Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di manapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santosa dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang 'Pagar antara Orangtua dan Anak', kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
PG : Pak Gunawan, saya mengamati adakalanya konflik antara orang tua dan anak tidak lagi bisa dicegah, dikarenakan orang tua terlalu mencampuri anak. Nah kalau anak-anak masih kecil saya kira sharusnyalah orang tua mencampuri anak, tapi adakalanya anak-anak ini sudah besar, sudah menikah, sudah berkeluarga tapi tetap diperlakukan seperti anak-anak oleh orang tuanya, sehingga lama-kelamaan yang terjadi justru adalah konflik.
Itu sebabnya kita akan membahas masalah ini dan kita memberikan judul pagar. Sebab saya percaya pada saat anak-anak itu sudah akil baliq seharusnyalah mereka membuat rumah dan memisahkan diri dari kita, ini saya membicarakannya secara alegoris, rumah dalam pengertian secara emosional di mana ada pagar yang memisahkan kita dengan anak-anak. Sehingga kita menghormati anak, anak-anak juga menghormati kita.
GS : Jadi masing-masing mempunyai teritorialnya sendiri-sendiri.
PG : Tepat, dengan kata lain kelanggengan atau keserasian hubungan orang tua dan anak pada usia yang sudah dewasa ini bergantung sekali pada apakah kedua belah pihak menghormati pagar ini. Kala salah satu pihak tidak lagi menghormati pagar ini dan lompat pagar masuk ke rumah sudah tentu akan timbul masalah.
GS : Ya, memang yang sering kali harus jujur kita akui sebagai orang tua, kita sebagai orang tua sering kali terlalu masuk ke dalam wilayah anak itu, Pak Paul.
PG : Ya kita susah sekali untuk menyadari bahwa peran dan fungsi kita berubah seiring dengan bertambahnya usia kita dan juga usia anak. Saya akan paparkan secara garis besar 3 peran dan fungsi rang tua.
Pada masa anak-anak kecil orang tua berfungsi sebagai pengasuh, pengasuh berarti orang tua memberikan gizi, baik itu gizi jasmaniah atau pun gizi batiniah kepada anak, sehingga anak bisa bertumbuh besar menjadi orang yang stabil, yang cukup, yang sehat. Orang tua juga akan melindungi anak-anaknya pada usia yang memang kecil ini, dengan kata lain orang tua bertugas menjauhkan anak dari bahaya, memisahkan anak dari hal-hal yang bisa merenggut nyawanya atau membahayakan keselamatannya nah itu semua tugas orang tua sebagai pengasuh dan pelindung. Namun setelah anak-anak menginjak usia remaja, orang tua harus mulai menyesuaikan diri dengan keadaan ini, mereka tidak lagi bisa berfungsi sebagai pelindung atau sebagai pengasuh. Mereka berubah fungsi yang saya panggil ini adalah sebagai pengarah dan pendamping. Artinya apa? Artinya pada masa ini orang tua akan menjadi konselor bagi anak, yang memberikan arahan-arahan dan secara aktif orang tua memantau perkembangan anak. Jadi jangan sampai orang tua terlalu memberikan kebebasan kepada anak tanpa memantaunya. Orang tua pada anak-anak yang masih remaja ini harus secara aktif memantau perkembangannnya. Dengan siapa mereka pergi, siapa teman-temannya jadi kita sebagai orang tua membimbing anak agar berjalan pada jalur yang benar. Nah pada saat anak dewasa, mereka sudah bekerja, mereka sudah mencari mata pencaharian sendiri, orang tua berperan sebagai penasihat atau konsultan. Nah dalam pengertian begini, secara pasif memberi masukan kepada anak, jadi yang saya maksud dengan pasif adalah pada masa remaja orang tualah yang secara aktif datang memantau anak tapi pada masa-masa anak-anak sudah dewasa biarkan anak yang datang mencari kita, barulah kita memberikan masukan tatkala mereka datang kepada kita, nah ini kira-kira secara garis besarnya Pak Gunawan.
