Pasangan yang Menyiksa
Sebagai manusia berdosa, dalam kemarahan kita sanggup melakukan hal-hal yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, seperti memukul atau melukai orang. Namun pada dasarnya kita bukanlah orang yang seperti itu; kita tidak mau dan tidak suka melukai orang. Sebaliknya, kita justru ingin menyenangkan hati orang.
Topik bahasan kita bukanlah orang yang seperti itu melainkan orang yang senang menyiksa, terutama orang yang dekat dengannya. Orang ini mendapatkan kepuasan bila ia membuat orang sakit. Singkat kata, ia menyiksa karena ia menikmatinya. Memang tidak banyak orang yang seperti ini, tetapi ada. Bila kita menikah dengannya, kita pasti menderita di tangannya. Mungkin kita bertanya, apakah penyebabnya sehingga ia senang menyakiti orang? Hampir dapat dipastikan orang yang senang menyiksa sesamanya adalah orang yang sebenarnya tersiksa. Sewaktu kecil ia kerap mendengar dan menyaksikan teriakan sakit akibat perbuatan ayah atau ibunya terhadap satu sama lain. Alhasil, pertumbuhan jiwanya terganggu sebagai dampak dari kekerasan yang terjadi di keluarganya. Berawal dari ketakutan yang amat sangat, akhirnya ia mengembangkan reaksi kompensasi untuk mengatasi rasa takutnya. Ia pun menjadi sama seperti orangtua yang berperan sebagai pelaku kekerasan di dalam hidupnya. Mungkin saja orangtuanya bukanlah tipe penyiksa; sebenarnya orangtuanya menggunakan kekerasan sebagai pertahanan akhir—bukan awal—untuk menyelesaikan konflik. Namun, karena kekerasan terlalu sering terjadi, akhirnya si anak mengembangkan perisai untuk melindungi dirinya dari kekerasan yang disaksikannya. Perisai itu adalah ketumpulan nurani dan perasaan—begitu tumpulnya sampai-sampai ia sulit merasakan apa pun. Ibarat telinga yang tuli, untuk mendengar ia harus meningkatkan volume sekeras mungkin. Nah, untuk merasakan sesuatu, ia pun harus membuat orang mengeluarkan reaksi sekeras mungkin, seperti kesakitan dan ketakutan, lewat penyiksaan. Ia pun menyiksa karena di dalam dirinya tertimbun banyak kemarahan terhadap kekerasan yang dialaminya pada masa kecil. Jadi, penyiksaan merupakan ungkapan kemarahan yang seharusnya ditujukan kepada orangtua yang menyiksa itu. Tetapi, oleh karena ia tidak pernah membereskannya, maka kemarahan itu terus bersarang di hatinya. Dan, setiap kali ia marah—apalagi bila persoalannya memiliki kesamaan dengan masalah orangtuanya dulu—kemarahan akan keluar sebagai ledakan, yang disusul dengan penyiksaan. Tidak bisa tidak, bila kita hidup serumah dengannya, kekerasan akan mewarnai hidup kita pula. Posisi kita serba sulit. Jika kita melawan, kita akan menjadi korban yang lebih parah; sebaliknya, bila kita membiarkan, ia akan terus merajalela. Dan, anak-anak pun harus menjadi korban—dan tidak jarang—menjadi generasi penerus siklus penyiksaan itu.
Apakah yang mesti kita perbuat? Pada hakikinya respons kita bergantung pada pasangan yang menyiksa itu. Jika ia menyesali perbuatannya dan menunjukkan pertobatannya dengan cara berusaha sekeras mungkin untuk tidak mengulangi perbuatannya, ada pengharapan bagi rumah tangga kita. Sebaliknya, jika ia tidak menyesali perbuatannya tetapi malah terus menyalahkan kita sebagai penyebab mengapa ia marah dan menggunakan kekerasan, maka tidak ada pengharapan bagi rumah tangga kita. Langkah terbaik dan terbijak adalah berpisah dengannya.
Kita berpisah bukan saja untuk melindungi diri sendiri, tetapi juga anak-anak. Bukan saja untuk melindungi anak-anak dari kekerasan orangtuanya, tetapi juga untuk melindungi anak-anak dari kemungkinan mereka menjadi seperti orangtuanya. Memang ini bukanlah keputusan yang mudah; ada banyak hal yang mesti kita pertimbangkan masak-masak. Ingat, perpisahan menyelesaikan satu masalah tetapi juga menciptakan masalah lain. Jadi, kita harus memerhatikan segala risiko yang mesti ditanggung.
