Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Hendra akan berbincang-bincang dengan Bapak penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang ôSeni Menegurö. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, mengapa topik seni menegur ini penting untuk dibahas ?
SK : Memang ini menjadi bagian keseharian kita, sesungguhnya menegur itu bagian dari relasi kita dalam kita berelasi ada saatnya kita merasa terganjal, tidak puas dengan seseorang, disaat itulah kita butuh untuk menegur.
H : Di Alkitab ada bagian yang mengatakan gagal menegur bisa menjadi dosa. Biasakah Bapak menjelaskannya ?
SK ; Menegur ini bisa menjadi dosa karena ada saatnya kita mungkin mengetahui seseorang melakukan kesalahan. Tapi kita yang ada di dekatnya, kita membiarkannya. Bahkan akhirnya dosa atau kesalahan orang itu bergulir bagaikan bola salju, semakin lama semakin besar dan parah, dan menimbulkan kerusakan bagi dia dan orang lain, tapi kita tetap diam tidak mau menegur. Sesungguhnya saat itu kita turut bertanggung jawab dengan dosa orang ini. Sehingga pernyataan Pak Hendra itu tepat, bahwa gagal menegur memang bisa menjadi dosa.
H : Kalau boleh saya simpulkan, sebenarnya Alkitab sudah mengajarkan dan menggarisbawahi karena menegur memang penting sekali ya, Pak ?
SK : Ya, penting. Dan itu termasuk bagian yang paling sulit dalam hubungan kita dengan orang lain.
H : Sulitnya dimana ?
SK : Karena kebanyakan, menegur diidentikkan dengan hal yang merusak bahkan mengganggu hubungan kita dengan orang lain. Sehingga itu yang secara alamiah atau natural ingin kita hindari. ôKamu saja yang bicara, aku tidak bisa.ö ôSudah, biarkan saja daripada hubunganku dengan dia bertambah buruk.ö Inilah, yang bagi sebagian besar kita, menjadi bagian paling sulit dalam hubungan kita dengan orang lain.
H : Jadi menegur pada satu sisi memang sangat penting bahkan ditegaskan oleh Alkitab tapi di sisi lain juga mengandung resiko, yaitu bisa mengganggu relasi kita dengan orang lain.
SK : Dalam konteks menegur itu penting dan beresiko, maka kita perlu belajar. Disini kita menemukan bahwa menegur itu sebagai sebuah keterampilan yang perlu kita pelajari, bahkan sebuah seni yang perlu kita asah dalam diri kita masing-masing.
H : Kembali ke topik ayat Alkitab, ayat mana yang menggarisbawahi tentang menegur itu, Pak ?
SK : Yakobus 5:19-20 mengatakan, ôSaudara-saudaraku, jika ada di antara kamu yang menyimpang dari kebenaran dan ada seorang yang membuat dia berbalik, ketahuilah, bahwa barangsiapa membuat orang berdosa berbalik dari jalannya yang sesat, ia akan menyelamatkan jiwa orang itu dari maut dan menutupi banyak dosa.ö Teks firman Tuhan ini menegaskan tentang bentuk tanggung jawab untuk kita menolong orang yang menyimpang dari kebenaran Allah. Dengan cara menolong melalui teguran itulah maka kita akan membuat orang itu terselamatkan dan banyak dosa akan terhindari dan terampuni oleh karena pertobatan orang yang kita tegur tersebut.
H : Jadi menegur juga merupakan wujud kasih kita kepada orang yang kita tegur itu, Pak? Karena kita mengoreksi dan mengembalikan dia ke jalan yang benar.
SK : Betul! Sesungguhnya menegur itu dilatarbelakangi oleh semangat kasih, bukan semangat sakit hati. Inilah yang membuat suatu perbedaan tajam antara menegur yang dilandasi semangat kasih (Karena saya mengasihinya, saya ingin menolong dan menyelamatkan dia) dengan menegur yang dilandasi semangat sakit hati (Saya sudah dihina, saya sangat sakit hati dan marah, dan saya ingin membuat dia merasakan apa yang saya rasakan). Perbedaan landasan ini akan menghasilkan bentuk teguran yang sangat berbeda. Nah, di titik inilah yang satu membangun sedangkan yang lain meruntuhkan. Yang satu membawa kebaikan, sedangkan yang satu membawa keburukan.
H : Wah, ini prinsip yang penting sekali. Jadi menegur itu harus dilandasi oleh semangat kasih bukan oleh semangat sakit hati.
