Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya, Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, topik apa yang akan kita perbincangkan pada kesempatan kali ini ?
PG : Kita akan membicarakan "Tantangan Istri yang Harus Bekerja", Pak Gunawan. Kita menyadari bahwa sekarang cukup banyak istri yang harus bekerja. Rupanya itu juga mengandung tantangan yang harus dihadapi baik oleh si istri maupun si suami. Jadi, inilah yang akan kita angkat. Mudah-mudahan para pendengar kita akan diberkati.
GS : Iya. Kalau menurut Pak Paul faktor apa yang mendorong banyak istri bekerja. Bukankah pekerjaan di rumah sudah banyak, apalagi kalau mereka dikaruniai anak akan butuh banyak waktu, butuh banyak perhatian, kenapa masih bekerja di luar ? Apa yang mendorongnya ?
PG : Ada yang memang sebetulnya tidak mau bekerja. Dia mau menjadi ibu rumah tangga, Pak Gunawan. Tetapi kondisi keuangan tidak menunjang. Jadi, dia harus bekerja di luar. Tapi ada juga yang memang mau bekerja sebab mereka merasa sayang kalau mereka berhenti, karir mereka akan terputus, nanti mau membangun dari nol juga berat. Jadi, mereka pikir teruskan saja. Yang ketiga memang ada orang-orang yang tidak begitu tahan lama di rumah. Kita jangan cepat-cepat menyalahkan perempuan yang seperti itu. Sebab ada perempuan yang senang bekerja di luar. Kenapa ? Karena memang itu adalah diri mereka dan mungkin juga mereka dibesarkan oleh ibu yang senang bekerja di luar sehingga terpola mau menjadi seperti itu pula. Kalau dipaksa diam di rumah justru dia stres berat. Lebih baik dia bekerja, dia bisa beraktualisasi diri, sewaktu dia pulang dia jadi lebih efektif menjadi seorang ibu dan istri bagi suaminya.
GS : Tapi keputusan untuk terus bekerja sebenarnya perlu dipikirkan masak-masak dan pelru dibicarakan secara terbuka dengan pasangannya, Pak Paul.
PG : Iya. Seyogyanya hal ini dibicarakan sebelum mereka menikah. Sehingga ada kejelasan dan tidak sampai ada salah pengertian. Kalau si istri berkata, "Saya tidak mau di rumah. Saya tidak bisa. Saya mau kerja di luar." Sedangkan si suami berkata,"Saya tidak terima itu. Saya mau istri di rumah." Kalau menikah baru bicara ya sudah tentu lebih berat.
GS : Iya. Karena ada sebagian ibu rumah tangga yang bekerja tapi sebenarnya penghasilannya itu tidak terlalu menunjang keuangan keluarga. Pengeluarannya dengan dia bekerja itu lebih besar. Misalnya saja dia harus membayar pembantu rumah tangga atau babysitter, transport ke tempat kerja, baju yang harus dia beli dan sebagainya. Akhirnya dari bulan ke bulan penghasilannya juga tidak terlalu banyak sebenarnya.
PG : Betul. Memang ada sebagian yang mau bekerja bukan karena soal uang karena sebelumnya tidak nambah banyak atau mungkin malah merugi. Tapi ini adalah penting bagi jiwanya, aktualisasi dirinya. Daripada kita paksakan lebih baik biarkan saja, menurut saya. Biarkan dia berkiprah, membangun harga diri lewat pekerjaannya, dia bisa bertemu banyak orang yang dia rasa itu bisa menyegarkan jiwanya. Sehingga begitu dia pulang dia bisa menjadi istri atau ibu yang lebih baik lagi.
GS : Kalau Pak Paul katakan ada tantangannya sendiri bagi istri yang bekerja, apa tantangan pertama ?
PG : Tantangan pertama yang harus dihadapi oleh istri yang bekerja adalah makin terbatasnya waktu yang seharusnya diberikan untuk diri sendiri. tidak bisa tidak ya. Karena di tempat kerjaan meskipun orang bisa menikmati adanya teman, ada kontak dengan orang dan sebagainya, tapi tetap waktu kebanyakan diberikan untuk orang lain atau untuk tuntutan pekerjaan. Waktu dia pulang ke rumah dia juga harus mengurus rumah tangga. Tidak bisa tidak dia harus turun tangan mengerjakan ini itu, masak, atau apalah sehingga akhirnya waktu untuk dirinya sendiri sangat-sangat minim. Ini kalau tidak dijaga bisa menimbulkan stres sehingga akhirnya bisa meluas, memburukkan relasi dengan anak-anak dan suaminya.
