Kata kunci: Iman dan akal sehat bukanlah hal yang bertentangan, Allah dalam diri manusia Yesus Kristus adalah paradoks, iman sejati dinyatakan lewat berdoa dan bertindak, "Ora et labora", jadilah murid Kristus yang sedia, senang dan setia untuk belajar.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara Telaga, TEgur sapa gembaLA keluarGA. Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Yosie, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., M.Phil. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Paradoks Iman". Kami percaya acara ini bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Y: Pak Sindu, kalau kita bicara tentang "Paradoks Iman", sesuatu yang menarik tetapi mungkin belum banyak orang yang mengerti. Apa yang dimaksud dengan "Paradoks Iman" dan bagaimana sebagai orang percaya kita menghidupinya ?
SK: Bu Yosie, untuk memerjelas supaya semakin konkret, saya akan memakai konteks situasi wabah, dimana ketika kita dalam kondisi wabah, terjadi penyebaran virus yang cukup meluas dan bisa tertular lewat perjumpaan kita dengan orang yang terinfeksi. Maka didalam hal ini, sebuah kemurahan Tuhan kalau kita dalam kondisi wabah tersebut, kita sempat mungkin keluar dari rumah, sempat kita mungkin ke luar kota, bahkan mungkin ke luar negeri dan kita tidak tertular. Itu benar-benar sebuah kemurahan Tuhan, tetapi kemurahan Tuhan ini lalu tidak berarti membenarkan untuk kita bersikap pongah dan mengabaikan hukum alam, yakni hukum tabur dan tuai yang juga Tuhan ciptakan.
Y: Maksudnya bagaimana, Pak ? Maksudnya kita mengalami kemurahan Tuhan tapi jangan pongah.
SK: Jadi begini, kemurahan Tuhan tidak berarti mengizinkan kita untuk bersikap semberono.
Y: O, teledor ya Pak.
SK: Saya suka kalau memakai satu ungkapan, "Siapa yang suka bermain-main dengan api, ujungnya pasti akan terbakar". Misalnya seorang anak kecil atau kita waktu kecil, main api, ‘kan suka rata-rata anak kecil. Memakai korek api membakar kertas, memakai korek api tiup lilin, tidak apa-apa, awalnya beberapa kali tidak apa-apa tapi kalau terus dilakukan akan tetap ada masa dimana, "Aduh kena apinya panas !" seperti itu. Dalam hal ini juga berkaitan dengan virus di masa wabah, sesekali kita keluar rumah, sesekali kita beraktifitas di luar rumah, sesekali kita keluar kota bahkan keluar negeri, dalam kasih karunia Tuhan, kemurahan Tuhan, kita tidak terinfeksi. Puji Tuhan, kita terlindungi. Tetapi kalau terus-menerus kita mengabaikan batasan-batasan, perlindungan diri atau istilahnya mengabaikan protokol kesehatan, ya ujungnya juga akan kena virus, akan terinfeksi. Jadi dalam hal ini, Bu Yosie, sesungguhnya iman dan akal sehat bukanlah hal yang berkontradiksi, bukanlah hal yang saling bertentangan, bukanlah hal yang saling meniadakan.
Y: Ketika kita percaya, kita mendapat kemurahan Tuhan, kita beriman pada Tuhan, bukan berarti kita semberono, jalan-jalan saja ke kafe, begitu ya ?
SK: Dalam hal ini beberapa orang berpikir, iman itu bertentangan dengan akal sehat. Kalau kamu memakai akal sehat, mengikuti anjuran dokter, anjuran Pemerintah, berarti kamu tidak punya iman, imanmu kecil. Kamu berarti seperti orang yang tidak kenal Tuhan.
Y: Benar, seperti ketakutan.
SK: Kamu lebih takut Tuhan atau lebih takut virus ?
Y: Virus kecil saja.
SK: Tuhan kita Mahabesar, mengapa takut ? Disinilah ada kekeliruan berpikir, sesungguhnya di dalam iman ada paradoks.