Bila pasangan menyesal dan ingin berubah, kita tinggal dan tidak berpisah dengannya. Nah, yang perlu kita sadari adalah, mulai dari titik penyesalan sampai ke titik perubahan biasanya memerlukan waktu yang tidak singkat. Proses ini pun tidak mulus dan kadang, ditandai oleh penyiksaan. Itu sebab penting bagi kita untuk memerhatikan hal-hal berikut ini:
- Sudah tentu kita mesti mengintrospeksi diri bila ada perbuatan atau perkataan kita yang menyakiti hatinya. Jika ada, mintalah maaf kepadanya. Dengan meminta maaf, kita pun memerlihatkan kepadanya sebuah gaya kehidupan yang baik dan berkenan kepada Tuhan. Mudah-mudahan ia mencontoh teladan yang kita berikan.
- Mintalah ia untuk mendaftarkan situasi atau perbuatan dan perkataan kita yang dapat memicu reaksi kekerasannya. Daftar ini dapat menolong kita mengenali pemicu dan menghindar dari reaksi tak terkendalinya.
- Ajaklah pasangan untuk bekerjasama, yaitu manakala dorongan untuk menyiksa timbul, mohon beritahukan kita, supaya kita dapat menghindar darinya. Jika ia masih sanggup menguasai dirinya, mintalah agar ia berupaya untuk mengungkapkan kemarahannya dengan cara yang lain, misalkan dengan membicarakannya.
- Buatlah sebuah mekanisme penyelamatan untuk diterapkan sewaktu ia lepas kendali, misalkan dengan berteriak memanggil nama Yesus. Kita tahu bahwa ada kuasa di dalam nama Yesus, jadi, berteriaklah memanggil nama Yesus untuk menyadarkannya.
- Kita harus berdoa bersama di pagi hari dan di malam hari. Bacalah Firman Tuhan dan hafalkan sebuah ayat yang dapat menjadi pemandu hidupnya untuk hari itu.
Tuhan tidak meminta banyak; Ia hanya meminta kita untuk mau menjadi orang benar—dan orang benar adalah Mazmur 112:4 berkata, "Di dalam gelap terbit terang bagi orang benar; pengasih dan penyayang orang yang adil". Jadi, untuk dapat keluar dari cengkeraman kekerasan, mulailah dengan bersikap adil. Terang pun akan terbit dari kegelapan.
Ringkasan T524A
Oleh: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Simak judul-judul kategori "Suami-Istri" lainnya di
www.telaga.org
PERTANYAAN :
Selamat sore,
Saya tinggal di kota Tomohon, 45 km dari Manado. Sebulan yang lalu, saya mendapati foto mesum istri saya dengan pria lain yang sudah beristri. Selingkuhan istri saya itu anggota Brimob. Mereka sebelumnya pernah berpacaran di masa SMA. Saya sangat marah karena istri berbohong dengan mengatakan bahwa mereka tidak berbuat apa-apa, lalu cerita berubah menjadi hanya memegang kemaluan, lalu hanya bersetubuh 4 kali, lalu menjadi 15 kali dan mengatakan lebih dari itu, tapi lupa. Dia menangis memohon ampun, tetapi ketika saya akan melaporkan pria itu pada kesatuannya, dia memohon agar jangan melakukan hal itu, saya jadi bertanya dalam hati, apa maksudnya? Memohon ampun tapi tidak mau merugikan pria itu. Apa yang harus saya lakukan pada istri saya dan apa yang harus saya lakukan pada pria itu, Pak Pendeta? Mohon sarannya.
Salam : P.J.
JAWABAN :
Bapak P.J.,
Pertama-tama kami ingin menyampaikan turut berduka atas musibah berat yang tengah menimpa Bapak. Perbuatan istri Bapak keterlaluan dan layak menerima hukuman Tuhan, namun sebagaimana firman-Nya berkata, pembalasan adalah hak Tuhan, bukan hak kita.
Ada beberapa hal yang dapat Bapak lakukan:
Pertama, Bapak dapat berkata kepada istri Bapak bahwa Bapak akan menerimanya kembali asal ia sungguh-sungguh bertobat. Bukti bahwa ia bertobat adalah menerima konsekwensi. Oleh karena selingkuhannya adalah seorang militer yang aktif, maka ia mesti dilaporkan. Jika istri Bapak tidak mengizinkan, Bapak betul, ia lebih sayang dan peduli kepada selingkuhannya daripada perasaan Bapak.
