Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bp. Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Kekerasan Terhadap Anak" bagian kelima. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, kita sudah membahas banyak hal tentang topik kekerasan terhadap anak. Solusinya seperti apa, Pak ?
SK : Yang pertama, sebagaimana pembahasan yang lalu, salah satu sumbangsih bagi pelaku kekerasan terhadap anak adalah karena ketika dia di masa kecil, dia diperlakukan demikian juga oleh orang tuanya atau oleh pengasuhnya. Maka dalam hal ini, kalau mau menghentikan mata rantai kekerasan, orang itu sendiri perlu bersedia untuk mengakui bahwa pola yang dulu dia terima adalah sebuah kesalahan. Dia menyadari hal itu, mengakui itu salah. Yang kedua, dia bersedia untuk mengenali di titik-titik mana dia terluka. Di titik-titik mana dia masih menyimpan amarah dan kesedihan dan silakan itu dibereskan. Mungkin dalam hal ini dia membutuhkan seorang konselor atau rekan hamba Tuhan yang mengerti tentang pelayanan ini. Maka langkah yang nanti akan didampingi adalah bagaimana dia mengakui luka-luka itu, menghadirkan kembali situasi-situasi yang membangkitkan rasa trauma, kesedihan, amarah, ketakutan, diakui kemudian diserahkan kepada Tuhan, pengalaman-pengalaman negatif itu dipisahkan dari dirinya, muatan emosinya dilepaskan dan dikuduskan oleh Tuhan, kemudian mengundang Tuhan hadir untuk mengisi ruang-ruang yang kosong itu, membersihkan luka-lukanya dan membasuhnya dengan darah Kristus dan dengan demikian memorinya dikuduskan kembali. Jadi tandanya yaitu bahwa dia bisa mengingat peristiwa-peristiwa itu, bukan melupakannya. Dia bisa mengingat tetapi gema negatifnya, gema amarah, gema ketakutan itu berangsur-angsur lenyap. Dan itu tanda dia pulih.
H : Termasuk keyakinan yang kelirunya, Pak ?
SK : Ya. Dalam hal ini, itu hal lain lagi. Keyakinan yang keliru itu terselubung. Maka kita perlu mengenalinya. Mungkin kita mengenalinya waktu melakukan kekerasan terhadap anak, kenapa kok bisa terulang ? Nah, kenali di balik perilaku kekerasan itu. Misalnya memukul atau kata-kata yang tajam. Kenapa ? Apakah masih ada luka secara emosi ? Kalau ada luka, mati berproses untuk mengakuinya dan menyerahkannya kepada Tuhan. Yang kedua, mungkin ada keyakinan yang keliru. "Anak itu hak milik. Aku sebagai orang tua harus dihormati seperti ini. Kalau tidak seperti ini, aku harus tindas anak itu." Itu 'kan pola pikir kekerasan. Bukan berarti mendisiplin itu identik dengan melecehkan anak. Kembali, perlu reedukasi. Dalam hal ini, orang tua perlu menyadari apa saja asumsi-asumsi dan keyakinan-keyakinan yang keliru tentang anak dan tentang edukasi atau pendidikan terhadap anak. Lalu dikoreksi. Sisi yang lain orang tua perlu punya kesediaan untuk masuk sekolah sebagai orang tua. Memang tidak ada sekolah formal untuk menjadi orang tua, jadi mari kita ciptakan. Salah satunya mari membaca buku, artikel majalah tentang 'parenting', pengasuhan anak, buku-buku tertentu, mendengarkan rekaman termasuk rekaman TELAGA kan sudah banyak membahas tentang pengasuhan anak. Mari jadikan ajang pembelajaran, seminar-seminar. Supaya kita ada perbandingan. Memang sepertinya baik, tapi ternyata mungkin ada yang keliru dari pola asuh yang kita terima. Nah, ini mengoreksi keyakinan yang keliru tadi, Pak Hendra.
H : Artinya perlu ada keterbukan untuk dipulihkan dan keterbukaan untuk dipulihkan ?
SK : Tepat. Orang tua yang mau menjadi orang tua juga perlu belajar, Pak Hendra.
H : Kalau mengenai orang tua yang menikah sebelum usia yang seharusnya, bagaimana, Pak ?
