Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya, Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Ibu Esther Tjahja, S.Psi. dan Bapak Heman Elia, M.Psi. kali ini akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan, perlu Anda ketahui bahwa mereka berdua adalah para pakar di dalam bidang konseling keluarga dan saat ini jadi dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Pada kesempatan yang baik kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Post Power Sindrome", istilah ini tentu sudah cukup akrab bagi Anda sekalian. Namun pembicaraan atau perbincangan kami pada kali ini pasti sangat menarik dan bermanfaat, maka dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Heman, memang para pendengar kita tentu akrab dengan istilah post power sindrome, tetapi sebenarnya apa yang dimaksud dengan post power sindrome itu?
HE : Sindrome itu merupakan kumpulan gejala, jadi arti sindrome itu adalah kumpulan gejala. Power itu kita tahu kekuasaan, jadi kalau diterjemahkan adalah kira-kira sindrome paska kekuasaan. Geala ini umumnya terjadi pada orang-orang yang tadinya mempunyai kekuasaan atau menjabat satu jabatan, ketika tidak menjabat lagi seketika itu terlihat gejala-gejala kejiwaan atau emosi yang kurang stabil.
Biasanya bersifat negatif, nah itu yang diartikan post power sindrome.
GS : Berkaitan dengan kekuasaan Pak, apakah semua orang akan mengalami post power sindrome?
HE : Saya melihat tidak semua orang yang mengalaminya, orang yang dengan karakteristik tertentu itu biasanya yang akan lebih jelas tampak gejala post power sindrome ini.
ET : Dan jenis kekuasaan itu kira-kira ada yang spesifik atau tidak Pak Heman, atau memang misalnya jabatan pernah menjadi ketua kelas atau hal-hal yang tampaknya kecil-kecil seperti itu apakah memungkinkan untuk membuat orang mengalami sindrome ini?
HE : Pada umumnya yang dibicarakan di sini adalah terjadi pada usia-usia yang agak lanjut, orang yang biasanya mencapai puncak kekuasaan yang dia mampu. Seumpama misalnya katakanlah ketua RT, klau dia tidak menjabat lagi bisa seperti itu kalau ketua RT itu merupakan puncak dari kariernya begitu.
ET : Jadi selama seseorang masih mungkin mempunyai peluang di saat yang lain, kemungkinan hal ini lebih kecil, Pak Heman?
HE : Bisa juga terjadi seperti itu. Tapi yang jelas misalnya untuk saat ini dia mempunyai gambaran, ini adalah puncak karier saya. Dan ketika dia "jatuh" dari karier tersebut ada rasa skit dan keluar gejala seperti itu.
GS : Tadi Pak Heman katakan bahwa sindrome itu adalah kumpulan gejala-gejala, nah sebenarnya gejala-gejala apa saja, Pak?
HE : Bisa dibagi beberapa gejala fisik misalnya, kita bisa melihat, mengamati orang-orang yang mengalami post power sindrome. Kadang kala menjadi jauh lebih cepat tua tampaknya dibanding waktu ia menjabat.
Tiba-tiba rambutnya menjadi putih semua, berkeriput, dan menjadi pemurung mungkin juga sakit-sakitan, menjadi lemah tubuhnya. Gejala emosi cepat tersinggung kemudian merasa tidak berharga, ingin menarik diri dari lingkungan pergaulan, ingin bersembunyi dan sebagainya. Gejala perilaku malu bertemu orang lain, lebih mudah melakukan pola-pola kekerasan atau menunjukkan kemarahan baik di rumah atau di tempat yang lain.
ET : Jadi seperti kompensasi ya Pak Heman, tidak punya kekuasaan, kehilangan kekuasaan ini lalu seperti mencari kemungkinan buat berkuasa lagi di lahan yang lain begitu.
HE : Ya, itu dalam hal perilaku. Dia ingin menunjukkan bahwa dirinya masih punya kuasa, punya wibawa, masih ada orang yang takut sama dia.
ET : Jadi sepertinya memang akan lebih tampak dalam keluarga ya, gejala-gejala seperti ini.
HE : Karena keluarga itu orang yang paling mudah dikuasai.