Y: Nah, seperti judul perbincangan kita kali ini. Apa paradoks kalau bukan sesuatu yang berkontradiksi?
SK: Paradoks adalah memang dua hal yang seolah-olah berlawanan, namun sesungguhnya kedua-duanya sama-sama mengandung kebenaran dan tidak saling meniadakan. Disini terjadilah gagasan paradoks itu bersifat keutuhan, atau bersifat holistik termasuk dalam hal yang tadi kita angkat soal iman dan akal sehat. Iman dan akal sehat itu paradoks, bukan kontradiksi. Kontradiksi sebenarnya adopsi, kita ambil gagasan itu dari cara berpikir dikotomi.
Y: Apa artinya dikotomi ?
SK: Dikotomi dari kata diko dari bahasa Latin, artinya dua. Seperti kita tahu dikotil lawannya monokotil. Mono itu satu, diko itu dua. Ini berlawanan dengan pikiran dikotomi atau pikiran dualisme. Kalau kita mengenal, mungkin pernah membaca, mendengar istilah dualisme, dikotomi atau berpikir dualisme atau berpikir polarisasi.
Y Polarisasi itu kutub, jadi A atau Z.
SK: Betul, kutub Utara atau Selatan.
Y: Hitam atau putih.
SK: Betul itu bersifat dikotomi, dua yang terpisah seperti juga hal yang bersifat dikotomi, misalnya laki atau perempuan, tidak ada yang di tengah-tengah dari sisi identitas, jenis kelamin kita. Pria atau wanita, dalam hal ini dikotomi memang realitas, sebuah kenyataan. Tetapi berpikir dikotomi tidak relevan untuk konteks minimal dalam berpikir iman Kristiani, dalam iman kekristenan.
Y: Jadi dikotomi itu sesuatu yang benar, tapi tidak semua hal dapat kita pikirkan secara dikotomi.
SK: Tepat, seperti dalam kenyataan hidup, ada namanya laki dan perempuan, Utara dan Selatan. Kalau tidak Utara ya berarti Selatan, tidak ada yang di tengah, tidak ada Utara Selatan, orang akan bingung, kamu ke Utara atau ke Selatan, kamu mau ke kanan atau ke kiri. Jadi itu memang realitas, kenyataan, kita tidak bisa ya sudahlah aku pokoknya di antara kanan atau kiri.
Y: Di tengah sajalah, tidak bisa.
SK: Kita harus memilih dalam hal ini, laki atau perempuan ? Berpikir dikotomi tidak cocok dengan konteks Alkitab. Dalam konteks iman kristiani, iman kekristenan, berlandaskan Alkitab atau Firman Allah, kita akan menemukan, Bu Yosie, hal-hal yang bersifat paradoks tadi. Misalnya kita tahu Allah menyatakan Dirinya atau pewahyuan Allah atau Allah menyatakan kebenaran lewat dua hal yaitu lewat wahyu umum atau kebenaran umum dan wahyu khusus atau kebenaran khusus. Wahyu umum adalah alam semesta dan sains, wahyu khusus atau kebenaran khusus adalah Kristus dan Alkitab. Lho, Allah menyatakan diri lewat mana ? Pilihlah salah satu, wahyu umum atau khusus ? Sains atau Alkitab atau Tuhan Yesus? Memang dua-duanya, Allah menyatakan Dirinya, terjadi Dwitunggal, kebenaran, Dwitunggal pewahyuan. Demikian juga, Bu Yosie, misalnya sifat Alkitab menurut Bu Yosie, Alkitab itu diciptakan secara supranatural atau secara natural, secara hal yang di luar akal sehat, tiba-tiba ada Alkitab atau lewat proses manusiawi, proses alamiah, melewati sejarah, penulisan, ada tokoh-tokoh yang menulis, ada namanya, ada latar belakang konteksnya. Menurut Bu Yosie, Alkitab diciptakan lewat sebuah karya Tuhan yang ajaib, yang supranatural, ada karya Roh Kudus bekerja di dalamnya ataukah lewat proses manusiawi, dimana ditulis oleh sekian banyak orang, ada satu konteks, ada jenis sastranya dan juga ada gaya penulisannya. Yang mana yang benar tentang sifat penciptaan Alkitab ini?