SK : Dalam hal ini, sedapatnya, kalau dalam kaitannya mencegah, mari bagi rekan-rekan yang belum menikah, rencanakan pernikahanmu. Jangan menikah mendadak, jangan menikah karena sekadar atas nama cinta. Oke, cinta itu penting. Tapi ingat, cinta itu perlu dikonkretkan dengan bentuk persiapan. Jadi secara usia, sebaiknya di atas 20 tahun, secara umum sudah punya pekerjaan dan penghasilan tetap. Tidak harus kaya melimpah, tapi bagian dari usaha mencukupi keluarga yang sehat seperti apa dia sudah bisa lakukan. Punya tempat tinggal yang baik. Mungkin awalnya dengan 1 kamar kost atau kontrakan. Tapi kalau sudah mau punya anak, sudah harus siap minimal 2 kamar. Jadi sudah dirancang, kapan menikah, kapan punya anak. Kalau belum siap punya anak, tidak apa-apa ditunda 1-2 tahun supaya ada kesiapan secara mental, emosional dan spiritual.
H : Itu 'kan dalam tahapan pencegahan. Kalau dalam tahap mengatasi, karena sudah terlanjur menikah pada usia yang belum mencukupi. Bagaimana, Pak ?
SK : Kalau sudah terlanjur menikah muda, misalnya belum punya anak ya, maka sebaiknya menunda punya anak. Jadi jalanilah bimbingan pasca-nikah. Selama ini kita akrab dengan bimbingan pra-nikah. Saya usul dan mendorong kalangan muda, jangan jalani bimbingan pra-nikah sebagai sebuah legalitas, asal dijalani agar dapat berkat dari pendeta. Itu tidak cukup ! Jadikan bimbingan pra-nikah sebagai hal yang serius, sebagai saran kita dibantu, disukseskan, dipersiapkan pernikahan kita. Jadi jalanilah dengan benar, termasuk bimbingan konselingnya. Itu penting ! Kalau menunya kurang ada di gereja kita, mari cari menu tambahan. Cari konselor, hamba Tuhan yang mengerti tentang bimbingan pra-nikah yang baik. Jalanilah ! Bimbingan pra-nikah yang baik itu tidak cukup 2-3 pertemuan ! Mungkin bisa 5-6 kali pertemuan. Tidak apa-apa ! Itu lebih baik. Jadi secara formal di gereja kita, tapi ada menu tambahan dari orang tua atau konselor yang bisa memperlengkapi kita. Yang kedua, setelah menikah, ada baiknya kita mengikuti bimbingan pasca-nikah. Ada konflik, ada ketidakmengertian, ada hal-hal yang masih jadi kebimbangan atau kekeliruan, bimbingan pasca nikah dari konselor atau hamba Tuhan yang mengerti itu sebagai sarana koreksi. Ikutilah atau bentuklah kelompok pasutri, kelompok kecil pasutri yang sama-sama belajar, bertumbuh bersama, belajar firman dan belajar lewat isu-isu topik aktual tentang pernikahan dan keluarga. Supaya kita memiliki dukungan sosial. Bagaimana bagi yang sudah punya anak ? Bagi yang punya anak, beri jarak kelahiran yang cukup untuk anak berikutnya. Jangan terlalu pendek. Rancang dengan baik, supaya kita siap secara mental, spiritual, termasuk secara ekonomi.
H : Artinya orang tua harus punya sikap kerendahan hati untuk mau dibimbing. Kadang-kadang setelah menjadi orang tua, kita gengsi mencari bimbingan dari orang lain.
SK : Iya. Kadang begitu, ada asumsi, "Nanti kalau aku cari bimbingan, aku dianggap orang edan. Aku orang yang gangguan jiwa." Itu juga keyakinan yang keliru, mari kita koreksi. Justru orang yang sehat, pasangan yang sehat, keluarga yang sehat, itu yang mengantisipasi masalah. Kalaupun ada masalah, cari solusi. Jadi tidak jaga image ! Itu yang sehat. Justru yang tidak sehat itulah yang ketika ada masalah, masalah itu dibiarkan, diperam, sampai kian besar. Atau mau ada masalah dibiarkan saja.
