Wibawa orangtua muncul bukan dari kemampuan orangtua mencukupi kebutuhan finansial anak tetapi muncul dari kehidupan orangtua yang sesuai dengan peranan dan tugasnya sebagai orangtua. Dan wibawa orangtua muncul dipandang dari kualitas hubungan suami istri. Waktu orangtua mempunyai hubungan yang kuat, yang baik dan yang harmonis, anak-anak tidak bisa tidak akan memandang orangtua dengan penuh hormat.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Wibawa Orang Tua". Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Saya ingin menanggapi yang tadi Pak Gunawan singgung memang saya kira ada pengaruh dari luar Pak Gunawan, pengaruh dalam pengertian kita sekarang hidup di alam demokratis. Nah, alam demokrtis tidak bisa tidak akan mempengaruhi cara kita hidup atau cara kita melihat hidup.
Salah satu hal yang menjadi unsur penting dalam konsep demokrasi adalah bahwa kita ini sama rata, kita ini mempunyai hak yang sama, kita ini mempunyai kewajiban yang sama, jadi keistimewaan itu tidak diberikan secara otomatis karena faktor kelahiran, atau faktor hal-hal yang bersifat jabatan. Sesuatu itu menjadi istimewa kalau memang ada keistimewaan dalam sumbangsihnya, dalam perbuatannya, nah alam pikir anak-anak sekarang tidak bisa tidak dipengaruhi oleh alam demokrasi atau budaya demokrasi yang makin hari memang makin meluas di dalam hidup kita ini. Oleh sebab itulah anak-anak sekarang memang tidaklah setakut pada orang tua seperti anak-anak dulu, ini juga adalah keluhan yang sering kali saya dengar, sebab memang kita sadari pada waktu dulu anak-anak takut sekali untuk misalnya membangkang orang tua, melawan atau kurang ajar dan sebagainya. Nah, saya kira ada pengaruh faktor budaya juga Pak Gunawan.PG : Nah, oleh karena adanya alam dari luar, alam demokrasi yang memang melanda masuk ke dalam rumah tangga kita oleh karena itulah orang tua sekarang mempunyai tuntutan tugas yang lebih berat,untuk membuktikan dirinya sebagai orang-orang yang layak untuk dihormati oleh anak-anak mereka.
Kalau dulu pokoknya begitu menjadi seorang tua, begitu mempunyai anak sudah mendapatkan suatu wibawa tertentu, namun sekarang, orang tua seolah-olah harus membuktikan dirinya layak mendapatkan wibawa itu, barulah anak-anak akhirnya lebih bisa hormat kepada mereka.PG : Pertama-tama Pak Gunawan, saya akan paparkan yang bukan wibawa tapi sering kali dianggap wibawa. Pertama adalah saya kira faktor uang Pak Gunawan, sering kali orang tua beranggapan kalau sya mampu mencukupi kebutuhan fisik, finansial anak-anak atau istri atau suami saya, maka otomatis saya layak untuk dihormati oleh anak-anak.
Nah point pertama adalah sebetulnya keuangan bukanlah ukuran, yang paling penting bukanlah soal berapa besarnya, tapi dalam soal uang berapa bertanggungjawabnya. Jadi adakalanya konsep kita ini keliru dalam hal wibawa. Adakalanya orang tua beranggapan selama saya masih bisa menyediakan uang kepada anak-anak, anak-anak seharusnyalah hormat kepada saya. Jadi bukan soal berapa besar jumlahnya namun berapa bertanggungjawabnya si orang tua, berapa rajinnya dia, itu yang akan membuahkan wibawa pada dirinya, itu yang pertama.PG : Nah yang kedua ini Bu Ida, adakalanya orang tua beranggapan dengan semakin keras perlakuannya kepada anak, semakin berwibawalah dia. Tadi sebenarnya Pak Gunawan sudah singgung anak-anak taut pada orang tua atau istilahnya ketakutan kepada orang tua.