SK : Betul.
H : Saya ingin bertanya, apa bedanya menegur dengan menasehati, Pak ?
Sk : Menegur itu di dalamnya ada unsur menasehati. Tetapi menasehati itu lebih luas dari menegur. Biasanya menegur karena ada sesuatu yang dirasa kurang atau kesalahan yang dilakukan oleh orang lain sehingga kita perlu mengingatkan supaya orang itu tahu kesalahannya dan melakukan yang benar. Itu menegur. Kalau menasehati lebih luas. Ada orang yang sudah melakukan hal yang benar tapi kita merasa dia perlu tahu lebih banyak lagi, supaya wawasannya semakin luas, lebih berhati-hati untuk hal-hal lain, memberi masukan-masukan yang tidak ada hubungannya dengan kesalahan dia, dalam hal inilah menasehati menjadi kata yang tepat.
H : Jadi perbedaan menegur dan menasehati bukan hanya pada nada. Menurut kebanyakan orang, menegur nadanya lebih keras, sedangkan menasehati mengandung nada yang lebih lembut. Bukan seperti itu, Pak ?
SK : Bukan. Menariknya, salah satu kesalahan asumsi yang mudah terjadi, kita menyamakan menegur sama dengan memarahi. Itu yang membuat rata-rata orang kesulitan untuk menegur. ôSaya tidak siap memarahi dia. Kalau saya memarahi hubungan kami akan bertambah buruk. Lebih baik kemarahan itu saya telan saja. Rasa tidak puas itu saya telan saja daripada saya memarahi dia.ö Kebenarannya adalah menegur yang paling efektif sesungguhnya lebih banyak berupa dialog daripada monolog, lebih banyak berupa percakapan yang sejuk daripada percakapan yang penuh dengan nada amarah.
H : Menarik sekali, Pak. Menegur tidak berarti memarahi. Menegur Justru adalah sebuah dialog. Saya sudah melihat inilah keindahan dari seni menegur. Bisakah Bapak menjabarkan langkah-langkah bagaimana kita mempelajari seni menegur dengan baik ?
SK : Yang pertama yaitu saat sebelum menegur. Penting sekali sebelum menegur seseorang, gunakan cukup waktu untuk berdoa. Jadi dengan berdoa kita mengakui adanya sikap, pikiran atau perilaku kita yang mungkin kasar, ada sakit hati, kemarahan, kejengkelan, mari kita akui kepada Tuhan di dalam doa itu sehingga hati kita dibersihkan dan dimurnikan lebih dahulu.
H : Ini dalam konteks kita yang akan menegur. Jadi kita harus introspeksi diri dulu dalam doa, betul Pak?
SK : Betul. Jadi introspeksi ini supaya kita bersih, kembali pada pernyataan di awal bahwa menegur yang efektif itu didorong oleh semangat mengasihi bukan semangat membalas dendam, bukan semangat ingin balas menyakiti. Maka ketika kita merasa disakiti oleh orang tersebut, marilah rasa sakit itu kita buang dulu. Sampah-sampah emosi negatif atau perasaan-perasaan negatif itu kita buang dulu kepada Tuhan. Kita akui, ôTuhan aku sakit hati. Aku merasa dihina dan diabaikan. Tapi aku tidak mau mempertahankan perasaan-perasaan ini. Aku mau lepaskan kepada-Mu, silakan Tuhan ambil. Berikan aku hati yang penuh kasih Bapa. Berikan aku hati yang penuh cinta mengasihi orang tersebut. Sehingga ketika saatnya saya berbicara menegur dia, itu semata-mata karena saya mengasihi dia sebagaimana Engkau terlebih dulu mengasihi saya.ö
H : Jadi selain berdoa untuk membersihkan diri, ada juga tujuan meminta hikmat supaya kata-kata kita tidak salah.
SK : Betul. Selain membersihkan diri, langkah kedua yaitu kita meminta pertolongan Tuhan. Karena menegur itu adalah seni, jadi seni ini butuh hikmat. Kita bersyukur punya Tuhan sumber hikmat, maka marilah kita minta hikmat dari Tuhan untuk kata-kata yang tepat, bahkan kita berdoa supaya Tuhan menyediakan waktu dan tempat yang tepat. Bahkan kita berdoa supaya Tuhan menyiapkan hati orang yang akan kita tegur itu, supaya pada waktu terjadi dialog, hati orang tersebut bisa lapang terbuka untuk mau mendengar dan menerima apa yang saya sampaikan.
