Tantangan Penggembalaan: Konflik Antar Jemaat

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T557A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Pernyataan gembala sidang tentang suatu paham politik atau partai tertentu dapat memicu konflik dalam jemaat, masalah personal antar jemaat sering dikaitkan dengan masalah rohani sehingga menutupi inti persoalan, serta perbedaan doktrin dapat memicu adanya perpecahan dalam jemaat. Inilah konflik yang banyak terjadi dalam jemaat.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Sebagaimana pekerjaan lainnya, tugas penggembalaan pun memunyai tantangannya tersendiri. Salah satu di antaranya adalah menghadapi pelbagai manusia dengan pelbagai kebutuhan dan kepentingannya, yang kadang bertabrakan. Tidak bisa tidak, gembala harus bersikap bijak menghadapi semua ini. Berikut akan dipaparkan beberapa jenis konflik yang kadang muncul dalam penggembalaan dan saran untuk mencegah serta mengatasinya.


(1) Konflik Politik.
Dari awal pelayanan kita perlu menjelaskan hal-hal apa saja yang tidak akan kita kemukakan secara terbuka, salah satunya adalah paham politik yang kita anut dan partai politik yang kita dukung. Kita adalah gembala untuk semua; jadi, kita menaungi semua. Itu sebab, hindari percakapan politik dan kalaupun kita ingin memberikan penilaian yang kritis terhadap situasi politik, lakukanlah secara berimbang dan umum. Begitu kita terlihat berkiblat pada satu partai, maka selamanya kita akan dianggap bukan lagi gembala bagi semua. Ini merugikan pelayanan sebab kita akan dilihat sebagai kepanjangan partai, bukan Kristus.


Sewaktu Tuhan Kita Yesus berada di bumi, Ia lahir dan dibesarkan di tanah jajahan. Saat itu pemerintah yang berkuasa adalah Kerajaan Roma; raja Herodes yang kita kenal adalah raja boneka yang tunduk kepada kaisar Roma. Kita tahu bahwa Yohanes Pembaptis juga hidup pada masa yang sama. Nah, satu hal menarik yang layak mendapatkan perhatian kita adalah, tidak pernah sekalipun Tuhan Yesus dan Yohanes Pembaptis menyinggung soal politik, baik di dalam pembicaraan ataupun pengajaran mereka. Tidak pernah mereka mengajak rakyat Israel untuk bangkit berdiri melawan dan membebaskan diri dari penjajahan Roma.


Alasannya jelas: Bagi Allah, masalah terbesar yang dihadapi manusia adalah masalah DOSA, bukan masalah POLITIK. Dan pusat atau letak persoalan bukanlah pada politik melainkan HATI manusia. Itu sebab yang perlu menerima penebusan dan pencerahan adalah hati manusia sebab hati yang telah ditebus dan dicerahkan oleh kasih karunia Allah akan melahirkan dan menjalankan keadilan bagi sesama. Sebaik apa pun sistem politik yang berlaku, bila pelakunya tidak takut akan Allah dan tidak memunyai kasih Allah, ia tetap berpotensi menjadi duri dalam daging dan lintah yang mengisap darah rakyat yang diperintahnya.


Dari sini kita dapat belajar bahwa sebagai gembala jemaat, tugas kita adalah menyampaikan berita penebusan Kristus atas dosa manusia dan mengajarkan tentang kasih karunia Allah supaya jemaat dipenuhi dan dipandu oleh nurani yang bersih dan saleh. Itu sebab bila terjadi ketegangan di dalam tubuh jemaat akibat perbedaan paham politik, sebagai gembala kita harus bersikap netral—tidak membenarkan yang satu dan menyalahkan yang lain. Ingat, kita adalah gembala untuk semua, bukan untuk sebagian jemaat. Selalu ingatkan bahwa identitas kita di hadapan Allah bukanlah identitas PARTAI melainkan identitas KRISTUS.