Anak-anak menjadi ketakutan kepada orang tua karena perlakuan orang tua yang sangat keras sekali, nah ini juga anggapan yang keliru Bu Ida, sebab membuat anak-anak ketakutan sebetulnya tidaklah melahirkan wibawa. Justru sebetulnya reaksi yang tersembunyi pada diri anak sewaktu anak menjadi ketakutan terhadap orang tua ialah rasa tidak suka, rasa tidak hormat, bahkan rasa benci kepada orang tua. Nah ini adalah faktor kedua yang acapkali kita kaitkan dengan wibawa, maka orang tua merasa anak-anak tidak menghormatinya; biasanya ya langkah pertama adalah memarahi, berteriak-teriak, memukul anak tambah hari tambah keras, nah dengan harapan wibawa itu akan dibangkitkan kembali, terbalik justru tidak ada wibawa.PG : Memang secara lahiriah yang diharapkan akan tercapai, karena ketakutan anak-anak akan taat melakukan yang dikehendaki oleh orang tuanya. Tapi saya kira ini akan berpengaruh pada usia tertetu atau sampai usia tertentu misalkan sewaktu anak-anak ini remaja dan sudah mampu melawan, dia melawan atau karena tidak mampu melawan di depan orang tua dia akan mengulang perbuatannya di belakang orang tua.
PG : Disiplin itu sendiri memang mutlak diperlukan, jadi orang tua mesti mendisiplin anak tapi berapa kerasnya dia mendisiplin dan berapa adilnya dia mendisiplin, itu 2 hal yang sangat penting ang harus dilihat oleh anak.
Dan kita tidak boleh sedikitpun melupakan bahwa disiplin hanya efektif kalau sebelum disiplin diberikan, anak merasa dicintai dan setelah disiplin diberikan anak juga merasa dicintai. Jadi disiplin itu tidak berdiri sendiri, disiplin harus didampingi oleh kedua belah pihak oleh cinta kasih sebab waktu anak-anak dikasihi dan dia tahu dikasihi kemudian didisiplin, disiplin itu efektif. Tapi setelah anak didisiplin anak-anak ini akan merasa terbuang, tersingkirkan, tidak diinginkan, karena dimarahi dengan begitu keras oleh orang tua, perlu cinta kasih diungkapkan lagi kepada si anak, perlu diberikan lagi suatu kesan bahwa aku mencintaimu, apa yang aku perbuat tadi tidak mengubah cintaku kepadamu. Jadi pasca disiplin atau setelah disiplin, cinta kasih juga harus diberikan, dengan cara inilah wibawa orang tua akan bisa ditegakkan. Jadi sekali lagi yang kedua ini yang sering kali disalahfahami oleh orang tua adalah soal disiplin yang keras barulah wibawa saya ini akan ada, kalau tidak ada ini tidak bisa. Jadi 2 hal ini memang sering kali menjadi anggapan yang keliru.PG : Adakalanya memang bercanda yang terlalu bebas bisa mengurangi wibawa orang tua itu betul, jadi saya kira dalam bercanda dengan anak mesti ada batasnya. Contoh misalkan si orang tua (maaf mnggunakan istilah ini) suka kentut di muka si anak, lama-lama si anak sengaja kentut di muka si orang tua, bapaknya atau mamanya, nah saya kira bercanda seperti ini tidak cocok untuk bercanda dikalangan orang tua-anak.
Jadi memang ada bercanda-canda yang jangan lagi digunakan tapi bercanda dalam hal humor yang masih segar dan memang tidak menyinggung seseorang, harga diri seseorang silakan. Nah, adakalanya yang sering kali orang tua perbuat dan keliru adalah misalnya menggoda anak, tapi menggodanya benar-benar keterlaluan, begitu keterlaluannya sehingga anak marah dan marahnya itu tidak menghormati lagi orang tua. Jadi memang dalam bercanda kita mesti menjaga diri juga, jangan sampai keterlaluan.PG : Ya saya kira kalau memang sekali-sekali anak memegang kepala kita, tidak apa-apa, tapi misalnya anak memegang-megang terus kemudian mendorong-dorong kepala si ayah, si ibu, saya kira itu sdah tidak sopan lagi.
PG : Saya akan bacakan dari kitab
PG : Kalau tadi Tuhan memberi satu perintah kepada istri, di ayat berikutnya Tuhan memberikan 2 perintah kepada suaminya. Saya bacakan dari pasal 3,
PG : Betul, dan perintah Tuhan mengasihi istri sebetulnya dalam wujud nyata atau konkretnya ialah mendahulukan istri di atas yang lain-lainnya. Jadi sewaktu ayah itu mengutamakan kerja di atas stri, nah dia tidak memberi cinta kepada istri, waktu si ayah mendahulukan kakek dan neneknya atau bibi dan pamannya di atas istri, anak-anak melihat ayah tidak begitu mengasihi istri.
