Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Keterampilan Untuk Mengampuni". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul di dalam kehidupan ini, seringkali kita bersalah dan tidak jarang kita disakiti oleh orang lain dan disini dituntut supaya kita bisa mengampuni, bahkan di dalam Alkitab banyak ayat yang mengingatkan supaya kita mau mengampuni orang lain yang bersalah kepada kita seperti doa Bapa kami yang diajarkan oleh Tuhan Yesus. Tapi kita terkendala dengan diri kita sendiri untuk bisa mengampuni orang lain. Hal ini bukan sesuatu yang mudah untuk bisa melakukan pengampunan kepada orang lain. Kadang-kadang kita bicara tentang pengampunan tapi untuk mempraktekkannya sulit sekali. Ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Saya setuju dengan pengamatan Pak Gunawan, memang tidak mudah mengampuni orang apalagi kalau perbuatannya itu sungguh-sungguh menyakiti kita. Namun di pihak lain kita juga harus memahami bahwa mengampuni bukanlah sebuah anjuran, mengampuni adalah sebuah perintah, maka Tuhan Yesus dengan tegas berkata, "Bila kita tidak mengampuni orang maka Bapa di surga tidak akan mengampuni kesalahan kita pula". Alasannya jelas yaitu karena relasi kita dengan Tuhan berpijak pada pengampunan yang telah dianugerahkan-Nya lewat pengorbanan-Nya di kayu salib. Jadi dengan kata lain, oleh karena kita telah menerima pengampunan maka kita pun harus menjadi orang yang mengampuni.
GS : Tetapi hal itu tidak secara otomatis terjadi di dalam diri kita, pada saat kita mengaku dosa kita percaya bahwa, "Tuhan sudah mengampuni saya" tapi begitu kita berhadapan dengan sesama kita yang pernah menyakiti hati kita maka tidak secara otomatis kita mengampuni orang itu, Pak Paul.
PG : Betul. Jadi mengampuni sebetulnya merupakan karya dari Roh Kudus sendiri sebab sebetulnya kalau hanya bergantung pada kekuatan kita sebagai manusia, kita sebetulnya tidak memunyai kapasitas yang terlalu besar untuk mengampuni, untuk hal-hal yang kita anggap kecil maka kita bisa mengampuni tapi untuk hal-hal yang kita anggap besar maka sangatlah sulit untuk kita bisa mengampuni, itu yang saya maksud dengan perkataan bahwa sebetulnya kita tidak memunyai kapasitas yang besar untuk mengampuni, maka pekerjaan mengampuni sebetulnya adalah karya Roh Kudus sendiri di dalam hidup kita, caranya memang yang sering terjadi adalah lewat dua. Yang pertama adalah lewat kekuatan Roh Kudus, lewat misalnya firman Tuhan yang kita baca dan kemudian menegur kita atau memberikan kekuatan kepada kita untuk akhirnya memberikan pengampunan kepada orang yang bersalah kepada kita. Namun cara kedua adalah Tuhan memakai sesama kita dengan kata lain Tuhan memakai manusia untuk menumbuhkan karakter pengampun. Jadi dengan kata lain, ada keterlibatan manusia di dalam hal pengampunan ini dan ada orang-orang yang lebih bisa mengampuni dibandingkan orang lain oleh karena dia telah mendapatkan bentukan untuk lebih bisa mengampuni orang lain sedangkan ada orang-orang yang sangat susah mengampuni orang, kendati dia sudah lahir baru dan percaya kepada Tuhan Yesus, sebab dia tidak mendapatkan kesempatan didikan atau bentukan dari orang tuanya yang dapat membuat dia mengampuni orang.
GS : Bahkan bukan hanya tidak mendapat didikan untuk mengampuni orang tapi bahkan orang-orang di sekeliling kita itu mendidik kita untuk tidak mengampuni orang lain, Pak Paul.
PG : Betul sekali. Jadi tidak semua lingkungan meninggikan atau mengutamakan sifat pengampun. Kadang-kadang lingkungan tertentu justru mengajarkan atau mengharuskan kita untuk tidak mengampuni malah membalas apa yang dilakukan orang kepada kita. Dengan kata lain, kalau kita tumbuh besar dalam lingkungan seperti itu, tidak akan mudah bagi kita untuk mengampuni tapi kita juga harus meyakini bahwa kalau kita mau belajar dan bersedia mengampuni maka akan ada campur tangan Roh Kudus di dalam hidup manusia untuk memampukannya, pada akhirnya mengampuni orang yang bersalah kepadanya.
