Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Stella akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, MK. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini adalah tentang "Pemulihan Korban Pemerkosaan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
St : Pak Sindu, dalam perbincangan sebelumnya kita membahas tentang memahami dan mencegah pemerkosaan. Kali ini kita akan membahas tentang bagaimana kita menangani atau memulihkan korban pemerkosaan. Sebenarnya dari pemerkosaan tersebut, apa saja dampak yang dialami oleh korban ?
SK : Dampak yang pertama adalah dampak fisik, Bu Stella. Itu yang paling mudah kita kenali atau kita rasakan sebagai korban, yaitu luka fisik dari pukulan, cekikan, cakaran, yang bahkan bisa sampai dalam bentuk kulit terkoyak, berdarah, mungkin sampai patah tulang atau patah gigi. Dampak fisik juga bisa berupa luka di daerah kemaluan – di vagina atau bahkan di anus, bagi yang mengalami pemerkosaan secara sodomi. Bisa juga dampak fisik berupa penyakit menular seksual, misalnya Sifilis (Raja Singa). Bagi wanita juga bisa mengalami kehamilan.
St : Dampak fisiknya saja sudah berat ya, Pak. Selain dampak fisik pasti ada dampak psikis. Apa saja dampak psikisnya, Pak ?
SK : Dampak psikisnya sangat kompleks, Bu Stella. Yang pertama, sang korban merasa sangat bersalah, menyalahkan dirinya, marah – kepada pelaku, lingkungan, Tuhan ataupun kepada diri sendiri, merasa malu, sedih, semua bercampur aduk.
St : Mungkin juga sulit tidur ya ?
SK : Ya. Karena kondisi ini, dia mengalami sulit tidur, sulit konsentrasi, mudah tersinggung.
St : Apakah juga muncul mimpi-mimpi buruk selama tidur ?
SK : Bisa demikian. Dalam kondisi sadar, teringat-ingat dengan trauma kejadian yang begitu menggedor jiwanya itu dibawa ke dalam tidur. Ketika tidur, dia sering terbangun, berteriak-teriak, berkeringat karena tercekam dengan trauma yang dialami. Ada ketakutan yang luar biasa.
St : Mungkin ada juga pikiran untuk mengakhiri hidup ya, Pak ?
SK : Ya! Pikiran untuk mengakhiri hidup bisa muncul berkali-kali karena depresi yang dialami. Depresi ditandai dengan merasa lelah yang berkepanjangan, nafsu makan turun atau malah bertambah. Dari depresi yang ringan sampai depresi yang berat. Rasa keputusasaan akhirnya memunculkan fantasia atau gagasan untuk mengakhiri hidup saja. Sisi lainnya, secara psikis korban juga bisa merasa diri begitu kotor dan berdosa sehingga dia juga tidak merasa jelas dalam batasan fisik, dalam melindungi diri. Rasanya sudah ternoda dan tidak berharga sehingga dia menjadi orang yang terlalu menjauhi laki-laki, kalau dia wanita korban pemerkosaan menjadi sangat takut pada laki-laki. Atau sebaliknya, karena dia merasa tidak berharga, akhirnya siapapun laki-laki yang mendekat dibiarkannya menjamah tubuhnya sampai dia berikan diri untuk melakukan hubungan seksual dengan laki-laki, laki-laki, dan laki-laki yang lain. Jadi, bisa sampai sejauh itu dampak psikis kepada harga diri dan gambar diri dan kondisi kejiwaan sang korban.
St : Apakah dampak-dampak ini terlihat di depan orang lain ?
