Apakah kita siap melihat teknologi sebagai bagian dari mandat budaya yang kudus?
Teknologi digital kini hadir dalam hampir setiap sudut kehidupan, termasuk bidang yang dahulu terasa sangat pribadi dan rohani: konseling. Banyak orang bertanya-tanya, apakah boleh atau bahkan mungkin teknologi ikut campur dalam pelayanan pastoral yang menyentuh jiwa? Kehadiran Christian Counseling GPT, sebuah asisten konseling berbasis Alkitab yang dikembangkan Yayasan SABDA, menimbulkan refleksi mendalam. Apakah AI ini ancaman bagi pelayanan konseling Kristen, atau justru anugerah yang bisa dipakai Tuhan?
Dalam teologi Kristen, dikenal konsep common grace atau anugerah umum: kasih Allah yang diberikan kepada semua orang tanpa memandang iman. Melalui anugerah umum inilah manusia diberi kemampuan untuk mencipta, meneliti, dan mengembangkan teknologi. Sejarah mencatat bagaimana mesin cetak dipakai Tuhan untuk menyebarkan Alkitab, bagaimana radio dan televisi menjadi sarana penginjilan, dan bagaimana internet memungkinkan firman Tuhan menjangkau pelosok. Maka, kecerdasan buatan pun dapat dipahami dalam kerangka yang sama: ia lahir dari akal budi yang dianugerahkan Tuhan. Christian Counseling GPT berdiri di jalur ini -- sebuah karya teknologi yang dapat dipakai untuk tujuan rohani, bila dikelola dengan bijak.
Sejak awal, manusia menerima mandat budaya: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu" (Kejadian 1:28). Mandat ini bukan sekadar tentang pertanian atau pemanfaatan alam, melainkan panggilan untuk mengolah ciptaan demi kebaikan bersama. Dalam dunia modern, mandat budaya mencakup juga pengembangan teknologi digital. Christian Counseling GPT dapat dilihat sebagai wujud nyata mandat itu pada era AI: usaha manusia Kristen untuk memakai teknologi bukan demi keuntungan semata, melainkan demi pelayanan. Dengan kata lain, Christian Counseling GPT adalah upaya mengisi dunia digital dengan terang firman Tuhan, agar ruang maya juga dipenuhi dengan penghiburan dan pengharapan dari Kristus.
Tentu saja, wajar bila muncul kekhawatiran terhadap hal ini: apakah AI akan menggantikan konselor, gembala, atau pelayan rohani? Konseling Kristen sejati adalah perjumpaan kasih, doa, dan bimbingan dalam komunitas iman -- hal yang tidak bisa diproduksi algoritma. Namun, justru di sinilah posisi Christian Counseling GPT harus dipahami. Ia bukan pengganti, melainkan alat bantu. Seorang gembala mungkin tidak bisa selalu tersedia setiap saat, tetapi Christian Counseling GPT bisa hadir 24 jam sebagai sahabat digital pertama. Ia mampu mendengarkan tanpa menghakimi, menanyakan pertanyaan reflektif, bahkan membagikan ayat. Namun, Christian Counseling GPT juga diprogram untuk mengingatkan batasnya: bila masalah terlalu berat, ia akan menyarankan pengguna mencari konselor manusia. Dengan demikian, Christian Counseling GPT dapat dilihat sebagai "pendengar awal" yang membuka jalan, sementara pelayanan pastoral manusia tetap menjadi inti dari pelayanan konseling.
Seperti teknologi lainnya, AI juga memiliki sisi gelap. Namun, dalam iman Kristen, kita percaya bahwa Allah sanggup menebus bukan hanya manusia, tetapi juga karya manusia -- termasuk teknologi. Paulus menulis, "Semua hal diperbolehkan bagiku, tetapi tidak semuanya berguna." (1 Korintus 6:12, AYT) Prinsip inilah yang menjadi pagar etis dalam pemanfaatan Christian Counseling GPT. Dalam tangan yang salah, AI bisa menjadi sumber manipulasi, kecanduan, atau bahkan penyesatan rohani. Akan tetapi dalam tangan Tuhan, melalui komunitas yang bijak, AI bisa menjadi sarana penghiburan, refleksi rohani, dan pengingat firman bagi mereka yang sulit menjangkau konseling tradisional.
Christian Counseling GPT bisa mengutip ayat, menanyakan refleksi, bahkan menawarkan doa. Namun, kita harus ingat bahwa transformasi sejati datang dari Roh Kudus, bukan algoritma. AI hanyalah alat yang menyediakan ruang percakapan. Sama seperti mikrofon memperluas suara seorang pengkhotbah, Christian Counseling GPT hanyalah "mikrofon digital" yang menyalurkan firman. Kuasa sejati tetap berasal dari Tuhan. Karena itu, gereja perlu mendidik jemaat untuk tidak menganggap Christian Counseling GPT sebagai otoritas rohani, melainkan sarana yang bisa dipakai Roh Kudus. Firman Tuhan tetap sumber utama, doa pribadi tetap inti, dan komunitas iman tetap pusat pertumbuhan rohani. AI hanyalah penolong kecil yang mendukung proses ini.
Bayangkan seorang remaja yang merasa tidak berani terbuka kepada orang tuanya atau bahkan kepada pendeta di gereja. Dia bisa memulai percakapan dengan Christian Counseling GPT, mengungkapkan rasa bersalah, kecemasan, atau kebingungannya. Dari sana, Christian Counseling GPT bisa menolongnya menemukan ayat penghiburan dan mendorongnya untuk mencari konselor manusia. Suatu hari, remaja itu akhirnya memberanikan diri mendekati gembala jemaat, dengan dasar bahwa dia sudah berlatih kejujuran melalui percakapan digital. Dalam kasus ini, Christian Counseling GPT bukan menggantikan peran gembala, melainkan justru menjembatani perjumpaan.
Christian Counseling GPT menantang kita melihat teknologi bukan sebagai musuh, melainkan sebagai alat yang bisa dipakai dalam tangan Tuhan. Ia tidak menggantikan gembala jemaat, tidak meniadakan komunitas, dan tidak mengambil alih peran Roh Kudus. Namun, ia bisa menjadi jembatan kecil yang membuka ruang aman, menurunkan stigma, dan membawa firman Tuhan ke hati orang yang rapuh. Dengan demikian, Christian Counseling GPT adalah contoh nyata "penebusan teknologi"-bagaimana sesuatu yang netral, bahkan berisiko, bisa dipakai untuk karya ilahi. Pertanyaannya bukan lagi, "Bolehkah teknologi masuk ke dunia konseling Kristen?" melainkan, "Apakah kita bersedia membiarkan Tuhan memakai teknologi untuk memperluas pelayanan-Nya?"
Sumber
Disadur dari transkrip video seminar #AITalks: AI dan Konseling GPT.
SABDA Alkitab. (2025, Agustus 1). #AITalks: AI dan Konseling GPT [Video]. YouTube.
https://www.youtube.com/watch?v=tWLRFslswKU
Dibuat menggunakan AI Generatif ChatGPT-5.