GS : Jadi bagaimana caranya untuk menumbuhkan atau bagaimana kita bisa belajar supaya karakter pengampun di dalam diri kita itu bisa bertumbuh dengan baik, Pak Paul.
PG : Sama seperti karakter lainnya, masa terbaik untuk memelajarinya adalah pada masa kecil, pada masa pertumbuhan jiwa masih lunak dan mudah dibentuk. Selain dari itu, apapun yang dipelajari pada masa kecil cenderung bertahan sampai masa dewasa. Namun yang kita juga harus sadari orang tua mesti berperan. Jadi anak-anak tidak dengan sendirinya menumbuhkembangkan sifat pengampun. Orang tua harus terlibat untuk mengajarkannya. Kenapa begitu ? Karena orang tua adalah orang yang paling berpengaruh besar dalam pertumbuhan karakter anak. Jadi Tuhan menempatkan kita sebagai orang tua agar dapat menjadi tangan-tangan Tuhan membentuk karakter anak kita sehingga dia lebih mudah mengampuni orang yang bersalah kepadanya.
GS : Contoh konkretnya, bagaimana orang tua mengajarkan pengampunan kepada anaknya, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu cara yang paling efektif adalah lewat contoh langsung yang berkaitan dengan si anak sendiri. Misalnya sewaktu anak melakukan kesalahan daripada langsung menghukumnya orang tua dapat menanyakan dengan teliti apa yang terjadi dan mengapa sampai terjadi, setelah itu orang tua dapat menanyakan perasaan si anak, jika anak menyatakan penyesalannya, "Kenapa dia begitu, berbuat ini" orang tua dapat mengatakan bahwa, "Kesalahannya diampuni dan bahwa ia tidak akan dihukum". Sudah tentu ini tidak berarti bahwa setiap kali anak berbuat kesalahan, orang tua terus membebaskannya dari penghukuman, adakalanya kita tetap harus memberinya sanksi supaya ia dapat mengembangkan sifat bertanggungjawab, namun untuk dapat mengajarkan anak belajar mengampuni kita harus memulainya dengan cara mengampuni kesalahan yang diperbuatnya.
GS : Kita perlu menekankan pada anak bahwa pengampunan itu sesuatu yang mahal dan bukan gampang diberikan, ini perlu diajarkan kepada mereka baik lewat perkataan atau lewat tindakan nyata kita, Pak Paul.
PG : Kita memang harus apa adanya mengakui bahwa tidak mudah mengampuni, jadi kita mau mengerti bahwa jangan sembarangan menyakiti hati orang atau berbuat seenaknya kepada orang, karena tidak mudah orang mengampuni namun dari pihaknya dia juga perlu belajar bahwa inilah perintah Tuhan, jadi dia harus berusaha untuk pada akhirnya mengampuni orang lain.
GS : Dengan contoh-contoh cerita perbuatan, terutama anak sedini mungkin bisa belajar tentang pengampunan.
PG : Bisa misalnya dia punya adik atau kakak maka sudah tentu akan terjadi konflik, akan ada hal-hal yang dilakukan oleh si kakak atau adiknya yang tidak berkenan kepadanya. Sudah tentu reaksinya adalah sebisanya membalas dan sebagainya itulah kesempatan bagi kita untuk mengajarkan kepada anak untuk mengampuni kakak atau adiknya.
GS : Kalau mau membalas dan sebagainya berarti pengampunan dan kemarahan ini saling terkait, begitu Pak Paul ?
PG : Setuju sekali. Jadi sewaktu kita mengajarkan tentang karakter pengampun maka kita menghubungkannya tentang kemarahan dan dendam, ketika disakiti kita bereaksi marah dan kecenderungan alamiah adalah membalas menyakiti, kita bisa menjelaskan bahwa reaksi sakit adalah reaksi yang wajar dan manusiawi. Jadi langkah pertama mengampuni adalah mengakui rasa sakit dan marah yang timbul, inilah yang perlu kita sampaikan kepada anak bahwa sakitnya, marahnya itu adalah hal yang wajar kita tidak memarahi dia karena dia marah, kita tidak memarahinya karena dia merasa tersakiti, tidak seperti itu. Itu adalah perasaan yang wajar, jadi kita tidak mau membuat anak kita memunyai pandangan yang negatif terhadap rasa tersakiti dan marah, itu tidak apa-apa dan wajar tapi pertanyaannya adalah setelah marah dan tersakiti apa yang kita lakukan ? Itu yang menjadi pokok bahasan atau ajaran kita bahwa setelah engkau tersakiti dan marah maka langkah berikutnya adalah bukan engkau membalas dia tapi langkah berikutnya adalah mengampuni.