GS : Maksud saya kekuasaan seseorang itu memang tidak ada yang abadi, tetapi kadang-kadang secara tiba-tiba tanpa disadari dia kehilangan kekuasaannya misalnya di PHK mendadak. Nah itu bagaimana Pak Heman? Apakah ada penyebab-penyebab yang lain yang menyebabkan hal-hal sindrome-sindrome itu muncul di dalam dirinya?
HE : Penyebab lainnya ya, ini sebetulnya secara umum kita bisa katakan masa krisis dan kalau digolongkan krisis ini adalah semacam krisis perkembangan. Dalam arti pada fase-fase tertentu di dalm kehidupan kita, kita bisa mengalami krisis-krisis semacam ini.
Pada gejala post power sindrome ini, khususnya adalah krisis yang menyangkut satu jabatan atau kekuasaan, terutama akan mengena orang yang mendasarkan harga dirinya pada kekuasaan. Kalau misalnya dia tidak mendasarkan dirinya pada kekuasaan, gejala ini tidak tampak menonjol.
(2) GS : Ada orang yang memang bisa bertahan, tapi ada orang lain yang rentan terhadap kehilangan kekuasaannya itu Pak, nah apakah bisa dilihat ciri-cirinya atau gejala-gejalanya atau tanda-tandanya itu?
HE : Ya, seperti daya tahan terhadap krisis yang lain juga terhadap stres. Orang yang cukup matang kepribadiannya, dia akan lebih bertahan daripada orang yang kurang matang. Nah biasanya orang ang punya ciri-ciri yang mudah atau rentan menderita post power sindrome ini mempunyai karakteristik tertentu.
Setiap orang tidak sama tapi ada orang-orang yang rentan itu karena orang-orang ini dihargai, merasakan senangnya waktu dia menjabat itu dihormati orang lain, permintaannya selalu dituruti dan suka sekali dilayani oleh orang lain. Kalau dia kehilangan rasa hormat dari orang lain terhadap dia karena dia sudah tidak menjabat lagi, paling tidak dia merasa tidak dihormati karena rasa hormatnya itu tersangkut pada jabatannya maka orang ini akan menderita. Orang-orang yang membutuhkan pengakuan dari orang lain karena kurangnya harga diri, jadi kalau ada jabatan dia merasa lebih diakui oleh orang lain, termasuk misalnya orang yang mengejar-ngejar titel dan sebagainya. Tapi khususnya tentang jabatan, orang-orang ini akan menderita kalau dia sudah tidak menjabat lagi. Kemudian juga orang-orang yang menaruh arti hidupnya pada prestise jabatan dan pada kebisaan, kemampuan untuk mengatur hidup orang lain, untuk berkuasa terhadap orang lain. Nah orang-orang ini yang istilahnya mereka menganggap kekuasaan itu segala-galanya atau merupakan hal yang sangat berarti di dalam hidupnya, kalau ini ternyata hilang dari dirinya dia akan menderita post power sindrome.
ET : Berarti sepertinya memang tidak selalu jabatan yang spesifik, karena tampaknya misalnya kalau orang-orang yang mungkin bangga tidak menjadi golongan tertentu tetapi misalnya bisa menjadi ktakanlah pegawai negeri, buat kelompok masyarakat itu merupakan sangat berarti.
Jadi mungkin walaupun golongannya bukan golongan yang tinggi, tapi pegawai negeri ketika pensiun rasanya juga punya dampak kalau memang mereka dasarkan itu pada statusnya, status pegawai negerinya walaupun dari jabatan ya tidak ada sebenarnya.
HE : Dalam hal yang sedang kita bicarakan mengenai post power sindrome itu, pasti dia ada semacam tugas kepemimpinan, tapi kalau hanya status saja kita tidak namakan sebagai post power sindrome.
GS : Nah berkaitan dengan pekerjaan ya Pak, kekuasaan di dalam pekerjaan apakah ada pengaruhnya dari segi gender, yang pria dan yang wanita itu lebih rentan yang mana itu Pak?
HE : Tampaknya ada ya, saya rasa mungkin lebih rentan yang pria karena pada wanita umumnya lebih menghargai relasi daripada prestise, prestise itu lebih dihargai oleh pria juga kekuasaan.
