Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun Anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) dan kali ini saya ditemani Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Pembelaan Diri dan Pengembangan Diri". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Heman, siapa pun orangnya tentu akan membela dirinya sendiri karena memang sulit mengharapkan orang lain membela diri kita kalau kita sendiri tidak mampu membela diri sendiri, tapi sejauh mana hal itu bisa kita lakukan, Pak Heman ?
HE : Membela diri memang adalah suatu sifat yang manusiawi. Kalau membela diri itu sudah kelebihan apalagi kalau kita sudah jelas-jelas melakukan kesalahan, tetap kita tidak mau disalahkan dan da dorongan yang kuat dalam diri kita untuk bertahan, nah itu berarti sudah tidak wajar.
GS : Tapi memang kita itu dibekali oleh Tuhan dengan pertahanan diri yang secara otomatis keluar kalau misalnya ada bahaya, maka kita lari atau kalau disalahkan kita membela diri dulu, begitu Pak.
HE : Memang itu manusiawi sekali ya, kita membela diri juga dalam hal-hal yang bersifat psikologis, tetapi yang manusiawi itu belum tentu adalah tindakan yang dapat dibenarkan atau secara otomais dapat diterima.
Sebagai contoh yang saya kira sangat menarik adalah waktu manusia yang pertama, Adam dan Hawa, jatuh di dalam dosa maka mereka berusaha membela dirinya, jadi tidak mau langsung mengaku salah dan ini sebenarnya bagian dari dosa, bukan lagi sekadar tindakan alamiah tetapi ada bagian dalam dosa manusia.
WL : Kalau begitu pembelaan diri itu bisa menghambat pengembangan diri kita, ya Pak ?
HE : Ya, tepat sekali. Pembelaan diri yang berlebihan terutama dan apalagi tanpa alasan-alasan yang rasional, itu adalah tindakan yang bisa menghambat pengembangan diri kita.
GS : Contohnya bagaimana itu Pak ?
HE : Kalau misalnya kita terus-menerus melakukan pembelaan diri bahkan sebelum tahu benar masalahnya atau sudah jelas-jelas salah kita masih bertahan, maka itu antara lain karena kita tidak ma dilihat sebagai sesuatu yang buruk.
Jadi itu yang membuat kita senantiasa membela diri kita. Nah, kenapa kita tidak suka dilihat sisi buruk kita ? Karena kita tidak merasa aman dengan diri kita sendiri, mungkin dilatarbelakangi karena kita tidak percaya diri atau merasa akan ditolak orang kalau kita tampak lemah, kalau kita kelihatan melakukan kesalahan. Jadi kelihatannya seolah-olah kita menutup atau membutakan diri terhadap kesalahan kita, padahal sebetulnya orang lain sudah tahu dan sudah bisa melihat kesalahan-kesalahan atau kelemahan kita.
GS : Ini 'kan dua-duanya kita inginkan. Kita mau membela diri kita supaya tidak dilecehkan orang, tetapi di satu sisi kita juga ingin mengembangkan diri kita semaksimal mungkin. Dalam hal ini, Pak Heman, kalau kita disalahkan terus-menerus, ya kita tentu akan membela diri, tetapi apa dampaknya terhadap pengembangan diri kita ?
HE : Kalau kita misalnya terus-menerus tidak mau melihat bahwa sebetulnya ada juga masukan-masukan atau kritikan yang berguna dari orang lain bagi diri kita, maka kita langsung menghentikan kesmpatan untuk memperbaiki diri kita.
Nah di sini berarti kita sudah kehilangan kesempatan untuk mengembangkan diri kita, ini yang menghambat.
WL : Pak Heman, ada orang yang dalam pergaulan kelihatannya dikatakan apa saja ya diam saja. Nampaknya terima saja, apakah karena ada faktor dari kecil sering dipersalahkan, di rumah selalu dikambinghitamkan atau bagaimana, apakah itu lebih baik dari yang tadi telah kita bahas, Pak Heman ?
HE : Ya, ini pertanyaan yang baik sekali. Tentu saja orang yang selalu terima disalahkan dan sebagainya, belum tentu lebih sehat bahkan sama saja kemungkinan juga tidak sehat, karena orang-oran demikian kemungkinan kurang mampu mengembangkan dirinya.