GS : Kesulitan kita sebagai orang tua justru pada waktu alih peran itu Pak Paul, pada saat kalau kita alih peran dari yang pertama, kedua itu sudah kesulitan maka yang dari kedua, ketiga itu tambah sulit lagi Pak Paul.
PG : Betul sekali, kalau kita sudah tidak bisa mengalihkan peran sebagai pengarah dan pendamping pada masa remaja, hampir dapat dipastikan pada masa anak-anak dewasa kita akan terus berusaha mejadi pengasuh dan pelindung si anak, tetap mencampuri urusan si anak atau terus melindungi si anak.
GS : Saya melihatnya justru ini Pak Paul, pada waktu kita memberi gizi istilah Pak Paul tadi menjadi orang yang terus bisa menasihati dan memberikan pengarahan dan itu diterima oleh anak, kita merasa nyaman dengan peran seperti itu Pak Paul, kita merasa dibutuhkan, kita merasa dihargai. Sehingga pada waktu mau beralih peran menjadi pendamping itu kesulitan Pak Paul.
PG : Betul, kita cenderung susah berubah dan saya kira Tuhan memang sudah mendisain anak-anak tatkala menginjak usia dewasa mereka cenderung ingin melakukan hal-hal yang sebelumnya kita tidak lkukan atau hal-hal yang baru bagi mereka.
Dengan kata lain anak-anak juga menolong kita untuk bertumbuh dewasa dalam peranan-peranan kita ini. Salah satu cara untuk bisa mengetes Pak Gunawan, menguji apakah kita ini sudah mulai mengalihkan peran atau tidak ataukah kita kesulitan mengalihkan peran adalah dengan cara melihat gaya bahasa kita. Pada masa anak-anak kecil gaya bahasa kita sebagai pelindung anak adalah gaya bahasa instruksi, kita memberitahukan anak, kita menyuruh anak, kita melarang anak, kita meminta anak, nah itu semua adalah gaya bahasa instruksi. Dan seharusnyalah anak-anak pada masa kecil itu berkomunikasi dengan kita dengan gaya bahasa instruksi. Pada masa remaja, kita tidak lagi berkomunikasi dengan anak dengan gaya bahasa instruksi. Anak remaja tidak suka diperintah-perintah seperti itu lagi. Maka gaya bahasa yang kita gunakan adalah gaya bahasa persuasi, kita membujuk anak atau menggiring anak agar melangkah di jalan yang benar atau melakukan yang kita kehendaki. Tapi sekali lagi tidak bisa menggunakan gaya bahasa instruksi, kita gunakan gaya bahasa persuasi, membujuk, mengarahkan. Pada masa anak-anak dewasa, kita menggunakan gaya bahasa diskusi, kita berubah di situ. Mereka datang kepada kita, bertanya kepada kita tapi kita mengajukan pendapat kita dalam konteks kitalah konsultan bagi dia. Kita tidak memaksakan kehendak kita mungkin ada unsur persuasi juga tapi benar-benar lebih banyak diskusinya, kita ingin tahu juga pendapatnya, kita menghargai masukannya, nah kita mau berinteraksi dengan pemikirannya itu.
GS : Nah kita itu sebagai orang tua tidak bisa begitu cepat mengubah gaya bahasa ini Pak Paul, karena tahap yang pertama itu kita merasa masih kurang, belum sempurna, masih ada banyak yang harus diinstruksikan dan seterusnya itu Pak Paul?
PG : Saya menyadari itu, kita cenderung berpikir bahwa masih terlalu banyak pelajaran yang masih bisa kita ajarkan kepada anak-anak, jadi kita akan terus bersemangat memberikan pelajaran itu keadanya.
