Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini bersama Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Pedoman Menyelesaikan Konflik". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, pada beberapa waktu ini kita memang membicarakan tentang konflik, sesuatu yang memang terjadi di dalam kehidupan keluarga kita sehari-hari. Kita sudah mencoba menghindari, tetapi tetap terjadi juga. Sekarang masalahnya kalau sampai konflik itu terjadi mau tidak mau kita harus menyelesaikannya. Apakah ada pedoman atau pegangan untuk pasangan suami-istri ini tentang bagaimana kalau konflik itu timbul di dalam keluarga?
PG : Ada Pak Gunawan, ini ada masukan dari seorang pakar keluarga Norman Wright, dia memberikan 10 nasihat bagaimana bisa menyelesaikan konflik. Sepuluh nasihat ini sebetulnya lebih merupakan auran main, jadi yang ingin ditekankan oleh beliau adalah pernikahan itu akan selalu bisa dilanda oleh konflik, kita tidak pernah kehabisan materi konflik.
Nah yang penting adalah aturan main penyelesaian konflik itu. Dengan kita semua menaati aturan main itu kemungkinan lebih besar untuk kita menyelesaikan konflik, kalau kita berdua tidak lagi menaati aturan mainnya akan lebih sulit menyelesaikan konflik. Yang pertama adalah janganlah kita ini mendiamkan pasangan kita, sebab orang yang didiamkan itu biasanya merasa dihina, tidak dianggap, seolah-olah keberadaannya tidak penting sama sekali, maka sebisanya kita memberikan jawaban. Kita berdialog kecuali dalam kondisi pasangan kita itu emosinya terlalu tinggi, kita harus meredakannya ya kita tidak menjawab terlalu cepat. Tapi pada umumnya waktu kita berkonflik kita berbicara. Ini masalah saya dulu, dulu saya kalau berkonflik dengan istri saya, saya cenderung diam. Sebetulnya saya tidak mendiamkan dia, tapi memang saya tidak terbiasa untuk mengungkapkan perasaan, jadi kalau lagi marah atau lagi apa saya biasanya malahan menutup diri saya. Nah, akhirnya saya temukan istri saya makin marah karena waktu dia mencoba berbicara dengan saya, saya memang benar-benar diam. Saya tidak mau melihat dia, saya diamkan dia, nah itu makin memancing amarahnya, yang saya coba lakukan setelah itu adalah berdialog, coba paksa diri saya untuk berdialog, tidak mudah bagi saya karena secara alamiah saya lebih mudah berdiam diri. Akhirnya yang saya temukan, waktu saya berdialog saya mencoba mengekspresikan pikiran saya lebih mudah selesai karena lebih mudah ketemu, dia berbicara saya menjelaskan akhirnya ketemu. Kalau satu diam satu bicara ya susah sekali ketemu.
WL : Pak Paul, ada orang-orang tertentu mungkin banyak mengalami seperti yang Pak Paul alami, tidak bermaksud mendiamkan tetapi memang tidak terlatih dari keluarga asal. Jadi cenderung menunggu dari pasangannya duluan yang mengajak ngomong, walaupun sudah duluan kadang kita masih sulit, itu ada hubungannya dengan assertif itu ya Pak?
PG : Ya, ada Ibu Wulan, jadi memang ada orang-orang yang lebih terlatih untuk mengutarakan pikiran dan perasaannya, tapi ada orang yang tidak. Seperti saya memang kalau merasakan sesuatu yang kat saya cenderung mengontrolnya, meredamnya.
Nah setelah tenang, setelah turun baru mulut saya bisa jalan lagi sebab tidak bisa langsung menggabungkan antara mulut dan perasaan menjadi satu susah. Akhirnya saya mencoba kalau dulu saya coba keluarkan perasaan dan mulut saya sekaligus cenderungnya justru agak keras jadi seperti meledak. Saya tidak suka dengan kemarahan atau meledak jadi akhirnya saya redam, waktu saya redam mulut dan perasaan saya tidak lagi berjalan bersama-sama. Sekali lagi ini bukan sesuatu yang natural buat saya dan mungkin buat kebanyakan dari orang yang mendengarkan acara kita. Sebab orang yang didiamkan itu makin marah akhirnya tidak ketemua jalan keluar. Dan dalam kediaman bagaimanakah kita menemukan solusinya.