Orang yang selalu tampak merendah dan juga meminta maaf, bahkan untuk kesalahan yang sebetulnya dilakukan oleh orang lain, itu tidak bisa berkembang karena mereka takut dengan hukuman sosial dan sering kali juga cenderung menolak untuk bertanggungjawab, jadi hubungannya adalah karena mereka takut dengan hukuman sosial, mereka meminta maaf. Karena dengan meminta maaf mereka tidak perlu lagi dituding atau dimintai pertanggungjawaban yang lain-lain.
WL : Ada kaitan atau tidak, Pak, dengan orang-orang tertentu dengan tipe yang sangat butuh penerimaan atau takut akan penolakan ('fear of rejection'), apakah ada kaitannya dengan hal ini, Pak ?
HE : Sering kali memang ada kaitannya, jadi dua contoh yang kita sebutkan tadi, yang satu terus-menerus membela diri tidak ingin dipersalahkan dan yang satu lagi selalu menyalahkan diri, nah it adalah kemungkinan didasari oleh rasa takut untuk ditolak dan itu tentunya kurang sehat karena didasari juga oleh karena orang tersebut belum menerima dirinya secara penuh, belum merasa aman dengan dirinya.
GS : Ada yang secara jujur tidak mau mula-mula mengakui bahwa ia salah kalau ada orang yang menyalahkan dia, tapi diam-diam di belakang orang yang menyalahkan itu dia mengakui bahwa "memang sebetulnya saya itu salah, tapi caranya dia menegur saya itu yang saya tidak bisa terima". Itu yang selalu dikemukakan dan itu yang terjadi beberapa kali, sebenarnya orang ini sedang membela diri atau seperti apa itu, Pak ?
HE : Ini bagian dari proses menuju kematangan tetapi belum betul-betul sangat matang sehingga meskipun ia terima tetapi masih ada rasa sakit di dalam hati yang dia ingin tutupi, yang ingin dia indungi.
Jadi dengan membuat alasan seperti itu dia ingin menutupi lukanya itu.
WL : Waktu kita mau membela diri dalam kasus kita dipersalahkan, itu sering kali refleks yang terjadi dalam diri kita 'kan, langsung kita melindungi diri, membela diri. Apakah ada saran-saran dari Pak Heman, faktor-faktor apa yang bisa kita pertimbangkan supaya lebih menolong, supaya kita belajar tidak langsung nyemprot orang lain atau bagaimana itu Pak.
HE : Ya mungkin ini perlu latihan juga yaitu kita lebih peka dan senantiasa mengecek dulu apa yang sebetulnya mendorong kita untuk cenderung membela diri dan tidak mendengar dulu dari pihak lain. Apakah mungkin kita mempunyai ketakutan-ketakutan yang tidak sehat atau gambaran diri yang buruk yang harus kita perbaiki. Nah kalau kita memang salah, kita perlu belajar. Tadi dikatakan bahwa secara otomatis kita cenderung langsung membela diri, maka kita sekarang belajar untuk mengakui kesalahan itu dan kita memperbaikinya. Kalau kita benar namun dipersalahkan, sikap kita juga tidak perlu dengan berbagai cara berusaha menjatuhkan orang yang mempersalahkan kita. Itu saya kira lebih sehat, kita melihat misalnya di dalam kehidupan tokoh-tokoh Alkitab pun waktu mereka dipersalahkan, mereka tidak dengan serta-merta menjelaskan dan membela diri karena mereka yakin satu saat semuanya juga akan dibukakan atau diketahui.
GS : Memang faktor siapa menyalahkan kita itu akan sangat berperan, Pak, maksudnya kalau yang menyalahkan kita itu orang yang lebih senior dari kita atau apalagi atasan kita atau yang lebih berkuasa dari kita itu biasanya kita menerima saja, tapi kalau yang menyalahkan kita itu di bawah kita, lebih muda dari kita, langsung kita akan menolaknya.
HE : Ya, itu kebiasaan kita memang dan sebetulnya itu menunjukkan juga tingkat kematangan atau kedewasaan kita. Pada orang-orang yang sungguh dewasa bahkan untuk kritikan dari orang-orang yang erbawah pun, dari strata sosial masyarakat, dia tetap bisa terima dengan lapang dada dan saya kira ada beberapa pemimpin-pemimpin dunia yang sampai pada tingkat kematangan seperti itu.
Nah, kita baik kalau bisa mengarahkan diri ke arah yang seperti itu.