Tapi kita harus menyadari bahwa hidup ini akan Tuhan pakai mendidik anak-anak kita juga. Bahwa dia akan belajar dari pengalamannya dan Tuhan akan membukakan matanya untuk melihat hal-hal yang perlu dipelajarinya. Saya ingat sekali nasihat dari pendeta saya pada waktu dia memberikan pesan kepada saya sebelum saya meninggalkan rumah untuk studi. Dia berkata: "Paul, nanti kamu akan bertemu dengan banyak orang dan kamu akan mengalami banyak peristiwa, kamu harus mau belajar, kamu harus teachable," itu yang dia tekankan kwalitas teachable dia bilang itu penting sekali. Karena dengan kwalitas atau sifat mau belajar inilah kita akhirnya akan matang, kita akan belajar banyak hikmat melalui peristiwa yang kita alami. Jadi kita juga sebagai orang tua harus memiliki keyakinan seperti itu Pak Gunawan, biarkan anak-anak kita belajar dari pengalaman hidupnya itu.
GS : Ya kadang-kadang terasa juga waktu itu kok terlalu cepat, tiba-tiba dia sudah dewasa, tiba-tiba lagi dia sudah mau meninggalkan kita, begitu Pak Paul. Kita belum sempat untuk istilahnya tidak mau menyempatkan diri untuk berubah itu Pak Paul, mengubah peran itu tadi.
PG : Betul, jadi sering kali kita memang protective sehingga sampai anak-anak sudah akil baliq pun, sudah berkeluarga pun kita masih ingin berfungsi sebagai pelindung atau sebagai seorang pengauh baginya.
Dan ini tidak sehat karena kalau kita terus berfungsi sebagai seorang pelindung bagi anak-anak, dia akan terus bergantung kepada kita dan ini tidaklah membangunnya ini malah mengkerdilkannya. Jadi sampai kapanpun anak itu selalu datang kepada kita, minta ini, minta itu, terus saja menggelendot. Mungkin kitanya senang, seolah-olah tidak ada perpisahan tapi sesungguhnya kita merugikan si anak. Atau tadi yang Pak Gunawan sudah singgung, ada orang tua yang terus-menerus dengan senang hati mencampuri urusan si anak dan kalau si anak sudah menikah ini berpotensi menimbulkan masalah dengan pasangannya. Kita sebagai mertua ikut campur urusan mereka akhirnya menantu kita marah kepada kita, akhirnya hubungan kita dengan anak jadi rusak nah itu adalah hal yang cukup sering terjadi.
GS : Jadi kalau kesiapan itu hanya pada pihak orang tua, anaknya tidak siap untuk ditingkatkan ke periode berikutnya seperti itu bagaimana?
PG : Biasanya akan timbul masalah Pak Gunawan, anak-anak itu akhirnya terus-menerus mau bersembunyi dibawah kepak sayap orang tuanya. Nah itu sebabnya nasihat untuk orang tua adalah belajarlah elepaskan anak tapi persiapkan anak untuk bisa lepas.
