Anak yang Tidak Ingat Budi
Berita Telaga Edisi No. 75 /Tahun VII/ November 2010
Diterbitkan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Sekretariat: Jl.Cimanuk 56 Malang 65122 Telp.: 0341-408579, Fax.:0341-493645 Email: telagaindo.net.id Website: http://www.telaga.org Pelaksana: Melany N.T., Dewi K. Megawati Bank Account: BCA Cab. Malang No. 011.1658225 a.n. Melany E. Simon
Salah satu hal menyakitkan yang kadang mesti kita hadapi adalah melihat anak yang kita besarkan dengan kasih dan pengorbanan bertumbuh besar menjadi anak yang tidak ingat budi atau kebaikan orang tua. Mengapakah ada anak yang tidak ingat budi orang tua? Berikut akan dipaparkan kemungkinan penyebabnya dan langkah untuk menghadapinya.
Ada anak yang tidak mengingat budi karena merasa budi yang diterima sebanding dengan budi yang telah diberikannya kepada orang tua. Dengan kata lain, anak merasa bahwa ia pun telah cukup berkorban untuk orang tua sehingga ia tidak lagi merasa berutang budi kepada orang tua. Sebagai contoh, anak yang tidak dapat meneruskan sekolah karena harus membantu orang tua dan membiayai kebutuhan adik-adiknya mungkin saja merasa bahwa pengorbanan yang telah diberikannya terlalu besar. Demi membantu keluarga ia telah mengorbankan masa depannya.
Ada anak yang tidak mengingat budi orang tua karena terlalu dalam luka di hatinya akibat perbuatan orang tua. Mungkin perlakuan orang tua terlalu sering menyakiti hatinya sehingga pada akhirnya ia sukar mengingat hal-hal baik yang dilakukan orang tua. Bisa jadi tidak banyak yang telah diberikan orang tua kepadanya, selain keperluan jasmaniah.
Ada anak yang tidak mengingat budi orang tua karena malu terhadap orang tua. Mungkin orang tua berasal dari golongan ekonomi rendah dan tidak bertata krama seperti yang diharapkannya. Oleh karena malu dengan kondisi orang tua maka anak pun tidak mau terlalu dekat dengan orang tua. Sedapatnya ia menghindar kontak dengan orang tua dan tidak mau diasosiasikan dengan orang tua.
Ada anak yang tidak mengingat budi orang tua karena tidak mau berutang budi kepada orang tua. Biasanya anak menjadi seperti ini oleh karena sejak kecil orang tua kerap "menghitung-hitung’ budi. Singkat kata, pada akhirnya anak tidak mau lagi berutang budi kepada orang tua dan berusaha "membayarnya" lunas supaya orang tua tidak dapat membangkit-bangkitkan perihal budi. Bagi anak, setiap budi yang diterima lebih merupakan "investasi" yang kelak mesti dibayarnya kembali. Itu sebabnya lebih baik bila ia tidak menerima budi apa pun dari orang tua.
Ada anak yang tidak mengingat budi sebab memang ia adalah anak yang mementingkan diri sendiri. Seperti kita semua, anak pun adalah manusia berdosa dan sebagai manusia berdosa kadang ia melakukan dosa. Ada anak yang berjalan dalam dosa sehingga hanya memikirkan dirinya sendiri. Dalam kondisi seperti ini anak hanya dapat memerhatikan keinginannya.
Apakah yang mesti dilakukan orang tua bila anak tidak mengingat budi orang tua?
Berikut adalah beberapa saran:
Pertama, sebagai orang tua kita mesti introspeksi diri. Bila anak tidak mengingat budi karena memang tidak banyak yang telah kita berikan atau korbankan untuknya, akuilah. Kita harus merendahkan diri dan mengakui perbuatan kita serta meminta maaf darinya.
Bila kita sering membuatnya mengingat budi yang telah diberikan kepadanya, berhentilah membangkit-bangkit hal itu. Sebaliknya, berbuatlah baik untuknya tanpa pamrih. Lewat perubahan ini anak tahu bahwa kita sudah bertobat dan lewat proses waktu ia akan dapat kembali memercayai kita.
Bila anak malu atau hidup mementingkan diri sendiri, kita hanya dapat mendoakannya supaya sadar dan bertobat. Janganlah kita "mengejar" dan menuntut balasan budi sebab tindakan ini biasanya tidak melahirkan kesadaran yang tulus. Ingatlah perumpamaan anak yang hilang di Lukas 15:11-32. Si Bapak tidak mengejar si bungsu; ia menunggu dan menyambut si anak dengan sabar. Ketika si bungsu pulang, "ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan . . . . berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia."