GS : Tapi mungkin Bu Esther punya pandangan, sekarang banyak manager-manager yang wanita dan sebagainya, nah apakah akan terjadi post power sindrome di dalam diri mereka kira-kira Bu Esther?
ET : Kalau memang punya karakteristik seperti yang disebutkan Pak Heman, kemungkinannya selalu ada juga. Kalau memang yang dikatakan bahwa meletakkan harga diri pada jabatan dan kekuasaan itu kmungkinan bisa ya.
Cuma memang rasanya kalau dilihat dari naturalnya pria dan wanita memang kemungkinan besar lebih pada pria. Saya setuju dengan Pak Heman yang memang lebih ada status itu ya harga diri.
GS : Dan mungkin yang wanita memang lebih tahan terhadap hal-hal yang seperti itu. Dia bisa berlindung juga di bawah atau di samping suaminya itu ya Pak?
HE : Atau juga di bawah pria-pria yang lain (GS: O..... begitu bisa juga ya, itu tentunya tidak diharapkan) itu hanya orang-orang istimewa saja yang bisa mimpin negara atau menteri itu sangat jrang dan mereka pada umumnya mempunyai harga diri atau prestise di dalam hal lain.
Kalau pria banyak sekali punya harga diri yang didasarkan pada jabatan ini.
(3) GS : Tentunya kita semua juga senang dengan suatu jabatan, dengan suatu kekuasaan itu Pak, tapi kita sudah tahu ada resiko post power sindrome ini. Nah tentunya dengan mengetahui hal itu kita akan melakukan tindakan-tindakan preventif, menghilangkan mungkin tidak, tetapi mencegah atau mengurangi seminimal mungkin itu bagaimana Pak?
HE : Saya ingin memberikan beberapa saran di sini. Yang pertama yaitu pada saat kita melakukan sesuatu atau menjabat ataupun sebelum kita menjabat apa-apa kita perlu belajar menyadari bahwa segla sesuatu itu adalah dari Allah, karunia dari Allah termasuk kekuasaan, termasuk jabatan-jabatan apapun, setinggi apapun itu adalah karunia dari Allah.
Dan tugas kita adalah kita hanya sebagai alat dari Allah untuk melakukan pekerjaanNya. Jadi kita tidak boleh mengangkangi kuasa yang Allah telah berikan untuk menjadi sesuatu milik kita yang harus kita pertahankan mati-matian. Tetapi terutama kita sedang melakukan pekerjaan yang Allah percayakan pada kita, melalui kuasa yang dikaruniakanNya kepada kita. Dan karena itu yang kedua, kita juga harus selalu menyadari bahwa kekuasaan itu tidak bersifat permanen dan kita harus menyiapkan diri untuk suatu ketika kuasa itu lepas dari diri kita. Pada situasi krisis tiba-tiba kita kehilangan kekuasaan kalau kita mempunyai persiapan sebelumnya, maka kita akan lebih tahan menghadapinya.
ET : Tapi justru itu yang susah Pak Heman (HE : Ya itu yang susah) kadang-kadang orang begitu punya kuasa sehingga sudah enggan berpikir tentang nantinya bagaimana ya, pada saat saya punya kuas justru bagaimana saya manfaatkan seoptimal mungkin begitu.
HE : Ya memang itulah manusia yang mempunyai sifat-sifat kedagingan, tapi kalau sikap seperti itu yang dipertahankan maka orang ini akan lebih rentan terhadap post power sindrome. Saya lanjutka yang ketiga sebaiknya selama berkuasa kalau kita memperoleh kesempatan itu, kita tidak memikirkan bagaimana mempertahankan kekuasaan tetapi kita memikirkan untuk melakukan kaderisasi.