Karena kalau kita hanya menyuruh anak untuk lepas dari kita, namun kita tidak mempersiapkannya untuk lepas dari kita ya kita merugikan dia. Nah kemandirian itu tidak bertumbuh secara tiba-tiba, kemandirian harus melewati proses waktu, jadi secara bertahap kita mesti mempersiapkan anak untuk mandiri bukan sebaliknya. Ada orang tua yang malah menggiring anak untuk terus mencari dan bergantung kepadanya itu tidak benar. Jadi setahap demi setahap berilah kemandirian, misalnya dalam hal-hal yang kecil misalnya model rambut. Biarkan anak itu memilih model rambutnya, kita bisa dan seharusnya memberikan pendapat pada masa anak-anak remaja, namun sekali lagi gaya bahasa kita persuasi. Kita katakan seharusnya atau sebaiknya begini dan sebagainya. Kalau anak-anak berkata: "Saya tidak mau," kita tanya kenapa, dia sebutkan alasannya. Jadi ada hal-hal yang kita akan katakan tidak apa-apa meskipun itu bukanlah sesuai dengan selera kita. Kalau hanya berkaitan dengan masalah gaya hidup, biarkan, tapi kalau menyangkut hal-hal yang bersifat moral, nah itulah waktunya kita bersikap tegas kita tidak berkompromi. Nah dengan cara-cara itu kita mulai mempersiapkan anak untuk lepas dari kita, kita juga mempersiapkan dia untuk mengambil keputusan, ini salah satu hal yang penting diajarkan orang tua kepada anak. Kadang-kadang anak bingung bagaimana mengambil keputusan, prosesnya mereka tidak tahu, nah orang tua berkewajiban memberitahukan kepada anak. Lihat baik-baik tanyakan cari pendapat, carilah informasi sebanyak-banyaknya kemudian bandingkan untung ruginya, baik-buruknya, prospeknya, masa depannya dan sebagainya, kesanggupan kita, nah hal-hal itu yang kita ajarkan kepada anak. Nah sehingga waktu mereka harus mandiri mereka sudah siap.
GS : Kalau di sisi yang lain Pak Paul, saya justru melihat kadang-kadang ada orang tua itu memaksakan anaknya supaya sedini mungkin bisa mandiri Pak Paul, padahal sebenarnya belum usianya, tapi dia sudah diserahi tanggung jawab yang berlebihan Pak Paul.
PG : Adakalanya keadaan keluarga memaksa anak-anak untuk mandiri misalkan kalau salah satu orang tuanya tidak ada di rumah karena perceraian atau karena bekerja di luar kota atau karena meninggl dunia.
Nah pada umumnya dalam kondisi seperti itu akan ada anak-anak yang dipaksa untuk mandiri lebih dini, nah itu adalah bagian kehidupan yang tidak bisa kita tolak, kita harus terima. Dan kemandirian juga bergantung pada budaya Pak Gunawan, budaya kita di sini cukup memberi waktu yang panjang untuk anak bergantung kepada orang tua. Tapi misalkan di budaya Amerika Serikat hal ini tidaklah terlalu panjang, begitu anak-anak lulus SMA mereka memang diminta untuk keluar rumah. Saya tahu ada kasus-kasus di mana anak-anak yang lulus SMA masih tinggal di rumah diminta untuk membayar sewa kamar oleh orang tuanya. Nah mereka memang dalam budaya Amerika itu sangat menekankan kemandirian sebab apa, sebab mereka tidak menghargai orang yang bergantung. Mereka menghormati orang yang bisa mencukupi dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain, jadi memang sejak kecil anak-anak didorong, dipaksa untuk mandiri. Contoh lain lagi sejak anak-anak masih kecil, anak-anak sudah harus tidur sendiri, dipisahkan dari kamar orang tuanya, nah hal-hal yang memang saya sendiri tidak lakukan. Tapi di budaya Amerika hal itu yang diharapkan dilakukan oleh para orang tua supaya anak-anak itu mandiri. Saya kira kemandirian harus dijaga dengan baik, karena kemandirian yang terlalu dini akan membuat anak tidak terlalu intim dengan kita, sebaliknya tanpa kemandirian anak-anak akhirnya akan menjadi terlalu intim dan bahkan terlalu melekat dan bergantung kepada kita, jadi mesti ada keseimbangan antara kemandirian dan juga keintiman.
GS : Apakah kemandirian sama dengan kesempurnaan itu Pak Paul?
PG : Tidak, nah ini kadang-kadang disalah mengerti oleh orang tua. Orang tua berkata kalau saya siap melepaskan kamu, itu berarti saya tahu kamu bisa melakukan semuanya dengan benar, nah saya kra itu konsep yang keliru.
