Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang pendidikan anak. Kami percaya acara ini pasti akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
(1) GS : Pak Paul, ada satu ayat yang saya baca dalam kitab Amsal yang terus terang agak membingungkan saya. Ayat itu dari Amsal 19:18, yang berkata: "Hajarlah anakmu selama ada harapan, tetapi jangan engkau menginginkan kematiannya." Jadi ini mungkin Salomo Pak Paul yang menuliskan Amsal ini yang mengatakan 'hajarlah anakmu'. Ini terus terang yang agak membingungkan saya. Sering kali saya mendengar kata-kata itu sebagai suatu tindakan kekerasan seorang ayah atau seorang dewasa terhadap anaknya. Tapi firman Tuhan ini justru mengajarkan atau mengatakan kepada kita untuk menghajar anak kita selama ada harapan, tapi jangan engkau menginginkan kematiannya. Yang belakang mungkin jelas itu, seorang ayah tentu tidak menginginkan kematian anaknya tetapi kata-kata menghajar apalagi kalau kita kaitkan dengan keadaan masa kini apa masih relevan Pak Paul untuk memukul atau menghajar anak, bagaimana itu Pak Paul?
PG : Memang kata menghajar bisa menimbulkan kesalahpahaman, karena dalam benak kita sewaktu kita mendengar kata hajar yang muncul adalah suatu tindakan yang keras Pak Gunawan, nah kita perlumemahami makna dari kata hajarlah.
Sebetulnya makna kata hajarlah di sini adalah disiplinkanlah, jadi disiplin itu memang memerlukan suatu tindakan yang ketat tapi bukan tindakan yang keras nah itu adalah dua kata yang berbeda. Disiplin tidak bisa tidak dikaitkan dengan suatu tindakan ketat kalau tindakan kita lembut, lembek, lunak itu tidak dikaitkan dengan kata disiplin. Jadi memang betul ada unsur ketatnya di situ, namun ketat tidak harus berarti keras jadi yang dimaksud oleh firman Tuhan adalah disiplinlah dengan ketat, pada waktu anak-anak kita itu masih mempunyai harapan. Jadi dalam pengertian pada masa di mana memang anak itu masih bisa dibentuk, jadi harapan di sini menunjukkan anak-anak memang masih bisa diharapkan untuk dibentuk atau diubah atau diarahkan jangan sampai kita ini terlambat, itu kira-kira maknanya Pak Gunawan.
(2) GS : Ya tetapi yang saya rasakan juga agak sulit Pak Paul, memang ketat tetapi tidak keras. Kadang-kadang kita kehabissan kesabaran di dalam kita mendisiplin anak dengan ketat itu, sehingga kita bertindak secara kasar, nah itu bagaimana Pak Paul mengontrolnya?
PG : OK! Pertama-tama kita mesti menyadari titik mendidih kita atau titik didih kita. Dan kita harus hindarkan jangan sampai titik didih itu sudah di depan mata baru kita bereaksi terhadap aak.
Ada kecenderungan ini yang kita lakukan Pak Gunawan dan saya pun menyadari saya melakukan hal yang serupa. Yaitu waktu anak saya berbuat sesuatu yang tidak saya sukai saya cenderung mendiamkan, saya tidak langsung bereaksi memberikan peringatan. Namun tatkala dia melakukannya sudah beberapa kali atau misalkan tidak di hari yang sama, di hari-hari yang lain dia melakukannya lagi nah tiba-tiba tanpa saya sadari kemarahan saya itu bisa langsung mencuat. Pada waktu itulah kemarahan saya akhirnya sebetulnya sudah mencapai titik didih, sehingga waktu saya marah, benar-benar marah. Jadi yang saya anjurkan adalah kita mesti sadari titik didih kita itu kemudian kita mencoba untuk mulai bereaksi kepada anak sebelum kita mendekati titik didih kita itu. Dan mulailah kita sampaikan teguran tersebut jauh sebelum kita mendidih, nah kira-kira itu saran praktisnya Pak Gunawan.
(3) IR : Tapi rata-rata Pak Paul, sering kali orang tua mendisiplinkan anak-anak yang masih kecil dengan pukulan, itu kira-kira sampai usia berapa anak itu harus didisiplin dengan pemukulan?