GS : Hal yang tersulit adalah kalau yang menyakiti itu justru orang tuanya sendiri, bagaimana anak ini bisa belajar mengampuni, Pak Paul ?
PG : Saya kira kalau orang tuanya tidak memberikan sikap mengampuni anak sewaktu anak salah, itu sendiri menyulitkan anak untuk mengampuni baik orang lain atau orang tua apalagi kalau orang tua itu tidak sensitif, seringkali menyakiti hati anak dan sekalipun tidak pernah meminta maaf dan sebagainya, tidak bisa tidak sikap-sikap seperti ini makin membuat anak makin sulit mengampuni, justru kita akan membuat hati anak kita mengeras seperti batu sehingga dia menjadi anak yang pendendam, kebalikannya dari pengampun.
GS : Tapi terhadap orang lain mungkin dia bisa mengampuni, Pak Paul.
PG : Mungkin dengan orang lain kebalikannyalah yang terjadi misalnya kalau bersalah kepadanya meminta ampun, atau waktu dia bersalah kepada orang lain, orang lain juga mengampuni dia, dia akhirnya belajar untuk saling memaafkan dengan orang lain tapi terhadap orang tua yang tidak mengampuni dia kalau dia berbuat salah, dan kalau orang tua bersalah juga tidak pernah meminta maaf, terhadap orang tuanya mungkin sulit untuk mengampuni.
GS : Jadi kita bisa belajar mengampuni dari orang-orang yang ada di sekeliling kita, begitu Pak Paul ?
PG : Bisa dan sudah tentu teman-teman atau anak itu bertumbuh besar dengan lingkungan yang sehat, teman-teman atau guru-guru di sekolah mengajarkan untuk mengampuni dan dia juga menerima pengampunan misalkan dari teman atau gurunya, itu akan bisa sedikit banyak menyeimbangkan kekurangan yang dialaminya di rumah.
GS : Seringkali yang ditanyakan adalah sebenarnya dia sudah mengampuni tapi peristiwa itu sendiri tidak bisa dilupakan. Kemudian yang ditanyakan adalah apakah sudah betul saya mengampuni orang itu, kenapa saya tidak bisa melupakan peristiwa itu ?
PG : Kita harus menyadarkan anak-anak kita bahwa apa yang kamu ingat, yang telah terjadi itu akan selalu ada dalam ingatanmu karena ini tidak bisa dihapus. Jadi kita sekali lagi tidak menyalahkan dia karena dia marah, kita tidak menyalahkan dia karena dia tersakiti, kita pun tidak mau menyalahkan dia karena dia mengingat sesuatu yang telah terjadi. Tapi yang kita tekankan adalah tindakan selanjutnya, misalnya tindakan selanjutnya adalah kita meminta anak untuk tidak membalas sebetulnya adalah wujud ketaatan kita kepada perintah Tuhan yang melarang kita untuk membalas, kenapa ? Sebab Tuhan telah mengambil alih hak untuk membalas oleh karena Dia adalah satu-satunya Hakim yang adil. Jadi dengan kata lain, hanya Tuhan yang dapat membalas dengan tepat. Ini yang kita ajarkan kepada anak-anak kita, kita juga bisa ajarkan kepada anak-anak kita bahwa Tuhan pun meminta kita untuk menyerahkan masalah pembalasan ini kepada-Nya sebab Dia adalah pembela kita. Kita tekankan kepada anak-anak bahwa Tuhan tidak kenal diam dan dia pasti bertindak, lewat semua ini jadinya kita mendorong anak untuk belajar menahan diri dan menyerahkan kemarahan serta keinginannya untuk membalas kepada Tuhan. Jadi sekali lagi kita tekankan, kita tidak menyalahkan anak karena dia marah tersakiti karena dia ingat tindakan orang yang tidak baik itu kepadanya, tapi kita tidak menyalahkan itu, kita hanya menyampaikan tindakannya setelah itu, itu yang penting dan itu yang harus dia kendalikan tidak boleh membalas dan kita justru harus menyerahkan hak pembalasan ini kepada Tuhan sendiri.