Kita sendiri pun tidak selalu sempurna, kita tidak selalu membuat keputusan yang tepat untuk setiap masalah. Jadi biarkanlah anak belajar juga dari kesalahannya, jangan sampai kita terlalu memproteksi anak, menutup segala kemungkinan anak membuat kekeliruan. Adakalanya biarkan, biarkan dia tersandung, dia jatuh, biar dia belajar dari pengalaman yang negatif agar pengalaman ini menjadi bekal dan guru bagi dia.
GS : Cuma kemandirian di sini Pak Paul, sering kali itu terjadi secara emosional mungkin bisa mandiri dan sebagainya, tetapi secara finansial masih tetap tergantung pada orang tuanya Pak Paul.
PG : Memang adakalanya hal-hal ini tidak bisa kita cegah Pak Gunawan, adakalanya memang kita sebagai orang tua lebih kuat secara finansial dibandingkan dengan anak-anak kita, sampai usia tertenu barulah anak-anak itu lebih mampu lagi.
Jadi saya kira sampai batas tertentu kalau orang tua masih bisa membantu dan anak-anak juga menghargai bantuannya, tidak menjadi begitu bergantung pada orang tua tidak ada salahnya. Tapi sekali lagi jangan sampai karena orang tua sudah memberikan bantuan ekonomi, kemudian menggunakan bantuan ekonomi itu untuk menggencet si anak misalnya, untuk memanipulasi si anak. Jadi tetap prinsip pagar ini kita terapkan, ya kita memberikan bantuan tapi selama kita tahu si anak melakukan tugasnya dengan baik, hidup dengan baik, sudah kita jangan ikut campur dalam kehidupan keluarganya terlalu dalam. Ini yang sering terjadi kalau orang tua memberikan bantuan keuangan kepada anak, orang tua merasa mempunyai hak terlibat secara detail dalam kehidupan anaknya.
GS : Nah maksudnya bagaimana mendidik anak supaya anak itu juga siap untuk mandiri secara finansial, Pak Paul?
PG : Sudah tentu pendidikan yang cocok atau sesuai dengan anak ini harus kita perhatikan. Adakalanya anak memilih bidang yang tidak tepat, adakalanya kitalah yang memaksakan anak memilih bidangyang kita kehendaki namun tidak begitu dikuasai oleh anak.
Jadi pada masa-masa remajalah anak-anak ini mulai kita arahkan, bidang apa yang sesuai, yang dia sungguh-sungguh kuasai, yang dia juga inginkan nah ini tugas orang tua mulai membicarakan hal-hal seperti ini. Kedua, pada saatnya anak-anak mulai berkerja sekali lagi yang penting adalah kita melihat anak kita berusaha, apakah si anak akan menghasilkan uang seperti yang kita harapkan, itu memang kadang-kadang tidak bisa kita pastikan. Jadi kita harus berserah juga kepada Tuhan bahwa Tuhan akan memeliharanya dan kita pasrahkan, kita biarkan yang penting dia melakukan pekerjaan yang baik yang sesuai dengan kemampuan dan bidangnya itu.
GS : Pak Paul, kita sebagai orang tua itu kadang-kadang bukan merasa kita itu melanggar pagar atau melampaui batas yang sudah disepakati bahwa kita sudah masuk ke wilayah anak. Kita berpendirian bahwa ini adalah untuk kebaikan anak kita itu.
PG : Itu sering saya dengar Pak Gunawan, jadi orang tua mendapatkan pembenaran melakukan atau mencampuri urusan anaknya sedemikian jauh karena merasa saya berniat baik untuk kepentinganmu saya egini, untuk kebaikanmu saya begini.
Sudah tentu ada waktunya, ada tempatnya bagi orang tua mengemukakan pandangannya, memberikan arahannya kepada anak, sudah tentu itu semua ada. Namun sampai titik terakhir orang tua harus berkata terserah engkau, engkau putuskan engkau bertanggung jawab jadi jangan sampai orang tua mau terus terlibat dan membenarkan keputusannya dengan berkata saya memang berniat baik jadi tetap kita menghormati teritori si anak itu.
