Peran Ayah dalam Mendidik Anak
Peran ayah dalam pendidikan, dalam bahasa Inggris, ialah tofather. Di dalam bahasa Inggris terdapat tiga istilah yang berhubungan dengan tugas mendidik anak, yaitu mothering, fathering, dan parenting. Meskipun semuanya membicarakan tentang tugas mendidik anak, namun ada keunikan masing-masing dalam konteks sumbangsih ayah dan ibu dalam mendidik anak.
Salah satu tugas ayah kristiani ialah "mengajarkannya (perintah Tuhan kepada anak-anakmu dengan membicarakannya......." (
Saya percaya bahwa salah satu alasan mengapa
Suatu hari ibu guru salah seorang anak kami yang berumur hampir 9 tahun menelepon istri saya untuk memberitahukan bahwa tadi anak kami menangis di sekolah. Menurut ibu guru tersebut, anak kami ingin bermain bola basket dengan kawan-kawannya namun mereka tidak mengizinkannya bermain dengan mereka. Ia merasa perlu memberitahukan kami sebab ia merasa prihatin melihat kesedihan anak kami yang mendalam itu. Pada sore harinya istri saya menceritakan kepada saya perihal anak kami itu. Sebelumnya istri saya sudah menanyakan anak kami dan ia bercerita bahwa memang benar ia menangis karena tidak diajak bermain bola basket. Reaksi alamiah kami adalah rasa iba sebab kami menyadari bahwa anak kami itu memang senang bermain bola basket. Penolakan teman-temannya sudah tentu mendukakan hatinya.
Mendengar peristiwa tersebut, dengan didorong oleh rasa iba dan hasrat untuk menghiburnya, saya bergegas memanggil anak kami itu dan mengajaknya bermain bola basket di halaman rumah. Melalui permainan itulah akhirnya Tuhan menyadarkan saya akan salah atu tugas mendidik selain dari menghibur anak, yakni mengajarkan Firman Tuhan. Tuhan membukakan mata saya terhadap hal-hal tersembunyi yang jauh lebih hakiki daripada sekadar menghibur anak. Pada saat bermain itulah baru saya memahami mengapa teman-temannya enggan mengajarknya bermain. Alasannya tidak lain tidak bukan adalah, ia bermain curang! Naluri keayahan saya mendorong saya bertindak sebagai pahlawan yang ingin membela anak kami, seolah-olah dengan mengajaknya bermain saya berkata, "Biar semua orang tidak mau bermain denganmu, saya akan selalu siap bermain denganmu." Namun, ternyata dia jugalah pemicu perlakuan teman-temannya.
Pada waktu kami sedang bermain, kakaknya juga turut melempar-lempar bola basket. Adakalanya bola yang sedang dilemparnya berentuhan dengan bola basket kakaknya dan ia pun dengan segera meminta mengulang.....dengan bola di tangannya lagi. Namun pada suatu ketika, bola itu bertabrakan dengan bola yang dilempar kakaknya, tetapi kebetulan saat itu, sayalah yang sedang melempar bola. Dengan serta merta ia mengambil bola dari tangan saya dan "menghukum" saya dengan cara memberinya hak untuk melempar bola ke basket dua kali. Saya berusaha menerangkannya bahwa keputusannya itu keliru namun ia tidak peduli dan malah mogok bermain. Dengan bersimpuh di tanah menduduki bola itu ia bersikeras bahwa saya salah dan selayaknya menerima hukuman.
Saya mencoba untuk menjelaskan bahwa ia telah bertindak tidak adil sebab pada waktu hal yang sama terjadi pada dirinya, bukan saja ia tidak menghukum dirinya, ia malah menghadiahi dirinya. Ia tetap tidak menerima penjelasan saya dan menolak untuk mengakui ketidakkonsistenannya. Di dalam ketidaktahuan apa lagi yang harus saya lakukan, akhirnya saya berkata dengan lembut, "Jika engkau bermain dengan tidak adil, tidak akan ada orang yang ingin bermain lagi denganmu dan saya tidak ingin melihat engkau menjadi orang yang tidak mempunyai teman." Setelah mengatakan hal itu, saya lalu memeluknya dan ia pun mulai meneteskan air mata. Kemudian saya menanyakannya kembali dan sekarang ia siap mengakui ketidakadilannya itu. Sesudah itu saya mengajaknya bermain lagi dan ia pun bermain dengan jujur dan adil.
Saya berterima kasih kepada Tuhan yang tidak membiarkan saya melewati kesempatan emas yang tak ternilai itu. Betapa mudahnya bagi saya melakukan tugas keayahan saya dengan cara menghibur anak kami namun kehilangan pelajaran yang sangat berharga. Melalui peristiwa tersebut ada beberapa hal yang saya pelajari yang berfaedah bagi tugas keayahan. Pertama, tidak ada cara lain, tugas mendidik menuntut waktu. Sudah tentu keinginan atau kerinduan menjadi ayah yang baik adalah penting, namun tekad tersebut haruslah diwujudkan dalam bentuk waktu yang diberikan bagi anak kita. Tanpa waktu, tidak akan ada kesempatan "mengajarkan dengan cara membicarakan" pedoman hidup yang berasal dari Firman Tuhan. Jika saya tidak menyediakan waktu untuk bermain basket dengan anak kami, tidak akan ada peluang untuk menyaksikan kelakuannya dan sekaligus mengoreksi sikapnya.
Kedua, tugas mendidik membutuhkan kesediaan untuk melihat kelemahan anak kita. kita perlu terbuka untuk menerima kenyataan bahwa anak kita bukan saja tidak sempurna, namun akibat dosa, ia pun berpotensi merugikan orang lain. Adakalanya sulit bagi kita untuk mengakui kelemahan anak kita karena kelemahannya sedikit banyak merefleksikan kekurangan kita pula.
Ketiga, tugas mendidik mendahulukan pendekatan kasih ketimbang konfrontasi. Kadang kita perlu memperhadapkan anak kita dengan perbuatannya secara tegas; sekali-sekali kita perlu menghukumnya. Namun yang harus lebih sering dan diutamakan adalah menegurnya dengan kasih. Makin keras saya menegurnya, makin bersikeras ia menyangkalnya. Sebaliknya, tatkala dengan lemah lembut saya menegurnya, ia pun luluh dan bersedia menerima perkataan saya.
Keempat dan terakhir, tugas mendidik yang Kristiani menuntut kita menjadi ayah yang mengenal Firman Tuhan. Tanpa pengenalan akan Firman Tuhan, kita tidak bisa mendidiknya seturut dengan Firman Tuhan. Hukum Emas dari
- Log in dulu untuk mengirim komentar
- 14635 kali dibaca
Comments
Anonymous (tidak terverifikasi)
Rab, 22/04/2009 - 1:42am
Link permanen
Salut untuk TELAGA
TELAGA
Rab, 22/04/2009 - 4:21pm
Link permanen
Terima kasih untuk
Anonymous (tidak terverifikasi)
Rab, 13/01/2010 - 2:21pm
Link permanen
Terimakasih