GS : Tapi memang waktu pasangan kita marah, kita memang cenderung tertarik atau terpengaruh, jadi suara kita itu keras lagi jadi menimbulkan konflik baru.
PG : Setuju sekali Pak Gunawan, jadi suara keras cenderung mengobarkan api amarah kita pula, emosi kita turut terbangunkan. Maka sekali lagi kata-kata lembut seperti yang firman Tuhan minta kit lakukan itu yang mesti selalu kita usahakan, meskipun kita marah coba kita kontrol volume suara kita, itu yang kita lakukan pertama-tama.
GS : Ada pasangan yang menyuruh pasangannya yang sedang marah itu untuk diam, sudah tidak ngomong dulu, Pak Paul.
PG : Betul, nah kadang-kadang kalau itu yang diminta ada baiknya memang diam dulu, sebab kalau tidak diam akhirnya si orang ini berkata: "Kamu malah membangkang perintahku, permintaanku, jadi masalah keributannya belum selesai, sekarang dia ribut masalah yang kedua, kamu tidak tunduk kepadaku.
Jadi masalah makin membesar. Yang kedua, Norman Wright meminta juga agar kita ini jangan menyimpan perasaan atau menimbun perasaan terus-menerus. Menimbun perasaan itu bukannya berarti selalu salah, adakalanya kita membiarkan hal-hal kecil terjadi. Saya ingat nasihat dari seorang Psikolog Kristen yang bernama Dr. James Dobson yang berkata dalam pernikahan kadang kala kita harus membiarkan menutup mata hal-hal kecil terjadi. Kalau setiap hal kita permasalahkan benar-benar rumah itu tidak pernah sepi, maka kadang-kadang kita biarkan. Tapi saya kira nasihat Norman Wright juga betul, jangan menimbun perasaan, menimbun perasaan. Sebab menimbun perasaan itu suatu hari kelak meledak, waktu meledak, meledaknya itu tidak terkira-kira jadi akhirnya merembet ke mana-mana, bawa-bawa mertualah dan sebagainya. Akhirnya ributnya itu tidak lagi bisa difokuskan pada materinya karena tiba-tiba masalahnya sudah begitu banyak.
GS : Tapi mungkin atau tidak Pak Paul orang itu memendam perasaannya terhadap pasangannya atau istrinya kemudian dilampiaskan ke tempat lain, Pak Paul?
PG : Bisa, yang paling sering adalah kepada anak. Kalau kita mempunyai anak kemudian waktu kita marah kepada pasangan kita dan anak kita melakukan sedikit kesalahan itu benar-benar menjadi peraihan kemarahan.
Kita tumpahkan marah kita itu kepada anak kita dan anak kita itu akan bingung, terkaget-kaget kami salah apa kok dimarahi seperti ini, akhirnya kita sadari sebetulnya bukan marah kepada anak tapi terhadap pasangan kita sendiri.
WL : Ada yang sebaliknya Pak Paul, sedikit-sedikit masalah kecil dipermasalahkan. Banyak suami yang mengeluh istri-istrinya cerewet begitu, sampai semua harus sempurna, gelas tidak boleh ada air berceceran di atas meja, harus bersih, harus ini, harus itu, semua harus sempurna.
PG : Betul, ada orang yang memang seperti itu sehingga segala hal menjadi suatu keributan. Nah ini bertalian dengan nasihat Norman Wright yang ketiga yaitu jangan menumpahkan semua perasaan kepda pasangan kita.
Ada orang yang seperti itu, kalau marah semua dikeluarkan, uneg-unegnya dan tidak ada batas, tidak ada pagar, tidak ada rem, benar-benar itu seperti rudal yang dilontarkan tidak bisa ditarik kembali, nah itu tidak benar. Ada orang yang berprinsip: "O.....saya orangnya hanya marah pada saat itu saja, setelahnya saya tidak marah lagi." Nah saya juga mau mengoreksi sikap seperti ini, karena ada orang yang beranggapan marah seperti itu tidak apa-apa sebab waktu kita marah kita semaunya marah, kita seperti menuangkan tong sampah ke kepala pasangan kita. Terus kita berkata nah sekarang tong sampah saya sudah bersih, ya betul tong sampah kita sudah bersih tapi kepala siapa yang sekarang penuh sampah, nah bukankah pasangan kita. Nah, orang tidak bisa terus-menerus menjadi tong sampah yang baru, maka meskipun kita boleh mengutarakan perasaan kita, kemarahan kita tapi jangan semua hal jadi bahan keributan dan kalau mau ribut benar-benar seenaknya, seenak perutnya. Otak mau mengatakan apa, dikatakan; suara mau sekeras apa, dikeraskan; tangan mau sejauh apa menampar atau memukul, dibiarkan; nah itu memang benar-benar sudah sangat keliru.