H : Ada masalah lain, Pak. Misalnya orang tua itu termasuk pecandu minuman keras atau obat-obatan, cara mengatasinya bagaimana, Pak ?
SK : Dalam hal ini perlu pertolongan. Dia sendiri perlu mengakui, "Ini masalahku. Aku orang sakit. Aku orang bermasalah." Kalau orang mengaku diri sakit dan bermasalah, maka dia akan terbuka untuk mendapatkan pertolongan. Bukankah kata Tuhan Yesus hanya orang yang sakitlah yang mengaku dia sakit yang akan mencari tabib dan menerima kehadiran tabib itu. Mari kita akui. Kita akui bahwa kita tidak berdaya. Kita bisa cari konselor, hamba Tuhan yang mengerti untuk mendampingi. Yang kedua, libatkan keluarga untuk membantu. Yang ketiga, mungkin suatu kali kita perlu dirawat inap di tempat rehab. Baik di Rumah Sakit pemerintah maupun di Rumah Sakit pelayanan yang didirikan oleh Lembaga Kristen yang tersebar di berbagai daerah atau pulau. Mari jalani proses rawat itu sebagai cara untuk menstabilkan hidup kita, menyehatkan hidup kita, termasuk menyehatkan hidup emosi dan spiritual kita.
H : Termasuk orang tua dan pengasuh yang menderita gangguan jiwa, Pak ?
SK : Ya. Kalau orang tua atau pengasuh anak yang sudah mengarah kepada ketidakstabilan emosi sesaat atau nyaris permanen, mari akui bahwa itu ada masalah. Bagi keluarganya yang mengerti, carilah pertolongan. Saya sendiri pernah mengalami situasi-situasi dimana kadang si orang tua atau salah satu orang tua itu pelaku kekerasan dan emosi dan jiwanya sudah tidak stabil, tidak mau mengakuinya, "Aku masih sehat, aku masih bisa melakukan tugasku." Padahal dia sudah melakukan berbagai tindak pengrusakan dan kekerasan, maka anggota keluarga yang lain mengontak salah satu tempat rehabilitasi untuk menjemput paksa dan itu dimungkinkan. Lebih baik dipisahkan daripada anak yang masih lembut dan dalam masa keemasan pembentukan, tanpa sadar dirusak oleh orang tuanya yang mengalami gangguan jiwa ini.
H : Misalnya orang tua tersebut sudah banyak membaca dan mendengar bahkan dia juga sudah mencari bimbingan, tapi ada satu tahap, dia masih tetap memiliki asumsi yang keliru tentang anak atau tidak mengerti akan kebutuhan perkembangan anak. Artinya proses belajar dan mencari tahu itu tidak serta merta membuatnya mengerti. Apa ada kiat-kiat khusus untuk menghadapinya, Pak ?
SK : Memang mau tidak mau perlu belajar. Baik untuk orang tua, saya sarankan berani punya anak, berani jadi orang tua. Sebagian dari kita sebenarnya tidak berani menjadi orang tua. Statusnya orang tua, tapi maaf, sesungguhnya tidak berani menjadi orang tua. Artinya apa ? Menjadi orang tua itu berani bayar harga, berani pikul salib sebagai orang tua, termasuk di antaranya mau belajar. Jadi kita tidak akan pernah bisa menjadi orang tua yang seperti Tuhan mau, atau menjadi orang tua yang bisa memberkati anak-anak kita, jika kita tidak mau belajar. Kalau kita hanya mengacu pada pola tradisi waktu kita dibesarkan, sebagian saya yakin ada kelirunya.
H : Misalkan orang tua itu belum tahu banyak, minimal dia tahu bahwa kekerasan terhadap anak itu salah ya, Pak ?
SK : Ya.
H : Jadi minimal dia tidak lagi menggunakan pola kekerasan dalam mendisiplin anaknya. Dia putuskan mata rantai kekerasan itu. Dan hal-hal yang tidak dia pahami, dia bisa mencari tahu dan belajar lebih jauh ?
