Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Model-model Pernikahan". Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
PG : Saya baru saja membaca sebuah buku yang sangat menarik sekali, buku itu berjudul "Why Marriages Succeed or Failed", mengapa pernikahan bisa sukses atau justru berantakan atau gagal. Teryata ada beberapa hal yang indah yang bisa saya temukan dari buku tersebut.
Buku yang ditulis oleh John Gartmand ini memaparkan bahwa sebetulnya pernikahan itu sangat unik sekali, seperti baju yang kita pakai itu tidak bisa pas untuk semua orang. Baju itu bisa pas untuk saya tapi mungkin tidak pas untuk orang lain, nah demikian juga dengan pernikahan. John Gartmand sebelum dia menulis buku ini dia melakukan penelitiannya dan dari penelitiannya itu dia mendapatkan sekurang-kurangnya 3 model pernikahan, nah nanti inilah yang akan kita bahas bersama Pak Gunawan dan Ibu Ida.
(1) GS : Yang dimaksud model itu dalam arti kata apa, Pak Paul?
PG : Model adalah gaya berelasi, namun secara spesifik yang menjadi tolok ukurnya John Gartmand ini adalah gaya menyelesaikan konflik. Jadi dari gaya menyelesaikan konflik yang unik dan berbda inilah dia membagi kira-kira ada 3 model pernikahan.
Di mana tiga-tiganya sebetulnya bisa berjalan dengan baik, adakalanya kita beranggapan bahwa pernikahan yang kuat atau yang sehat haruslah mengikuti pola tertentu atau gaya hidup tertentu, atau gaya membereskan konflik yang tertentu pula. Ternyata bagi Gartmand pandangan itu tidak tepat, dari risetnya dia menemukan ada beberapa model pasangan yang mempunyai cara hidup yang berbeda namun toh berhasil mempertahankan pernikahan mereka dengan lumayan baik, dengan lumayan sehat. Jadi bukannya karena keterpaksaan mereka saling setia dalam pernikahan tapi memang masing-masing bisa menikmati pernikahan itu dan bisa berkata ini pernikahan yang sehat. Namun caranya justru sangat berbeda dari cara yang biasa kita anggap sebagai yang sehat itu.
IR : Contoh konkretnya model seperti apa saja, Pak Paul?
PG : Ada 3 Bu Ida, jadi kita akan bahas mungkin yang pertama dulu sekarang. Yang pertama adalah disebut "validating", pasangan yang "validating" adalah pasangan yang saling mengukuhkan, salig menguatkan satu sama lain.
Jadi ada beberapa cirinya pasangan yang seperti ini, pertama dia tekankan pasangan ini sangat menekankan komunikasi dengan kepala dingin. Jadi mereka tidak berteriak, tidak marah-marah namun kalau ada problem mereka mencoba duduk bersama dan membereskannya dengan kepala dingin. Dan mereka biasanya mampu mendengarkan dan memahami pendapat atau perasaan pasangan-pasangannya walaupun tidak harus menyetujuinya. Jadi dalam pendiskusian masing-masing dengan bebas boleh mengutarakan perasaannya, namun dijaga jangan sampai diskusi itu berubah menjadi suatu pertengkaran yang hangat.
GS : Dalam hal ini, dalam model yang pertama ini apakah mereka bisa saja berbeda pendapat Pak Paul, tapi diutarakan dengan kepala dingin. Tapi bukankah itu sulit untuk orang bisa terus-menerus kepala dingin pada saat dia itu justru marah, berbeda pendapat dengan pasangannya?
PG : Rupanya memang orang-orang yang masuk dalam kategori "validating", yang saling mengukuhkan ini adalah orang-orang yang relatif mampu untuk menguasai perasaannya. Jadi memang kita harus kui ada orang yang lebih mudah untuk beremosi, ada yang lebih lamban beremosi, jadi reaksinya itu tidak terlalu cepat.
Waktu ada hal-hal yang mengganjal dan menjengkelkannya ya pasti jengkel, tapi dia tidak terlalu mudah atau cepat bereaksi secara emosional. Nah rupanya ini yang dimaksud oleh John Gartmand ada orang-orang yang memang seperti ini tidak cepat bereaksi, sehingga mereka mampu duduk bersama dan mengungkapkan perasaan-perasaan mereka tanpa harus saling marah.
GS : Lalu bagaimana mereka itu menyelesaikan konflik yang terjadi di antara mereka?