PG : Saya kira anak-anak masih bisa kita disiplin dengan pukulan sampai anak-anak itu berusia sekitar 10 tahun, setelah usia 10 tahun pemukulan itu sebetulnya tidak lagi efektif sebagai alatuntuk mendisiplin si anak.
Tidak efektif dalam pengertian setelah usia anak-anak mendekati pra-remaja atau mencapai usia remaja, mendisiplin dengan pukulan justru lebih berdampak negatif dan tidak lagi efektif dalam mengarahkan atau membentuk perilaku anak. Yang akan keluar dari si anak bukannya respek tapi kebencian atau kemarahan, sebab tatkala anak dipukul apalagi kalau dia sudah mencapai usia remaja yang akan muncul di hatinya adalah rasa marah. Kenapa? Sebab dia merasa sakit hati, bagaimanapun yang namanya pemukulan itu akan menciptakan rasa sakit hati pada si korban. Nah, pada saat-saat itu yaitu sekitar usia pra-remaja atau remaja, pemukulan akhirnya hanyalah menyuburkan perasaan marah pada diri si anak, sehingga mungkin saja si anak akhirnya menghentikan perilakunya. Tapi biasanya hanyalah untuk sementara, pada waktu si ayah atau si ibu yang memukul itu tidak ada di tempat dia akan melakukannya lagi dan ada kemungkinan dia akan melakukannya dengan sengaja. Kenapa dia melakukannya dengan sengaja seolah-olah untuk menunjukkan kepada si orang tua bahwa dia tidak tunduk kepada perintah mereka. Jadi yang efektif adalah kita ini mendisiplin anak dengan pukulan sampai batas kira-kira usia 10, 11 tahun, kalau setelah usia itu kita masih terus harus memukul dia, dapat saya simpulkan bahwa kita telah gagal mendisiplin si anak itu. Sebab teorinya atau secara teoritis yang tepat adalah kita mendisiplin dia dengan efektif sampai usia 10, 11 tahun setelah itu kita tidak perlu lagi menggunakan pemukulan, yang akhirnya lebih efektif adalah pada anak-anak usia remaja kita menggunakan dialog dan akhirnya kita menggunakan sistem sanksi yang nanti bisa saya jelaskan lagi.
GS : Kembali lagi pada pemukulan terhadap anak itu Pak Paul, memang kalau dilakukan pada usia sampai 10 tahun berarti anak itu masih lemah, kondisinya tidak sekuat orang dewasa atau sekuat remaja. Nah, kalau harus dilakukan pemukulan, tidak semua bagian tubuh bisa dipukul itu maksudnya?
PG : Tepat sekali Pak Gunawan, saya ini kadang-kadang melihat ada orang tua yang memukul anak itu sangat-sangat keterlaluan. Misalkan, saya masih ingat waktu saya masih SMP, ada teman saya stiap kali ayahnya memukulnya dia itu diikat di pohon, selama dia diikat dia dipukuli kemudian dia akan didiamkan di bawah pohon selama berjam-jam.