WL : Pak Paul, ada orang tertentu yang kalau belum dikeluarkan semua itu belum lega, apakah maksudnya sisa-sisa dari yang kita keluarkan ini kita keluarkan ke teman dekat atau bagaimana solusinya Pak Paul?
PG : Memang ada anggapan kalau marah, emosi harus dikeluarkan, itu ada betulnya. Ada orang yang seperti itu, tapi teori itu tidak sepenuhnya benar karena apa, karena semua kemarahan melewati prses waktu akan pudar dengan sendirinya.
Kita adalah manusia yang tidak didisain oleh Tuhan untuk marah 24 jam sehari dan 365 hari, tidak, kita hanya mampu marah maksimal 1 jam. Setelah 1 jam itu secara alamiah memang tubuh kita, emosi kita, saraf kita itu akan mengalami penurunan, pengendoran dengan sendirinya. Tanpa berbuat apa-apa amarah kita akan turun sekali lagi kita memang tidak didisain dengan kapasitas untuk marah secara intens 24 jam, tidak, kita marah 1 jam maksimal 2 jam setelah itu secara alamiah akan menurun. Jadi apa yang bisa kita lakukan sewaktu kita marah sekali, nomor satu memang kalau kita tahu tabiat kita, kita ini pemarah dan susah sekali mengontrol amarah maka jangan keluarkan perkataan apapun. Karena apa, kalau tabiat kita pemarah dan suka meledak, satu perkataan keluar dari mulut kita itu seperti senapan mesin tidak bisa berhenti sampai benar-benar puas. Maka kalau kita tahu diri kita seperti itu kalau bisa tenangkan diri, kita berkata kepada pasangan kita: "Waktu saya terlalu marah, kamu diam, saya juga akan diam, sebab kalau kamu bicara saya terpancing bicara kita akan ribut besar dan saya takut nanti saya bisa melukai kamu, jadi kamu diam, kalau kamu melihat saya sudah begitu marah kamu diam. Nah saya akan keluar rumah sebentar, saya akan keluar ruangan sebentar, saya akan ke pekarangan sebentar, saya akan masuk kamar sebentar, kamu jangan kejar saya. (Ada pasangan itu yang benar-benar seperti kucing mau melawan tikus, tikus itu mau dikejar-kejar, jangan.) Kalau pasangan berkata jangan ikuti saya, kamu diam di situ saya masuk ke kamar, beri saya waktu 1 jam atau 2 jam, saya sudah tenang baru saya bisa berbicara kembali." Nah, jadi itu yang bisa dilakukan, jadi sebetulnya tidak harus kita melampiaskan kemarahan baru reda. Tidak, kemarahan dengan sendirinya akan reda asal tidak dirangsang lagi untuk marah.
GS : Tapi ada pasangan dalam hal ini suami yang marah dengan hebat sekali sehingga istrinya menangis, tapi kemarahan itu belum semuanya tersampaikan karena melihat istrinya menangis, langsung luruh, marahnya langsung selesai.
PG : Ada baiknya dalam kasus seperti itu biarkan luluh, setelah luluh, setelah dua-duanya tenang, dua-dua harus berdialog. Pada kesempatan yang lampau kita membicarakan mengenai cara menghindar konflik salah satu kuncinya adalah dialog.
Ini yang diperlukan tetap harus berdialog meskipun amarah sudah reda. Nah kadang-kadang yang terjadi seperti ini Pak Gunawan, orang-orang yang seperti ini karena istrinya menangis, dia diam, sudah tidak dibicarakan lagi seperti seolah-olah problemnya lenyap dengan sendirinya. O.....tidak, kalau memang masih ada problem sebaiknya dibicarakan di kesempatan yang berbeda.
GS : Mungkin dikhawatirkan nanti kalau berbicara itu lagi mengakibatkan marah lagi atau nangis lagi.