SK : Ini sangat bergantung kepada siapa pelakunya, seberapa dekat, seberapa mengagetkan. Bervariasi. Tergantung juga pada kepribadian sang korban. Kalau korban adalah orang yang selama ini populer, dikenal baik dan sangat kuat dengan pencintraan, maka ketika mengalami kejadian yang menggoncangkan jiwa, dia berjuang untuk menutupi dari pengetahuan orang lain. Dia akan menampilkan sisi yang ceria, gembira, senyum-senyum, bahkan sisi yang tetap berprestasi dan berkarya sekalipun dia mengalami tekanan-tekanan jiwa. Jadi, bisa begitu rupa tidak terlihat untuk sekelompok orang. Tetapi biasanya untuk orang yang sangat dekat, sehari-hari hidup bersama, sering bergaul dekat, akan peka dengan tanda-tanda alamiah yang tidak bisa dikelabui.
St : Mungkin ada sedikit kejanggalan dari sikapnya ya ?
SK : Betul. Tentunya ada. Orang terdekat yang peka akan tetap bisa melihat perubahan di dirinya. Mungkin mereka akan terpancing untuk bertanya lebih lanjut kepada sang korban.
St : Pak Sindu, sebenarnya apa yang menjadi kebutuhan utama dari orang yang mengalami pemerkosaan ?
SK : Yang pertama, orang yang mengalami pemerkosaan butuh yakin bahwa dirinya memang dikasihi. Biasanya sang korban, khususnya para wanita, akan marah sekali pada Tuhan, merasa diri dicampakkan oleh Tuhan, apalagi bila selama ini dia seorang aktivis, seorang yang mencintai dan melayani Tuhan, bahkan hamba Tuhan, setia ikut jalan Tuhan, "Kenapa saya dibiarkan mengalami ini ?" Dia merasa diabaikan oleh Tuhan, tidak dikasihi. Dia juga merasa diri hina, hancur, ternoda, "Pacar saya pasti menolak. Pasti teman-teman dan jemaat akan jijik dengan saya dan saya akan dibuang." Jadi, korban pemerkosaan sangat butuh meyakini bahwa dia tetap dikasihi oleh orang-orang terdekat maupun oleh Tuhan.
St : Bahwa yang salah itu memang bukan dirinya ya, Pak ?
SK : Ya. Betul.
St : Selain merasa yakin dikasihi, mungkin juga perlu membawanya kepada Tuhan ?
SK : Ya. Kebutuhan kedua dari korban pemerkosaan adalah membawa rasa sakit, nyeri, dukacita, rasa kehilangannya, kepada Tuhan. Sangat penting dia mencurahkan isi hati dan bicara apa saja. Dalam hal ini seperti kita lihat dalam Kitab Mazmur, ada banyak mazmur yang berisi curahan hati, termasuk seperti sumpah serapah, tuduhan-tuduhan miring dan sumbang kepada Tuhan. Itu baik. Silakan korban membawa rasa sakit, menceritakan dalam doa, ratap tangis, dalam kata dan nada. Dengan begitu sampah-sampah ini tidak tersimpan tapi terkeluarkan sebagai persembahan kepada Tuhan, Persembahan yang bahkan dikatakan hati yang hancur, jiwa yang remuk redam, itu menjadi persembahan yang jauh lebih berharga daripada korban bakaran manapun. Itu kata firman Tuhan. Jadi, penting untuk membawa segala yang dirasakan kepada Tuhan.
St : Apalagi kebutuhan dari orang yang mengalami pemerkosaan ini ?
SK : Kebutuhan yang ketiga adalah mengampuni pelaku pemerkosaan. Ini memang satu kata yang penting tapi prosesnya panjang.
St : Dan sulit sekali ya, Pak ?
SK : Betul! Saya sendiri tidak mempersalahkan kalau seorang korban pemerkosaan sangat tidak bersedia untuk mengampuni, karena memang terlalu dalam lukanya. Apalagi pelakunya adalah orang yang sangat dia hormati dan melakukannya dengan sangat brutal. Itu sangat menyakitkan. Tapi inilah kebutuhan ketiga yang fundamental yang perlu dijalani prosesnya sampai kepada pengampunan. Karena hanya dengan pengampunan, beban sampah ini benar-benar akan terputus cengkeramannya terhadap jiwa sang korban. Dalam hal ini, penghiburan kita adalah pengampunan itu memang bukan tindakan manusiawi tetapi tindakan ilahi dan itu sangat mungkin kita lakukan, walaupun dalam posisi sebagai korban aniaya seksual atau pemerkosaan.