Nah, pemukulan seperti itu sudah sangat melewati batas. Jadi ada juga yang saya pernah dengar kasus di mana anak-anak misalnya diikat, diikat dekat keranjang, atau apa sehingga dia tidak bisa bergerak ke mana-mana persis seperti hewan. Nah itu semua adalah tindakan pemukulan yang melewati batas, yang boleh dilakukan oleh orang tua adalah memukul bagian (maaf) pantat si anak. Nah, saya juga mempunyai keyakinan bahwa Tuhan memberikan kita banyak daging di pantat itu dengan salah satu tujuan yaitu agar anak bisa menerima pukulan tanpa harus merasakan terlalu sakit. Waktu kita memukul badan si anak kita ini bisa melukai si anak, karena tubuh kita itu mempunyai tulang dan bisa saja tangan kita yang kuat atau kita menggunakan alat pemukul yang lain bisa meretakkan tulang si anak. Atau ada orang tua yang menggampar si anak, nah anak kecil kalau dipukul di kepala, digampar atau dijambak itu biasanya akan bereaksi dengan sangat marah. Karena saya kira ini memang sudah merupakan hukum alam, sudah bagian alamiah dalam diri kita, kita biasanya merasa marah sekali dan sakit hati, terhima sekali kalau kepala kita itu dijambak atau ditampar. Jadi jangan pukul kepala, saya juga tidak menganjurkan orang tua memukul kaki anak, sebab kaki itu juga ada tulang-tulang, ada tulang keringnya dan sebagainya itu juga berbahaya. Atau ada orang tua yang memukuli paha si anak, saya kira juga jangan paha sebab paha itu mempunyai daging-daging yang sebetulnya sangat lunak, sehingga biasanya kalau paha dipukul menimbulkan bekas-bekas yang merah, dan legam biru misalnya. Jadi kalau mau memukul anak, pukullah bagian pantatnya. Ada yang memang berpendapat memukul anak jangan menggunakan tangan sendiri misalnya menggunakan sapu lidi atau rotan, nah dalam hal ini saya tidak mempunyai suatu opini yang kaku harus dengan alat atau tanpa alat. Yang penting adalah kita mesti bisa tahu berapa jauh kita telah memukul dia atau berapa kerasnya kita telah memukul dia. Saya pribadi tidak memukul anak dengan alat lagi, dulu waktu anak-anak saya masih lebih kecil saya memukulnya dengan sapu lidi, sekarang tidak lagi. Sebab kenapa? Sebab akhirnya saya sadari bahwa dengan sapu lidi saya tidak bisa mengukur berapa kerasnya saya telah memukul dia. Waktu saya memukul dia dengan telapak tangan saya, justru saya lebih bisa mengontrol berapa kerasnya. Waktu itu saya pernah sekali memukul dia misalnya dengan tangan, saya tiba-tiba baru menyadari tangan saya juga cukup sakit, nah di saat itulah saya sadari, saya telah memukul dia terlalu keras, sejak saat itu saya tidak memukul dia dengan alat lagi, sebab saya berpikir saya tidak tahu berapa keras telah saya pukul dia, jadi tangan akhirnya saya gunakan untuk memukul.
IR : Pak Paul, kalau anak dipukul terlalu sering, apakah tidak menjadikan si anak ini juga mempunyai konsep, bahwa kelak kemungkinan juga dia akan memukul anaknya seperti itu?
PG : Betul sekali Ibu Ida, karena kita mencontoh perbuatan yang diperlakukan atau yang dilakukan terhadap kita. Jadi kalau misalkan kita dibesarkan di rumah di mana setiap kali orang tua menisiplin kita dengan memukul, akhirnya metode itulah yang kita kenal, kita tidak mengenal metode yang lain untuk mendisiplin anak, akhirnya apa yang terjadi tatkala kita sendiri mempunyai anak kita juga menerapkan metode yang sama, kita akan memukul anak kita persis sama seperti orang tua kita memukul kita.
(4) IR : Nah untuk mencegah itu, bagaimana Pak Paul? Atau kalau sudah terlanjur misalkan si anak ini sering dipukul supaya dia sendiri kelak jangan sampai memukul anaknya sendiri itu bagaimana Pak Paul?
PG : OK! Sebelum saya masuk ke situ saya mau tambahkan sedikit lagi tentang anak yang dipukul oleh orang tuanya. Selain akhirnya dia itu mencontoh metode tersebut si anak juga mengaitkan kemrahan atau mengekspresikan marah dengan pemukulan sebab itulah yang dia lihat.