GS : Ya. Biasanya ada suami yang mengijinkan istrinya bekerja dengan catatan tugas-tugas di rumah tangga harus beres semua, harus terselesaikan semua, dia tidak mau tahu. Juga kalau sampai istrinya stres, malah dimarahi. "Saya ‘kan sudah bilang tidak usah kerja di luar." Bagaimana ini, Pak Paul ?
PG : Suami juga harus mengerti bahwa si istri pulang ke rumah sudah capek. Memang dia kesal, mungkin tadinya dia tidak setuju istrinya bekerja tapi istrinya tetap memaksa untuk bekerja. Jadi akhirnya diberikan catatan, yang penting kamu kerjakan tugas-tugas rumah tanggamu. Tapi secara realistik kita harus mengerti juga dia itu capek, dia perlu bantuan. Jangan sampai kita tidak mau tahu, pokoknya harus kerjakan semuanya, harus beres semuanya. Tidak. Seringkali memang ini tidak begitu adil, saya harus akui. Istri yang bekerja harus mengerjakan tugas-tugas rumah tangga sedangkan suami yang bekerja sewaktu pulang tidak harus mengerjakan tugas-tugas rumah tangga. Seolah-olah tugas-tugas rumah tangga 90% mungkin adalah tanggung jawab si istri atau perempuan. Sebetulnya siapakah yang membuat aturan itu? Tidak ada. Jadi, memang ini yang seharusnya dilakukan dengan kerelaan dari kedua belah pihak dan pengertian. Sehingga kita tidak pokoknya tidak mau tahu semua harus dibereskan oleh istri kita. Oh, tidak. Ini rumah tangga kita. kita tinggal disini pula. Kita makan disini pula. Kita mengotori tempat ini pula. Jadi kalau bisa saling tolonglah.
GS : Iya. Tapi memang penyesuaiannya agak sulit pada awal-awal pernikahan, Pak Paul. Masing-masing masih memertahankan harga dirinya atau kesombongannya.
PG : Ya. Contoh tadi itu, misalnya si suami sudah bilang dia tidak setuju istrinya kerja, istrinya tetap berkata saya mau bekerja, akhirnya relakan. Tapi sebetulnya dia tidak suka, dia tidak rela. Dan istrinya bekerja meskipun suaminya berkata keberatan membuat suaminya merasa,"Istri saya kok tidak mendengarkan saya ? Kenapa dia tidak menghormati saya?" bisa jadi ini menambahkan benih konflik. Benih bahwa kamu tidak menghormati saya. Dan nanti bisa muncul di dalam hal-hal yang lainnya.
Gs : Jadi, sebenarnya kalau memang si suami keberatan istrinya bekerja, apakah tidak lebih baik si istri meninjau ulang ? Apakah dia harus memaksakan diri untuk bekerja atau tinggal di rumah, demi kebaikan rumah tangganya.
PG : Betul. Atau contoh kompromi yang bisa diambil adalah si istri misal memungkinkan bekerjalah paruh waktu. Dengan dia bekerja paruh waktu, dia bisa di rumah lebih banyak lagi, dia bisa berfungsi lebih banyak lagi juga. Sekali lagi, disini diperlukan kedewasaan untuk duduk bersama, mengobrol, saling membagikan kehendak dan pikirannya. Selain dari itu memang tidak bisa tidak istri yang bekerja ini juga harus pintar-pintar mencuri-curi waktu untuk menyegarkan jiwa dan tubuhnya. Karena ya dia capek. Pulang sudah capek tapi mesti kerjakan ini itu dan sebagainya. Dia perlu istirahat. Tidak bisa mau beristirahat panjang. Jadi, saya sarankan pokoknya yang namanya istirahat, yang namanya rekreasi, diiris tipis-tipislah. Secara berkala, seminggu sekali atau dua minggu sekali, pergilah dengan teman atau dengan suami, atau berliburlah dengan suami atau keluarga. Liburan pendek, bukan liburan panjang. Dengan cara seperti itu menolong menyeimbangkan kehidupannya.