PG : Kalau sudah beda waktunya kemungkinan besar reaksinya tidak sama karena suasana sudah berbeda, suhu, emosi sudah menurun. Nah yang berikutnya adalah nasihat Norman Wright yang keempat seraglah masalahnya bukan orangnya.
Kalau kita sedang berkonflik lama-kelamaan kita mengalihkan sasaran konflik kita. Awalnya objeknya atau sasarannya adalah materi, persoalan itu sendiri tapi lama-kelamaan kita marah kita menyerang orangnya. Muncul perkataan-perkataan seperti kamu begini, kami begitu, kamu tolol, belum lagi kata-kata kebon binatang yang lainnya. Kalau itu yang terjadi berarti kita tidak lagi membahas masalah, kita sedang mencoba menghancurkan diri pasangan kita. Maka nasihat Norman wright sangat baik, jangan serang orang seranglah masalahnya itu sendiri.
GS : Mungkin yang lebih konkret itu memang orangnya Pak Paul, masalahnya ini yang kita mesti berusaha mengkonkretkan masalah itu tadi.
PG : Tepat sekali, jadi kita memang mesti mempunyai bukti yang jelas sehingga argumen kita berlandaskan fakta tidak hanya menduga-duga. Jadi mengkonkretkan itu penting sekali.
WL : Pak Paul, ada orang yang memang misalnya kita tidak bermaksud menyerang dia, kita sedang membahas masalah tapi dia merasa dirinya yang diserang. Reaksinya ya memang saya jelek, gini, gini, jadi masalah semakin rumit Pak Paul?
PG : Kasus seperti itu sebaiknya setelah kemarahan itu mulai meledak, kita baik-baik bertanya kepadanya apakah yang saya katakan tadi itu memancing reaksimu, seolah-olah kamu diserang misalnya ia bilang ya.
Kata-kata yang mana membuat kamu merasa diserang oleh saya, sebab saya tidak berniat seperti itu nah biarkan dia menjelaskan. Sering kali ada kata atau istilah yang kita gunakan yang baginya disalahartikan olehnya sebagai penyerangan sehingga membuat dia defensif. Namun saya harus akui ini Ibu Wulan, ada orang yang super sensitif, peka sekali tidak boleh menerima kritikan secuil pun, ada orang yang seperti itu juga. Jadi begitu dia diberikan sedikit kritikan atau apa wah dia merasa seolah-olah dia sudah diserang habis-habisan. Nah kalau itu yang terjadi kita mesti berbicara dengan dia di kesempatan yang berbeda, jangan pada saat itu juga. Kalau saat itu juga problemnya itu makin melebar. Dalam kesempatan yang berbeda kita bicara-bicara dengan dia kita katakan saya agak sulit mengutarakan keluhan saya atau apa karena reaksimu begini, padahal niat saya tidak begitu. Bisa atau tidak kalau kamu dengarkan dulu, setelah kamu dengarkan, pikirkan baru kamu jawab. Sebab pada waktu kamu jawab dengan tergesa-gesa sebetulnya itu mencerminkan niat kamu yang hendak membenarkan diri, tidak bisa menerima atau mendengarkan masukan saya sama sekali. Nah yang kelima adalah jangan lari dari pokok pembicaraan, ini berkaitan dengan yang telah kita bicarakan tadi. Kalau kita sudah mulai terdesak, kita merasa mulai kalah kita munculkan materi yang baru. Kamu juga berbuat begitu dulu, kamu juga pernah berbuat begini dulu, akhirnya yang sekarang sedang dibahas tidak selesai karena sudah memunculkan lagi problem yang lain, nah itu biasanya yang kita lakukan. Bahkan Norman Wright berkata fokus pada satu yang satu, yang lain nanti jangan munculkan yang lain untuk membela diri, membenarkan tindakan kita, jangan. Yang satu dulu itu dibereskan jangan lari dari pokok pembicaraan.
WL : Mungkin karena banyak masalah yang dulu tidak selesai-selesai seperti yang Pak Gunawan cerita tadi.
GS : Atau kita tidak mau membicarakan masalah itu Pak Paul, saya anggap itu juga melarikan diri dari persoalan.
PG : Ya, itu sama, itu salah satu bentuk dari melarikan diri. Kita menutup diri dengan berbagai cara. Ada orang yang berteriak keras sehingga pasangannya tidak mau membicarakan itu lagi. Yang kenam, jangan mengatakan engkau tak pernah.