H : Bagaimana kalau orang itu tidak dapat menerima teguran kita walaupun kita sudah berdoa ? Kenyataannya orang itu tetap kecewa dan menyerang kita ?
SK : Ya, tidak apa-apa. Artinya yang paling utama kita mengendalikan diri kita sendiri, orang lain bertanggung jawab mengendalikan dirinya sendiri. Jadi apa yang bisa kita kendalikan, kita kendalikan. Yang pertama dan utama adalah diri kita. Kita perlu lebih dulu memastikan bahwa kita menegur dengan cara yang benar.
H : Artinya kita bawa dulu dalam doa ya, Pak. Sebuah sikap meminta kekuatan walaupun hasilnya tidak sesuai harapan kita, tapi Tuhan sudah menguatkan dan mempersiapkan kita ya, Pak?
SK : Betul.
H : Langkah berikutnya apa, Pak ?
SK : Langkah berikutnya adalah kita perlu menanyakan kepada diri sendiri apakah kita berpihak pada orang itu atau bertentangan dengan orang itu. Hal ini menjadi bagian dalam menyiapkan diri kita, ya. Kita coba jujur kepada diri sendiri, membaca diri kita, motif kita apakah sesungguhnya saya sedang menghindari untuk menegur karena saya memihaknya ataukah saya memang ingin menghukum, membalas dendam lewat teguran yang akan saya kenakan pada orang itu. Jadi ada bagian kita memastikan motif kita itu.
H : Jadi ini memastikan motif kasih itu ya. Apakah kita sungguh-sungguh mengasihi dan kita berpihak padanya atau justru sebenarnya kita sakit hati dan bertentangan dengan dia, seperti itu ?
SK : Betul. Jadi ini penting supaya kalau teguran itu karena kita semata-mata hanya berpihak pada dia, sesungguhnya kita tidak akan menegur ækan ? Kita lebih mendiamkan atau lebih membenarkan dia. Tapi kalau kita merasa sakit hati, maka teguran itu akan lebih jadi cara kita membuang sampah kepada orang itu. Di sisi lain kita perlu memastikan bahwa kita sendiri memang sudah mengampuni orang tersebut.
H : Bagaimana cara memastikannya ?
SK : Jadi hati kita tidak lagi panas, atau minimal sudah cukup dingin. Jangan menegur dalam kondisi hati panas dan penuh amarah.
H : Jadi ini dalam konteks kesalahan dari orang yang akan kita tegur berkaitan dengan diri kita ?
SK : Ya, berkaitan dengan diri kita secara langsung atau tidak langsung. Misalnya seseorang telah merugikan karyawan kita kalau kita seorang atasan. Seseorang telah merugikan pasangan, atau keponakan kita. Itu ækan tidak ada kaitannya dengan kita namun kita merasa punya kaitan relasi atau emosi dengan orang yang telah dirugikan itu dan kita merasa di pihak rekan kita itu. Kalau kita menegur dalam posisi jengkel atau marah, kemungkinan besar kita jadi salah menegur. Maka dalam konteks ini, satu hal yang perlu kita camkan tidak serta merta menegur itu perlu dilakukan pada hari itu juga ketika kita tahu seseorang berbuat salah. Ada kalanya lebih bijak jika kita menunda. Bisa menunda dalam hitungan jam, hari, bahkan minggu. Itu supaya kita punya cukup waktu untuk memastikan kita sudah cukup netral dan sejuk bahkan berhati nyaman untuk menyampaikan teguran yang membangun orang itu.
H : Ini untuk menghindari dan memastikan bahwa kita tidak dalam kondisi marah ketika kita menegur ?
SK : Bukan hanya itu, tetapi kita juga sudah membangun pikiran, perasaan dan kehendak kita untuk membulatkan hati bagaimana cara membangun orang itu, dengan hikmat kata-kata, waktu dan tempat yang tepat kita berbicara dengan orang tersebut.
H : Tapi ada sebagian orang yang beranggapan bahwa menegur lebih efektif disampaikan ketika dia marah. Misalnya orang tua menegur anaknya ækan kadang orang tua sedang marah kepada anaknya. Apakah itu sudah pasti salah atau bisa dilakukan dalam situasi tertentu ?