GS : Makanya. Kembali yang tadi Pak Paul katakan ini perlu kesepakatan antara suami istri ini. Kalau memang si suami mengijinkan si suami bekerja, dia harus menanggung konsekuensinya. Misalnya dia harus membantu atau lainnya. Tidak bisa dia terus mau menang sendiri. tapi kalau memang si suami tetap bersikukuh memertahankan istrinya tidak bekerja, si istri juga perlu mengoreksi diri untuk tidak bekerja lagi. Harus berani mengorbankan itu.
PG : Betul. Mesti ada kesiapan kedua belah pihak untuk berkompromi dan mengalah.
GS : Iya. Karena nanti kalau ada anak-anak, masalahnya jadi lebih rumit lagi. Dengan istri bekerja dan sebagainya, suami juga tidak di rumah, anak-anak akan jadi korban, Pak Paul.
PG : Betul. Memang dengan adanya istri di rumah bisa mengurus anak-anak, seyogyanya istri juga bisa merasakan kepuasan tersendiri merawat anak-anak. Tapi saya harus akui ada perempuan yang justru tidak merasakan kepuasan tersendiri malah merasa tertekan, merasa capek, tidak semangat, apa artinya semua ini dan sebagainya karena sebelumnya terbiasa berkarir. Hal-hal ini tidak gampang tapi perlu dibicarakan dan disesuaikan saja.
GS : Memang betul sebenarnya ini harus diselesaikan waktu mereka berpacaran. Kalau sudah masuk ke dalam pernikahan memang agak lebih sulit penyelesaiannya.
PG : Ya. Memang ada yang sudah bicarakan dan setuju istrinya di rumah, si istri juga semangat aja tidak apa-apa di rumah. Eh, waktu menjalaninya, dia baru sadar dia tidak tahan, akhirnya mau balik bekerja. Jadi, keduanya perlu fleksibel lah.
GS : Iya. Apa tantangan yang kedua, Pak Paul ?
PG : Tantangan yang kedua yang mesti dihadapi oleh istri yang bekerja adalah makin terbatasnya waktu yang dapat diberikan kepada suami dan anak-anak, Pak Gunawan. Tidak jarang istri yang bekerja merasa terhimpit, dituntut kanan kiri, oleh pekerjaan di satu pihak, oleh suami dan anak di pihak lain. Sudah tentu sesungguhnya dia ingin memberikan pelayanan yang lebih lagi kepada suami dan anaknya. Tapi karena dia sudah bekerja dia tidak bisa. Akhirnya apa yang dia lakukan? Dia harus ambil keputusan. Masalahnya adalah kalau dia sering bolos akhirnya bisa diberhentikan, sering-sering minta cuti ya tidak enak pada atasan. Akhirnya yang dia korbankan adalah keluarganya. Dia teruskan kerja dengan disiplin sedangkan suami dan anak-anaknya tidak mendapatkan waktu yang cukup darinya. Sudah tentu efeknya adalah dia dapat kehilangan keseimbangan hidup karena tertekan. Tidak enak hidup seperti itu terus. Akhirnya kesabarannya menipis, pengertiannya berkurang dia mudah marah. Misalnya suaminya tidak melakukan apa yang dia harapkan, ributlah. Dia emosi. Karena dia merasa orang bisanya menuntut dia mengerjakan semuanya bagi mereka. Kalau tidak hati-hati, kondisi ini dapat memperburuk relasi dengan anak maupun suami. Sehingga akhirnya teriakan "mama pulang" bukanlah teriakan sukacita melainkan tanda awas "Awas, mama pulang !"
GS : Berarti tugas sudah menanti lagi ya.
PG : Tugas sudah menanti lagi kalau tidak kena omelan.
GS : Iya. Memang istri yang bekerja ini juga harus mendisiplin dirinya untuk tidak membawa pekerjaan ke rumah. Kadang-kadang sudah di rumah pun dia masih harus menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan di kantornya. Atau dihubungi atasannya dan sebagainya. Dia harus melakukan pekerjaan itu.