GS : Ada orang yang memang senang untuk dikritik bahkan minta dikritik dalam rangka pengembangan dirinya, katanya. Apakah hal itu wajar atau umum dilakukan, Pak ? Jadi setiap kali dia ketemu temannya, minta supaya dirinya dikritik, dicari kesalahannya, kelemahannya, maksudnya supaya dia bisa berkembang, bertumbuh.
HE : Ya, tergantung motivasinya dan juga tergantung nanti reaksi berikutnya apakah memang betul ada perkembangan yang nyata dari dirinya, dia mau sungguh-sungguh belajar dari kritikan-kritikan tu ataukah sebaliknya justru setelah itu, setelah dikritik itu dia justru membela dirinya.
GS : Ya itu justru yang terjadi, malah terjadi suatu perdebatan yang tidak ada habisnya, berkepanjangan. Saya ingat temannya tadi mengatakan, "Lho tadi kamu minta dikritik sekarang sudah saya sampaikan malah jadi perdebatan" itu yang membuat temannya ini susah.
HE : Ya jadi akhirnya dorongan apa yang ada di balik itu menjadi lebih nyata.
WL : Pak Heman, tapi ada orang yang sebaliknya, jadi ada orang yang saya perhatikan misalnya menerima realita yang dia tidak suka, misalnya mendapat nilai yang tidak sesuai atau ada hal-hal yang disalahkan tapi bukan itu begitu, tapi di depan orang itu ya dia biasa-biasa saja, OK, nanti setelah pulang dia ngomel-ngomel. Di depan saya ngomel-ngomel, "Tidak seharusnya saya begini, begini, begini; orang itu kenapa begini, begini, begini". "Lho kok kamu tadi tidak ngomong atau memberikan respons apa atau kamu jelaskan posisi kamu begini, begini". "Ah ya sudahlah tidak apa-apa", tapi nanti begitu lagi berkali-kali sampai saya telinganya tuli juga. Saya yang ingin bicara ya nanti lain kali saya saja yang jelaskan. "Tidak usah, tidak usah", "Ya tapi kamu ngomel terus", sebenarnya apa yang terjadi, Pak Heman ?
HE : Ya ini contoh yang baik sekali dari orang yang mempunyai ketakutan. Jadi kalau misalnya dia terus terang, dia tidak puas dan sebagainya, dia takut dengan konsekwensinya misalnya dengan hukman sosial dengan pandangan orang terhadap dirinya dan terutama itu tadi dengan penolakan.
GS : Memang seperti yang tadi Pak Heman katakan, motivasi yang ada dalam diri orang itu menentukan apakah dia akan bertumbuh atau tidak, berkembang atau tidak, Pak Heman. Dalam hal ini apakah ada contoh-contoh konkret, apa sebenarnya yang terlintas dalam benak seseorang itu sehingga ia sulit untuk bertumbuh ?
HE : Ya ada beberapa contoh yang bisa kita simak di sini misalnya pikiran seperti ini, "Semua orang juga berbuat begitu, termasuk yang mengkritik saya" atau misalnya contoh lain, "Dia tidak menerti apa yang saya alami, coba kalau dia di posisi saya pasti dia juga melakukan hal yang sama", yang lain lagi, "Dia seharusnya tidak mengajak saya ke tempat itu, kalau saya tidak diajak tentunya saya tidak akan melakukan dosa itu", yang lain lagi, "Karena situasi dan lingkungan saya yang beginilah yang membuat saya sampai seperti ini".
Atau misalnya, "Kalau dia ngomong baik-baik saya masih bisa terima, tetapi karena dia ngomongnya kasar ya saya terpaksa harus berbuat seperti itu", seperti contoh Pak Gunawan tadi. Nah kesimpulannya di sini adalah pikiran-pikiran yang menghalangi pertumbuhan diri ini memiliki ciri-ciri ingin terus mempertahankan pola yang lama. Jadi dia membela diri supaya dia bisa berpegang pada pola yang lama, tidak terbuka terhadap kritikan dan masukan serta menaruh tanggungjawab dan kesalahan pada hal yang di luar dirinya. Nah ini beberapa ciri cara berpikir yang melumpuhkan dan tidak menyebabkan perkembangan diri.