(2) Konflik Pribadi.
Sudah tentu ada banyak masalah yang dapat timbul di kalangan jemaat, namun hampir semua memunyai penyebab yang sama yaitu merasa TERSINGGUNG. Ada yang merasa dicurangi dan ada yang merasa dirugikan, tetapi pada umumnya penyebab konflik yang terutama adalah merasa tersinggung. Sudah tentu saya tidak akan berkata bahwa sebagai anak Tuhan tidak seharusnya kita merasa tersinggung. Tidak. Saya mafhum kadang orang berbuat tidak baik kepada kita; jadi, saya mengerti adakalanya kita merasa tersinggung akibat perlakuan orang yang jelas-jelas menghina kita.


Namun, saya dapati bahwa kebanyakan orang merasa tersinggung tidak pada tempatnya. Dengan kata lain, banyak yang bereaksi berlebihan. Masalahnya adalah sebagai gembala mau tidak mau kita terlibat, bukan karena mau, tetapi karena terpaksa, alias dilibatkan dan diharapkan berpihak. Biasanya jemaat akan mengadu kepada kita mencurahkan kemarahannya atau rasa tidak sukanya kepada seseorang. Celakanya, sering kali pihak yang satunya juga datang kepada kita menceritakan masalah yang sama itu kepada kita. Sungguh tidak mudah!


Cara paling aman menghadapi konflik pribadi adalah mencuci tangan dan tidak memberikan pendapat sama sekali. Biasanya kata penghiburan favorit kita sebagai hamba Tuhan adalah, berdoa. Sejak awal gereja Tuhan tidak pernah bebas dari konflik pribadi, namun ternyata hamba Tuhan tidak mencuci tangan, sebagaimana dapat kita lihat di dalam surat Paulus kepada Filipi (4:2), "Euodia, kunasihati dan Sintikhe, kunasihati, supaya sehati sepikir dalam Tuhan."


Kita tidak tahu apa permasalahan mereka, namun dapat kita duga mereka terlibat konflik pribadi, bukan konflik iman. (Sebab kalau itu adalah konflik iman, sudah tentu Paulus akan membahasnya!) Menghadapi situasi itu, Paulus tidak berdiam diri, pura-pura tidak tahu; sebaliknya, ia berinisiatif mengangkat konflik itu ke permukaan. Ia menyuruh mereka berdamai. Kita tahu bahwa pada saat itu Paulus berada di penjara di Roma, ia tidak berada di Filipi; itu sebab ia hanya dapat menyuruh keduanya berdamai dari jauh. Saya yakin bila ia berada di Filipi, Paulus akan memanggil keduanya dan berbicara secara langsung.


Hal yang sama dapat kita lihat pada surat Paulus kepada Filemon. Surat itu adalah surat pribadi Paulus yang ditulis buat rekan sepelayanannya, Onesimus, seorang budak yang melarikan diri dari majikannya, Filemon. Kepada jemaat di Tesalonika, Paulus pun menyuruh mereka untuk menegor "mereka yang hidup dengan tidak tertib" (1 Tesalonika 5:14) dan menjauhkan diri dari "setiap saudara yang tidak melakukan pekerjaannya" (2 Tesalonika 3:6).


Sebagaimana dapat kita lihat permasalahan yang diangkat Paulus bukanlah masalah ROHANI melainkan masalah PRIBADI, namun karena ia melihat bahwa masalah-masalah pribadi ini dapat merembet kepada jemaat secara keseluruhan, ia memilih untuk mengangkatnya. Sudah tentu keputusan Paulus untuk terlibat berpotensi menimbulkan atau memperparah konflik. Namun ia tetap melakukannya dan memilih untuk berdiri di atas apa yang baik dan benar.


Kita pun dapat melihat hal yang sama di Perjanjian Lama. Tuhan Allah menunjuk Musa dan para wakilnya menjadi hakim guna menyelesaikan perselisihan di antara umat Tuhan. Bahkan Salomo pun di awal pemerintahannya sebagai raja pernah harus berfungsi sebagai hakim menyelesaikan masalah pribadi dua ibu yang memperebutkan anak (1 Raja-Raja 3:16-27).