Justru karena dengan kita melatih, mendidik, maka nantinya kita tidak dihargai karena kekuasaan yang kita miliki tetapi kita dihargai karena kita telah melakukan suatu regenerasi dan melakukan pendidikan, tugas mendidik orang lain. Kemudian yang keempat kita perlu belajar rendah hati, seperti juga Yohanes Pembaptis yang mengutamakan nama Kristus dari pada diri kita sendiri. Ucapan Yohanes Pembabtis yang terkenal adalah demikian Ia maksudnya Kristus harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil,
Yohanes 3:30. Nah kita harus selalu menyadari bahwa nantinya itu bukan nama kita tetapi nama Tuhan. Dan yang kelima sebanyak mungkin menanamkan kebaikan selama kita berkuasa, kalau kita banyak menyakiti hati orang kita banyak menindas orang, waspadalah bahwa gejala post power sindrome ini dekat kepada kita. Tujuan kekuasaan bukan terutama agar kita dihargai orang, tetapi supaya kita berbuat banyak bagi kesejahteraan orang lain.
(4) GS : Kalau sampai seseorang itu terkena post power sindrome tanpa persiapan dan sebagainya, langkah-langkah apa yang sebaiknya harus segera dia lakukan?
HE : Pertama kali tentunya ada keterkejutan, ada shock. Tapi diharapkan bahwa kita menerima kenyataan ini dengan rendah hati bahwa kita sekarang sudah tidak berkuasa lagi. Kita harus belajar meerima kenyataan ini, kalau kita tetap bersikukuh tidak menghadapi kenyataan ini maka kita akan terus berada di dalam keadaan yang menderita.
Jadi kita harus menerima dan kemudian mengakui bahwa yang sekarang ini bukan kita lagi, tapi ada orang lain yang berkuasa yang menggantikan kita. Kita sudah tidak boleh menuntut orang lain untuk mentaati instruksi kita. Kemudian hal lain lagi adalah kita perlu mencari kegiatan lain yang mempunyai arti bagi kita, yang masih bisa kita lakukan untuk mengisi hidup kita supaya kita tidak terus meratapi kehilangan kita. Dan yang keempat kita juga mengucap syukur atas kesempatan yang pernah kita nikmati dan saat ini yang telah Tuhan sediakan juga bagi kita.
(5) ET : Masalahnya kalau misalnya mungkin di antara para pendengar itu merupakan keluarga yang di dalam anggota keluarganya punya masalah ini Pak Heman. Misalnya suami atau orang tua seperti yng Pak Heman singgung tadi mulai menunjukkan kekuasaan di rumah seperti itu, ingin berkuasa kepada seluruh anggota keluarganya.
Kira-kira Pak Heman mungkin ada saran-saran yang bisa dilakukan buat istri atau anak-anak yang menghadapi suami atau orang tua yang seperti itu, Pak Heman?
HE : Ya sebagai istri dan anak-anak kenyataan ini cukup sulit kalau misalnya melihat suami ataupun ayah yang kemudian setiap kali di rumah marah-marah begitu. Nah mungkin penjelasan-penjelasan eperti tadi bisa membawa kita pada suatu kesadaran, bisa menerima keadaan dari sang ayah atau suami ini bahwa mereka adalah orang yang menderita, orang yang sebetulnya perlu dikasihi lebih dan ditolong.
Pada mereka kita tidak bisa melakukan satu teguran ataupun kita tujukan kemarahan kita pada mereka secara terang-terangan, karena mereka justru mempunyai kebutuhan yang besar untuk diterima, untuk diakui oleh keluarganya. Yang bisa kita lakukan selain kita berdoa bagi mereka juga bagi ayah kita, bagi suami kita, juga kita bisa mengkonfirmasi mengatakan kadang-kadang secara langsung kepada orang yang kita kasihi. "Papa... saya mengasihi kamu, saya mengasihi Papa, tapi akhir-akhir ini saya melihat Papa sering marah-marah setelah Papa tidak menjabat lagi, tapi kami tetap mengasihi Papa walaupun Papa sekarang sudah tidak menjabat lagi, engkau masih Papa kami." Nah mungkin seperti bahasa-bahasa yang mengasihi, menghargai seperti itu akan menolong orang-orang yang menderita post power sindrome ini.
ET : Jadi memang penerimaan dari keluarga itu juga penting sekali artinya buat orang-orang yang bersangkutan ini ya, Pak Heman?
HE : Betul, itu adalah semacam dukungan sosial kepada orang yang menderita post power sindrome supaya dia masih merasa berarti bagi keluarganya.