Bahkan waktu ayah terlalu mengasihi anak-anak di atas istri, anak-anak pun melihat ayah tidak mengasihi mama, nah ini adalah wujud-wujud konkret dari cinta sebab cinta pada dasarnya adalah mengutamakan di atas yang lain-lainnya. Jadi sebagai ayah, kita diingatkan untuk mengutamakan istri kita, dan waktu anak-anak melihat bahwa ayah mengutamakan istri, wibawa ayah akan muncul. Dan waktu ayah memperlakukan istri dengan penuh hormat, penuh kasih sayang, tidak menghina, tidak memaki-maki, anak-anak itu juga akan lebih menghormati ayah.PG : Betul, nah ini adalah ayat yang selanjutnya ayat 21 "Hai bapa-bapa janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya." Jadi terhadap istri, Tuhan memberikan dua perintah emudian untuk anak, ada lagi yang Tuhan berikan kepada ayah.
Jadi benar-benar wanita hanya dapat satu perintah, ayah malah tiga, memang pria itu perlu banyak dilarang.PG : Begini, sebetulnya menyakiti hati mempunyai arti jangan membuat hati anak itu menjadi pahit.
PG : Betul, pahit itu mencakup unsur tersinggung, mencakup unsur benci, mencakup tidak ada lagi gairah untuk dekat dengannya, mencakup unsur tidak mempedulikan orang ini, masa bodoh dengan oran ini, nah jangan sampai anak mempunyai perasaan tersebut kepada kita sebagai ayah.
Nah, janganlah membuat tawar hatinya, sama kata-katanya jadi jangan membuat hati anak kita itu pahit. Pahit berarti begini sebetulnya kita memasukkan yang pahit ke dalam hatinya itu kira-kira intinya. Apa yang kita masukkan ke dalam hati anak kita, ini yang perlu kita lihat kepahitan atau yang manis, yang baik atau justru yang pahit, yang negatif. Nah adakalanya orang tua atau termasuk dalam hal ini ayah bisa membuat hati anak pahit biasanya melalui tadi yang sudah kita bahas, disiplin yang berlebihan. Dan yang kedua adalah ayah kalau marah cenderung melihat anak itu sebagai "sparring partnernya" kecenderungan pria memang berkelahi sejak kecil, makanya yang sering berkelahi secara fisik adalah anak pria. Waktu orang tua atau waktu ayah sudah mulai agak tua anak-anak sudah mulai besar, ayah itu mulai melihat anak sepertinya melawan, menantang, dia merasa ditantang. Nah, ibu tidak melihat anak itu menantang, mengajak duel, tidak, tapi ayah cenderung menyoroti kelakuan anak yang nakal sebagai tantangan untuk seolah-olah diajak berduel. Jadi akhirnya si ayah bukan mendidik, tapi justru mengeluarkan kata-kata yang memancing amarah si anak, seolah-olah ayah itu ingin mengajak anaknya berduel, kalau engkau berani silakan lawan saya, soalnya menunggu kesempatan kapan anak ini bisa dihajar lebih keras lagi. Seperti dalam perkelahian, nah inilah yang akan menjadikan anak pahit yaitu penghinaan-penghinaan untuk membuat anak itu mengaum dan melawan si ayah, nah itulah kesempatan yang ditunggu oleh si ayah. Si anak seolah-olah menanggapi tantangannya untuk supaya bisa dihajar lebih keras lagi, nah hinaan-hinaan inilah yang memahitkan hati anak.PG : Itu juga akan terjadi, itu betul sekali Bu Ida, jadi kalau ayah menghina ibu terlalu sering, meremehkan ibu terlalu sering, anak-anak juga akan menghina ibu. Misalkan ayah selalu berkata kpada ibu, goblok kamu, goblok kamu, jangan kaget kalau anak-anak itu sudah dewasa atau sudah besar tiba-tiba akan berkata hal yang sama kepada ibunya.