PG : Betul. Hidup itu tidak ideal. Ada pekerjaan yang bisa diselesaikan tidak perlu kita bawa ke rumah, ada yang memang tidak selesai harus dikerjakan lagi di rumah. Ada juga yang sebetulnya sudah selesai tapi timbul masalah yang akhirnya dipikirkan oleh istri di rumah yang akhirnya menjadi beban bagi istri di rumah.
GS : Suami melihat walaupun secara jasmani istrinya sudah di rumah tapi pikirannya masih di kantor terus. Tugas-tugasnya masih terus dikerjakan di situ. Ini yang kadang membuat suaminya tidak bisa tahan.
PG : Ya. Belum lagi kalau misalnya ada email atau apa yang membuatnya harus hubungan, itu pelik sekali.
GS : Iya. Tantangan lainnya apa ?
PG : Tantangan ketiga yang harus dihadapi oleh istri yang harus bekerja adalah bagaimana menjaga keseimbangan relasi dengan suami. Tidak semua suami membawa penghasilan yang lebih besar dari istri, dan tidak semua suami memunyai kedudukan yang lebih tinggi dari istri. Tidak bisa tidak kesenjangan ini dapat menimbulkan konflik. Perkataan atau sikap istri mudah sekali ditafsir sebagai penghinaan oleh suami atau setidaknya kurang menghargai suami. Padahal belum tentu demikian. Akhirnya relasi nikah terpengaruh dan memburuk.
GS : Ya. Memang penghasilan itu sekarang ditentukan oleh karir seseorang. Kalau memang karir si istri lebih baik, tentu saja penghasilannya lebih baik.
PG : Betul. Jadi, kita memang harus, sekali lagi, mendasari pernikahan kita ini di atas pengertian ya, bahwa tidak ada niat jahat. Kita percaya, kita mengerti istri kita begini karena memang harus, ya tidak apa-apa. Dia tidak ada niat jahat mau melecehkan atau menghina kita. Tapi saya juga mau bicara secara realistik kadang-kadang suami karena merasa istrinya bawa uang lebih banyak daripada dia, kedudukannya juga lebih tinggi daripada dia, akhirnya mengeluarkan dua sikap, Pak Gunawan. Pertama adalah sikap maju menyerang. Sikap yang kedua adalah mundur teratur. Saya jelaskan. Suami yang terancam dapat menjadi suami yang sama sekali tidak ramah kepada istri. Dia berusaha menggunakan setiap kesempatan untuk menjatuhkan atau mendiskreditkan (menjelekkan atau memperlemah wibawa) si istri supaya ia tampil baik dan istrinya tampil buruk. Sehingga dengan istri tampil buruk dia merasa setidaknya sejajar dengan si istri atau malahan di atas si istri. Jadi, kalau bicara dengannya ujung-ujungnya adalah mau menjatuhkan si istri. Yang celaka adalah bukan saja sewaktu bicara berdua saja, waktu bicara dengan orang-orang pun keluar kata-kata yang ingin menjatuhkan si istri supaya orang melihat istrinya tidak sebaik itu. Tujuannya adalah supaya dia tampil lebih baik lagi. Karena dia merasa di bawah istrinya. Padahal belum tentu istrinya berbuat apa-apa untuk menjatuhkan dia.
GS : Jadi, sebaiknya sebagai seorang istri yang penghasilannya lebih besar dari suaminya, sikapnya harus seperti apa, Pak Paul ?