PG : John Gartmand berhasil mengidentifikasi sekurang-kurangnya ada 3 tahapan dalam proses menyelesaikan konflik. Yang pertama adalah mereka akan duduk bersama memberikan kesempatan untuk paangannya mengeluarkan unek-uneknya dan ya mereka akan saling mendengarkan unek-unek tersebut.
Nah waktu mereka mendengarkan dan memberi kesempatan kepada pasangannya mengeluarkan unek-unek ini yang disebut olehnya "validation" memberikan pengukuhan, mengakui bahwa inilah yang menjadi unek-unekmu. Langkah kedua, setelah saling mendengarkan dan saling mengeluarkan unek-unek, masing-masing akan mencoba meyakinkan lawan bicaranya akan kebenaran pendapatnya. Kenapa dia bersikap seperti ini dan inilah alasan-alasannya, jadi dengan kata lain masing-masing akan berupaya membujuk pasangannya untuk bisa mengakui bahwa dia benar. Nah tahapan ini disebut oleh John Gartmand tahap pembujukan. Yang terakhir adalah di mana masing-masing mencoba OK-lah ini pendapatmu, ini pendapatku bagaimana sekarang kita bernegosiasi, berkompromi, nah ini tahapan yang disebut memang tahap kompromi. Jadi masing-masing mencoba untuk mengalah atau menemukan titik temu atau jalan keluar dari masalah mereka.
GS : Apakah dengan model seperti itu, selalu akan tercapai kompromi, Pak Paul?
PG : Saya duga tidak selalu, tapi kemungkinan tercapainya saya kira lumayan besar, karena masing-masing berkesempatan untuk mendengarkan posisi pasangannya dan juga masing-masing merasa bahw dia dimengerti oleh pasangannya.
Bahwa yang dia katakan itu sudah didengarkan dimengerti, nah sekarang masalahnya adalah bagaimana mencapai titik temunya. Meskipun tidak ada jaminan mereka pasti menemukan titik temu, namun saya kira kemungkinan besar mereka akan mencapai titik temu itu.
GS : Tapi dalam tahap yang saling mempengaruhi itulah saya rasa bisa lama, bisa sebentar Pak Paul?
PG : Betul sekali, jadi bisa kalau masalahnya tidak terlalu prinsip bisa diselesaikan dengan cepat, tapi kalau masalahnya yang cukup prinsip, bisa berlangsung berhari-hari, Pak Gunawan.
GS : Karena bukankah masing-masing akan meyakinkan lawan bicaranya itu untuk menerima argumentasinya.
PG : Tepat sekali, namun rupanya sampai titik tertentu setelah mereka rasakan tidak bisa lagi saling mempengaruhi, maka keduanya akan bersedia (saya garis bawahi kata bersedia), bersedia untk mundur selangkah agar keduanya bisa menemukan titik temu di antara keduanya itu.
IR : Nah kira-kira tindakan konkret apa Pak Paul?
PG : Yang mereka lakukan secara konkretnya adalah mereka senantiasa berupaya memelihara komunikasi, jadi kalau ada apa-apa yang mengganjal, mengganggu, mereka tidak dengan sengaja menyembunykannya, tapi mereka mencoba untuk membicarakannya.
Yang lainnya lagi adalah mereka berupaya untuk saling terbuka, jadi tidak mau menutup-nutupi apa yang sedang mengganjalnya. Berikutnya mereka secara konkret untuk tetap mesra dengan satu sama lain, meskipun ada perbedaan, mereka tetap menjaga adanya kemesraan di antara mereka. Dan yang terakhir tindakan konkretnya adalah pasangan yang "validating" ini berupaya membagi waktunya dengan pasangan, mengerjakan aktivitas atau hobbynya secara bersama-sama, jadi dengan kata lain mereka mencoba untuk bisa menjaga kebersamaan tersebut.
GS : Apakah model "validating" ini dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan atau kematangan pribadi dari keduanya atau apa, Pak Paul?
PG : Saya kira semuanya itu mempengaruhi Pak Gunawan, jadi kematangan pasti mempengaruhi, latar belakang keluarga atau sosial juga mempengaruhi, lingkungan bagaimana dia dibesarkan juga mempngaruhi.