Goblok kamu mama, kenapa.... sebab, perkataan goblok itu sudah terlalu terekam dalam pikiran si anak, sehingga yang terekam mudah muncul di mulut kita secara natural.PG : Sebetulnya dua-duanya, dia benci kepada si ayah tapi juga pada akhirnya tidak hormat pada si mama, meskipun dengan mama terjadilah konflik perasaan. Di satu pihak tidak hormat, di pihak yag lain sangat kasihan dengan mama karena mama itu korban perlakuan ayahnya.
Nah, kenapa si anak itu kok bisa turut tidak menghormati mamanya, karena memang si mama punya kelemahan juga yang seharusnya tidak diperlakukan kasar oleh si ayah. Misalkan mamanya agak lamban, nah dalam kelambanan itulah si ayah memaki-makinya luar biasa. Nah, anak memang akan tetap melihat mamanya lamban dan tanpa disadari dia akan juga bereaksi seperti papanya bereaksi. Atau misalnya mamanya suka tanya papanya, ke mana kamu, pulang jam berapa kamu, nah waktu si anak mendengar mama bertanya hal yang sama kepadanya, reaksinya sama terhadap mamanya, mama terlalu cerewet, mengurus saya dan dia memaki mamanya juga.PG : Bagus sekali pertanyaan itu Pak Gunawan, sebab itu adalah contoh wibawa yang hilang atas perbuatan Daud sendiri. Yaitu apa Daud memang memberikan contoh hidup yang tidak berintegritas dan ni adalah hal ketiga yang harus ditegakkan di rumah.
Yaitu orang tua harus memiliki kehidupan yang benar bukan saja kualitas hubungan suami istri harus baik, bukan saja perlakuan terhadap anak tidak memahitkan perasaan anak, tapi yang ketiga adalah kehidupan orang tua harus berintegritas. Kalau orang tua baik kepada anak, baik kepada suami istri tapi tukang tipu uang orang, menggencet, membohongi orang dan sebagainya, anak-anak tidak akan menghormati. Daud melakukan kesalahan yang sangat fatal waktu menikahi Batsyeba atau meniduri Batsyeba secara ilegal kemudian membunuh Uria; nah itu sudah diketahui oleh khalayak ramai dan bahkan yang pasti oleh anak-anaknya sendiri. Dan Absalom adalah anak yang salah satu atau mungkin yang tertua dari anaknya Daud itu, jadi dia melihat perbuatan papanya yang seperti itu maka tidak ada lagi rasa hormat.PG : Betul sekali, takut akan Tuhan, dia lebih takut untuk tidak memperlakukan istri atau suami dengan baik dan anak-anak yang lebih baik dan hidupnya pun akan lebih benar. Jadi tiga hal itu saa kira adalah hal-hak yang membangun wibawa orang tua.
PG : Betul, itu yang terjadi juga dengan anak-anak Imam Eli dia dihormati oleh rakyat Israel tapi....
PG : Tidak menghormati dia, dan yang menarik anak-anak Samuel pun tidak menghormati Samuel, sehingga hidup mereka tidak benar. Pada awalnya Samuel melihat contoh Eli, dia tinggal di rumah Eli tpi dia mengulang kesalahan yang sama, kita manusia memang penuh dengan kelemahan Pak Gunawan.
PG : Ada, pasti ada tapi meskipun kalau terjadi seperti itu ada pengaruh dari luar, namun kalau ketiga faktor wibawa itu ada di rumah, anak tidak bisa bergerak terlalu jauh juga, tidak bisa bererak terlalu jauh.
Sering kali anak itu hanya bisa menjajah orang tua kalau memang sistem rumah tangganya sudah runtuh.PG : Betul, dan ini yang harus kita camkan Pak Gunawan, wibawa tidak datang dengan sendirinya, wibawa itu bergantung pada perbuatan kita sebagai ayah dan ibu.
PERTANYAAN KASET T 46 A
- Apakah sebenarnya wibawa itu…?
- Apa yang harus dilakukan orang tua supaya memiliki wibawa yang tepat bagi anak-anaknya..?
- Langkah-langkah apakah yang perlu dilakukan untuk membangun wibawa sesuai dengan firman Tuhan…?
Beberapa tindakan harus dilakukan oleh orang tua, supaya dia mempunyai wibawa yang tepat, sedini mungkin sejak anak itu masih kecil.