PG : Sebagai istri yang penghasilannya lebih besar ya harus hati-hati ya. Jangan sampai setelah gaji lebih besar atau gaji lebih tinggi misalnya mengubah jadwal, mengubah kebiasaan, hal-hal yang biasa dilakukan sekarang tidak dilakukan lagi. Suami akan peka. Suami akan melihat, "Oh… gara-gara sekarang kamu menjadi lebih kaya daripada saya, uangmu lebih banyak dari saya, kamu seenaknya ubah ini itu, anggap ini anggap itu, seolah-olah saya tidak ada artinya sama sekali. Artinya saya tidak dihargai olehmu." Ini tidak sehat ya. Yang penting disini adalah bahwa si suami juga harus percaya bahwa istrinya tidak ada maksud apa-apa. Selain maju menyerang, sikap yang kadang muncul adalah dia malah mundur teratur. Ada suami yang akhirnya minder luar biasa. Tidak mau pergi dengan istrinya karena sudah berpikir nanti orang akan menganggap dia rendah. "Suaminya hanya kerja beginian saja, istrinya yang hebat." Jadi, dia tidak mau keluar. Mungkin dia tidak dengar langsung tapi dia bisa bayangkan itu yang orang akan katakan. Jadi, dia mundur. Baik maju menyerang maupun mundur teratur membawa dampak paling telak pada komunikasi. Orang yang mudah menyerah, defensif, tidak bisa diajak bicara, membenarkan diri terus, pokoknya menyerang istri, tidak bisa disalahkan. Istrinya frustrasi. Yang mundur teratur mungkin tidak defensif tapi tidak mau bicara, diam saja, tutup mulut, "Ya sudah terserah kamu. Terserah kamu."
GS : Apatis ya.
PG : Apatis. Istrinya kesal karena jawabannya begitu. "Ditanya kenapa jawabnya begitu. Kita ‘kan sama-sama, bicara dong." "Ya sudah, terserah kamu!" Kadang-kadang kalau didesak begitu, keluar omongan yang tidak enak, "ya percuma saya yang bicara. Akhirnya ‘kan kehendak kamu yang jadi ! Buat apa saya bicara." Istrinya kesal, "Kamu tidak bicara makanya saya jalankan yang saya pikir baik. Saya sudah tanya kamu kok!" Jadi ribut. Jadi, baik maju menyerang maupun mundur teratur seringkali memang menimbulkan dampak yang tidak baik.
GS : Memang cukup rawan bagi hubungan suami istri ketika keduanya bekerja, Pak. Banyak tantangan yang harus dihadapi dan diselesaikan. mungkin masih ada tantangan yang lain, Pak Paul ?
PG : Ada satu lagi, Pak Gunawan. Istri yang bekerja juga harus menjaga batas dalam pergaulan. Ini penting. Seyogyanya dalam dunia kerja kita berelasi dengan orang secara professional bukan personal. Namun batas ini mudah kabur. Begitu kita merasa nyaman dengan orang, akhirnya kita mulai menjalin relasi personal dengan orang dalam bungkus professional. Sudah tentu tidak salah menjalin pertemanan personal dengan rekan kerja. Masalahnya adalah kalau dilakukan dengan teman lawan jenis yang usianya hampir sebaya yang banyak kesamaan hobi dan minat, pertemanan personal ini berubah bentuk menjadi hubungan pribadi yang romantis dimana dasar berteman bukan lagi kesamaan minat dan cara berpikir tetapi ketertarikan. Mula-mula sudah tentu tidak diungkapkan secara langsung tapi saling tahu karena bisa melihat, bisa membaca bahwa dia suka saya dan saya juga tahu bahwa orang itu juga tahu saya suka dia. Akhirnya dengan banyaknya waktu yang dihabiskan dalam bekerja bersama, relasi ini akhirnya bertumbuh dan berakar.
GS : Iya. Berarti si istri harus bisa menjaga jarak dengan rekan-rekan kerjanya maupun dengan pelanggan-pelanggannya, misalnya begitu ya.
PG : Ya. Mesti bisa ya. Karena tidak bisa kita sangkal bahwa orang itu tidak selalu baik. Kadang-kadang ada rekan pria lewat pekerjaan yang kalau melihat ada seorang istri yang sepertinya orangnya baik dan menarik, dia mencoba mendekati, padahal orang itu sudah ada suaminya. Tetap saja tidak peduli, mau saja didekati. Nah, kalau tidak kuat-kuat, istri ini bisa terbawa. Bisa. Apalagi kalau ada masalah dalam rumah tangga. Si istri tambah rentan. Dia merasa tidak diperhatikan di rumah. Lewat pekerjaan, ditanya kalau tidak datang, ditanya apa yang bisa dibantu, dan ditanya perasaan dan pemikirannya. Dia merasa enak sekali relasi ini. Padahal orang ini hanya begini pada istri orang lain. Pada istri sendiri dia tidak begitu. Nah, akhirnya mudah sekali terjadi perselingkuhan. Di masa lalu, Pak Gunawan, dalam pengalaman saya, saya melihat mayoritas pelaku perzinahan adalah pria. Sekarang tidak lagi, Pak Gunawan. Cukup banyak saya mendapatkan kasus-kasus dimana yang melakukannya adalah si istri, tapi suaminya tidak tahu. Nah, kenapa sampai begitu ? Ya salah satu penyebabnya adalah karena banyaknya istri yang bekerja sekarang. Sehingga kesempatan itu lebih terbuka luas.