Kedua, jika ia setuju, Bapak baru menimbang faktor lainnya, misalkan nama baik keluarga Bapak dan pengaruhnya pada keluarga serta lingkungan. Bila Bapak melihat bahwa Bapak dan keluarga sanggup mengatasinya, silakan laporkan. Namun jika Bapak menimbang, akan lebih banyak dampak buruknya, Bapak tidak usah lakukan. Namun sekali lagi kami mengingatkan, Bapak baru memertimbangkan hal ini, setelah istri Bapak menunjukkan pertobatannya.
Ketiga, Bapak dan Ibu perlu menjalani pembimbingan pernikahan. Kami dapat mengenalkan Bapak dan Ibu dengan seorang hamba Tuhan yang mendalami bidang konseling di Tomohon.
Salam : Paul Gunadi
(Keluaran 18:13-27)
Oleh: Pdt.Kukuh Priyono, M.Th. Konseling *)
Pendahuluan
Zaman yang kita hidupi sekarang ini sangat jauh berbeda dengan 15-20 tahun yang lalu, pada waktu kita masih muda atau remaja. Sekarang ini semuanya dituntut untuk bergerak dengan cepat. Bahkan seolah-olah kalau kita tidak bergerak dengan cepat, maka tidak akan ada yang tersisa untuk kita, semuanya habis "dimakan" oleh orang lain. Perkembangan teknologi mendukung pergerakan dunia yang seperti ini. Sehingga tidak ada lagi semboyan yang berbunyi "ALON-ALON SYUKUR KELAKON."
Belum lagi ditambah dengan tingginya tuntutan perekonomian sekarang ini, membuat "pontang-panting" orangtua dan semua orang yang bekerja. Orangtua sampai bekerja lembur dengan alasan untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Tidak cukup satu yang bekerja, dua-duanya mengambil keputusan untuk bekerja dengan alasan yang sama. "Soalnya kalau tidak begini tidak akan cukup. Kami harus memenuhi ini, itu dan sebagainya." Sehingga tiba di rumah "energi" sudah habis. Tidak ada lagi sisa-sisa energi untuk anak atau keluarga, tapi apa boleh buat, kalau tidak begini tidak bisa hidup, sehingga anak, istri dan keluarga yang lain merasa tidak ada masalah – padahal sebaliknya, masalah yang tersembunyi semakin besar. Seperti singa yang sewaktu-waktu siap untuk mengamuk.
Ada satu "gambaran" indah tentang keluarga yang hilang, yang pernah ada jauh sebelum manusia menemukan roda. Gambaran itu adalah tentang keinginan masing-masing anggota keluarga, hanya untuk makan bersama dan menikmati masakan sang mama, sambil mendengarkan kisah-kisah kepahlawanan dari si kakek. Gambaran tentang pendidikan yang terfokus pada keluarga, bukan diserahkan sepenuhnya kepada sekolah. Seolah-olah sekolah menjadi "tempat penitipan anak" sampai orangtua pulang.
Bagaimana menghidupkan kembali kehidupan keluarga yang hilang ini? Bagaimana mengupayakan di tengah-tengah kesibukan kita agar pelayanan dalam keluarga tidak diabaikan? Melalui teks: Keluaran 18:13-27, saya menyimpulkannya sebagai 3 M, sebagaimana teladan yang diberikan oleh Yitro kepada menantunya, Musa, dalam pelayanannya. Apakah 3 M itu?
Mengatur Waktu (Kel. 18:13-14)
Seperti yang kita lihat dalam kisah Musa, semua bangsa Israel datang kepadanya untuk dihakimi. Mereka meminta nasihat kepada Musa, satu-persatu, dari pagi sampai petang (ay. 13-14). Kata "pagi" menunjuk kepada permulaan hari, waktu di mana matahari mulai bersinar. Sedangkan "sore" (atau boleh juga diartikan malam) adalah saat di mana matahari tenggelam dan tidak lagi bersinar. Apabila saya boleh mengatakan pada zaman kita sekarang, mungkin pelayanan Musa dimulai dari jam 6 pagi sampai dengan jam 6 sore. Seharian penuh dia bekerja. Tidak heran Yitro melihat hal ini tidak baik buat Musa. Tinggal tunggu beberapa saat lagi maka Musa akan mengalami sakit dan mungkin meninggal dunia.
"Boro-boro" memikirkan keluarga, setelah pulang dari melayani bangsa Israel, Musa akan mengalami kelelahan yang sangat berat, sehingga yang terpikirkan hanyalah istirahat yang cukup. Bisa jadi dengan terus melakukan hal tersebut, Musa akan kehilangan kehidupan kerohaniannya yang intim dengan Tuhan. Perlu sekali untuk mengatur waktu kita sedemikian rupa, antara pekerjaan/pelayanan, keluarga dan Tuhan. Ketrampilan yang diperlukan dalam hal ini adalah KESEIMBANGAN. Menyeimbangkan waktu-waktu yang kita miliki, sehingga tidak ada yang ditinggalkan atau tidak ada yang lebih diutamakan. Semuanya dapat berjalan dengan baik.