Tapi saya kira juga secara biologis kepribadian mereka juga mempengaruhi, karena ada orang-orang yang memang mudah untuk menguasai perasaannya, karena memang secara biologis dia adalah orang yang lebih reaktif. Nah yang menarik bukankah model ini adalah model ideal dan kita senantiasa berupaya menjadikan pernikahan kita seperti ini. Nah, John Gartmand mengakui ini model yang baik, model yang sehat tapi ternyata ini model yang punya kelemahannya pula. Jadi toh tidak sempurna dan bahkan yang dia tekankan dalam buku itu adalah model-model yang lainnya sama absahnya, sama-sama baiknya. Sebab masing-masing punya kekuatan dan juga kelemahannya.
GS : Apa kelemahannya Pak Paul dari model seperti itu?
PG : Yang paling utama adalah suami-istri cenderung mengorbankan minat pribadinya demi kebersamaan dengan pasangannya. Nah dalam pernikahan ini saya menggunakan istilah pernafasan pernikahan istilah ini sebenarnya dikeluarkan oleh Dr.
James Dobson seorang Psikolog Kristen dari Amerika Serikat. Nah Dr. James Dobson menekankan bahwa pernikahan yang sehat perlu memiliki yang dia sebut pernafasan pernikahan atau maksudnya adalah ruangan untuk bergerak. Adakalanya pernikahan itu menjadi sepertinya lintah yang menempel di badan manusia sangat akrab, nah justru yang ditekankan oleh James Dobson adalah pernikahan yang sehat tidak senantiasa harus lekat atau dekat. Adakalanya dekat, adakalanya harus mundur supaya apa, supaya pasangannya memperoleh kesempatan untuk mengembangkan hidup pribadinya dan ini yang disebut nafas pernikahan, bisa dekat, bisa agak mundur. Jadi saya kira model pertama ini akan kehilangan kesempatan bagi si individu, masing-masing individu untuk mengembangkan kehidupan pribadinya. Sebab hampir semua hal akan diukur dari satu ukuran yaitu kebersamaan. Waktu seseorang misalnya si istri mulai mengembangkan minat pribadinya, si suami mungkin akan merasa engkau mulai meninggalkan saya, kok kita tidak bersama-sama lagi. Waktu si suami mau pergi sekali-kali dengan teman-teman prianya ke gereja, si istri akan berkata kenapa tidak mengajak istrimu, kalau mau pergi ajak istri juga dong. Jadi dengan kata lain sangat mengidealkan, mengagungkan kebersamaan. Nah dalam batasan tertentu itu sehat, tapi saya sangat menyetujui konsep yang ditawarkan dari James Dobson, bahwa pernikahan itu atau pernikahan yang sehat justru tidak senantiasa harus bersama terus-menerus. Adakalanya justru berikan ruangan bagi pasangan kita untuk mengembangkan hidupnya secara pribadi. Kita tahu kapan kita bersama-sama, kita tahu kita adalah pasangan yang kuat, saling memperhatikan, tapi adakalanya kita juga perlu untuk bernafas bersama-sama dengan teman kita juga, nah itu baik.
GS : Saya rasa kadang-kadang itu perlu untuk menghindari kejenuhan, tapi memang dibutuhkan pengorbanan. Tapi bukankah semestinya semua bisa dilakukan oleh istri, tapi karena kita membiarkan dia pergi atau memberi kesempatan dia pergi supaya terjadi nafas, pekerjaannya akhirnya kita yang ambil alih, Pak Paul. Seperti menanak nasi mungkin dan sebagainya?
PG : Betul, dan saya setuju dengan Pak Gunawan bahwa itu justru ada faedahnya, tidak selalu jelek. Saya berikan contoh, beberapa waktu yang lalu istri saya meninggalkan kami satu keluarga unuk pergi ke Jakarta selama kira-kira 4 hari.
Nah sepulangnya istri saya, istri saya berkata aduh saya ini merasa sangat senang, dia bilang terima kasih ya memberi saya izin pergi ke Jakarta. Dia bisa bertemu dengan teman baiknya, ngobrol dan sebagainya tanpa direcoki/diganggu oleh anak-anak. Nah ini adalah kemajuan besar buat istri saya, sebelumnya dia tidak pernah bisa melakukan hal ini. Dan selalu merasa bersalah kalau tidak bersama-sama keluarga, dia harus bersama-sama dengan anak-anak, kalau saya dan istri sering berpisah kadang-kadang saya pergi keluar pulau atau apa tapi dia tidak pernah berpisah dengan anak-anak. Ini baru pertama kali dan dia kembali justru merasa sangat senang dan dia berkata ini pun baik buat anak-anak, karena anak-anak sangat kehilangan dia, sangat menghargai kehadirannya. Jadi dia berkata, ya kalau saya di rumah terus-menerus anak-anak ini tidak menghargai saya, bagus jugalah saya pergi, benar-benar mereka menghargai saya.