Setiap kali misalkan orang tuanya marah, orang tuanya memukul dia, nah tanpa disadari akhirnya si anak mulai mengasosiasikan kedua hal tersebut, marah dengan pemukulan, lain kali waktu dia marah dia juga cenderung bereaksi atau memukul. Nah, kalau anak-anak ini memang dibesarkan dengan metode seperti itu kecenderungannya untuk mengulang besar sekali. Bagaimanakah dia bisa melatih diri agar tidak melakukannya, nomor satu kita mesti memberitahu dia bahwa metode itu bukanlah metode yang paling benar, sehingga dia sejak awalnya mulai menyadari jangan sampai saya ini melakukan hal yang sama. Yang kedua adalah dia mesti belajar cara yang lain, nah misalkan kalau si ayah memukul, namun ibu tidak memukul tapi berdialog dengan dia dan sebagainya, si anak itu sebetulnya juga telah belajar metode yang lain yakni dialog. Sehingga akhirnya waktu dia sudah besar, telah menjadi orang tua dia juga mempunyai pilihan yang lain. Lain perkara kalau dua-dua memukuli dia nah itu susah, tapi misalkan hanya satu yang memukuli yang satunya tidak, dia akan mendapatkan contoh yang positif yang lainnya itu. Nah, suatu saat nanti dia bisa mengingatnya dan mulai menerapkan cara yang lain, sebab dia juga melihat bahwa cara yang lain itu justru efektif. Yang ketiga adalah saran saya agar si anak itu belajar mengekspresikan kemarahan dengan cara yang lain. Nah, sejak dia masih remaja kita pantau apakah kalau dia marah, dia cenderung sepertinya beringasan, sepertinya mau bertindak secara fisik. Kalau kita melihat adanya gejala itu pada diri anak kita, kita mesti sering-sering bicara dengan dia, kita mesti ingatkan dia bahwa "Kalau marah kau bisa mengekspresikan kemarahanmu dengan cara yang lain, bagaimana saya bantu kamu, kalau engkau marah engkau bicara dengan aku, engkau bicaralah dengan saya, saya akan coba pancing emosimu dan agar engkau bisa berbicara, mengeluarkan melalui ucapan dan bukan melalui pukulan." Begitu kira-kira yang bisa kita lakukan.
IR : Nasihat saya sering kali saya kaitkan dengan firman Tuhan, saya sering kali nasihatkan untuk mengendalikan diri karena itu juga perintah Tuhan, mengendalikan diri.
PG : Betul, jadi memang kita mesti melatih dia mengendalikan diri. Ini tidak merupakan garansi bahwa pasti dia nanti setelah dewasa bisa mengubah metode itu, memang perlu waktu. Saya sendirimengakui bahwa saya pun dipukul sewaktu masih kecil dan ayah saya kalau memukul saya itu lumayan.
Meskipun ayah saya bukanlah seseorang yang memukuli saya terus-menerus, tapi kalau memang lagi marah dan mendisiplin saya, ayah saya memukul saya cukup keras. Saya akhirnya menyadari bahwa saya pun mempunyai potensi yang sama, waktu anak-anak saya berbuat hal yang salah atau nakal saya sadari itu awal-awalnya saya bisa marah dan benar-benar sepertinya mau memukul dia dengan sakit. Tidak puas kalau hanya memukul, rasanya ingin memukul sampai sakit. Saya sendiri kaget menyadari kok saya begitu, akhirnya saya mencoba mengendalikan diri dengan misalnya menjaga marahnya saya itu jangan sampai ke titik didih, tadi saya sudah singgung.
GS : Ya tapi sebenarnya tadi juga sudah disinggung, yang lebih pantas banyak memukul itu sebenarnya ibu atau ayah Pak Paul. Jadi si bapak atau ibunya, karena yang pernah saya jumpai dalam sebuah keluarga, kalau ayahnya yang memukul ibunya yang sakit hati. Dia merasa ini anak yang saya kandung kamu pukuli. Nah itu bagaimana, apakah Pak Paul punya pengalaman lain?
PG : Ya saya memahami ibu itu mempunyai naluri keibuan, dan naluri keibuan adalah naluri yang bercorak melindungi, menumbuhkan, memelihara. Jadi sewaktu yang ditumbuhkan, yang dipelihara, dlindungi itu diserang, si ibu memang merasa sakit hati juga.
pertanyaan Pak Gunawan sebetulnya dijawab sendiri oleh firman Tuhan, jadi di
Efesus 6:4 firman Tuhan berkata: "Dan kamu bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan." Nah, dari sini kita langsung bisa membaca bahwa bapaklah yang diminta oleh Tuhan untuk mendidik anak-anak di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. Dan kata didik sebetulnya mengandung unsur mendisiplin, jadi ayahlah yang ditunjuk Tuhan untuk mewakili Tuhan mendisiplin atau membentuk anak, sehingga akhirnya si anak bisa menguasai dirinya dan bertumbuh dengan lebih sehat. Jadi kalau kita simpulkan ayahlah yang memang ditugaskan Tuhan untuk mendisiplin baik itu dengan teguran maupun juga dengan pukulan, asal dalam batas yang wajar masih boleh dilakukan.