GS : Nah kalau hal itu tidak bisa diterima oleh anak tetapi orang tua tetap memaksakan campur tangannya ini bagaimana jadinya Pak?
PG : Bahayanya begini, kalau orang tua terlalu campur tangan misalkan si anak mengalami problem si anak nanti yang akan menyalahkan orang tua, semua gara-gara salah papa-mama, sebab papa-mama yng minta saya begini.
Nah kita mendidik si anak untuk dewasa, dewasa berarti berani memikul tanggung jawab atas konsekuensinya itu, nah kalau kita terlalu campur tangan mengurusi anak seperti itu kita benar-benar membuka peluang menjadi orang yang akan disalahkan oleh si anak. Jadi saya kira kita mesti belajar dari Tuhan, Tuhan sudah tahu sebelum manusia diciptakan bahwa manusia akan berdosa. Tapi itu toh tidak menghentikan Tuhan menciptakan manusia dan itu pun tidak menghentikan Tuhan memberikan kehendak atau kesanggupan untuk memilih pada manusia, Dia tetap berikan itu dan ternyata memang benar-benar manusia memilih yang salah, manusia memilih dosa tapi tetap Tuhan memberi kebebasan itu kepada manusia. Sebab makna patuh dan makna kasih hanya akan ada di dalam kedewasaan, di dalam kemerdekaan untuk berpikir, untuk berkehendak, untuk memilih nah itu harus menjadi prinsip kita juga dalam membesarkan anak-anak.
GS : Tetapi memang ada beberapa etnis tertentu yang sejak kecil anaknya itu diajari hormat kepada orang tua sampai dia dewasa pun tetap hormat dalam pengertian, apapun yang dikatakan orang tua itu benar.
PG : Itu memang sering kita dengar Pak Gunawan, tapi kita berbicara apa adanya, bukankah kita sebagai orang tua mengakui bahwa kita tidak selalu mengambil keputusan yang benar, kita tidak selal tahu pasti apa yang seharusnya kita perbuat.
Jadi kita bukanlah orang yang tidak bisa berbuat salah, kita bisa berbuat salah nah bagian ini juga harus kita tunjukkan kepada anak-anak dan tidak menanamkan konsep kepada anak-anak bahwa kita orang tua pasti benar dan pasti tahu apa yang paling baik untuk anak-anak, kita tidak selalu tahu pasti.
GS : Jadi unsur saling menghargai ini harus betul-betul kita kembangkan di dalam kehidupan berkeluarga ini Pak Paul. Nah ayat firman Tuhan yang mendukung ini apa Pak Paul?
PG : Saya akan bagikan dari Amsal 10:21, "Bibir orang benar menggembalakan banyak orang." Kata menggembalakan ini dari kata to nourish, memberikan gizi, memberikan makanan. Jadi kalau orang bisa mengucapkan, mengatakan hal-hal yang benar, hal-hal yang baik karena orang itu adalah orang yang benar maka tindakan atau kata-katanya itu akan memberikan gizi, menyenangkan, menguatkan, membangun orang-orang di sekitarnya dan akhirnya kita bisa menggembalakan. Jadi sebagai orang tua pelajaran bagi kita adalah kalau kita mau menggembalakan anak dan anak-anak mau digembalakan oleh kita prasyaratnya harus kita penuhi, kita harus menjadi orang yang benar, harus menjadi orang yang hidup dalam Tuhan, takut akan Tuhan dan mempunyai hikmat juga dari Tuhan. Dengan cara itulah anak-anak akan hormat kepada kita, kita bisa menggembalakan mereka. Justru kalau kita campur tangan, mengaduk-aduk hidup mereka sering kali akibatnya lebih negatif, mereka tidak mau digembalakan oleh kita, mereka akhirnya mengambil jalan yang serong.
GS : Dan itu mungkin jadi penyesalan buat orang tua yang sudah terlanjur. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pagar antara Orang Tua dan Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang, Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.