Norman Wright saya kira memberikan nasihat yang sangat baik di sini, sering kali dalam kemarahan kita berkata kamu tidak pernah mencintai saya, kamu tidak pernah memikirkan saya dan sebagainya. Nah perkataan tidak pernah itu sering kali tidak akurat, siapakah orang di dunia ini yang tidak pernah sama sekali, ya jarang. Ya mungkin dia lupa tapi apakah selalu lupa, juga tidak. Jadi kata selalu, tidak pernah, sedapatnya ditiadakan atau dihilangkan dalam konflik sebab kalau kita masukkan kosa kata tidak pernah, selalu begini, itu membuat pasangan kita merasa saya sudah mencoba, saya pernah melakukannya, tapi kok tidak diperhitungkan, buat apa saya melakukannya lagi lebih baik tidak kita lakukan sama sekali. Nah akhirnya kita mematahkan semangat orang untuk memperbaiki dirinya atau memperbaiki relasi dengan kita. Jadi jangan menggunakan kata-kata kamu selalu begini atau kamu tidak pernah begini, itu kita buang dari kosa kata kita.
GS : Bagaimana Pak Paul, kalau kita itu ingin menyampaikan satu kritikan terhadap pasangan kita?
PG : Norman Wright memberikan masukan yang bagus yaitu yang ketujuh, jangan menggunakan kritikan sebagai lelucon. Adakalanya orang itu menggabungkan keduanya, jadi waktu mau mengkritik kemudianmenggunakan guyonan.
Orang sering kali kalau diguyonkan dalam bentuk kritikan itu merasa dihina sekali, lebih baik kalau kritik ya sampaikan kritik. Ada hal yang mengganjal saya ingin katakan kepadamu, jangan kita sedang mengatakannya kita guyonkan sehingga kita ketawa-ketawa, benar-benar itu bisa ditanggapi sebagai penghinaan.
WL : Sindiran juga ya Pak Paul?
PG : Atau sindiran betul sekali, meskipun kita tidak marah tapi sindiran itu bisa benar-benar menusuk hati orang dan membuat orang menjadi marah. Waktu pasangan kita marah kita tercengang dan brkata kok kamu marah, ya pasti orang disindir siapa yang tidak marah.
WL : Kadang-kadang waktu ada tamu pas lagi kena pembicaraan ini langsung si suami menyindir dengan satu kalimat yang benar-benar membuat muka istrinya merah.
PG : Betul, kebiasaan seperti ini ada bahayanya, misalnya lain kali kita memang sungguh-sungguh ingin guyonan, ingin lelucon menggunakan humor disalahartikan oleh pasangan kita. Dianggap kamu lgi menertawakan saya, kenapa sampai pasangan kita keliru menafsir karena di masa lampau kita mencampuradukkan keduanya itu.
Jadi sebisanya keduanya dipisahkan, guyon ya guyon, bercanda ya bercanda, kritik ya kritik.
GS : Atau disampaikan dengan kata-kata yang baik bukankah itu bisa diterima, Pak Paul?
PG : Betul, kritikan kita mencoba menggunakan kata-kata saya, saya melihat ini sepertinya saya kurang bisa menerima hal ini, sebisanya hindarkan kata-kata engkau, engkau, kamu sih, kamu sih. Orng dikatakan kamu sih, kamu sih ya akan defensif karena merasa diserang jadi hindarkan kata-kata itu.
GS : Tapi tadi Bu Wulan menampilkan sesuatu yang baik yaitu pada saat ada banyak tamu, berarti situasi pada saat itu atau kondisi pada saat itu sangat menentukan bagaimana kita menyampaikan sesuatu kepada pasangan kita, Pak Paul?
PG : Betul sekali Pak Gunawan, maka Norman Wright memberikan nasihat berikutnya yaitu siapkan suasana, tempat dan waktu untuk menyatakan ketidaksetujuan kita. Jadi orang yang tidak bijaksana adlah orang yang marah kapan saja dia mau marah, orang yang bijaksana bisa membedakan, melihat cocok atau tidak waktunya ini, tepat atau tidak, kalau kurang ya kita pilihkan waktu yang lebih cocok.