Sebagai gembala, walau kita tidak suka, kita tetap harus terlibat menyelesaikan konflik pribadi. Setelah mengetahui masalahnya secara jelas, kita mesti menyatakan sikap—mana benar, mana salah; mana baik, mana buruk. Saya yakin, tidak semua puas dengan keputusan Musa dan para wakilnya, dan tidak semua puas dengan keputusan Salomo serta Paulus. Kadang orang pun tidak puas dan marah, tetapi kita mesti menyatakan apa yang baik dan benar.


(3) Konflik Doktrin atau kepercayaan.
Saya teringat sewaktu pemuda, gereja di mana saya berbakti mengalami perpecahan—beberapa kali! Penyebabnya adalah perbedaan doktrin. Banyak gereja mengalami perpecahan akibat munculnya kepercayaan yang berbeda. Sebagai gembala kita harus menghadapi konflik doktrinal dan ini tidak mudah. Sudah tentu kita tahu bahwa perbedaan yang tidak esensial seyogianya tidak perlu dipersoalkan. Masalahnya adalah perbedaan doktrin sering kali berbuntut perbedaan gaya ibadah dan gaya hidup. Pada akhirnya gereja terbelah sebab dua kelompok yang berseberangan ini menjadi seperti air dan minyak.


Sebagai gembala kita mesti tahu apa yang kita percaya dan berani berkata jujur; tidak boleh kita bersikap plin-plan atau berpura-pura. Sebagai pengajar Firman Tuhan, tidak selayaknya kita mengajarkan sesuatu yang tidak kita yakini kebenarannya. Jadi, penting untuk kita berterus-terang, walaupun untuk itu kita mesti membayar harga yang mahal—akan ada sekelompok jemaat yang tidak sepaham dengan keyakinan iman kita dan merasa kita sudah berpihak pada kelompok yang berseberangan.


Paulus harus menghadapi realitas ini. Itu sebab ia perlu menulis surat untuk meredakan konflik yang berkecamuk, dari masalah penggunaan karunia Roh sampai masalah makan daging yang telah dipersembahkan kepada berhala. Pada awal perkembangan gereja, Petrus juga harus menjelaskan kepada gereja di Yerusalem alasan mengapa ia menginjakkan kakinya di rumah Kornelius, seorang perwira Roma yang bukan orang Yahudi. Jadi, dari sini dapat kita petik pelajaran bahwa sebagai gembala kita mesti berusaha memberi penjelasan dan pengajaran, bukan saja tentang perintah Allah tetapi juga tentang maksud yang terkandung di baliknya.


Tujuannya jelas yakni memertahankan kesatuan tubuh Kristus, namun sebagaimana kita tahu, usaha ini tidak selalu membuahkan hasil. Gereja telah dan terus mengalami perpecahan. Tugas kita sebagai gembala adalah menjaga HATI semua yang terlibat di dalam konflik ini supaya tidak berakhir dengan KESOMBONGAN atau KEPAHITAN. Kita harus mengajak semua untuk saling menghormati dan mengasihi; kalaupun mesti berpisah, kita akan berpisah secara damai. Seperti Paulus dan Barnabas yang konflik dan pisah pelayanan gara-gara Yohanes Markus, kita pun tetap fokus pada panggilan yaitu hidup sebagai saksi Tuhan dan menyelesaikan misi-Nya.


Kepada Timotius, seorang gembala sidang di Efesus, Paulus menitipkan pesan untuk menasihati orang-orang tertentu, "agar mereka jangan mengajarkan ajaran lain" (1 Tim 1:3). Mengoreksi orang yang mengajarkan ajaran yang berbeda berpotensi menimbulkan perasaan benar yang kuat. Alhasil sikap kita mudah menjadi kasar dan angkuh. Tidak heran Paulus perlu mengingatkan, bahwa tujuan nasihat itu ialah "kasih yang timbul dari hati yang suci, dari hati nurani yang murni, dan dari iman yang tulus ikhlas" (1 Tim 1:5). Mengoreksi perlu, tetapi jangan sampai kita kehilangan kasih. Sebagai gembala kita pun tidak boleh kehilangan kasih dalam menghadapi pelbagai konflik; kita harus menjaga hati agar tetap suci, murni dan tulus.