St : Jadi, kita butuh meminta anugerah dan kekuatan dari Tuhan untuk bisa mengampuni ?
SK : Bukan hanya meminta ! Lebih tepatnya mempraktekkan. Jadi, kesanggupan mengampuni itu sudah ada. Kita orang berdosa, bagian kita adalah api neraka. Tapi Allah sudah mati bagi kita di kayu salib dan bangkit di hari ketiga di saat kita masih menjadi pendosa, pemberontak-pemberontak Allah. Anugerah yang tidak terbatas itu sudah kita terima, bagian kita adalah membagi-bagikan dengan murah hati anugerah yang berlimpah itu kepada yang bersalah termasuk kepada pelaku kekerasan atau pelaku pemerkosaan. Jadi, pertanyaannya bukan "Apakah saya bisa mengampuni ?" Bukan! Tapi, "Apakah saya mau dan bersedia atau tidak". Pengampunan itu tindakan iman, bukan tindakan perasaan. Pengampunan itu tindakan kesediaan ketaatan. Inilah satu pengharapan kita bagi kita yang menjadi korban atau kita yang mendampingi korban, Bu Stella.
St : Kalau begitu apakah ada tahapan dalam korban pemerkosaan untuk bisa mengalami pemulihan ?
SK : Ada. Tahapannya sama persis dengan tahapan orang melalui masa-masa perkabungan atau dukacita ketika ditinggal orang yang dikasihi, ketika mengalami sakit terminal, termasuk ketika dia menjadi korban kekerasan seksual atau pemerkosaan.
St : Apa saja tahapannya, Pak ?
SK : Kita bisa bagi dalam lima tahap. Tahap pertama adalah keterkejutan. "Kenapa ini bisa terjadi ? Seperti mimpi di siang bolong !" Tahap kedua adalah penyangkalan (denial), "Tidak mungkin! Ini ilusi. Saya tidak mungkin mengalami ini." Tahap ketiga adalah kemarahan (anger), "Saya tidak terima ! Pelakunya keterlaluan. Saya marah !" Mungkin dia marah kepada keluarga yang tidak melindungi, marah kepada diri sendiri, marah kepada Tuhan. Tahap keempat adalah perkabungan (mourning) atau meratap. Biasanya tahap ini cukup lama. Bisa beberapa minggu, bulan, bahkan tahun. Ada depresi, rasa bersalah, rasa kehilangan, rasa kesepian, kepanikan, terus menerus menangis tanpa sebab yang jelas, bahkan bisa dalam bentuk simptomatik penyakit-penyakit fisik ringan seperti migraine, sesak nafas, sakit maag. Tahap kelima adalah pemulihan, pembingkaian ulang, perdamaian, yaitu tahap menerima atau recovery. Disini orang sudah pada titik menerima apa yang terjadi dan ia sudah mengeluarkan sampah-sampah emosi negatifnya, dia mulai menerimanya dengan pemahaman yang baru dan menjalani kehidupan barunya itu. Lima tahap ini tidak kaku dan baku tapi bisa maju mundur.
St : Apa yang bisa dilakukan untuk membantu korban pemerkosaan untuk mencapai pemulihan ?