Y: Ya keduanya, Pak. Tuhan secara supranatural. Roh Kudus yang menggerakkan orang-orang secara natural untuk menulis dengan latar belakang mereka masing-masing, dengan gaya mereka masing-masing, dengan satu tema sesuai konteks kehidupan mereka saat itu.
SK: Tepat, itulah paradoks. Kita tahu tadi, ada paradoks tentang pewahyuan Allah, yang kedua ada paradoks penciptaan Alkitab. Alkitab diciptakan secara supranatural, ada karya Allah sendiri, Roh Kudus yang bekerja memberikan pencerahan, illuminasi, tapi juga Allah memakai konteks manusia.
Y: Yang natural.
SK: Yang ketiga misalnya paradoks dalam iman kristiani, dalam kekristenan. Kita kenal tentang Yesus, ketika Dia ada di dunia ini selama 33,5 tahun. Dia Allah atau manusia?
Y: Sering dipertentangkan, ya Pak.
SK: Kebenarannya adalah Yesus sama-sama Allah dan sama-sama manusia, Dia 100% Allah dan Dia 100% manusia. Bagaimana bisa? Tidak mungkin, manusia ya manusia, Allah ya Allah. Itu untuk kita, kita ciptaan atau Pencipta? Tetapi dalam diri manusia Yesus Kristus, itu adalah paradoks. Itulah luar biasanya Allah kita, Dia bertindak menyatakan diri di luar kotak kita yang memang secara realitas kita hidup dalam dikotomi. Kamu laki atau perempuan, kamu ciptaan atau Pencipta? Salah satu, tidak bisa keduanya, tetapi Allah pun bisa menyatakan dirinya lewat cara yang di luar kotak manusia itu.
Y: Melampaui.
SK: Ya, melampaui, "out of the box" yang sekarang semakin populer. Allah bertindak di luar kotak manusia tadi, menyatakan diri dalam dua wujud, yaitu 100% Allah, 100% manusia dalam diri manusia Yesus Kristus.
Y: Yang menariknya Pak, dari mana asal pemikiran dikotomi kita ini ? Yang selalu mengkotakkan, kalau Yesus manusia tidak mungkin Allah, bila Yesus Allah tidak mungkin manusia. Darimana asal cara berpikir dikotomi manusia ini?
SK: Kalau kita mundur ke belakang, Bu Yosie, itu akarnya orang yang pertama kali mencetuskan secara publik, tercatat dalam literatur adalah seorang ahli filsafat Yunani yang bernama Plato. Dia yang mengungkapkan, yang terkenal dia mengungkapkan tubuh itu bersifat kotor, jiwa bersifat suci. Tubuh dan jiwa terpisah, tubuh silakan tidak bisa melakukan hal yang benar, selalu yang diinginkan hal yang salah, tapi jiwa tetap suci. Dalam konteks ini pikiran Plato inilah yang teresapi di banyak cara berpikir agama-agama dunia. Kalau kita perhatikan cara berpikir tentang bersifat dikotomi, mempertentangkan tadi, tubuh atau jiwa, ini benar atau salah dalam hal-hal yang bersifat paradoks. Itu pikiran filsafat agama-agama lain, gagasan awalnya memang dari Plato. Tetapi dalam konteks kekristenan, kita tidak mengenal konteks berpikir dikotomi, kita lebih banyak mengenal konteks berpikir paradoks. Dari Plato muncul rasionalitas atau spiritualitas, keduanya sebagai aspek yang bertentangan, jadi sebenarnya yang kita pikir, kita mungkin sebagai pendeta, kita sebagai hamba Tuhan, kita sebagai orang percaya, kita sebagai jemaat sebuah gereja, atau komunitas sebuah pelayanan ketika kita berpikir secara dikotomi, itu bukan gagasan Alkitab, itu gagasannya Plato, itu gagasannya agama-agama lain di luar kekristenan.