SK : Lebih banyak kemungkinannya keliru, bukan pasti keliru. Ada saat dimana kita tidak dapat menghindar. Misalnya seorang anak bermain-main dengan api, membakar kertas di dalam rumah. Begitu kita masuk rumah, kita terkejut mendapati anak kita membakar kertas di ruang tamu. Pasti kita kaget dan marah, ôStop ! Cepat matikan api itu !ö Nah, setelah kita matikan api itu, kita bicara padanya, ôNak, kalau bermain api harus ada orang dewasa yang mendampingi kamu. Dan itupun dilakukan di luar rumah, di halaman yang bebas dari barang-barang yang mudah terbakar. Kamu boleh bermain api agar kamu tahu seperti apa api itu. Tapi Papa ingin kamu perhatikan hal ini.ö Nah itu yang bisa kita lakukan saat itu, tapi kembali, pola yang saya contohkan tadi dalam pilihan kata yang bukan menyakiti sang anak, tapi untuk membangun anak tersebut.
H : Disitukah seninya, Pak?
SK : Ya.
H : Setelah kita membersihkan hati lewat doa, lalu kita memastikan bahwa kita tidak dalam kondisi marah atau sakit hati, apa langkah selanjutnya Pak?
SK : Yaitu kita perlu mencari waktu yang tepat untuk berbicara atau menegur. Jadi dalam hal ini kita bisa mengkontak orang ini, kita tanyakan kapan bisa berbicara berdua dengan dia. Misalnya dia bersedia saat itu juga ya tidak apa-apa. Bila orang tersebut sedang sibuk dan wajahnya tertekan namun dia mengiyakan, lebih baik kita tunda sampai dia lebih rileks atau senggang. Buat janji waktu dan tempatnya. Jadi kita tidak bisa seketika datang dan memaksa bicara. Jadi lebih baik kita tunda, cari waktu yang baik buat dirinya untuk nyaman ditemui dan diacak bicara dari hati ke hati.
H : Saya bayangkan situasi ini juga berlaku bagi suami istri ya, Pak ? Suami istri juga kadang kalau mau menegur juga harus lihat-lihat situasi dan saat yang pas.
SK : Betul. Dalam hal ini, khususnya ketika kita atau orang tersebut sedang lelah, sebaiknya hindari atau ketika sedang bersama anak-anak atau teman-teman kita atau teman pasangan kita. Lebih baik menegur dalam empat mata daripada di hadapan orang lain yang tidak ada hubungannya dengan situasi yang ingin kita sampaikan itu.
H : Apakah masih ada langkah yang lain, Pak ?
SK : Ketika menegur, utamakanlah kita menegur tingkah laku dan bukan sifat atau kepribadian orang tersebut. Maksudnya jangan berkata, ôMemang pada dasarnya kamu orang malas. Semua saudaramu yang kukenal juga pemalas. Karena itu aku sangat tidak suka dengan kemalasanmu ini.ö Nah, kalau seperti ini ækan kita sudah melakukan ôpembunuhan karakterö. Jadi memberi label, citra atau predikat kepada seseorang. Jadi seperti kita sudah membulatkan bahwa orang itu bersalah dalam segala sesuatu dan melekat dengan kesalahan ini. Jauh lebih tepat dan benar jika kita menegur perilaku atau peristiwa. ôAku merasa kamu terlambat kemarin. Dan waktu terlambat itu kamu tidak memberi laporan kenapa kamu terlambat. Aku merasa keberatan untuk keterlambatan yang tidak kamu laporkan itu. Padahal dalam aturan perusahaan kita harus melapor bila datang terlambat.ö Kita ækan fokus kepada waktu, peristiwa, perilaku yang spesifik, bukan melebar kepada hal-hal yang luas seperti kepribadian dan sifat orang itu.
H : Ini penting untuk diketahui. Kadang dalam menegur kita cenderung menggeneralisasikan, Pak.
SK : Betul. Nah dimana terjadi generalisasi, penyamaratakan, istilah jawanya ôgebyah uyahö disanalah kita melakukan kesalahan dalam menegur.
H : Selain kita menegur tingkah laku, apalagi yang harus kita perhatikan ?
SK : Di sisi yang lain kita perlu terbuka menerima teguran. Jadi ini menjadi bagian yang imbang. Fokus kita bukan hanya kepada orang tersebut, pada saat kita hendak menegur, berarti kita juga perlu menyetel pikiran dan hati kita bahwa saya pun siap untuk menerima teguran. Supaya kita bisa berlaku adil dan berlaku sebagai saudara bagi orang tersebut, sekalipun mungkin dia adalah bawahan kita atau kita sebagai orangtua yang menegur anak kita. Jadi misalnya kita orangtua yang menegur anak, kita pun perlu terbuka menerima teguran tersebut.