GS : Tapi ada juga suami-suami yang sangat cepat cemburu, Pak Paul. Sehingga istrinya selalu dicurigai. Bagaimana itu, Pak Paul ?
PG : Ada suami yang begitu. Tidak ada apa-apa sama sekali dia sudah cemburuan saja. Ada beberapa penyebabnya. Pertama yang paling gampang adalah dia memang melihat istrinya memang menarik, istrinya orangnya supel, enak diajak bicara, dia tahu istrinya baik dan dia juga tahu kalau dia bukan suaminya dia pun akan tertarik pada si istri ini. Jadi, dia membayangkan orang-orang juga tertarik. Apalagi misalnya pada waktu sekolah dulu istrinya ini populer, banyak yang suka. Dia tambah takut dan seolah berkepentingan menjaga si istri itu. Tapi penyebab kedua adalah tidak ada kaitan dengan si istri, dengan dirinya sendiri, memang dia tidak aman. Dia sangat perlu perlindungan, pengakuan, rasa aman dari si istri, sebab dia memang tidak nyaman dengan dirinya sendiri. Waktu istrinya terlihat repot atau apa, dia panik. Dia merasa sekarang istrinya sudah tidak mencintai dirinya lagi. Akhirnya dia mau tahu kenapa istri tidak mencintai dirinya lagi. Sebenarnya ‘kan nomor satu asumsinya keliru bahwa istrinya tidak mencintai dia, nomor dua dia beranggapan istrinya ada apa-apa jadi mesti diikuti dan diketahui apa yang dilakukan. Akhirnya istrinya tidak suka dan mereka bertengkar.
GS : Jadi, memang kalau ada istri yang bekerja sebaiknya bersikap professional. Dia memang niatnya bekerja maka bekerja secara professional ya. Jangan dicampuri dengan urusan-urusan pribadi yang dapat merusak rumah tangganya.
PG : Harus jaga batas. Karena kadang-kadang teman kerja itu seolah-olah tidak ada niatan apa-apa. "Yuk, makan yuk. Berdua yuk." Makan berdua… mula-mula mungkin bertiga atau berempat, eh lama-lama yang lain tidak bisa, "Berdua saja yuk, berdua saja." Lama-lama berduaan terus. Lama-lama bukan lagi makan siang akhirnya makan malam juga, tidak pulang dulu. Nah, mulainya dari situ akhirnya terjadi perselingkuhan. Jadi, istri yang bekerja di luar – termasuk suami juga sama ya – harus jaga batas yang jelas.
GS : Ya. Tetapi memang masalah istri yang bekerja ini harus dibicarakan antara suami istri apalagi kalau Tuhan sudah mengaruniakan anak-anak di antara mereka. Kalau tidak, memang berat sekali, Pak Paul.
PG : Iya. Jangan sampai anak kita melihat kita berselingkuh. Dalam pengalaman saya ada orang yang mengaku bahwa bukan saja ada orang melihat papanya berselingkuh, ada orang yang juga melihat mamanya selingkuh dengan mata kepalanya sendiri. Saya tidak bisa bayangkan bagaimana bisa hidup dengan ikatan itu. Berat sekali itu. Orang tua harus ingat bahwa kita itu punya tanggung jawab yang sangat besar pada anak-anak kita.
GS : Iya. Apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan dalam ini ?
PG : Amsal 31:10 dan 30 berkata, "Istri yang cakap siapakah yang akan mendapatkannya? Dia lebih berharga daripada permata … Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia, tapi istri yang takut akan TUHAN dipuji-puji." Jadi, kuncinya adalah takut akan Tuhan, Pak Gunawan. Takut akan Tuhan akan memandu langkah kita dimanapun kita berada, baik di dalam rumah maupun di tempat kerja.
GS : Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tantangan Istri yang Harus Bekerja". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.