Misalkan dalam rumah tangga saya, saya dengan istri kebanyakan membicarakan (kalau ada hal-hal yang perlu kami bicarakan dengan lebih serius) pada malam hari. Kenapa pada malam hari, karena pada malam hari saya dan istri dalam kondisi yang memang sudah mulai lemah, ingin tidur dan sebagainya, letih kami sudah mulai kami tinggalkan, kami siap untuk tidur, kami tidak terlalu tegang lagi. Nah biasanya waktu seperti itulah yang paling pas untuk kami, untuk berbicara hal-hal yang lebih serius. Ada orang yang sengaja berbicara sewaktu anak-anaknya keluar dari rumah, sebab memang betul kalau kita sedang membicarakan hal-hal yang serius yang menegangkan kita, yang membuat kita jengkel, anak di luar teriak sini, teriak sana, banting ini, banting itu, aduh.....tambah jengkel.
GS : Pak Paul, ada orang kalau marah dengan pasangannya di kamar, tetapi anak-anak langsung tahu kalau di kamar itu pasti marah.
PG : Maksudnya kalau di kamar pasti lagi bertengkar, ada konflik ya.
GS : Ya pasti bertengkar.
PG : Tapi kalau dalam batas masih wajar tidak banting-membanting memecahkan barang, saya kira itu adalah justru hal yang sehat untuk dilihat oleh anak bahwa ayah-ibu bisa bertengkar dan ternyat pertengkaran itu terbatasi di dalam kamar saja, keluar kamar mereka sudah biasa lagi.
Yang kesembilan adalah sediakan jalan pemecahan bagi setiap kritikan yang kita lontarkan, nah ini nasihat yang baik. Orang lebih cenderung mendengarkan kritikan kita kalau kita juga menyisipkan solusi, masukan, jalan keluarnya. Nah ini memberikan kesan kepada pasangan bahwa kita berniat membangun relasi kita, kalau kita hanya melontarkan kritikan seolah-olah ditanggapi oleh pasangan kita, kita ini hanya tertarik untuk melukai dia, menyakiti hati dia. Dengan kita memberikan jalan keluar, memikirkan solusinya dia akan menangkap konsep kebersamaan bahwa kita mau membangun relasi ini. Dan yang terakhir adalah kalau salah akuilah, apabila benar diamlah. Kalau salah ya akui tapi kalau kita benar jangan kita bangkit-bangkitkan, "'Kan saya bilang apa, 'kan saya bilang apa," lama-lama orang yang tadinya mau mengakui "memang saya keliru", karena ditekan-tekan seperti itu malah makin dia marah dan tidak terima.
GS : Itu merasa diungkit-ungkit kesalahannya itu Pak Paul?
GS : Dalam hal menangani konflik ini Pak Paul, apakah ada ayat firman Tuhan yang dijadikan pegangan?
PG : Saya akan bacarakan dari Efesus 4:29-32, "Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, (dalam konflik jangan gunakan perkataan kotor) tetapi pakailah perkataan yang baik(kita pilih kata-kata kita) untuk membangun, (dalam konflik tujuannya bukan menghancurkan tapi membangun) di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia (jadi dalam konflik pun tujuan kita membangun, agar pasangan kita memperoleh kasih karunia).
Dan janganlah kamu mendukakan Roh Kudus Allah, yang telah memeteraikan kamu menjelang hari penyelamatan, segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan. Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu." Jadi pada akhirnya Tuhan meminta kita mengampuni, Tuhan pun berkata kalau kita tidak bisa mengampuni sesama kita, saudara kita, Allah Bapa juga tidak mengampuni kita. Sebab mengampuni adalah suatu karakter Allah yang paling utama, jadi kalau kita mengaku kita anak Allah kita pun harus bisa mengampuni orang.
GS : Ya memang kita sangat sulit untuk menghindari terjadinya konflik dalam suatu keluarga, tetapi masalahnya bagaimana kita menangani konflik itu dan menyelesaikannya dengan baik sesuai dengan kebenaran firman Tuhan ini. Terima kasih Pak Paul dan juga Ibu Wulan untuk kesempatan perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih, Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pedoman Menyelesaikan Konflik." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id dan kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
Comments
Andrea
Sel, 26/06/2012 - 6:17pm
Link permanen
Sebenarnya ini masih lanjutan
TELAGA
Kam, 05/07/2012 - 2:43pm
Link permanen
Ibu Andrea,Beberapa bulan