Zuinig

Versi printer-friendly

oleh Sdri. Betty Tjipta Sari

Salah satu kata yang menggambarkan karakter orang Belanda yang unik dan berbeda dari orang-orang dari negara lain adalah ‘zuinig’, artinya hemat. Namun sepertinya bukan sekadar hemat, tapi juga benar-benar menghitung dengan baik supaya tidak ada yang terbuang percuma. Misalnya menghitung dengan tepat jumlah makanan yang dimasak supaya tidak tersisa, menghitung waktu dan jadwal supaya tidak ada waktu yang terbuang karena waktu adalah uang dan sebagainya. Karena budaya hemat ini sangat kental di Belanda, ada website di mana mereka dapat berbagi tips sederhana tentang hal sehari-hari yang dapat mereka lakukan agar semakin banyak uang yang dapat dihemat. Aku pernah mencoba melihat tips apa saja yang ada di website itu dan menemukan beberapa tips menarik. Salah satunya adalah menuangkan dengan tepat jumlah air pada waktu ingin membuat kopi atau teh (karena hampir semua orang memakai mesin kopi listrik atau pemanas air listrik), misalnya kalau mau membuat teh 2 gelas yang dituangkan ke dalam teko pemanas air juga 2 gelas. Tips yang lain adalah tidak membeli buah atau sayur yang bukan musimnya. Misalnya strawberry adalah buah musim semi, jadi jangan membeli strawberry di musim dingin, karena buah itu pasti diimpor dari luar negeri dan harganya lebih mahal. Juga kebiasaan hampir semua orang untuk membawa tas belanja sendiri ke supermarket agar tidak perlu membeli tas plastik dari supermarket (di sini tidak ada supermarket yang memberikan tas plastik gratis). Tentu saja tips seperti itu sangat bermanfaat untuk mahasiswa yang ingin berhemat sepertiku.


Hanya saja ada beberapa pengalaman culture shock menyangkut kebiasaan ‘zuinig’ ini sebelum aku memahami kebiasaan dan cara berpikir orang Belanda. Suatu kali aku diundang satu keluarga asli Belanda untuk berkunjung dan menginap di rumah mereka di daerah Zeeland. Sebelum makan malam, si Oom, sang tuan rumah, beranjak akan memasak sementara istrinya menemaniku ngobrol di ruang tamu. Lalu dia bertanya berapa biji kentang yang ingin aku makan karena dia akan memasak kentang (tanpa bumbu), brokoli rebus (tanpa bumbu), dan daging sapi (yang ini baru berbumbu) yang dipanggang dalam oven. Tentu saja aku kebingungan menjawab pertanyaan itu. Pertama, karena orang Indonesia tidak akan pernah menanyakan hal semacam itu. Aneh sekali rasanya membayangkan tanteku yang sedang aku kunjungi bertanya padaku sebelum dia memasak nasi dalam rice cooker tentang berapa piring nasi yang aku ingin makan malam itu, supaya dia bisa menakar dengan persis jumlah beras yang dimasak. Kedua, aku belum pernah makan kentang sebagai makanan pokok, jadi aku tidak tahu berapa banyak yang aku perlukan.


Sementara aku masih terhenyak dan terdiam kebingungan menjawab pertanyaan tentang berapa biji kentang itu, si Oom sudah kembali bertanya apakah aku mau satu biji atau dua biji kentang. Karena aku tidak yakin, aku jawab 1 biji saja karena takut kalau tidak dapat menghabiskan makan malam itu gara-gara aku belum terbiasa dengan makanan tanpa bumbu. Pada waktu makanan disajikan, kombinasi kentang tanpa bumbu, brokoli tanpa bumbu, dan daging sapi panggang ternyata cukup lezat. Dalam hatiku aku ingin makan lebih banyak kentang, namun apa daya tidak ada lagi kentang di meja, karena makanan dibuat pas tepat seukuran yang diminta masing-masing orang. Aku jadi menyesal kenapa tadi cuma minta satu biji ya… Hmmm.. coba makan malam di Indonesia, kalau ada tiga orang di meja, pasti akan ada makanan yang cukup untuk enam orang, dan kalau pun ada sisa akan disimpan.


Beberapa teman mahasiswa Indonesia juga membuat gurauan karena pengalaman mereka menyangkut kebiasaan ini. Satu kali salah satu teman memintaku menebak apa yang akan aku dapatkan kalau aku berkunjung ke rumah orang Belanda di jam makan malam (biasanya jam 6 sore). Tentu saja aku tidak tahu jawabannya waktu itu. Lalu dia bilang, "Jawabannya adalah ‘koran’, karena kamu harus menunggu sampai makan malam mereka selesai. Jadi kamu bisa baca koran selama menunggu. Jangan berharap kamu diajak makan bareng ya.. he he.."