SK : Yang pertama, perlu menerima semua emosi itu. Emosi itu jangan dimusuhi, jangan disangkali, jangan ditekan dan direpresi. Tapi emosi apapun yang berkecamuk ijinkan untuk diekspresikan. Baik itu rasa panik, rasa bersalah, marah, sedih, kalut, galau, frustrasi, depresi, akui semuanya. "Inilah yang saya alami. Ini yang saya rasakan. Saya tidak bisa kerja." Kita ambil waktu berhenti sejenak, tidak bekerja hari itu untuk berduka cita, untuk meratap dan menangis, untuk mengekspresikan secara sehat perasaan-perasaan itu. Termasuk mungkin kita masuk ke kamar dan menangis. Kalau takut mengganggu orang lain maka kita pakai bantal untuk meredam tangis kita. jadi, jangan ditekan dan ditahan, malah keluarkan. Ibarat ada bendungan air mata, danau kesedihan, danau amarah, ini perlu dikeluarkan secara sehat. dengan dikeluarkan danau itu akan menyusut dan lama kelamaan sirna. Itulah titik kemerdekaan, titik pemulihan dan kesembuhan jiwa kita.
St : Apakah perlu juga diekspresikan kepada orang-orang terdekat yang bisa kita percayai ?
SK : Iya. Selain menerima dan mengeluarkan semua emosi dengan sehat, yang kedua adalah mengekspresikan kepada orang-orang terdekat yang mengasihi kita, yang bersedia mendampingi kita, itu penting. Termasuk mengekspresikan kepada konselor, psikolog, dan hamba Tuhan yang kompeten. penting untuk mengekspresikan diri.
St : Apalagi yang bisa dilakukan, Pak ?
SK : Yang ketiga adalah tidur dan beristirahat. Jadi, sadari kalau kita lemah, terasa lamban, terimalah. "Saya berhenti sesaat. Saya istirahat. Saya tidur lebih panjang. Saya menarik diri, saya retreat. Saya meninggalkan rumah untuk beberapa minggu." Termasuk meninggalkan tempat-tempat dimana kita mengalami kekerasan seksual itu, kita hindari. Tidak apa-apa. Ada orang yang sampai pindah tempat tinggal, pindah kota, pindah tempat kerja, bahkan pindah negara. Tidak apa-apa. Itu proses alamiah yang perlu kita lewati. Itu masa peralihan.
St : Apakah kalau memang mengalami pemerkosaan, kita perlu berada di rumah saja dan mengurung diri, Pak ?
SK : Sebaiknya memang ada masanya menarik diri atau mengurung diri. Tapi itu bukan strategi berkepanjangan. Pada tahap tertentu kita perlu menolong diri untuk mengekspresikan baik lewat tulisan, karya seni, menggambar, drama, teater, menari, bernyanyi, menulis blog kalau kita di dunia maya, menulis catatan harian, menulis buku dari pengalaman kita, termasuk berkegiatan secara aktif misalnya ikut paduan suara di gereja atau ikut aktifitas sosial, termasuk mungkin kita jadi relawan ‘woman crisis center’, pusat-pusat krisis untuk menolong korban kekerasan. Itu juga bagian dari proses restorasi diri. Disini sibuk bukan sebagai pelarian, tetapi sibuk yang sehat. Kita tetap memberi ruang untuk time out, berdukacita, meratap. Ada waktunya berdiam, menarik diri, meratap kepada teman, curhat, menjalani proses psikoterapi dan konseling mendalam, tapi tetap ada saatnya kita beraktifitas. Jadi, hidup perlu tetap kita lanjutkan. Berolahraga, menyalurkan dalam hobi-hobi yang sehat. Dengan aneka kapling atau petak ini akan membantu proses pemulihan korban pemerkosaan.
St : Selain itu, kalau kita sebagai pendamping korban pemerkosaan, apa yang perlu kita lakukan dan apa yang sebaiknya kita lakukan, Pak ?