Kesimpulan: Seyogianya orang tua merawat dan membesarkan anak dalam kasih dan sebagai wujud syukur dan tanggung jawab kepada Tuhan yang telah memberikan anak kepada kita. Jadi, lakukanlah tugas ini dengan penuh sukacita. Apakah anak menghargai atau tidak, itu adalah tanggung jawabnya
Oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi
Catatan: Audio dan transkrip bisa didapat melalui situs Telaga dengan kode T306 B
Doakanlah
Bersyukur untuk sumbangan sebesar Rp 500.000,- dari Bp.Gunawan Santoso Rp 5.000.000,- dari Komisi Misi GKI Ka Im Tong di Bandung
Bersyukur untuk sumbangan dari Bp.Edy Suryanto (Jaya Media) dalam bentuk kalender Telaga 2011 yang saat ini masih dalam taraf penyelesaian.
Doakan untuk penyelesaian pencatatan transkrip dan ringkasan dari T307 s.d. T 318.
Doakan Literatur SAAT dalam proses penerbitan 2 buklet berjudul "Porno-grafi dan Bahayanya" dan "Anak Adopsi dan Permasalahannya".
Doakan untuk CD dan buklet Telaga yang dititipkan di Pastorium, VISI Malang dan Surabaya dan Ibu Indrawati.
Doakan untuk tim WEB di YLSA yang sedang meng-upgrade situs Telaga dan penyelesaian "keyword Telaga" yang masih dalam proses. Doakan juga untuk proyek Mobile SABDA (kamus mobile, Alkitab mobile dan aplikasi GoBible) dan tim pemrograman yang sedang menyelesaikan SABDA Software versi 4.
Menjelang akhir tahun 2010, doakan apabila Tuhan berkenan menam-bahkan 1 radio lagi yang mau bekerja sama menyiarkan program Telaga.
Doakan untuk kesibukan menjelang Natal dan Tahun Baru 2011.
Doakan agar Tuhan memampukan aparat pemerintah/pihak terkait dalam menanggulangi bencana alam yang terjadi silih berganti di Indonesia.
Telaga Menjawab
Tanya?
Keluarga suami saya terdiri dari ibunya dan seorang adik laki-laki, ayahnya sudah meninggal sejak suami saya masih kecil dan karena hal itulah maka suami saya merasa dirinya sebagai wakil dari papa yang harus melindungi adik laki-lakinya. Sejak kecil adiknya selalu dimanja tapi dalam hal tanggung jawab sangat kurang dan kalau adiknya melakukan kesalahan, dia tidak pernah diberi konsekuensi apapun. Saat ini adiknya telah berusia 30 tahun, tidak mandiri, tidak bekerja, bergaya hidup tinggi.
Sebelum menikah, ibu mertua pernah berpesan pada saya "numpang makan, maka harus mengalah pada adik ipar. Kalau dia macam-macam, mengalah dan ampunilah." Dulu saya tidak ambil pusing (walau dikatakan "numpang makan"). Tapi setelah menikah, mau tidak mau saya terseret dalam lingkaran ini yaitu dalam hal finansial.
Suami saya bekerja 10-15 tahun di perusahaan ibunya, dan dari hasil kerjanya bersama ibu, mereka mengirim adik sekolah ke luar negeri, dengan harapan dengan diberikannya modal edukasi, ia boleh mendapatkan taraf hidup baik di luar (tapi sudah menghabiskan banyak uang selama 5 tahun, hanya menghasilkan deportasi karena nilai jelek).
Perusahaan diberikan kepada suami dan suami yang menjalankan perusahaan tersebut tapi dalam hal keuangan, semua uang perusahaan masuk ke dalam rekening ibunya sehingga ibunya bebas mengambil uang dan suami hanya meminta dari ibunya gaji secukupnya untuk 1 bulan saja.
Sampai saat ini kami belum memiliki tabungan, suami beralasan kepada saya bahwa karena ia yang mengerjakan perusahaan itu, ia sedang "menabung" di perusahaan itu, karena ibunya berjanji memberikan perusahaan itu kepada suami, sementara adiknya sudah disediakan modal untuk membuka usaha sendiri. Menurut saya, untuk apa "menabung" di perusahaan seperti itu, seperti mengisi ember yang bocor! Yang bocornya semakin besar pula, yaitu baru-baru ini ibunya ingin adik ipar cepat menikah karena sudah berumur 30 tahun dan otomatis kami mengetahui bahwa, itu berarti perusahaan kelak juga akan membiayai istri dan anak-anaknya. Setiap kali saya menyampaikan ini kepada suami saya, dia berkata, "Sebagai orang Kristen kita tidak boleh perhitungan, harus membantu saudara sendiri. Lagipula ini tidak untuk seterusnya, satu saat adik akan mandiri".
Jadi bisa dikatakan, masa depan finansial keluarga saya sangat bergantung pada ibu mertua (karena semua dipegang ibu mertua) dan adik ipar (karena dia anak kesayangan keluarga).