SK : Ya dan satu hal yang baik adalah belajar tentang tahap-tahap perkembangan anak. Mungkin bisa mencari di program TELAGA ini ya, tentunya sudah ada pembahasan yang lalu tentang anak, carilah di situs www.telaga.org, cari pembahasan tentang anak dalam bentuk transkrip ataupun audio. Cari, kenali, resapi dan jadikan semacam kompas dalam menghadapi anak-anak kita sesuai dengan tahap usia perkembangannya. Sehingga tidak terjadi pola push parenting atau pola pengasuhan yang memaksa kepada anak yang akhirnya berujung pada rasa frustrasi kita, rasa frustrasi anak, atau berujung pada tindak kekerasan kepada anak.
H : Itu 'kan dalam konteks relasi orang tua terhadap anak. Kalau dalam konteks relasi pernikahan yang tidak memuaskan atau struktur keluarga yang tidak sehat, bagaimana cara mengatasinya ?
SK : Dalam hal ini pernikahan yang sehat itu menjadi satu landasan yang penting untuk membangun relasi dengan anak yang sehat. Jadi tidak bisa kita pisahkan sama sekali. Mari kita membangun pernikahan, berani menikah berani jadi suami, berani menikah berani menjadi istri. Artinya tanpa sadar mungkin pernikahan kita melahirkan pola dimana istri kita menjadi janda secara emosional atau spiritual, atau dalam sisi yang lain kita menikah tapi tanpa sadar suami kita menjadi duda secara emosional ataupun secara spiritual. Artinya kebutuhan secara emosi dan spiritualnya tidak kita penuhi. Mungkin kita bekerja menyerahkan uang kepada pasangan kita, mungkin istri bekerja, merawat anak-anak, menyediakan makanan bagi suaminya, tapi makanan emosional dan spiritual tidak diberikan sehingga relasi pernikahannya kering bagaikan roda tanpa minyak akhirnya menimbulkan bunyi berderit, kerusakan relasi pernikahan dan berakibat juga terhadap relasi antara orang tua dan anak. Memang relasi pernikahan itu bukan sekadar dipertahankan, bukan sekadar survive, tapi perlu bertumbuh. Dalam hal ini, mari pasangan suami istri bisa mencari pertolongan. Baik di gereja coba kembangkan, mari buat komunitas kecil 2-3 pasutri, mungkin sebulan 2 kali bertemu, belajar firman Tuhan, mendiskusikan, sesekali memanggil orang lain sebagai narasumber. Atau juga bisa mencari topik tertentu di www.telaga.org, kemudian di print-out dan didiskusikan. Tidak selalu harus bergantung, cari pendeta, pembicara khusus itu bisa, mungkin sebulan sekali di gerejanya, tapi kembali kalau pun itu daerah yang cukup jauh dari kota besar, dengan fasilitas internet dan situs TELAGA yang mudah diakses, manfaatkanlah sebagai sumber belajar dan pertumbuhan. Intinya ada kerendahan hati, ada hati yang sedia, setia dan senang untuk diajar.
H : Pak, itu 'kan secara komunitas atau kolektif. Kalau misalnya dalam konteks mereka secara personal, memberikan asupan emosional dan spiritual itu konkretnya seperti apa, Pak ?
SK : Konkretnya memang baik dalam seminggu sekali paling tidak ada kesempatan berdua bersama suami istri tanpa dibebani dengan keributan anak. Mungkin waktu anak sudah tidur, atau mungkin anak masih kecil bisa dititipkan selama 2-3 jam kepada orang yang kita percaya sebagai pengasuh, suami dan istri pergi berdua. Makan berdua, santai, menikmati suasana seperti masa pacaran dulu, suasana itu dibangkitkan lagi, walau tentu saja situasi dan settingnya berbeda tapi bisa diciptakan lagi, kemudian suasana itu untuk mengobrol dengan enak, suatu waktu bisa berdoa bersama, memutuskan masalah dengan kepala dingin. Ketika ada masalah tertentu, lebih baik ditunda jika sedang panas hati, sedang tidak siap hati, time-out, ditunda, dijanjikan waktu tertentu dimana kita siap secara fisik tidak terlalu capek, bersama meninggalkan rumah, mendiskusikan dan mendoakan bersama. Kembali, pernikahan itu perlu disuburkan, perlu ditumbuhkan secara sadar dan sengaja.
