Memelihara Pernikahan 1

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T565A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Komunikasi ibarat darah dalam tubuh, tanpa komunikasi maka pernikahan mati; tiga unsur penting dalam komunikasi yaitu variasi, kedalaman dan kejujuran. Variasi menyemarakkan relasi, kedalaman memerkuat relasi dan kejujuran menghidupkan relasi. Dalam bagian ini akan dibahas pentingnya komunikasi yang terbuka untuk memelihara pernikahan.
Audio
MP3: 
Play Audio: 


Ringkasan

Sama seperti apa pun, pernikahan pun perlu dipelihara. Pemerhati dan penulis masalah pernikahan, Leslie dan Les Parrott, menjabarkan empat hal yang mesti diperbuat untuk memelihara pernikahan, yaitu komunikasi yang terbuka, komitmen yang teguh, pengampunan yang tak putus-putus, dan empati yang tulus. Mari kita lihat keempat hal ini secara saksama.

Komunikasi yang Terbuka

Komunikasi dapat diibaratkan seperti darah di dalam tubuh. Sesehat apa pun jantung, ginjal atau organ lainnya dalam tubuh, bila tidak ada darah, maka tubuh akan mati. Tidak ada pengangkut oksigen untuk didistribusikan ke seantero tubuh. Begitu pula dengan pernikahan. Tidak soal seberapa besar cinta dan tidak soal seberapa banyak kesamaan minat dan pola pikir di antara kita, bila tidak ada komunikasi yang terbuka, akan matilah relasi pernikahan kita.

Setidaknya ada tiga unsur dalam komunikasi yang seyogianya hadir di dalam pernikahan, yakni variasi, kedalaman, dan kejujuran. Mari kita perhatikan satu per satu. Makin banyak yang dibicarakan, makin hidup relasi pernikahan. Singkat kata, makin BERVARIASI topik percakapan, makin dinamis relasi pernikahan kita. Saya mesti mengaku bahwa di dalam pernikahan kami, Santy adalah orang yang paling bertanggung jawab memutar roda variasi dalam berkomunikasi. Ada saja hal yang diangkat dan dibicarakannya berdasarkan pengalaman hidupnya sehari-hari.

Saya yakin situasi kami tidak unik. Saya percaya banyak di antara kita yang berada di situasi yang sama; ada suami yang lebih suka bicara dan ada istri yang lebih suka bicara. Saya kira perbedaan ini lumrah dan wajar; jadi, tidak perlu kita mengada-ada menimbulkan topik pembicaraan bila memang tidak ada. Di dalam pernikahan kami, salah satu penyebab mengapa saya lebih cepat kehabisan bahan pembicaraan di rumah adalah karena di luar saya sudah lumayan sering berbicara—sewaktu mengajar, berkhotbah, atau memberikan pembimbingan. Terpenting adalah kita, yang kapasitas bicaranya lebih terbatas, tidak memberi respons negatif kepada pasangan yang senang berbicara. Jangan sampai kita mengeluarkan perkataan seperti, "Topik pembicaraanmu tidak bermutu" atau "Saya lelah mendengarkanmu." Perkataan seperti itu bak air dingin yang disiramkan ke bara api—memadamkan minat untuk berbicara. Mungkin kita yang lebih terbatas dalam berkomunikasi akan berkata, "Ya, memang itu yang saya inginkan—lebih sedikit bicara." Mungkin saja benar; gara-gara perkataan pedas yang kita lontarkan, maka pasangan tidak lagi banyak bicara. Masalahnya, dalam jangka panjang, komunikasi yang berkurang akan mengurangi oksigen pernikahan pula, dan ini tidak sehat.

Faktor kedua dalam berkomunikasi adalah KEDALAMAN. Variasi penting tetapi kedalaman juga penting; jika variasi menyemarakkan relasi, maka kedalaman memperdalam relasi. Membicarakan hal-hal yang bersifat pribadi seperti ketakutan, kebingungan, kekecewaan dan luka di hati berpotensi membawa relasi ke tahapan yang jauh lebih personal. Sudah tentu tidak mudah bagi sebagian kita untuk membuka diri membicarakan hal-hal yang pribadi itu bahkan dengan pasangan sekalipun. Setidaknya ada tiga penyebabnya.

