Sikap Bijaksana Membesarkan Anak

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T443A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Tidak ada orang tua yang tidak menaruh pengharapan pada anak. Pada masa kecil kita berharap anak akan bertumbuh sehat, dapat bersekolah dan menoreh prestasi yang baik. Saat ia besar kita berharap bahwa ia akan bertemu dengan pasangan hidup yang sesuai dan membangun keluarga serta mendapatkan pekerjaan yang baik. Namun pada kenyataannya anak tidak selalu bertumbuh selancar itu.Kita mungkin tidak siap dan kecewa.Itu sebab penting bagi kita sebagai orang tua untuk mempunyai sikap yang bijak dalam membesarkan anak. Berikut akan dibagikan beberapa sikap yang sesuai dengan prinsip Alkitab.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan
Tidak ada orang tua yang tidak menaruh pengharapan pada anak. Pada masa kecil kita berharap anak akan bertumbuh sehat. Kita pun berharap ia akan dapat bersekolah dan menoreh prestasi yang baik. Pada masa besar kita berharap bahwa ia akan bertemu dengan pasangan hidup yang sesuai dan membangun keluarga serta mendapatkan pekerjaan yang baik. Itulah pengharapan kita pada anak. Namun pada kenyataannya anak tidak selalu bertumbuh selancar itu. Kadang sesuatu terjadi sehingga perjalanan hidupnya menikung dengan drastik. Kita mungkin tidak siap dan kecewa. Itu sebab penting bagi kita sebagai orang tua untuk mempunyai sikap yang bijak dalam membesarkan anak. Berikut akan dibagikan beberapa sikap yang sesuai dengan prinsip Alkitab.

(1) KITA HARUS SENANTIASA MENGINGAT BAHWA ANAK ADALAH PEMBERIAN DAN MILIK TUHAN. Hal ini berarti tugas kita adalah menerima dan membesarkannya. Ya, kita tidak dapat memilih anak sesuai dengan kriteria pribadi; kita harus menerima apa yang telah ditetapkan Tuhan. Jadi, kita tidak boleh menolak anak berdasarkan kesukaan kita. Kita tidak boleh berkata, karena ia tidak secerdas yang kita harapkan atau tidak bertalenta banyak, maka kita tidak mau menerimanya. Kita mesti menerima anak apa adanya.

(2) KITA HARUS SENANTIASA MENGINGAT BAHWA TUHAN MEMBERIKAN KEPADA ANAK KARUNIA SESUAI DENGAN RENCANA-NYA. Sebesar apa pun usaha yang kita keluarkan untuk membuatnya seperti kita, bila anak tidak mempunyai karunia tersebut, ia tidak akan bisa menjadi seperti kita. Sebagai contoh, sepandai apa pun kita bermain piano, jika anak tidak mempunyai karunia musik, ia tidak akan dapat bermain piano sebaik kita. Dan, itu tidak apa sebab itu berarti Tuhan mempunyai rencana yang lain baginya. Kita tidak bisa dan tidak boleh memaksakan karunia yang tidak diberikan kepadanya.

(3) KITA HARUS SENANTIASA MENGINGAT BAHWA ANAK ADALAH PRIBADI YANG MANDIRI. Sebaik apa pun kita membesarkannya dan sejelas apa pun pengarahan yang kita berikan kepadanya, ia akan menjadi sebuah diri yang terpisah dari kita. Cara berpikir dan nilai kehidupan yang diyakininya belum tentu sama dengan cara berpikir dan nilai kehidupan kita. Di satu pihak membesarkan anak dapat diibaratkan seperti menabur dan menumbuhkan benih pohon. Di pihak lain membesarkan anak tidak persis sama dengan menabur benih pohon. Menabur benih mangga akan menghasilkan pohon mangga yang berbuah mangga sedangkan dalam membesarkan anak, apa yang kita tabur belum tentu bertumbuh menjadi sebuah diri seperti yang diharapkan.

(4) KITA HARUS SENANTIASA MENGINGAT BAHWA MEMBESARKAN ANAK BERARTI MEMBERI KASIH, BUKAN MENUNTUTNYA UNTUK BERTERIMA KASIH. Ada anak yang cepat berterima kasih kepada kita tetapi ada anak yang lamban berterima kasih. Apa pun respons anak, kita tetap harus menunaikan tugas membesarkannya dan ini berarti kita mesti memberikan kasih kepadanya.

(5) KITA HARUS SENANTIASA MENGINGAT BAHWA DISAKITI DAN DIKECEWAKAN ANAK BUKAN SAJA BAGIAN DARI TUGAS MEMBESARKAN ANAK TETAPI JUGA BAGIAN DARI RENCANA TUHAN ATAS HIDUP KITA SENDIRI. Dengan kata lain, bukan saja Tuhan memakai kita buat anak, Ia pun memakai anak buat kita. Ia menggunakan anak sebagai alat untuk membentuk kita dan menggenapi rencana-Nya atas hidup kita, sama seperti Ia memakai kita sebagai alat untuk membentuk anak dan menggenapi rencana-Nya atas hidup anak. Oleh karena proses pembentukan itu menyakitkan, kita pun mesti siap disakiti dan dikecewakan.

(6) KITA HARUS SENANTIASA MENGINGAT BAHWA KEGAGALAN KITA MEMBESARKAN ANAK BUKANLAH KEGAGALAN TUHAN MENGGENAPI RENCANA-NYA ATAS HIDUP ANAK. Rencana Tuhan terus berjalan, tidak soal apakah kita berhasil atau gagal membesarkan anak. Jadi, dalam membesarkan anak, berilah yang terbaik namun serahkan hasilnya kepada Tuhan. Sama seperti Ia sanggup memberi makan 5000 orang dengan lima roti dan dua ikan, Ia pun sanggup memakai anak dengan bahan yang jauh dari sempurna.

(7) KITA HARUS SENANTIASA MENGINGAT BAHWA APA YANG TERJADI HARI INI BELUM TENTU MENENTUKAN APA YANG AKAN TERJADI BESOK. Kadang kita begitu senang dan percaya diri karena melihat anak begitu berprestasi dan baik. Namun kita harus mafhum bahwa belum tentu besok ia akan tetap menjadi seperti itu. Sebaliknya, jika kita melihat anak begitu buruk hari ini, belum tentu ia akan terus bersikap seburuk itu besok. Tuhan belum selesai dengan anak; sesungguhnya Ia barulah memulai pekerjaan-Nya.

Kesimpulan : Raja Daud bukanlah seorang yang berambisi menjadi raja. Sebaliknya, ia justru rela melepaskan haknya untuk menjadi raja dan membiarkan Saul terus bercokol. Sayangnya dua putranya justru berambisi menjadi penguasa; bahkan untuk itu Absalom dan Adonia bersedia menghalalkan segala cara. Anak belum tentu menjadi seperti kita--sebaik atau seburuk kita. Namun sama seperti kita, anak akan menerima kesempatan yang sama dari Tuhan untuk menjadi bagian dari Kerajaan Allah. Dan sama seperti kita, anak pun dapat menolak atau menerimanya.