H : Kalau disuburkan pasti berdampak ya, Pak ? Mereka akan jauh dari kekerasan.
SK : Oh iya, kalau ini disuburkan, nanti akan menjadi energi. Karena energi cinta antara suami istri ini begitu semerbak merona, ini akan menjadi energi kepada anak-anaknya. Dan jangan lupa, anak-anak itu melihat, anak-anak itu peka. "Papa lagi benci sama mama. Mama lagi marahan sama papa." Atau papa mama sedang saling cinta, anak itu peka melihat. Dan kalau anak melihat orang tua begitu mesra dan saling mengasihi, anak pun akan merasa aman yang sehat. Dia tidak akan merasa terintimidasi, tidak akan merasa tidak aman, tapi dia tumbuh dengan sehat. Ini penting sekali.
H : Bagaimana dengan orang tua tunggal ?
SK : Memang tidak mudah. Orang tua tunggal perlu menyadari dan mengakui keterbatasannya dan dia bisa mencoba cari pertolongan. Dia mengasuh anak, di saat yang lain dia bisa menitipkan anak kepada orang tertentu. Misalnya, orang tua tunggal ini seorang ibu dengan anak laki-laki. Anaknya ini perlu figur seorang laki-laki dewasa. Cobalah kenali, doakan dan jajaki, sharingkan ke pendeta, sharingkan ke teman-teman lain, cari figur mana, mungkin dalam hari tertentu dititipkan sejam dua jam bertemu dengan orang itu. Ada kalanya dia time-out sebagaimana halnya kencan bagi pasutri yang masih lengkap. Jangan sampai burn-out atau kelelahan. Akhirnya marah-marah, uring-uringan, lalu memukul anak, tahu batas. Ketika tahu batas, coba cari waktu untuk time-out. Saya yakin tidak selalu mudah tapi doakan, minta kepada Tuhan. Itulah cara Tuhan mengasihi kita dengan bahasa yang kita butuhkan. Tuhan pasti akan berikan.
H : Kalau boleh saya simpulkan, pada bagian ini adalah kenali faktornya, selesaikan masalah dari faktor itu dan perlahan-lahan pasti akan memberikan energi kepada anak-anak kita, Pak ?
SK : Iya, betul.
H : Berarti termasuk faktor-faktor dari stres yang lain, Pak ? Itu juga harus diselesaikan, misalnya faktor ekonomi dan sebagainya.
SK : Iya, perlu mengenali batas. Ketika kita sadar kita tidak sanggup, carilah pertolongan. Sekali lagi itu tidak mudah, tapi doakan. Sharingkan pada rekan-rekan gereja, pada pendeta untuk menengahi dan mencari jalan yang membangun seperti apa.
H : Kalau dalam konteks faktor lingkungan sosial atau komunitas. Salah satu yang kita bahas adalah kemiskinan, Pak. Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistik ternyata juga memicu banyak kekerasan terhadap anak. Bagaimana solusinya, Pak ?