ET : Namun sebaliknya kalau ternyata misalnya seperti kekuasaan kita tidak pernah tahu kapan berhentinya. Misalnya kalau ada batas waktunya turun rasanya masih ada waktu mempersiapkan diri, tap kadang-kadang yang menjadi masalah putus di tengah jalan misalnya PHK, goncangan pada perusahaan atau masalah-masalah yang tidak terduga juga yang di sisi lain memang tetap membutuhkan pekerjaan lagi, membutuhkan mata pencaharian untuk tetap menghidupi keluarga.
Rasanya bagaimana kalau di satu sisi harus menghadapi post power sindrome, sisi lain tetap harus hidup untuk memenuhi kebutuhan keluarga ini. Mungkin ada hal-hal yang sebaiknya bisa dilakukan oleh orang-orang yang dalam keadaan seperti ini, Pak Heman?
HE : Kalau Anda menderita post power sindrome dan itu misalnya karena kehilangan kekuasaan yang tiba-tiba, maka perlu ada suatu jangka waktu untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru. Kaang-kadang perasaan sedih, perasaan kehilangan itu begitu mendalam tapi percayalah kepada pertolongan Tuhan.
Jadi mungkin ada suatu masa kita harus mengalami hal yang seperti itu dan kita seolah-olah tidak berpengharapan. Tetapi saudara harus bangkit dari keadaan seperti itu, jadi saudara harus menguatkan diri untuk mencoba berusaha kembali mencari pekerjaan dan seterusnya. Memang ini tidak mudah, banyak orang merasa bahwa pekerjaan itu kalau sudah tidak ada berarti kehilangan segala-galanya, tapi bukan seperti itu.
GS : Ada kesulitan yang lain memang Pak Heman, kalau tadinya dia menjadi pimpinan di tempat kerjanya itu lalu dia harus pindah ke tempat yang lain, ke pekerjaan yang lain karena mendapatkan tawaran di sana tapi tidak sebagai pimpinan, biasanya dia tetap menolak atau kurang berminat dalam hal seperti itu.
HE : Ya, dalam keadaan seperti ini orang tetap harus belajar rela menerima kenyataan dan rela untuk mulai berjuang lagi dari bawah dan seterusnya. Karena orang tidak rela untuk menerima hal-halyang semacam ini, orang itu akan menderita terus karena cukup sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih rendah tingkatannya.
Kita biasanya lebih enak kalau misalnya kita pindah, lalu kita mendapatkan sesuatu yang lebih tapi untuk penyesuaian dan prioritas. Jadi misalnya mau tidak mau kita harus hidup, harus menghidupi keluarga misalnya. Nah sementara kita mengalah sedikit, kita terima keadaan itu dan kita mengucap syukur untuk hal itu, saya kira itu akan membantu.
GS : Tapi tentunya yang terpenting bagi para pendengar kita dan dari kita sekalian adalah apa yang firman Tuhan mau katakan dalam hal ini, Pak Heman?
HE : Saya akan kutip dari Matius 20:25-28 ini perkataan Yesus "Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata: kamu tahu bahwa pemerintah-pemerintah, bangsa-bangsa memerintah rakyanya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka.
Tidaklah demikian di antara kamu, barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu hendaklah ia menjadi pelayanmu dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu hendaklah ia menjadi hambamu. Sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak orang."
GS : Bagian ini tentu cukup dikenal, cukup sering dibaca oleh kita sekalian, namun jiwanya atau intinya dari apa yang Tuhan Yesus katakan ini saya rasa memang sangat penting. Khususnya bagi kita yang suatu saat mungkin akan kehilangan kekuasaan dalam bentuk apapun. Supaya kita lebih tahan menghadapi gejala-gejala yang bisa merusak kita lebih jauh. Jadi banyak terima kasih Pak Heman dan juga Ibu Esther Tjahja.
Saudara-saudara pendengar demikianlah tadi Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Heman Elia seorang Magister Psikologi dan Ibu Esther Tjahja, S.Psi., dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Post Power Sindrome". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran serta pertanyaan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.END_DATA