IR : Jadi perlu di coba, Pak Paul?
GS : Jadi kesimpulannya apa Pak Paul dari tipe ini atau model ini?
PG : Kesimpulannya ini model yang baik, jadi banyak pernikahan yang seperti ini dan bertahan lama. Namun kita mesti ingat kelemahannya, kelemahannya adalah masing-masing tidak bisa mengembankan kehidupan pribadinya.
Bahkan ada kecenderungan kalau seorang mulai mengembangkan kehidupan pribadinya dia akan merasa bersalah, seolah-olah kok saya berbuat ini, melakukan hal ini, tidak bersama keluarga saya atau istri saya atau suami saya. Dia merasa sangat bersalah lagi, nah otomatis yang saya maksud bukan perbuatan dosa. Nah adakalanya baik bisa mengembangkan kehidupan pribadi tapi juga hati-hati yaitu adakalanya justru karena yang satunya merasa kurang aman dia akan berupaya untuk memancing atau menimbulkan rasa bersalah dari pasangannya. Kenapa engkau tidak mengajak saya, kenapa engkau sekarang egois, nah tidak seharusnya dan tidak selalu tindakan-tindakan yang mengembangkan kehidupan pribadi dianggap sebagai tindakan yang egois. Karena pada akhirnya sewaktu dua-dua merasa sangat cukup dan sangat puas, dia akan memberikan sumbangsih yang justru lebih sehat pada pernikahan itu sendiri.
IR : Nah kira-kira model yang berikutnya apa, Pak Paul?
PG : Model berikutnya adalah ini dia yang sangat menarik, model yang sering kali dianggap sangat-sangat destruktif, sangat berpotensi menghancurkan keluarga. Yakni dalam bahasa Inggrisnya diebut model "volatile".
"Volatile" itu berarti tidak stabil mudah naik turun. Nah dia memberikan beberapa ciri pada pasangan yang masuk dalam kategori model "volatile" ini. Yang pertama adalah sering kali pasangan ini bertengkar, jadi pertengkaran itu bukannya jarang tapi lumayan sering, misalkan seminggu sekali mereka bisa bertengkar. Dan yang menarik adalah pertengkaran itu biasanya berkaitan dengan hal-hal yang sepele, kenapa handuk ditaruhnya begini, kenapa tadi engkau tidak mengajak saya, kenapa jalan tidak melihat sampai nyenggol begitu. Jadi hal-hal yang kecil-kecil akhirnya menjadi sumber keributan, tapi ciri yang unik dari pasangan ini adalah meskipun mereka lumayan bertengkar, namun mereka itu berhasil mengkompensasikan pertengkaran-pertengkaran tersebut dengan kehangatan dan keakraban. Maksudnya begini, mereka menjadi pasangan yang lumayan sering bertengkar tapi mereka adalah pasangan yang hangat, yang sangat mesra, saling memperhatikan, saling mengetahui kebutuhan pasangannya dan mencoba untuk memenuhinya jadi seolah-olah sangat kontras sekali naik turunnya. Di satu pihak bertengkar dan kalau bertengkar lumayan panas, namun luar biasa hangatnya dan saling mencintainya.
GS : Dalam hal tipe atau model seperti itu, bagaimana caranya mereka itu kalau menyelesaikan konflik, karena seringnya terjadi konflik?
PG : Yang menarik adalah mereka itu langsung ke sebetulnya ke tahapan yang kedua kalau kita tadi membahas bahwa pasangan yang pertama "validating" itu pasti akan memulai dengan mendengarkan asangannya, mengeluh, mengeluarkan unek-unek, di mana masing-masing mengkomunikasikan apa itu yang mengganggu dirinya.