GS : Tapi kita harus mengajarkan hal ini dengan sebijaksana mungkin karena mungkin membuat anak menunggu-nunggu, "Kenapa tidak dibalas-balas oleh Tuhan" seolah-olah dia menuduh kita berbohong walaupun kita sudah menunjukkan ayatnya di dalam Kitab Suci dan Tuhan sendiri yang bicara, tapi anak ini menanti-nantikan, "Tuhan tidak membalas-balas".
PG : Akhirnya kita harus berkata kepada anak bahwa kita tidak selalu melihat Tuhan membalas karena kita tidak hidup dengan orang tersebut. Yang kedua adalah Tuhan tidak selalu membalas dengan cara-cara yang kita inginkan. Misalkan dalam bayangan seorang anak seharusnya Tuhan membalas dengan misalkan anak itu naik sepeda dan terjatuh, tidak selalu Tuhan menggunakan cara yang dipikirkan oleh manusia. Jadi kita tekankan itu kepada anak-anak, "Tuhan akan bertindak", kita ingatkan dia, "Jangan khawatir Dia adalah Allah yang adil, Dia Hakim yang paling tahu hukuman yang tepat dan Dia adalah Pembela kita, sewaktu kita tidak membalas Dia adalah pembela kita", tapi caranya harus diserahkan kepada Tuhan, kapannya juga serahkan kepada Tuhan dan kita tidak boleh menunggu-nunggu kapan Tuhan membalaskannya, jadi kita percayakan dan Tuhan nanti bisa mengurus itu.
GS : Sebaliknya ada anak yang mengalami hal itu lalu berkata, "Saya sudah mengampuni dia dan kenapa dia harus menghukum dia lagi.
PG : Kalau dia berkata, "Saya sudah mengampuni tapi Tuhan menghukumnya lagi" maka kita bisa ajak anak ke tahap berikutnya yaitu meminta dia untuk berdoa bagi orang yang telah bersalah kepadanya atau menyakiti dia. Tuhan Yesus memerintahkan di Matius 5:44, "berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu" jadi benar-benar tidak ada ajaran Tuhan untuk kita membalas orang yang bersalah kepada kita, tapi justru Tuhan Yesus meminta kita berdoa bagi mereka yang menganiaya kita. Jadi kita jelaskan kepada anak-anak bahwa berdoa adalah awal sekaligus kekuatan untuk mengampuni. Jadi selalu mulai dengan berdoa, termasuk mendoakan orang yang telah melukai kita. Dalam percakapan dengan anak kita dapat menanyakan apakah ada orang yang telah melukainya, jika ada kita ajak dia untuk berdoa bagi teman atau orang tersebut.
GS : Isi doanya ini yang kadang-kadang sebagai anak terlalu polos mendengar bahwa Tuhan akan membalas doanya adalah permintaan supaya Tuhan membalas anak ini.
PG : karena inilah yang kita ajarkan kepada dia bahwa hak membalas itu bukan miliknya tapi milik Tuhan jadi kalau dia berdoa dan meminta Tuhan yang membalaskan maka saya akan izinkan dan saya katakan, "Ini langkah yang baik dan Tuhan minta, hak membalas adalah milik Tuhan jadi serahkan biar Tuhan yang balaskan". Jadi kalau dia berdoa seperti itu biarkan. Itu adalah langkah pertama yang penting yaitu anak belajar menyerahkan urusan sakit hatinya kepada Tuhan supaya Tuhan yang menyelesaikan dan bukan dia yang menyelesaikan. Jadi sekali lagi ini bukanlah sesuatu yang membuat orang tua memarahi dia, "Kenapa kamu berdoa minta Tuhan balas dan sebagainya" anak akan bingung, "Tadi disuruh untuk menyerahkan kepada Tuhan biar Tuhan yang membalas", jadi orang tua harus konsisten.
GS : Tapi terkesan kejam, Pak Paul. Karena tahu kalau Tuhan membalas, balasannya ini jauh lebih hebat daripada apa yang anak itu lakukan sehingga orang tua merasa tidak pantas membiarkan anak berdoa seperti itu.