SK : Sebagai pendamping, maka kita perlu mengijinkan korban untuk mengekspresikan diri dengan leluasa. Seperti tadi ya, menangis, marah, menyalah-nyalahkan Tuhan atau orang lain. Jangan kita, "Tidak boleh marah ! Orang percaya tidak boleh marah. Kamu beriman. Terkutuk lho kamu. Kamu murtad lho kalau kamu marah-marah pada Tuhan !" Nah, itu keliru. Itu proses lima tahap dukacita, dimana tahap yang ketiga adalah kemarahan. Jadi, ijinkanlah marah itu disalurkan agar muncul lapisan amarah yang lebih jernih. Jadi, kita beri tempat yang aman dan nyaman, termasuk dalam bentuk dia membuat simulasi. Ada batu-batu yang dia lemparkan ke sungai, dia menggambar, atau berdukacita sambil melakukan sebuah ritual seperti membakar atau membuang barang-barang tertentu. Kita sebagai pendamping perlu memberinya ruang untuk itu.
St : Mungkin kita juga perlu memberi empati kepada korban ketika mereka mengekspresikan hal tersebut ?
SK : Ya. Empati ini kita nyatakan, "Apa yang kamu rasakan itu begitu berat. Buat saya sendiri kalau dalam posisimu, saya pun bisa melakukan seperti itu. Saya mungkin tidak bisa sepenuhnya menyelaminya tapi saya bisa menghargai apa yang kamu rasakan." Jadi kita mengungkapkan kata-kata yang memberi tempat. Jadi jangan berkata, "Aku tahu yang kamu rasakan. Begini lho." Kita jangan sok tahu ! Mungkin kita pernah mengalami dukacita yang mirip tetapi tetap ada bedanya. Inilah yang perlu kita hargai dengan ungkapan-ungkapan rasa hormat kepada korban pemerkosaan.
St : Selain itu, apalagi yang bisa dilakukan saat pendampingan ini ?
SK : Penting untuk menjaga kerahasiaan ya. Berani menjadi pendamping, harga mati untuk menjaga kerahasiaan atau konfidensialitas. Jadi, kita berani berkata, "Kerahasiaan adalah kehormatanku. Kalau aku bocor mulut, siarkan kemana-mana, berarti aku sama saja sedang menghina diriku sendiri." Ini penting sekali. Jangan jadikan ilustrasi kotbah! "Ada seorang ibu yang menjadi korban pemerkosaan, jemaat yang dikasihi Tuhan! Wanita itu begini begini begini…" oh, itu sangat melukai. Jangan jadikan itu sebagai ilustrasi kotbah-kotbah kita.
St : Mungkin gereja juga perlu bekerja sama dengan konselor atau mendampingi keluarganya ya. Jadi, tidak menyiarkan itu.
SK : Iya. Kalau kita sebagai pendamping adalah orang awam, bukan orang yang terdidik sebagai konselor atau psikolog, maka penting kita bekerja sama dengan yang berkompeten secara formal, seperti seorang konselor atau psikolog. Peran keluarga dan peran pendamping itu penting, tapi peran ahli juga penting. Dokter medis dan psikiater juga masuk dalam lingkup kerja sama kita. Penting juga kita sebagai hamba Tuhan atau pendeta, kalau kita tidak punya pendidikan formal di bidang konseling, hanya satu atau dua mata kuliah di bidang konseling, jangan merasa diri serba tahu. Tetaplah itu bukan kompetensi utama kita. Kerja sama dengan ahlinya juga sangat penting termasuk mendampingi keluarga si korban. Karena dampak pemerkosaan bukan korban individu saja, tapi mungkin juga suaminya, anaknya, orang tuanya, yang tinggal satu atap juga mengalami dampak tekanan, depresi, kemarahan dan sebagainya. Mereka juga perlu pendampingan, Bu Stella.
St : Kalau misal dia adalah istri, mungkin jadi sulit untuk bisa berhubungan seksual dengan suaminya. Bagaimana itu, Pak ?