Y: Lebih lanjut Pak, praktisnya dalam iman sehari-hari, praktek iman sehari-hari, dikotomis seperti apa, Pak ?
SK: Dalam keseharian akhirnya muncul cara berpikir, berakal sehat itu sekuler, beriman itu rohani. Jadi pendeta itu rohani, jadi politisi itu rohana. Jadi berdoa itu tanda beriman, tapi bertindak tanda kurang iman. Misalnya, kamu berdoa saja, tunggu mujizat Tuhan jangan ke dokter, itu tanda kamu kurang iman! Kamu mau disembuhkan Tuhan atau manusia, kamu mau cinta Tuhan atau cinta dunia yang tidak mengenal Allah? Hati-hati jangan ke dokter, awas nanti dikutuk menjadi kodok ! Itu berpikir dikotomis yang tidak Alkitabiah.
Y: Ada memang, Pak. Saya mengenal ada seorang ibu yang sampai akhirnya ditemukan kanker tenggorokan akut, karena dia bertahan dengan semua gejala selama ini dia tidak mau ke dokter, percaya mujizat Tuhan akan menyembuhkan dan karena pikiran dikotomi itu membahayakan dirinya sendiri ya, Pak.
SK: Ya itulah sangat ironis, juga ada peristiwa yang lain yang saya pernah dengar, misalnya seseorang ini sesungguhnya sudah didiagnosis oleh dokter, ia menderita gangguan bipolar, gangguan manik depressif, kadang emosinya bisa naik, tertawa, beraktifitas tanpa lelah, tiba-tiba saat itu dia turun tertekan, gagasan-gagasan bunuh diri muncul dalam pikirannya. Kemudian seorang pendeta datang melayani dan berpikir dikotomis itu tadi, "Saya sudah doakan kamu ya, imani lho ya, doa yang tadi. Sudah lebih banyak baca Alkitab saja, dengar lagu rohani, stop obat, dalam nama Yesus obat-obat itu dari iblis, saya buang dalam nama Yesus, saya lepaskan kamu dari ikatan iblis lewat obat-obat. Jangan percaya pikiran manusia, dokter itu tindakan atheistik, tindakan yang melawan Tuhan. Dibelakangnya ada roh-roh dunia ini, hati-hati kita tolak semua roh-roh dunia ini, kita hanya terima rohnya Tuhan. Doa, puasa, baca firman, dengar lagu rohani, lakukan kebenaran firman Tuhan itu taati, pasti kamu sembuh, dalam nama Yesus, imani, sebutkan terus, ucapkan ucapkan perkataan iman ini!" Dan apa yang terjadi? Lambat laun kondisinya tambah memburuk, pikiran-pikiran bunuh dirinya semakin muncul akhirnya ia melakukan benar-benar tindakan bunuh diri dan meninggal dunia !
Y: Aduh, sayang sekali !
SK: Itu fakta, saya bukan mengarang, itu sebuah peristiwa. Dalam konteks ini maksudnya bukan berarti konteks kita itu paradoks. Beriman ya, berdoa, tapi juga bertindak. "Ora et labora", ke dokter ya tapi juga mendoakan minta kemurahan Tuhan. Kita berdoa supaya Tuhan memakai dokter ini untuk menyembuhkan kita. Tetap akhirnya Tuhan, kita bukan mengandalkan dokter seperti tadi sains, dokter belajar dari sains. Sains adalah ekstrak dari wahyu umum, alam semesta, hukum alam, hukum tabur tuai. Kalau kita pakai ini bisa sembuh, kalau kita pakai itu bisa tambah berat. Kalau kita tidak memakai obat ini kondisi bisa makin parah, itu ciptaannya Tuhan, tanaman-tanaman, zat-zat kimia, biokimiawi itu ciptaannya Tuhan. Tuhan bisa memakai untuk menyembuhkan kita. Jadi tidak bertentangan kita ke dokter, kita ke psikolog, ke konselor, kita belajar biologi, kita menjadi politisi, kita berdagang, kita melakukan pekerjaan-pekerjaan yang halal, yang bukan bersifat kriminal berlandaskan penipuan, itu semua juga dari Allah. Dikuduskan oleh Allah untuk memberkati kita dan orang lain, itu wujud pemeliharaan Allah. Iman sejati dinyatakan lewat berdoa dan bertindak.