Mudah-mudahan apabila semuanya sudah berjalan dengan seimbang, maka tidak ada komplain dari anak/istri/keluarga yang lain, tidak ada komplain dari atasan dan tidak ada komplain dari diri sendiri. Semua dapat menikmati dengan baik, semuanya merasa BAHAGIA.
Membagi Tugas (Kel.18:20-23)
Membagi tugas dengan orang lain tidaklah semudah yang kita pikirkan, saudara-saudara. Untuk sebagian orang, membagi tugas berarti membagi "kemuliaan, kehormatan, harga diri dan lain-lain." Tidak mengherankan apabila kemudian kita mendapati banyak sekali orang yang bertindak sebagai "The Lone Ranger." Mereka melakukan semuanya sendirian, karena mereka nyaman untuk bekerja dengan cara yang demikian. Bisa jadi orang yang seperti ini juga tidak dapat percaya kepada orang lain, "jangan-jangan nanti kacau kalau ditangani olehnya," "nanti proyek miliaran rupiahnya hilang" dan sebagainya. Sehingga akhirnya pekerjaan begitu menumpuk, tidak terselesaikan dalam satu hari, kemudian lembur di kantor.
Sudah baik apabila lembur di kantor dan selesai, ini tidak. Sudah lembur sampai malam, masih juga membawa pekerjaan di rumah. Sampai di rumah semuanya diacuhkan. Anak minta perhatian sedikit, dimarah-marahi. Istri meminta kasih sayang sedikit dengan sapaan yang ramah, dibentak-bentak. Seolah-olah suami sudah berubah menjadi seekor "buaya" ganas yang harus dihindari di rumah.
Boro-boro pelayanan dalam keluarga, semua anggota keluarga dimaki, dimarahi, dijauhi. Demikian sebaliknya dengan anggota keluarga yang lain, mau mendekati untuk mengajak berdoa bersama-sama, baca firman Tuhan bersama-sama rasanya sudah "eneg", sudah "ogah". Ketemu sama "buaya ganas." Yang diperlukan disini adalah KEPERCAYAAN. Belajar untuk memercayai orang lain mengerjakan apa yang mereka dapat lakukan. Tidak perlu menjadi "The Lone Ranger." Ada kalanya, dan seringkali terjadi, dengan bekerjasama dengan orang lain pekerjaan malah cepat terselesaikan dan tidak sampai menumpuk. Sehingga waktu kita pulang, kita dapat menikmati waktu-waktu bersama dengan keluarga, berdoa bersama, membaca firman Tuhan bersama, jalan keluar untuk rekreasi bersama. Semuanya SENANG, semuanya MENANG.
Memainkan Peran Masing-Masing (Kel.18:24-27)
Di dalam organisasi, perusahaan, instansi dan semacamnya, maka ada pembagian-pembagian kelompok orang dengan tugasnya masing-masing. Ada yang bertindak sebagai Pimpinan Yayasan, Direktur, Manager, Kepala Biro, Sekretaris dan lain-lain. Semua orang dengan semua fungsi dan tugasnya dijabarkan sebelum seseorang mulai menjalankan tugasnya. Semakin dia memahami tugasnya, maka semakin baik organisasi tersebut berjalan. Dalam kasus Musa, dia mengajarkan kepada beberapa orang untuk menjadi pemimpin atas 10, 50, 100, 1000 orang dan mereka menjalankan tugasnya dengan baik (ay. 25).
Dalam keluarga, prinsip yang serupa dapat dijalankan. Banyak sekali permasalahan terjadi dalam keluarga, pelayanan tidak berjalan, karena masing-masing tidak menyadari peran mereka. Di mana suami dalam hal-hal yang bersifat rohani (persekutuan, doa dan lain-lain)? Tidak ada, atau sangat jarang. Dimana suami? Mereka lebih senang untuk berkumpul bersama-sama orang kampung, bermain kartu, merokok bersama, minum kopi bersama dan lain-lain. Justru di area yang sangat penting para suami JARANG ada. Ditambah lagi falsafah yang muncul dalam masyarakat bahwa mengurus anak (belajar, makan, bermain dan lain-lain) adalah urusan istri, membuat kehadiran suami dalam keluarga semakin langka ditemukan.