Nah pasangan yang "volatile", yang naik turun ini, yang kurang stabil, tidak. Tidak ada lagi waktu saling mendengarkan, dua-duanya mungkin bicara pada waktu yang bersamaan. Dan dengan nada yang tinggi, artinya apa, mereka tidak memberikan kesempatan untuk mendengarkan dan tidak memberikan kesempatan kepada pasangannya untuk mengutarakan unek-uneknya juga. Sebab masing-masing akan sibuk untuk saling membela dirinya, tahap kedua membenarkan tindakannya, menuntut pasangannya untuk begini dan begitu. Tapi aneh bin ajaibnya adalah pada akhirnya mereka itu seolah-olah bisa menyelesaikan problemnya dalam pengertian ya melalui konfrontasi, argumen-argumen yang keras, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, tapi akhirnya mereka bisa mengerti bahwa itulah yang diminta oleh pasangannya dan yang satunya akan berkata OK-lah saya akan setujui. Jadi mungkin kali panas tapi akhirnya bisa terselesaikan karena yang satu mengerti, yang satu mengalah, OK-lah saya akan ikuti. Nah itulah tipe pertengkaran dan tipe bagaimana mereka membereskan pertengkaran itu.
IR : Tapi itu dibutuhkan jiwa yang sportif, Pak Paul.....?
PG : Betul sekali, itu hal yang penting sekali Ibu Ida. Jadi kalau masing-masing itu mau menang sendiri sama sekali tidak mau mengalah, ya tidak bisa memang, jadi jiwa sportif itu harus ada.
GS : Tindakan konkret apa Pak Paul yang dibutuhkan atau tampak nyata di dalam pasangan, dengan model seperti itu?
PG : Ada beberapa Pak Gunawan, yang pertama adalah orang-orang ini sangat menekankan kejujuran dan keterbukaan. Jadi kalau ditanya apa falsafah pernikahan saudara, falsafahnya pasti adalah jjur dan terbuka begitu, pokoknya ada apa-apa harus ngomong langsung.
Nah berikutnya adalah tindakan yang biasanya kita lihat dalam hubungan mereka, mereka memang sarat dengan kemarahan, namun juga penuh dengan kemesraan. Banyak moment yang menyakitkan, tapi banyak moment-moment yang indah pula begitu.
GS : Mungkin tipe ini pernah terlihat itu ada pasangan yang sering bertengkar, konflik tapi anaknya banyak, mungkin karena itu. Tadi Pak Paul katakan seperti yang pertama tadi 'kan tiap-tiap model pernikahan itu punya kelemahan Pak Paul, sekalipun itu berhasil mengatasi konflik kelemahannya bagaimana....?
PG : Nah pasangan yang "volatile" ini titik kelemahannya adalah yaitu mereka langsung bicara apa yang mereka rasakan, kalau tidak hati-hati dan akhirnya melewati batas mereka akan saling menhancurkan.
Jadi kata-kata yang mereka lontarkan benar-benar seperti pisau yang tajam dan menghujam ulu hati pasangannya, nah itu bahaya. Jadi pasangan yang pertama memang memiliki kelemahan, kelemahannya cukup serius sebetulnya, sebab orang yang kehilangan dirinya atau kehidupan pribadinya lama-lama bisa berontak sehingga menimbulkan masalah yang besar dalam pernikahan itu. Kalau yang "volatile" yang memang penuh emosi ini kelemahannya adalah kadang-kadang mereka akan keceplosan membicarakan dengan kasar dan keras, saling caci maki. Nah kita tahu hal-hal yang dikatakan oleh pasangan kita yang kasar dan menghina kita, pasti akan merusak dan merobek-robek hati kita dan bukan saja menimbulkan luka tapi kebencian pada pasangan kita. Dan biasanya waktu kita dirobek-robek kita tidak tinggal diam akan balas merobeknya pula dan akhirnya memang pasangan ini kalau tidak menjaga batas dalam kemarahannya, dalam waktu sekejap karena emosi yang tinggi bisa berkata OK! Kita pisah, misalnya seperti itu. OK! Saya tidak butuh engkau lagi atau silakan engkau keluar dari rumah, aku tak butuh engkau lagi, nah itu kata-kata bisa terlontar dengan sangat mudah. Dan yang fatal adalah OK! kita cerai sekarang, saya tidak takut hidup tanpa engkau, yang satunya menimpali saya juga tidak takut hidup tanpa engkau. Akhirnya dua-duanya saking emosi kebablasan, kelewatan.
GS : Tapi mungkin selama mereka masih membicarakan masalahnya, bukan orangnya, mereka masih bisa berkomunikasi, Pak Paul?