SK : Dalam hal ini, misalnya orang tua terlanjur banyak anak, apalagi tinggal dalam rumah yang sangat kecil cuma dua kamar padahal anaknya 5-7 orang, atau mungkin tinggal dalam satu kamar saja. Dalam hal ini orang tua perlu sadari ini kondisi yang kurang sehat secara lingkungan fisik termasuk akan memicu ketidaksehatan secara emosional. Mungkin salah satu orang tua bisa mendoakan, "Tuhan, kami perlu rumah yang sehat dan lebih lapang. Saya berdoa dalam nama Yesus, dalam nama Yesus, minta anugerah Tuhan, berkati. Kami tidak tahu harus minta kepada siapa. Tapi kami tahu satu hal, minta kepada Engkau Bapa yang baik, Bapa yang sempurna. Berikan." Jadikan doa syafaat bagi pasutri, ajak anak-anak berdoa, supaya pertolongan Tuhan terjadi. Mungkin melampaui dari apa yang dapat kita pikirkan atau bayangkan. Bukankah itu namanya doa dan kuasa iman dan kasih Tuhan. Yang kedua, mungkin pertimbangan yang lain, anak-anak di usia yang agak dewasa bisa dititipkan kepada saudara yang masih sedia menampung atau kalau perlu dititipkan kepada panti asuhan tertentu. Sudah tentu dititipkan kepada saudara atau panti asuhan itu bukan berarti meniadakan hubungan kasih sayang dan perhatian. Ini pilihan yang kurang baik, tapi ini pilihan yang lebih baik daripada dipaksakan tinggal dalam satu rumah yang sangat minim ruang geraknya secara sehat. Coba doakan, dipertimbangkan, dijajaki. Kemudian tekanan materialistik, mari nilai ini penting. Ingatlah kita orang tua dan orang dewasa, sukses itu tidak identik dengan kaya raya. Banyak materi itu belum tentu bahagia kita dan anak-anak kita. Anak akan lebih bahagia kalau kita kaya dalam kasih dan perhatian, dari pada kaya dalam materi tapi miskin dalam kasih. Maka bertobatlah, kalau kita punya nilai-nilai yang bersifat materialistik. Itu bukan nilai Tuhan, itu nilai duniawi. Bukan rancangan Tuhan untuk kita manusia. Tuhan rancang kita sebagai makhluk yang relasional bukan makhluk yang berpijak pada materi semata. Maka berani batasi, berani mencukupkan diri secara materi tapi kita melimpah secara emosi, kasih sayang, relasi dan secara spiritual dalam keluarga kita.
H : Artinya orang yang kaya belum tentu terbebas dari isu kekerasan ini ya, Pak ?
SK : Ya, jadi mari batasi diri. Lebih baik rapatkan barisan, konsolidasikan relasi yang sehat, kasih sayang antara orang tua dan anak, antara suami dan istri, termasuk relasi dengan Tuhan. Itu jauh lebih sehat.
H : Kalau menghadapi nilai-nilai masyarakat seperti anak adalah milik orang tua sendiri, masyarakat yang terlalu individulalistik dan kian terpisah, bahkan ada juga nilai masyarakat yang menganggap status wanita itu lebih rendah. Ini bagaimana, Pak ?
SK : Ya, ini merupakan keyakinan-keyakinan yang keliru, Pak Hendra. Dan kita perlu bertobat, mengoreksi. Dalam hal ini, mari kita akui. Belajar firman itu penting. Mengerti konsep firman tentang anak itu apa, anak itu milik Allah, anak itu titipan Allah kepada orang tua dan nantinya kita dimintai pertanggungjawaban, itu konsep Alkitab. Bahwa wanita itu setara dengan pria, sama-sama dihargai oleh Allah dan barangsiapa menindas sesamanya, termasuk menindas wanita, itu berarti menghina pencipta-Nya. Itu yang dikatakan Amsal. Firman Tuhan juga mengajarkan supaya kita peduli kepada orang lain. Karena orang yang kita anggap terhina, terbuang, tersisih, Tuhan hadir dalam diri orang itu. Ketika kita menyisihkan orang itu berarti kita sedang menyisihkan Tuhan. Nah, ini nilai-nilai firman Tuhan. Mari kenali. Jangan biarkan kita sibuk dengan sinetron, bacaan-bacaan dan percakapan-percakapan yang sekuler. Pergaulan penting ! Tapi jangan lupa pergaulan dengan firman Tuhan amat sangat penting. Sehingga nilai-nilai kita adalah nilai-nilai yang Alkitabiah dan sesuai dengan apa yang Allah pikirkan. Jadi apa yang Allah pikirkan, biarlah itu menjadi pikiran dan nilai kita.
H : Pak, itu 'kan terhadap kita secara pribadi. Keyakinan dan asumsi kita yang sudah terbangun di masyarakat akhirnya dipulihkan melalui kebenaran firman. Tapi kalau menghadapi tekanan, Pak. Misalnya kita tinggal dalam masyarakat yang semuanya memiliki nilai seperti itu. Nah kita sendiri yang sudah dikoreksi lewat kebenaran firman Tuhan. Menghadapi tekanan masyarakat dengan nilai yang mayoritas seperti itu bagaimana ?