Y: Sangat menarik ya, Pak. Biarlah pemikiran kita boleh diubahkan seperti yang Tuhan mau.
SK: Termasuk terjemahannya, Bu Yosie, kita ini warga negara Indonesia atau warga negara kerajaan Allah ? Kalau aku mengakui pemerintah, hormat bendera berarti menghormati berhala, bendera kalau aku hormati berarti menggantikan Allah, aku tidak mau hormat bendera, aku tidak mau menyanyikan lagu Pancasila, Indonesia Raya. Tidak mau, itu berhala modern, itu melawan Tuhan. Kembali berpikir Platoisme, berpikir polarisasi, ini tidak Alkitabiah. Pikirannya Alkitab, pikirannya Tuhan tadi bersifat paradoks. Hormat negara itu bagian dari hormat kepada Tuhan. Kamu hormati orangtua atau hormati Tuhan? Jangan hormati orangtua, hinalah orangtua, supaya kamu semakin dekat dengan, Tuhan bicara, "Hormati ayah ibumu" itu bagian dari Sepuluh Perintah Allah, tidak dilawankan, cinta manusia atau cinta Tuhan. Kedua-duanya kita lakukan sebagai wujud iman yang sejati.
Y: Nah, bagaimana kembali lagi ke konteks wabah, Pak ?
SK: Konteks wabah, kira-kira berarti terjemahannya, kita bertindak keduanya. Kita ikuti apa saran dokter, kita ikuti apa kata Pemerintah untuk melindungi diri, bagaimana kita tidak tertular dan bagaimana kita juga tidak memerluas wabah ini. Ikuti semua petunjuk protokol kesehatan, patuhi sambil sejalan dengan itu kita juga berdoa, minta kemurahan Tuhan supaya kita tetap terlindungi. Karena upaya apa pun kita ikuti protokol kesehatan, kadang bisa ada yang terloloskan, kita lalai atau orang lain lalai, tetap kita minta perlindungan Tuhan. Kita tetap beriman, bersikap tenang, merasa aman di dalam Tuhan. Oke, kalaupun aku tertular, kalaupun aku meninggal dunia, tetap itu seizin Tuhan. Hidup adalah Kristus, mati adalah keuntunganku, Selagi aku masih hidup, aku perjuangkan hidupku untuk Kristus dalam bentuk melindungi diri, bukan bermain-main dengan virus atau bakteri. Kita juga melindungi orang lain, kita juga memunyai tanggungjawab sosial. Beriman dan bertindak, dalam kita bertindak sebagai warganegara, sebagai warga Kerajaan Allah, kita memberkati dunia orang lain, kita ikuti kampanye, kita galakkan kampanye Eh, ayo ikuti protokol kesehatan misalnya dalam suatu wabah. Ayo memakai masker, ayo cuci tangan, ayo jaga jarak, ayo ibadah….tidak boleh ibadah tatap muka di masa sekarang ini. Ibadahnya ya secara virtual, lewat rekaman, audio atau ibadah ritualnya lewat daring (dalam jaringan) atau ibadah online lewat internet. Atau kita mengikuti ibadah keluarga di konteks keluarga kita masing-masing. "Itu tandanya kamu kurang iman!" itu pikiran yang keliru, bukankah Tuhan juga bicara, "Menyembahlah Allah dalam Roh dan kebenaran". Hukum Perjanjian Lama memang sesuai dengan aturan, kaku, harus di Yerusalem di Bait Allah itu baru sakral, sesuatu yang mulia, sesuatu yang levelnya tinggi. Tapi kalau kamu di Gunung Gerizim, di daerah Samaria, hadirat Tuhan kurang. Memang di Perjanjian Lama ada konteks-konteks seperti itu, tapi Perjanjian Baru menggenapi. Menyembah Allah bukan soal tempat, tapi soal hati. Menyembah dalam kebenaran, tunduk pada Allah, menyembah dalam kepenuhan hati kita, hati kita yang berpaut kepada Allah. Termasuk kita ibadah di rumah itu sah, tetapi saya mau tambahkan, jangan kebablasan, setelah selesai wabah, setelah normal kembali, "Sudah tidak usah lagi kebaktian di gedung gereja, tidak usah menghadiri persekutuan, bukankah di rumah masing-masing tidak apa-apa".