PG : Betul, masalahnya adalah pasangan yang "volatile" ini mereka akhirnya mudah sekali tersedot kepada orangnya yang diserang. Karena sekali lagi emosi yang begitu tinggi akhirnya ya membua dia lupa daratan dah, bahkan ini adalah model pasangan yang kalau tidak hati-hati akan berakhir dengan pemukulan, kekerasan jadi akhirnya saling menampar, saling mendorong, akhirnya saling memukul atau yang satu dipukuli oleh yang satunya.
GS : Ada yang berpendapat bahwa kalau orang suka ceplas-ceplos seperti ini, kalau ada orang lain yang mengatai dia, lebih tahan katanya, Pak Paul. Jadi tidak gampang tersinggung dibandingkan dengan orang yang diam.
PG : Mungkin maksudnya tidak tersinggung dalam pengertian dia tidak mengingat-ingat karena dia langsung balas dan dia keluarkan perasaannya, mungkin tidak tersinggung dalam pengertian itu. Tpi saya duga waktu diserang, tetap dia marah, tetap dia tersinggung, namun bedanya adalah dia langsung keluarkan kembali kemarahan tersebut, dia tidak simpan.
Sehingga kemungkinan memang kemarahan itu akhirnya reda dan dia tidak lagi mengingat-ingat apa yang dikatakan oleh orang lain itu.
IR : Tapi kalau pertengkaran itu terus-menerus Pak Paul 'kan memang bahaya, bisa menjurus ke perceraian.
PG : Betul, saya sangat berkeyakinan bu Ida bahwa pertengkaran itu bukanlah bumbu pernikahan, pertengkaran itu sebenarnya adalah racun dalam pernikahan. Sebab saya bukannya membicarakan perbdaan pendapat, saya bicara pertengkaran yang saling ribut, saling marah dan sebagainya.
Sebab biasanya waktu kita bertengkar seperti itu kita menyakiti pasangan kita, kita menyakiti dan menyakiti, itu sama dengan merobek, jadi semakin sering bertengkar, semakin besar robekannya.
GS : Itu belum lagi dampaknya ke anak-anak, yang melihat itu Pak Paul?
PG : Betul, dan untuk menjahit robek yang sudah besar itu memerlukan waktu yang lama.
GS : Pak Paul, saya rasa memang masih ada tipe yang lain yang harus kita bicarakan tapi ini rupa-rupanya waktu kita juga tidak banyak, namun pada kesempatan yang akan datang pasti kita akan bicarakan itu. Tapi mungkin Pak Paul bisa sebutkan tipe yang ketiga itu Pak Paul.
PG : Tipe yang ketiga adalah tipe "avoidant", model "avoidant" adalah pasangan yang justru ya mencoba menghindarkan diri dari pertengkaran, jadi kebalikannya dari yang "volatile" itu.
GS : Itu nanti akan kita bicarakan pada kesempatan yang akan datang dan kami harapkan tentu para pendengar yang sudah mengikuti acara ini akan bisa mengikuti pada kesempatan yang akan datang. Nah sehubungan dengan model-model seperti ini Pak Paul yang tentunya pasti kamu percaya Tuhan yang menjodohkan mereka bagaimanapun juga dan itu tidak akan keliru Pak Paul. Nah apa yang firman Tuhan itu mau katakan?
PG : Saya akan bacakan dari kitab Efesus 4:1 dimulai di firman Tuhan, "Sebab itu aku menasihatkan kamu, aku orang yang dipenjarakan karena Tuhan, supaya hidupmu sebagai orang-orng yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu."
Jadi pada intinya lepas dari model pernikahan dan siapa kita dan apa kepribadian kita, kita dipanggil Tuhan hidup untuk sepadan dengan panggilan Tuhan itu. Jadi tolok ukurnya tetap adalah Tuhan apa yang Tuhan inginkan, apa yang Tuhan memang kehendaki itulah yang coba kita lakukan.
GS : Kita tidak perlu mencontoh bentuk yang lain Pak Paul ya, sesuai dengan yang Tuhan anugerahkan kepada kita ?
GS : Jadi para pendengar yang kami kasihi demikianlah tadi kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang model pernikahan dan baru dua model yang bisa kami sampaikan namun Anda bisa mengikutinya pada kesempatan yang akan datang 'tuk kelanjutan perbincangan kami pada saat ini. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.
PERTANYAAN KASET T 55A
- Apakah yang dimaksud model dalam pernikahan …?
- Apa sajakah model-model tersebut…?
END_DATA