SK : Tentunya kita perlu memperkuat diri. Mari sesama saudara seiman berkonsolidasi. Bukankah kita masing-masing bagian dari gereja lokal. Mari, gereja lokal bukan hanya menjadi tempat ibadah Minggu, tetapi tempat berkomunitas. Karena esensi gereja adalah komunitas orang percaya. Orang-orang yang ditebus dari dosa, orang-orang yang pesakitan menjadi komunitas yang sehat. Mari di dalam gereja, kembangkan komunitas-komunitas kecil yang bertemu, belajar firman bersama, sharing dan saling mendoakan, saling memberi dukungan sosial. Kalau satu sakit, siapa yang akan membantu menjaganya, siapa yang bisa mendampingi orang tuanya. Jadi ada bantuan sosialnya. Ini penting, gereja mengkonsolidasi. Pendeta, mari gerakkan bukan hanya sekadar kunjungan individual, mari kembangkan jemaat untuk saling memperhatikan, gotong royong, saling mendukung secara konkret satu sama lain. Karena itulah panggilan gereja dan gereja demikian itu yang Tuhan inginkan dan gereja yang hidup.
H : Baik, Pak. terima kasih. Di akhir dari seluruh pembahasan mengenai topik kekerasan terhadap anak ini, apa pesan firman Tuhan yang ingin Bapak sampaikan ?
SK : Saya bacakan dari Matius 25:21, "Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu." Pendengar yang dikasihi Tuhan, disini Tuhan ingin hidup kita adalah hidup yang siap dipertanggungjawabkan. Apa yang Tuhan berikan, dalam ilustrasi ini adalah talenta – bisa 1, 3 atau 5 talenta, Tuhan akan minta balik. Apakah dikembangkan dan dioptimalkan. Jangan lupa, talenta-talenta itu juga berarti anak-anak yang Tuhan karuniakan kepada kita. Jadi berapa pun anak yang Tuhan percayakan kepada kita, Tuhan akan tanyai pertanggungjawaban kita. Apakah kita telah mengasuhnya dengan baik, apakah justru kita telah melakukan kekerasan dan aniaya pada anak-anak kita, atau kita mengembangkan potensi positif dan menggumuli anak itu untuk memenuhi panggilan yang Tuhan telah berikan kepada masing-masing anak kita. mari jadikan anak-anak kita sebagai titik perjuangan kita. Sebagaimana kita serius dalam pengejaran karier dan pekerjaan atau bisnis kita, mari kita juga serius pada masing-masing anak kita. Jadikan itu sebagai bentuk pergumulan dalam doa. Pergumulan dalam belajar, pergumulan dalam memberikan yang terbaik bagi Tuhan lewat apa yang kita berikan, yang terbaik untuk masing-masing anak kita yang berbeda-beda itu. Dengan cara demikian, ketika kita mengakhiri hidup kita kelak, Tuhan akan berkata, "Engkau adalah papa yang sukses. Mari engkau yang sudah setia membesarkan anakmu yang Aku percayakan kepadamu, mari masuklah ke dalam kebahagiaan Tuhanmu dan Aku akan percayakan perkara-perkara yang lebih besar, memerintah dalam Kerajaan Surga." Bukankah itulah sukses hidup kita ? Ingat, anak adalah batu ujian kesetiaan dan kinerja kita di hadapan Tuhan. Mari doakan dan sungguh-sungguh asuh dengan baik. Mari kita berdoa, "Bapa berkatilah kami para orang tua supaya kami tidak lalai bahwa anak adalah titipan Tuhan. Maka berkati, teguhkan kami untuk belajar, mencari pertolongan, mendoakan masing-masing anak kami, bisa mengakhiri pertandingan iman kami dengan baik, dan anak-anak kami menjadi suatu wujud persembahan kinerja kami yang terbaik untuk kemuliaan nama Tuhan. Bahkan memberkati dunia ini lewat anak-anak kami yang bertumbuh dengan sehat dan memenuhi panggilan Tuhan memberkati dunia ini. Berkatilah masing-masing pendengar kami di dalam pergulatannya. Pertolongan Tuhan terjadi, dalam nama Tuhan Yesus, amin !"
H : Terima kasih, Pak Sindu. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Kekerasan Terhadap Anak" bagian kelima. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat yang dapat dialamatkan ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.