Y: Ada hadirat Tuhan !
SK: Iya, terjemahannya yang lain. Kalau kita bisa tatap muka, mengapa tidak? Sama pernikahan kita secara virtual saja, kamu di Amerika Serikat, saya di Saudi Arabia, kita bermesraan secara virtual saja, apakah bisa seperti itu? Orang yang menikah harus serumah, memang ada video call bisa ‘tele- conference’, tapi orang tetap bertatap muka, tinggal serumah, bisa berpelukan, bisa mengecup, itu tanda pernikahan yang sehat. Dalam soal kita bersekutu, beribadah secara ritual tadi, kalau bisa tatap muka mengapa tidak? Tapi kalau tidak bisa pun, tidak apa-apa, itu tetap memuliakan Tuhan.
Y: Menarik sekali, sebab memang sangat banyak orang yang masih memunyai pemikiran dikotomi. Itu yang membahayakan kita, Pak Sindu. Yang terakhir apakah ada firman Tuhan untuk melandasi perbincangan kita kali ini?
SK: Saya bacakan dari II Korintus 10:5, "Kami mematahkan setiap siasat orang dan merubuhkan setiap kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan akan Allah. Kami menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus". Jadi dari bagian ayat ini kita bisa menarik kebenaran bahwa dalam konteks bahasan kita ini, tanpa sadar pikiran-pikiran dikotomi tadi seperti kebenaran dan kita memertahankan diri, kita tidak mau memeriksa. Kita melandasi dengan tanpa sadar sebuah keangkuhan manusia, kita menyalahkan orang yang melindungi diri, orang yang bertindak, orang yang belajar sains, orang yang kuliah di bidang-bidang umum, misalnya bidang psikologi, bidang filsafat, orang yang kuliah di bidang politik kita anggap tidak cinta Tuhan, atau kalau kita menjadi warga negara yang baik, aktif dalam soal berpolitik, berbangsa bernegara dianggap melawan panggilan hidup untuk amanat agung Kristus. Maaf, itu keliru, dalam hal ini yang Tuhan minta agar kita tunduk mengagungkan pikiran kita kepada Kristus dan kita membawa semua pikiran keberadaan kita mengarah kepada mengenal Allah yang benar, Allah yang dalam banyak hal Dia berkarya, menetapkan kebenaran secara paradoks. Mari, jadilah orang percaya, jadilah murid Kristus yang mau terus belajar, ‘teachable’, ‘available’, ‘faithful’. Dalam bahasa Indonesia, jadilah orang yang sedia untuk belajar, senang untuk belajar, setia untuk belajar sehingga kita terlindungi dari kekeliruan dalam menerjemahkan iman yang sejati di tengah dunia nyata ini.
Y: Amin, biarlah perbincangan tentang "Paradoks Iman" ini membuat kita semakin mengenal Tuhan dan kebenaran-Nya. Terima kasih banyak, Pak Sindu untuk penjelasannya.
Para pendengar sekalian, terima kasih. Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K, dalam acara Telaga, TEgur sapa gembaLA KeluarGA, kami baru saja berbincang-bincang tentang "Paradoks Iman". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK, Jl. Cimanuk 56 Malang atau Anda dapat mengirimkan email ke telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda. Sampai jumpa dalam acara Telaga yang akan datang.