Sebagai menantu saya tidak bisa mengubah situasi. Hanya suami saya yang dapat mengubah keadaan supaya keluarga kami tidak perlu bergantung kepada siapa pun, baik itu ibu mertua, adik ipar atau siapapun. Bukankah dalam keluarga itu, suami harus meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya? Apakah saya boleh menginterpretasikan ayat ini seperti demikian? Tapi suami saya tidak dapat melihat karena buta dengan cintanya kepada ibu dan adik, sehingga rela membaktikan diri bagi mereka. Bahkan ia menganggap baktinya ini sejalan dengan perintah Alkitab untuk mengasihi, tidak egois, rela berkorban, dan sayang saudara.
Bagaimana tanggapan Bapak/Ibu konselor? Apa yang dapat saya lakukan?
Jawab!
Kami menyetujui semua pengamatan dan kesimpulan Ibu tentang kondisi rumah tangga suami Ibu.
Namun pada akhirnya pilihan Ibu hanyalah dua:
- Mencoba mengubah atau
- Membiarkan
Pilihan pertama, memunyai konsekuensi yang besar dan membahaykan pernikahan Ibu sendiri. Makin Ibu bersikeras dan menuntut suami agar lebih tegas bersikap, makin ia menjauh dari Ibu dan ini yang lebih parah, makin tidak suka ia terhadap Ibu sebab ia akan menyimpulkan bahwa hati Ibu tidak baik dan tidak ada kasih Kristiani dalam hidup Ibu.
Pilihan kedua, memang mengesalkan namun setidaknya tidak membuat rumah tangga Ibu goyah. Jadi, menurut saya, pilihan yang lebih bijak adalah pilihan kedua. Selama Ibu percaya bahwa suami adalah seorang kepala keluarga yang bertanggung jawab dan memerhatikan kebutuhan keluarga, biarkanlah ia mengambil keputusan dan biarlah Ibu memercayakannya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Katakan kepadanya bahwa Ibu memercayainya dan mulai sekarang Ibu tidak akan memberi komentar apa-apa lagi. Ibu akan dengan sepenuh hati memercayakan keluarga Ibu kepadanya.
Saya berharap dengan menunjukkan sikap seperti itu, suami akan menempatkan Ibu di sisinya. Sebaliknya, makin Ibu mengkritik kebijakannya, makin Ibu berada di pihak oposisi. Jangan berikan komentar apa pun tentang adiknya atau ibunya; sebaliknya doakan agar Tuhan tetap melindungi keluarga Ibu.
Satu hal yang dapat Ibu minta kepada suami adalah agar ia dan Ibu mulai menyisihkan tabungan. Biarlah tabungan ini menjadi jaminan masa depan Ibu dan suami yang tidak dapat disentuh oleh Ibu mertua maupun adik ipar. Sebagai anak Tuhan, hidup kita tidak lagi bergantung pada usaha dan kekuatan manusia, Tuhanlah sandaran kita satu-satunya. Ia akan dengan setia memelihara kita. Tuhan melihat bahwa Ibu mertua tidak memerlakukan kedua anaknya dengan adil; Tuhan pun melihat bahwa Ibu mertua tidak memerlakukan ibu sendiri dengan adil; Tuhan melihat semua ketidak adilan ini dan Ia akan membela Ibu dan keluarga Ibu.
Silakan Ibu membaca Filipi 4:6-7 serta Mazmur 37:3-7. Mudah-mudahan masukan ini bermanfaat bagi Ibu. Tuhan memberkati.
Judul-Judul Baru
- T307 A Tanda-tanda Orang Meninggalkan Tuhan (I)
- T307 B Tanda-tanda Orang Meninggalkan Tuhan (II)
- T308 A Hidup yang Dikuasai Nafsu (I)
- T308 B Hidup yang Dikuasai Nafsu (II)
- T309 A Mengapa Istri Dominan?
- T309 B Ketundukan Sejati
- T310 A Suami Kasar
- T310 B Mengasihi Secara Konsisten
- T311 A Bekerja dan Berhikmat
- T311 B Hidup Sederhana
- T312 A Seri: Hidup Tanpa Penyesalan
- T312 B (Memilih Pasangan Hidup)
- T313 A Seri: Hidup Tanpa Penyesalan
- T313 B (Hidup Dengan Pasangan)
- T314 A Seri: Hidup Tanpa Penyesalan
- T314 B (Membesarkan Anak)
- T315 A Seri: Hidup Tanpa Penyesalan
- T315 B (Memilih Karier)
- T316 A Kebiasaan Buruk Pria (I)
- T316 B Kebiasaan Buruk Pria (II)
- T317 A Remaja Berbohong
- T317 B Melayani Pelaku Aborsi
- T318 A Dampak Keberhasilan Suami Pada Istri
- T318 B Dampak Keberhasilan Istri Pada Suami
- 4276 kali dibaca