  1. Ada yang memilih untuk tidak mengangkat topik pembicaraan yang dalam karena TAKUT MEMBEBANI pikiran pasangan. Kita berpikir, daripada membebani pasangan, kita tanggung sendiri saja semua persoalan yang sedang kita hadapi. Kadang, memang demikianlah kenyataannya; ada pasangan yang tidak kuat menanggung beban tambahan alias tidak tangguh menghadapi stres dalam hidup. Kita sudah melihat betapa terganggunya pasangan sewaktu berhadapan dengan tekanan hidup; itu sebab kita memilih tidak bercerita hal-hal yang dalam.
  2. Kita TAKUT TIDAK DITERIMA. Kita khawatir informasi yang kita sampaikan akan diinterprestasi oleh pasangan sebagai tanda kelemahan. Atau, kita takut pasangan tidak menghargai kita seperti sediakala setelah mendengar informasi personal yang kita sampaikan. Mungkin, kita pun takut bukan saja tidak diterima tetapi malah dicela. Itu sebab daripada mengambil risiko tidak diterima dan dicela, kita memilih menutup mulut—lebih aman.
  3. Kalaupun kita tahu bahwa kita akan diterima, kita memilih untuk tidak bercerita hal-hal yang dalam sebab kita tidak yakin bahwa pasangan akan dapat MENGERTI apa yang kita tengah gumulkan. Mungkin pola pikir pasangan lebih praktis dan konkret atau mungkin pasangan terlalu rasional dan kurang emosional. Apa pun alasannya, akhirnya kita menyimpulkan, percuma kita berbagi rasa dengannya karena ia tidak akan dapat mengerti perasaan kita.

Kedalaman dalam berkomunikasi adalah barometer kedalaman relasi; makin dalam komunikasi, makin dalam relasi pernikahan. Pada akhirnya relasi akan melemah apabila kita tidak berhasil menggali komunikasi dan membuatnya mendalam. Sama seperti akar tanaman yang memerlukan kedalaman tanah untuk memperkokoh batang dan memperoleh suplai air yang memadai, relasi pernikahan pun memerlukan kedalaman komunikasi untuk memperkuat relasi dan membuatnya tetap hidup, bahkan di masa gersang.

Terakhir adalah KEJUJURAN. Bila variasi menyemarakkan relasi dan kedalaman memperkuat relasi, maka kejujuran menghidupkan relasi. Jika tanpa variasi dan tanpa kedalaman maka relasi akan mati perlahan-lahan, tanpa kejujuran, relasi akan mati seketika. Singkat kata, kejujuran dalam komunikasi adalah nafas relasi; begitu kita berhenti bernafas—tidak lagi jujur—berhenti pulalah hidup relasi pernikahan kita. Ada satu hal yang tidak boleh hadir di dalam komunikasi yaitu pertanyaan, "Apakah ia sedang berkata benar?" Ketidakjujuran menghadirkan pertanyaan ini. Itu sebab penting bagi kita untuk berkata jujur sebab begitu kita berbohong, maka hilanglah semua bobot dan nilai yang terkandung di dalam ucapan kita. Amsal 20:23 mengingatkan, "Dua macam batu timbangan adalah kekejian bagi Tuhan, dan neraca serong itu tidak baik." Batu timbangan dan neraca adalah ukuran ketepatan berat benda. Bila si pembeli mengetahui bahwa si penjual telah mengutak-atik neraca dan batu timbangan sehingga tidak tepat demi keuntungannya, maka selamanya si pembeli tidak akan percaya pada si penjual. Usaha si penjual pun akan mati.

Demikian pulalah dengan komunikasi. Bak neraca dan batu timbangan, komunikasi diharapkan beralaskan kejujuran. Sekali diketahui bahwa ternyata kita tidak jujur, selamanya orang tidak percaya perkataan kita. Sekali kita berbohong, selamanya pasangan akan memertanyakan kejujuran kita. Di saat itulah relasi berhenti bernafas.