SK : Iya. Ini menjadi isu sensitif namun perlu diangkat kepermukaan, dibahas secara khusus oleh psikolog atau konselor yang kompeten. Trauma seksualnya dipercakapkan, dia frigid, menjadi dingin terhadap kontak seksual dengan suaminya. Suami juga perlu didampingi untuk bisa memahami istri yang belum siap melakukan hubungan seksual. Suami perlu didampingi untuk berdamai. Saat berhubungan seksual harus seperti apa, itu perlu dibicarakan secara terbuka antara suami istri dengan konselor atau psikolog. Ini bagian penting.
St : Kalau korban adalah anak perempuan dewasa yang belum menikah, mungkin dia malah sering berhubungan seksual dengan banyak laki-laki ya, Pak ?
SK : Betul. Isu ini juga penting. Pemulihan ini jangan bersifat kognitif belaka. Banyak hal itu bersifat afektif atau perasaan. Segi mendasar berdasarkan gambar dan konsep diri. Kita tidak bisa lakukan dengan cara penasehatan. Ini proses psikoterapi atau proses konseling yang mendalam. Penting ada orang yang berkompeten dan mendampingi sepenuh hati. Karena dampaknya tidak sederhana. Apalagi kalau sampai memiliki bayi. Kalau korban yang kita damping itu hamil, maka kita sebagai konselor, hamba Tuhan atau psikolog perlu menolong supaya dia siap untuk menerima kehamilan itu. Kalau dia menjalani kehamilan karena minimal tidak melakukan aborsi. Apapun alasannya, aborsi tetaplah pembunuhan. Maka kita perlu menolong kalau bisa sedapatnya dia menerima kehamilan itu. Mungkin untuk membesarkannya adalah hal kedua yang bisa kita kerjakan. Mungkin bayinya bisa kita serahkan kepada sebuah keluarga yang membutuhkan untuk diadopsi secara hukum. Tetapi kalau sampai harus aborsi – misalkan kasus yang dulu pernah terangkat sebagai kasus nasional, kerusuhan Mei 1998, pemerkosaan massal. Wah, kalau dia sudah dianiaya sedemikian rupa, hamil, menerima kehamilannya dan melahirkan, dia bisa gangguan jiwa! Jadi, secara terpaksa aborsi dilakukan.
St : Memang butuh pertimbangan dari berbagai pihak dan hikmat dari Tuhan untuk menentukannya.
SK : Betul. Tidak ada proses yang bisa kita sederhanakan. Sangat kompleks. Jadi, kita benar-benar perlu hati-hati. Tepat kata Bu Stella, hikmat Tuhan sangat kita butuhkan.
St : Pak Sindu, ayat mana yang bisa jadi pegangan untuk pembahasan kita ini ?
SK : Kita bisa lihat di Kitab Mazmur 27:13 dan 14, "Sesungguhnya aku percaya akan melihat kebaikan Tuhan di negeri orang-orang yang hidup. Nantikanlah Tuhan. Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu. Ya, nantikanlah Tuhan." Dukacita, perkabungan, luka yang timbul karena pemerkosaan sangat dalam. Apalagi dengan intensitas pengalaman yang mendalam ini, wajarlah orang melakukan hal-hal yang di luar imannya. Tapi satu keyakinan mendasar: nantikanlah Tuhan. Ketika Tuhan mengijinkan terjadi, kita tidak bisa memahami. Kita marah, kecewa, menyalahkan, tapi berilah waktu, jalani proses. Mungkin butuh sekian bulan bahkan sekian tahun. Tapi kalau hati kita mau melembut, menerima dengan iman, percaya bukan karena melihat tapi percaya karena mau taat, ini akan menolong kita menjalani keterlukaan. Dari keterlukaan itu muncul kemuliaan. Dari yang hina muncul hal yang terhormat. Dari yang pahit muncul yang manis. Inilah pengharapan kita sebagai korban ataupun pihak-pihak yang terkena sampak pemerkosaan ini, Bu Stella.
St : Terima kasih, Pak Sindu. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, MK. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pemulihan Korban Pemerkosaan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.