PG : Justru ini adalah langkah yang penting harus dilewati oleh anak adalah justru lewat langkah menyerahkan urusan pembalasan ini kepada Tuhan, dari sini barulah anak nanti bisa belajar mengampuni dengan sejati, dengan setulus-tulusnya dan sebenar-benarnya. Maksud saya, kadang kita sebagai orang tua terlalu cepat menyuruh anak mengampuni sehingga melompati satu fase yang perlu yaitu fase menyerahkan kemarahannya dan keinginannya untuk membalas menyerahkan itu kepada Tuhan, karena anak-anak tidak kita ijinkan untuk marah dan kecewa atau tersakiti. Jadi kita paksa dia untuk lompat dan masuk ke dalam fase harus mengampuni. Masalahnya adalah rasa tersakiti, marahnya dan keinginannya untuk membalas adalah hal yang nyata yang dialami oleh si anak. Jadi kalau kita seolah-olah sapu bersih padahal masih ada, takutnya saya adalah ketika dta berkata, "Baiklah saya ampuni" takutnya saya adalah keterpaksaan dan yang nomor dua adalah tidak rela sama sekali dalam pengertian dia sebetulnya hanya melakukan karena disuruh oleh orang tuanya sehingga akibatnya dia tidak begitu mengerti artinya pengampunan sebab disaat itu dia akan berkata, "Baik saya ampuni" tapi hatinya masih marah benci dan ingin berbuat sesuatu. Jadi sebaiknya kita tidak melompatkan anak lewat fase yang tadi itu, biarlah anak melewati fase yang berikutnya yaitu mengakui kemarahannya, mengakui dia telah tersakiti, mengakui keinginannya untuk membalas namun menyerahkannya kepada Tuhan dan minta Tuhan yang nanti bertindak kepada orang yang telah menjahatinya itu. Setelah dia masuk ke tahap itu misalkan dia sudah lebih besar dan sebagainya kita bisa ajak dia untuk berdoa bagi orang yang telah menyakitinya. Waktu dia mulai bisa berdoa, kita akan berkata, "Tuhan seharusnya Engkau balas dia, tapi kalau Engkau berkenan Engkau ampuni dia" maka lama kelamaan dia bisa berdoa seperti itu, berarti dia sungguh-sungguh mengerti arti mengampuni.
GS : Seperti doa Tuhan Yesus sendiri yang berkata, "Ampuni mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat".
PG : Betul sekali. Jadi kita lihat Tuhan Yesus bukanlah orang yang sama sekali tidak pernah marah sewaktu Dia menjadi manusia di bumi ini, Dia pernah marah bahkan menjungkirbalikkan meja para pedagang di bait Allah, jadi Dia bisa marah tapi Dia bisa mengampuni pula.
GS : Untuk bisa mengampuni seseorang ‘kan dibutuhkan kasih yang dari Tuhan, tanpa itu saya rasa sulit untuk kita bisa mengampuni orang lain, Pak Paul.
PG : Betul. Jadi ujung-ujungnya atau satu-satunya cara untuk bisa menggantikan kemarahan dan dendam dengan pengampunan adalah kasih, sehingga kalau kita hanya fokus pada bagaimana mengampuni mungkin tidak akan berhasil. Jadi yang harus kita gali dan kembangkan adalah hati yang penuh kasih. Di Matius 5:45, firman Tuhan mengingatkan kita tentang kasih Allah yang tak terbatas, di sini dikatakan, "Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar." Ini mencerminkan kasih Allah begitu besarnya sehingga kasih Allah itu memungkinkan semua orang baik orang baik atau jahat untuk menerima sinar matahari, untuk menerima curahan air hujan, sekali lagi menunjukkan kasih Allah tak terbatas dan inilah yang Tuhan inginkan dari kita yakni pada akhirnya memiliki hati yang mengasihi.
GS : Jadi disini perlu diajarkan kepada anak bagaimana melihat seseorang itu dari sisi positifnya, baiknya orang itu dan bukan dari kekurangannya atau dari hal-hal yang jahat yang dia lakukan, Pak Paul.
PG : Betul sekali. Dengan cara itu kita sebetulnya sedang mengajarkan anak untuk mengasihi sebab kasih itu tidak hanya melihat kekurangan, justru kasih itu menitik beratkan pada kekuatan orang atas kebaikannya. Jadi kita bisa misalkan mendorong anak untuk tidak cepat marah terhadap sikap orang melainkan berusaha mengerti mengapa dia bersikap seperti itu dan lebih memberi kesempatan kepada orang untuk belajar dari kesalahannya. Sikap-sikap seperti ini yang akan memudahkan kita untuk mengampuni orang.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Keterampilan Untuk Mengampuni". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.