Negeri Kincir Angin

Versi printer-friendly
Oleh: Betty Tjipta Sari

Hff..Hff… Aku terus berusaha keras mengayuh sepeda dari rumah (students house) ke universitas di bawah suhu 10° C di tengah angin kencang musim gugur pertamaku. Rasanya sepeda ini tetap saja lambat bergerak ke depan. Aku jadi merasa bersalah karena sewaktu kecil dulu aku sering iseng meniup semut yang sedang berjalan. Mungkin sekarang aku jadi tahu seperti apa rasanya menjadi semut kecil itu. Bedanya, semut itu ketika kutiup berhenti berjalan dan mencengkeram pijakannya dengan sekuat-kuatnya, sementara dengan sepedaku aku harus tetap mengayuh dan membuat sepedaku bergerak agar tak terjatuh,


Ups.. aku hendak bergerak ke kiri tapi angin yang bertiup ke arah berlawanan membuatku seolah kehilangan kendali atas sepedaku. Frustrasi rasanya karena sepedaku tidak menuruti kemauanku. Angin kencang ini seperti menjadi musuh kala aku harus mengayuh sepeda ke kampus. Tapi ini masih mendingan. Cuaca dapat lebih tidak bersahabat ketika masuk musim dingin, seperti masa ujian di tahun pertamaku. Aku harus bersepeda di pagi hari yang gelap, karena matahari baru muncul jam 9 pagi, dan waktu mendung matahari malah tidak mau muncul sama sekali. Saat itu hujan dan suhu udara 5° C ditambah dengan angin kencang. Lengkap sudah! Sesampai di kampus celanaku sudah basah dan meskipun ada penghangat tetap saja rasa dingin menusuk. Suhu dalam ruangan yang seharusnya 20° C seolah-olah menjadi 10° C, bukan hanya karena celanaku yang basah tapi juga karena situasi ujian yang menambah perasaan jadi makin galau.


Tidak heran negeri ini banyak memiliki kincir angin. Angin adalah aset yang tak terbatas! Angin dapat menjadi musuh bagi mahasiswa yang berasal dari negeri tropis sepertiku, tapi bisa menjadi sahabat buat negeri Belanda karena dapat menggerakkan kincir untuk mengatur ketinggian air, membangkitkan listrik dan untuk pertanian. Aku jadi berpikir apa aset alam terbesar di Indonesia dan yang spontan muncul adalah matahari! Kenapa ya kita memiliki matahari berlimpah dan tidak banyak memanfaatkannya untuk pembangkit energi. Di negeri kincir angin ini, matahari sangat mahal. Rasanya begitu bahagia setiap kali aku melihat matahari muncul di pagi hari karena itu menjadi tanda bahwa hari akan cerah, dan ini adalah fenomena yang jarang terjadi kecuali di musim panas. Sementara sewaktu di Indonesia, aku tidak pernah tersenyum ketika melihat matahari muncul di pagi hari, karena itu adalah pemandangan yang terlalu biasa. Hmm.. memang benar apa kata orang, bahwa ketika kita sudah kehilangan sesuatu kita baru menyadari betapa berharganya hal tersebut bagi kita.


Selain itu aku jadi makin menghayati apa kata Mazmur 130:6, "Jiwaku mengharapkan Tuhan lebih dari pada pengawal mengharapkan pagi, lebih dari pada pengawal mengharapkan pagi." Aku bisa merasakan perasaan pengawal kota yang ingin fajar segera merekah. Rasanya seperti aku mengharapkan pagi hari di Belanda dengan sinar matahari, tanpa mendung dan tanpa angin. Ah.. semoga bukan cuma pagi yang cerah yang kurindukan, tapi rindu berjalan bersama Tuhan di pagi hari ini.. atau lebih tepatnya untuk aku saat ini adalah "rindu bersepeda bersama Tuhan apa pun cuacanya".


"The most thing I want is to be with YOU in every moment.. So, the weather does not matter that much, because You have made me warm inside"