Pertama-tama, saya akan paparkan yang bukan wibawa tapi sering kali dianggap wibawa, yaitu:
Faktor uang. Seringkali orang tua beranggapan kalau saya mampu mencukupi kebutuhan fisik, finansial, anak-anak atau istri atau suami saya maka otomatis saya layak untuk dihormati oleh anak-anak.
Adakalanya orang tua beranggapan dengan semakin keras perlakuannya kepada anak, semakin berwibawalah dia. Justru sebetulnya reaksi yang tersembunyi pada diri anak sewaktu anak menjadi ketakutan terhadap orang tua ialah rasa tidak suka, rasa tidak hormat, bahkan rasa benci kepada orang tua.
Langkah-langkah yang harus dilakukan orang tua di dalam membangun wibawa:
"Hai istri-istri tunduklah kepada suamimu sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan."
Kolose 3:18
Ingin saya tekankan bahwa wibawa orang tua muncul kalau orang tua hidup sesuai dengan peranan dan tugasnya sebagai orang tua. Waktu orang tua mempunyai hubungan yang kuat, yang baik dan yang harmonis, anak-anak tidak bisa tidak akan memandang orang tua dengan penuh hormat. Jadi wibawa yang pertama muncul dari kualitas hubungan suami-istri, ini tidak bisa ditawar-tawar."Hai suami-suami kasihilah istrimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia."
Kolose 3:19
Ini mengandung 2 unsur:Yang pertama adalah perintah, yakni kasihilah istrimu. Sekali lagi anak-anak akan menghormati ayah dan ayah menjadi ayah yang berwibawa waktu anak-anak melihat ayah mengasihi mama. Ini adalah hal yang penting sekali untuk dilihat si anak. Dan waktu ayah dilihat mengasihi mama, anak-anak cenderung akan menghormati papa.
Yang kedua adalah larangan, jangan berlaku kasar terhadap istri. Tuhan juga tegaskan larangan jangan memperlakukan istrimu dengan kasar.
"Hai bapa-bapa janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya."
Kolose 3:21 .
Terhadap istri, Tuhan hanya memberikan satu perintah, ayah malah tiga, memang pria itu perlu banyak dilarang. Yang dimaksud menyakiti hati itu sebetulnya mempunyai arti, jangan membuat hati anak itu menjadi pahit. Pahit itu mencakup unsur tersinggung, benci, tidak ada lagi gairah untuk dekat dengannya, tidak mempedulikan orang ini, masa bodoh dengan orang ini.
Pahit intinya berarti kita memasukkan yang pahit ke dalam hatinya. Adakalanya orang tua atau dalam hal ini khususnya ayah bisa membuat hati anak pahit biasanya, yang pertama melalui disiplin yang berlebihan. Dan yang kedua adalah ayah kalau marah cenderung melihat anak itu sebagai "sparring partnernya" kecenderungan pria memang berkelahi, sejak kecil makanya yang sering berkelahi secara fisik adalah anak pria.
Salah satu kasus di Alkitab, di mana Absalom itu memberontak kepada Daud, itu adalah contoh wibawa hilang sebagai akibat perbuatan Daud sendiri. Daud memberikan contoh hidup yang tidak berintegritas. Orang tua harus memiliki kehidupan yang benar, bukan saja kualitas hubungan suami-istri harus baik, bukan saja perlakuan terhadap anak tidak memahitkan perasaan anak, tapi kehidupan orang tua juga harus berintegritas.
Pada akhirnya harus kita sadari, bahwa kewibawaan itu datang dari pihak Tuhan, dan itu harus kita kelola dengan baik. Untuk membina hubungan yang harmonis suami istri maupun terhadap anak, jadi tetap dibutuhkan wibawa. Yang harus kita camkan adalah, wibawa tidak datang dengan sendirinya, wibawa itu bergantung pada perbuatan kita sebagai ayah dan ibu. Jadi yang terutama adalah orangtua harus hidup takut akan Tuhan. Sekali dia takut akan Tuhan, dia lebih takut untuk memperlakukan istri atau suami, dan anak-anak dengan lebih baik, sehingga hidupnya pun akan lebih benar. Jadi semuanya itu saya kira adalah hal-hal yang membangun wibawa orang tua.