Semakin aku memahami budaya lokal, semakin aku mengerti benturan budaya orang Indonesia dan orang Belanda. Kalau buat orang Indonesia, diberi koran sementara menunggu tuan rumah makan malam adalah perlakuan yang sangat tidak sopan dan tidak ramah. Namun buat orang Belanda, datang di jam makan tanpa ada perjanjian sebelumnya dianggap tindakan yang kurang menghargai mereka, karena orang Belanda sangat menghargai privasi, perencanaan dan agenda. Jadi sebenarnya, ketika orang Indonesia datang berkunjung di saat jam makan malam (tanpa perjanjian atau mereka belum selesai makan karena si orang Indonesia datang lebih awal dari perjanjian), kedua belah pihak akan merasa tidak nyaman.


Dengan teman serumah pun, kalau aku ingin makan bareng, aku biasanya juga buat janji untuk makan malam bareng. Itu pun harus jelas apakah kami akan masak bersama, atau masak sendiri-sendiri dan memakan makanan kami sendiri-sendiri di meja makan di waktu yang sama ?. Bahkan ada website yang menyediakan fasilitas untuk para mahasiswa untuk mengatur hal ini. Dalam website itu, kita bisa buat jadwal harian tentang siapa yang mau masak di hari itu dan siapa saja yang mau ikut makan bareng, berikut penghitungan tentang berapa biaya yang harus dibayar tiap orang yang ikut makan sesuai dengan jumlah belanja untuk memasak hari itu. Di website ini kita juga bisa mengatur jadwal bersih-bersih sumah, dan pengaturan belanja rumah tangga lain seperti sabun cuci piring, cairan pembersih, tissue untuk toilet, dan sebagainya. Cukup praktis dan sangat menggambarkan kultur orang Belanda yang menyukai kejelasan, keteraturan, perencanaan dan komunikasi blak-blakan (paling blak-blakan dibanding semua negara Eropa dan negara Barat lain, orang Amerika pun terkaget-kaget dengan cara komunikasi orang Belanda yang sangat direct dan apa adanya). Saya pikir, seandainya pun ada website serupa dalam bahasa Inggris atau Bahasa Indonesia, mahasiswa Indonesia tidak akan menggunakan website ini, meskipun beberapa mahasiswa Indonesia tinggal bareng satu rumah dan sering makan bareng, karena orang Indonesia lebih senang spontanitas dan fleksibilitas, tak perlu berhitung soal berbagi makanan dan tanpa jadwal.


Bicara tentang penghematan yang lain adalah soal pemanas ruangan. Untuk yang satu ini aku agak lama untuk belajar beradaptasi. Baru setelah setengah tahun di Belanda baru bisa menyesuaikan diri dengan kebiasaan teman-teman Belanda. Karena aku selalu tinggal serumah dengan mahasiswa-mahasiswa Belanda, aku harus belajar menyesuaikan diri dan makin belajar untuk mengikuti kebiasaan mereka. Tadinya sulit sekali memulai tidur atau bangkit untuk keluar dari selimut dari tempat tidur karena kedinginan. Penghangat ruangan dimatikan sebelum kami tidur dan baru dihidupkan lagi di pagi hari, dan meskipun sudah memakai selimut tebal, kaos kaki tebal, sweater dan celana panjang tebal, rasanya tetap saja dingin. Berbeda dengan apartemen mahasiswa internasional yang penghangatnya selalu dihidupkan baik siang hari maupun malam hari, dan suhu disetel lebih dari 20°C, di rumah kami suhu disetel 18°C di siang hari dan dimatikan di malam hari. Jadi bayangkan bagaimana rasanya seorang mahasiswa dari daerah tropis berusaha tidur dengan suhu 10°C atau bahkan di bawah itu. Namun, Tuhan itu baik karena memberikan tubuh yang mudah beradaptasi dengan lingkungan, jadi aku pun akhirnya berhasil beradaptasi dengan lingkungan. Memang sih ada keuntungannya untuk mengikuti pola hidup ‘zuinig’ ini, karena setiap tahun kami mendapat pengembalian uang kelebihan pembayaran gas dan air. Setiap bulan kami membayar biaya gas dan air, namun total penggunaan gas dan air dihitung di akhir tahun oleh agen. Jadi, kalau di akhir tahun ternyata penggunaan gas dan air selama setahun kurang dari yang kami bayarkan, uang kami akan dikembalikan. Lumayan buat ditabung. Lama-kelamaan ‘zuinig’ ini pun menjadi kebiasaanku juga (tidak membuang-buang air, menghemat gas, merencanakan belanja makanan, dan sebagainya). Tapi yang paling penting adalah, mengerti budaya orang Belanda membuatku juga makin dapat berbicara dengan ‘bahasa mereka’ (bukan hanya mengerti kata, tapi apa yang di belakang kata itu), dan itu pun menolongku untuk menunjukkan kasih dengan cara yang tepat kepada orang-orang di sekitarku dengan gesture yang mereka mudah tangkap dan pahami dengan baik.


"Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi…Bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat ….. supaya aku dapat memenangkan mereka yang tidak hidup di bawah hukum Taurat". (1 Korintus 9:20-21)