H : Tetapi bukan hal mudah menerima teguran, Pak. Ditegur itu tidak enak. Kebanyakan orang tidak mau dan tidak suka ditegur. Bagaimana caranya agar kita terbuka pada teguran ?
SK : Mungkin kita bisa berpegang pada firman Tuhan. Di Amsal 15:12 disebutkan, ôSi pencemooh tidak suka ditegur orang; Ia tidak mau pergi kepada orang bijak.ö Jadi orang yang tidak suka ditegur meneurut Amsal 15:12 itu seorang pencemooh, seorang yang suka menghina, tidak mau pergi kepada orang bijak. Kemudian saya tambahkan Amsal 15:31-32, ôOrang yang mengarahkan telinga kepada teguran yang membawa kepada kehidupan akan tinggal di tengah-tengah orang bijak. Siapa mengabaikan didikan membuang dirinya sendiri, tetapi siapa mendengarkan teguran, memperoleh akal budi.ö Amsal jelas mengatakan, orang yang mau menerima teguran adalah orang yang bijaksana dan dia akan menjadi orang yang bertambah hikmat, berakal budi dan sesungguhnya sedang menghargai dirinya sendiri. Jadi kalau kita menolak ditegur, menolak masukan dari orang lain, kita sedang menetapkan diri bahwa kita tidak berharga. ôAku sampah. Tidak usah memberikan sesuatu yang berharga padaku.ö Karena teguran itu mutiara, teguran itu harta, teguran itu membangun. Kalau kita menghargai diri, kita akan bersedia menerima harta yang baik itu.
H : Jadi konsepnya harus diubah dulu, Pak?
SK : Betul. Jadilah orang yang terbuka untuk menerima teguran. Kalau perlu mintalah teguran, sekalipun kita adalah ayah atau ibu dari anak-anak kita, sekalipun kita adalah suami atau istri dari pasangan kita, sekalipun kita atasan, guru, dosen, sekalipun kita Kepala Cabang. Adakan saat-saat tertentu untuk sambung rasa, saat dimana kita mendengar masukan-masukan dari orang lain. ôSaya ingin mendengar masukan dari kalian. Saya menyadari sebagai pimpinan, sebagai orang tua, sebagai guru, ada hal yang perlu saya kembangkan. Silakan memberi masukan hal yang kalian rasa kurang atau perlu dikembangkan.ö Kalau kita sebagai pimpinan, orang tua, atau orang yang lebih dewasa mau menerima teguran, itu akan membangun semangat yang sama pada yunior, bawahan, ataupun anak-anak kita. Yaitu semangat kerendahan hati, semangat yang sedia, setia dan senang diajar, teachable dalam Bahasa Inggris. Itu semangat murid Kristus yang seharusnya kita miliki dan kita menjadi inspirasi bagi orang-orang di sekitar kita.
H : Jadi kita menjadi teladan dahulu dalam keterbukaan menerima teguran, ya Pak? Dan orang lain juga harus belajar hal yang sama. Ada yang mengatakan penting sekali memiliki hubungan yang baik dan penuh kasih terlebih dahulu sehingga teguran yang kita sampaikan bisa lebih efektif diterima oleh orang yang bersangkutan. Bagaimana pandangan Bapak ?
SK : Saya sangat sependapat dengan pernyataan itu. Hubungan yang baik itu bagaikan bantal atau matras. Ketika kita menegur, secantik atau sehalus apapun kita menyampaikan masukan itu, sesungguhnya tetap saja menjadi sesuatu yang menohok yang tidak nyaman. Kalau sudah ada relasi yang baik, itu memberikan satu perlindungan, seperti jatuh di tempat yang nyaman. Orang bisa menerima teguran itu dengan senang hati atau bahkan berterima kasih. ôTerima kasih lho kamu luar biasa. Bukan hanya jadi teman yang baik, tapi dengan masukanmu kamu juga membangun saya.ö Orang mudah menerima teguran karena sudah terlebih dulu mempercayai kita oleh sebab relasi baik yang kita bangun dengan orang tersebut.
H : Terima kasih untuk percakapan yang sangat menarik ini, Pak Sindu, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik ôSeni Menegurö bagian pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat yang dapat dialamatkan kepada Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.