tuhan. Jadi kita tidak boleh bergantung pada kesanggupan manusia dalam mencari pasangan hidup. Kita mesti datang kepada Tuhan, mohon pimpinan-Nya. Tugas kita adalah mengerjakan bagian kita semasa berpacaran dan nanti Tuhan akan memerlihatkan kondisi sesungguhnya dan menyatakan kehendak-Nya kepada kita
lewat peristiwa demi peristiwa yang kita alami, lewat firman-Nya yang berbicara kepada kita.
GS : Pak Paul, terima kasih untuk perbincangan ini. Semoga perbincangan ini menjadi berkat dan bermaaf bagi para pendengar kita, khususnya yang dalam masa berpacaran. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Kasus- kasus Khusus dalam Berpacaran. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56
Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.