GS : Jadi mungkin itu yang agak sulit Pak Paul, kami kaum bapak atau yang pria ini lebih banyak menghindar karena khawatir nanti konfliknya menjadi berpindah, yang tadinya mau memukul anak tapi karena istri membela kami akhirnya menyerahkan kepada ibu supaya ibunya saja yang memukul, sementara kami atau ayah ini menghindar. Tapi memang tanggung jawabnya kami mesti belajar untuk menjaga supaya jangan sampai ke titik didih tadi Pak Paul.
PG : Betul, dan penting sekali bagi para ibu untuk menghormati wibawa ayah di sini dan tidak menengahi tatkala ayah sedang mendisiplin anak. Nah, sekali lagi saya katakan ini dalam konteks mndisiplin secara benar, kalau misalnya si ayah memukuli si anak dengan sadis sudah pasti ibu harus menengahi, jangan sampai anak itu menjadi korban.
Tapi kalau misalnya dipukul secara wajar, biarkan sebaiknya ayah dan ibu itu mempunyai suatu kesepakatan sehingga masing-masing tahu batasnya sampai seberapa jauh dia memukul dan memarahi. Misalkan pun saat misalnya si ayah memukul si ibu itu tidak setuju, menganggap bahwa peristiwa tersebut tidak harus diselesaikan dengan begitu kerasnya si ibu sebaiknya saat itu tidak memberikan komentar, setelah anak itu selesai didisiplin dalam ruangan yang privat di luar dari si anak itu, ibu boleh mengutarakan ketidaksetujuannya. Kenapa ini penting sekali sebab orang tua memang mesti seia sekata dalam mendisiplin anak, baru anak itu akhirnya bisa merespons dengan lebih baik.
GS : Ada lagi orang tua yang memukul anaknya Pak Paul, kalau tidak sampai menangis anak itu terus dipukuli. Seolah-olah anaknya itu belum merasakan sakitnya, dipukuli terus, apakah memang betul pukulan itu harus membuat sampai anak itu menangis?
PG : Tidak betul sama sekali, disiplin harus mengandung unsur sakit, jadi sekali lagi ketat itu harus ada. Ketat dalam pengertian memang akan mengekang dia dan yang bisa mengekang adakalanyaadalah rasa sakit, tapi tidak boleh menyakiti anak.
Jadi saya juga bedakan dua kata itu sakit dan menyakiti, disiplin perlu sakit tapi tidak boleh menyakiti. Jadi kalau ada orang tua memukuli sampai anak itu kesakitan dan sampai akhirnya harus menangis dia berhenti, berarti orang tua itu mempunyai masalah dengan kemarahan dan dia itu rupanya hanya bisa reda marahnya tatkala anak itu seolah-olah takluk di depan matanya, menangis dan sebagainya. Dan dia sudah kehilangan makna disiplin, sebab disiplin itu bukanlah menghancurkan jiwa anak. Jadi ada 2 unsur penting yang harus dibedakan, disiplin itu membentuk anak bukannya menghancurkan anak, adakalanya kita akhirnya orang Jawa berkata kebablasan bukan membentuk, malahan menghancurkan anak.
GS : Memang kalau begitu benar apa yang firman Tuhan katakan tadi di dalam Amsal itu Pak Paul, kita waktu kita itu ada batasnya untuk menghajar anak itu. Tapi selama masih ada harapan memang perlu dilakukan hajaran terhadap anak sebatas apa yang patut kita berikan dan saya rasa memang itu bukan untuk menyakiti dia tetapi untuk mendidik dia dengan baik. Jadi terima kasih sekali Pak Paul untuk uraian yang bukan hanya penting buat saya tapi tentu buat semua pendengar yang mengikuti acara Telaga ini. Demikian tadi kami telah persembahkan sebuah perbincangan seputar kehidupan keluarga bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Kami mengucapkan terima kasih untuk Anda yang sudah berkirim surat kepada kami, namun saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan selamat berjumpa pada acara TELAGA yang akan datang.