WL : Pak Heman, boleh atau tidak kalimat-kalimat atau pikiran-pikiran pada contoh yang Pak Heman kemukakan tadi itu pertama-tama terlintas secara refleks, tapi waktu kita mencoba menerima, memahami situasinya, "Iya ya sulit kalau saya ada di posisi kamu juga mungkin saya belum tentu bisa mengatasinya dengan lebih baik dari kamu", itu 'kan dia bisa langsung reda dan kemudian ada pikiran-pikiran positif lain yang bisa muncul. Apakah itu juga bagus seperti itu, maksudnya pikiran ini cukup wajar muncul, Pak Heman.
HE : Ya, betul ini cukup wajar, jadi memang kebanyakan dari kita atau mungkin semua orang pada awal perkembangan dirinya memunculkan pikiran-pikiran seperti ini. Kalau seseorang ingin mengembankan diri menjadi lebih dewasa, lebih matang baik secara sosial maupun untuk kedewasaan dirinya, maka dia akan melalui tahapan-tahapan seperti ini.
Dia akan berusaha untuk menenangkan diri dan kemudian dia akan mengisi pikiran-pikirannya dengan yang lebih baik dan lebih sehat.
WL : Berarti ada pikiran-pikiran yang memang lebih positif, begitu Pak Heman ? (HE : Ya ) Apakah Pak Heman bisa memberikan contoh-contohnya ?
HE : Ada beberapa contoh yang kita bisa simak di sini misalnya pikiran seperti ini, "Meskipun kebanyakan orang lain berbuat seperti itu, saya tidak karena saya tahu Tuhan tidak suka saya melakuan hal itu".
Contoh yang lain lagi, "Peristiwa yang saya alami memang kurang menguntungkan, namun saya tahu justru dalam keadaan kurang menguntungkanlah seseorang itu bisa diketahui kualitasnya yaitu kalau dia lolos dari ujian itu", misalnya lagi, "Orang boleh ngomong apa saja tetapi kalau saya berbuat benar dengan motivasi yang tulus, mereka pun tidak bisa apa-apa", "Saya mempunyai kelemahan dan ini salah satu kelemahan saya yang akhirnya diketahui orang lain, saat ini yang saya perlukan adalah memperbaiki diri dan tidak perlu terus meratapi kesalahan itu". Ini beberapa contoh yang kesimpulannya adalah pikiran-pikiran ini lebih meletakkan persoalan dan tanggungjawab pada diri kita sendiri, lebih terbuka terhadap kritik yang positif dan mempunyai kesediaan untuk memperbaiki diri.
GS : Dalam hal ini, supaya kalau kita menghadapi kritikan atau menghadapi masalah dapat berpikir seperti ini, apa yang harus kita lakukan, Pak Heman ?
HE : Ada beberapa hal, yaitu yang pertama kita perlu menyadari dulu apa yang sedang kita lakukan dan mengapa kita melakukannya, misalnya apakah kita mempunyai konsep diri yang buruk ? Kalau ya,nah ini yang harus kita perbaiki lebih dulu.
Yang kedua, kita harus selalu mengingatkan diri kita sendiri dan mengambil komitmen untuk mengembangkan diri betapa pun itu menyakitkan. Memang kalau kita ingin mengembangkan diri, ingin menjadi lebih dewasa ada proses menyakitkan yang harus kita lewati. Dan yang ketiga kita perlu menggantikan pikiran-pikiran yang kurang berani bertanggungjawab dengan pikiran yang lebih baik, yang lebih terbuka terhadap perbaikan diri. Itu perlu dilakukan terus-menerus, terutama ketika pikiran-pikiran yang kurang mengembangkan diri itu muncul di dalam diri kita, jadi kita gantikan pikiran-pikiran yang kurang sehat itu.
WL : Pak Heman, apakah langkah-langkah tadi sama dengan represi, jadi ada pikiran yang salah langsung kita timpa, "Oh tidak, seharusnya saya tidak boleh begini, begini, begini", tapi ternyata suatu hari tertentu eh meledak, begitu Pak.
HE : Ya, kalau yang namanya represi berarti kita sedang menekan perasaan-perasaan kita supaya itu tidak muncul, tetapi yang kita lakukan ini berbeda. Perbedaannya adalah yang kita lakukan ini ita mengakuinya, kalau kita merasa sakit kita mengakuinya, kalau kita mempunyai gambaran diri yang buruk, kita takut ditolak orang, kita akui, lalu kita juga mengakui bahwa kita mempunyai kelemahan-kelemahan dan kelemahan-kelemahan yang masih bisa kita perbaiki, kita akan usahakan untuk perbaiki.