Ulangan 6:4-9 mengajarkan bahwa tugas suamilah untuk memberikan pendidikan, baik secara intelektual dan juga rohani. Bukan berarti istri tidak mengambil perannya. Alkitab mengatakan bahwa "Hawa diciptakan sebagai penolong untuk Adam (Kej. 2:20)." Istri dapat menolong suami dalam merawat anak, menemani pada saat ada banyak pergumulan dan sebagainya. Ketrampilan yang diperlukan dalam hal ini adalah KOMUNIKASI. Apa pun yang dirasakan oleh suami, oleh istri maupun anak-anak, KOMUNIKASIKAN, bicarakan, sehingga tidak menghalangi saat kita bersama-sama datang bersekutu dengan Tuhan.
Untuk mengupayakan hal ini, perlu waktu-waktu tertentu untuk keluarga. Dr. Dwijo pernah menyarankan dalam seminar "Indonesia perlu membuat satu hari khusus untuk ayah boleh pulang dari pekerjaan dan berkumpul bersama dengan keluarganya, hanya untuk beberapa jam saja." Hal ini dilakukan di negara Singapura, hari Rabu para suami diizinkan untuk pulang beberapa jam hanya untuk mengajak keluarganya keluar dan makan siang bersama. Dengan demikian semuanya merasa SUKACITA.
Penutup
Pelayanan dalam Keluarga adalah sebuah pelayanan yang mutlak untuk dilakukan. TIDAK BOLEH DIABAIKAN. Untuk itu perlu sekali masing-masing anggota keluarga untuk mengerti bagaimana:
- Mengatur waktu dengan sebaik-baiknya – KESEIMBANGAN
- Membagi tugas – KEPERCAYAAN
- Memainkan peran masing-masing – KOMUNIKASI
Kiranya prinsip Yitro untuk Musa ini dapat kita terapkan dalam hidup kita masing-masing, sehingga keluarga kita menjadi keluarga yang diberkati Tuhan.
Saran praktis:
- Ambil waktu untuk makan bersama
- Ajak anak-anak ke "play ground."
- Berdoa dan membaca firman Tuhan bersama – Mezbah Keluarga
*)Salah seorang konselor PKTK Sidoarjo yang berdomisili di Malang.
Dua bulan sudah kita lewati di tahun 2023. Kita sudah memasuki minggu-minggu sengsara atau Pra-Paskah. Beberapa doa syukur dan juga doa permohonan adalah sebagai berikut:
- Bersyukur untuk rekaman pertama dalam tahun 2023 dengan Bp. Paul Gunadi sebagai narasumber. Dua topik yang dibahas adalah "Disiplin Dalam Pernikahan" dan "Disiplin Dan Anak Baik".
- Bersyukur ada 3 radio yang telah dikirimi rekaman lanjutan dalam bulan Februari 2023, yaitu Radio Suara Sion Perdana (RASSINDA) di Karanganyar-Solo, Immanuel FM di Solo dan R.radio di Tulungagung.
- Doakan agar dalam bulan Maret 2023 sudah bisa mengirimkan bahan rekaman tahun 2020 dan 2021 ke radio-radio yang sudah menunggu, a.l. radio Suara Syallom FM di Tobelo, Halmahera (satu-satunya radio streaming di Provinsi Maluku Utara.
- Bersyukur untuk penyertaan Tuhan dan kekuatan yang diberikan ditengah berbagai kesibukan masing-masing konselor dari PKTK Sidoarjo.
- Bersyukur untuk dukungan yang terus diberikan untuk pelayanan PKTK (Pusat Konseling Telaga Kehidupan) di Sidoarjo.
- Doakan untuk tempat konseling di PKTK Sidoarjo agar pada saatnya bisa mendapatkan tempat yang tepat untuk mengakomodasi kebutuhan klien-klien yang Tuhan percayakan.
- Doakan agar Tuhan memberi hikmat, serta kekuatan untuk para konselor dapat terus menolong jiwa-jiwa yang Tuhan percayakan. Kiranya Tuhan juga memimpin dan mempertajam visi misi ke depan.
- Doakan untuk tim Telaga Pengharapan agar dapat sehati sepikir untuk mengerjakan pelayanan bersama di PKTP (Pusat Konseling Telaga Pengharapan), juga agar PKTP dapat membangun jejaring dan kerjasama dengan gereja dan sekolah serta Yayasan Kristen yang ada di kota Jember.
- Pendaftaran kelas pembinaan anak sudah dibuka untuk periode Juli 2023, doakan untuk persiapan guru dalam mengajar. Ada 4 orang guru ‘online’ di Program Bina Iman Anak Tunas Kehidupan dan 3 orang guru yang ‘onsite’.
- 1601 kali dibaca