Jadi itu bedanya, kalau represi berarti menyangkali bahwa kita mempunyai masalah, sedangkan sebaliknya yang lebih sehat kita mengakuinya, menerimanya dan kita mengembangkan diri.
GS : Ada orang-orang yang memang dihinggapi perasaan rendah diri, nah ini membuat dia sulit untuk mengembangkan dirinya sendiri (HE : Ya ), nah dalam hal ini apakah karena orang ini terlalu sering disalahkan atau apa yang menyebabkan dia menjadi orang yang rendah diri seperti itu ?
HE : Ada beberapa sebab memang, antara lain itu dia terlalu sering disalahkan. Penyebab lain juga banyak terjadi dalam keluarga-keluarga yang tidak harmonis, waktu ayah-ibunya bertengkar misalna lalu berkeluh-kesah kepada anaknya ini, sehingga dari kecil dia harus menanggung beban yang terlalu berat.
Anak-anak yang baik biasanya menyimpan lalu sepertinya dia harus menanggung beban-beban seperti itu. Dia menyimpan kemarahan-kemarahan tetapi dia tidak menyatakannya dan lebih baik dia simpan sendiri, seperti itu. Ya ini bisa menjadikan anak rendah diri atau mempunyai konsep diri yang buruk.
GS : Memang sulit untuk menyeimbangkan antara bagaimana kita membela diri dari serangan-serangan yang tidak seharusnya kita terima dan di satu sisi kita mau mengembangkan diri kita semaksimal mungkin, begitu Pak. Dalam hal ini apakah ada ayat Firman Tuhan yang Pak Heman ingin sampaikan untuk mempertegas pembicaraan kita pada saat ini.
HE : Ini adalah sebagian dari Alkitab yaitu pengakuan dosa dari Daud dalam Mazmur 51:1-8. Ayat-ayat ini cukup panjang tetapi bisa menggambarkan bagaimana seorang hambaNya yang bak ini dan rendah hati, dia bisa mengakui kesalahannya dan dia ingin memperbaiki dirinya, "Untuk pemimpin biduan.
Mazmur dari Daud, ketika nabi Natan datang kepadanya setelah ia menghampiri Batsyeba. Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar ! Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku ! Sebab aku sendiri sadar akan pelanggaranku, aku senantiasa bergumul dengan dosaku. Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat, supaya ternyata Engkau adil dalam putusan-Mu, bersih dalam penghukuman-Mu. Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku. Sesungguhnya, Engkau berkenan akan kebenaran dalam batin, dan dengan diam-diam Engkau memberitahukan hikmat kepadaku."
WL : Pak Heman, tapi doa ini atau penyesalan ini tidak terjadi begitu saja. Pada awalnya Daud tidak mengaku salah, terus ada proses dan akhirnya dia benar-benar merasa hancur begitu. Menurut Pak Heman, Tuhan lebih suka yang mana ?
HE : Sebetulnya ini contoh yang baik sekali, yang tadi baru disebutkan. Tuhan lebih suka yang mana ? Tentu saja Tuhan lebih suka mereka yang langsung mengaku dosanya dengan hati yang hancur danlangsung bertobat, tetapi tetap Daud ini adalah orang yang sangat dewasa di dalam kerohanian dan kita bisa melihat kisah selanjutnya dimana ketika dia dilecehkan orang dan sebagainya, dia terima.
Jadi dia tidak membela dirinya, tidak membenarkan dirinya, biarlah Tuhan yang menjadi Hakim bagi dirinya.
GS : Ya memang pada kasus-kasus tertentu kita melihat orang-orang yang sungguh mengasihi Tuhan seperti Ayub dan sebagainya yang kelihatannya dia membela dirinya ketika mengalami banyak penderitaan, tetapi akhirnya dia harus mengakui bahwa apa yang Tuhan lakukan bagi dirinya itu yang terbaik.
HE : Betul, Pak Gunawan, tepat sekali dan pada akhirnya seperti pada ayat 8 yang tadi sudah dibacakan. "Sesungguhnya Engkau berkenan akan kebenaran dalam batin dan dengan diam-diam Engkau membeitahukan hikmat kepadaku".
Memang di sini diperlukan hikmat supaya kita bisa memilah, mana yang bisa mengembangkan diri kita, mana yang justru melumpuhkan.
GS : Terima kasih banyak Pak Heman untuk perbincangan ini, juga Ibu Wulan terima kasih. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih, Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pembelaan Diri dan Pengembangan Diri". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.