Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Kita bertemu kembali dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Necholas David, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi, seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Dan perbincangan kami kali ini tentang "Memelihara Pernikahan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
ND : Pak Paul, pada umumnya kita berusaha memertahankan atau merawat hal-hal yang kita anggap penting dalam hidup, hal-hal yang nyata yang kita bisa lihat seperti rumah, kendaraan atau tubuh kita sendiri. Saat ini kita berbicara tentang memelihara pernikahan sepertinya sesuatu yang terdengar lebih abstrak, bagaimana kita melakukannya ?
PG : Pak Necholas, sama seperti apa saja, pernikahan pun perlu dipelihara, ya. Pemerhati dan penulis masalah pernikahan Leslie dan Les Parrol menjabarkan 4 hal yang mesti diperbuat untuk memelihara pernikahan yaitu komunikasi yang terbuka, komitmen yang teguh, pengampunan yang tak putus-putus dan empati yang tulus.
ND : Ada 4 hal yang perlu kita cermati dalam usaha kita memelihara pernikahan yaitu komunikasi, komitmen, pengampunan dan empati. Dalam kesempatan ini kita bisa membahas hal yang pertama yaitu komunikasi yang terbuka.
PG : Baik, Pak Necholas, komunikasi dapat diibaratkan seperti darah dalam tubuh, sesehat apa pun jantung, ginjal atau organ lainnya dalam tubuh, bila tidak ada darah maka tubuh akan mati, tidak ada pengangkut oksigen untuk didistribusikan ke seantero tubuh. Begitu pula dengan pernikahan, tidak soal seberapa besar cinta dan tidak soal seberapa banyak kesamaan minat dan pola pikir di antara kita, bila tidak ada komunikasi yang terbuka maka akan matilah relasi pernikahan kita.
ND : Wah, sedemikian penting fungsi komunikasi dalam pernikahan, sampai-sampai ini diibaratkan seperti darah dalam tubuh, tanpa komunikasi dan pernikahan mati. Sebenarnya apa yang perlu kita perhatikan dalam menjalin komunikasi yang baik dan bermutu dengan pasangan kita ?
PG : Setidaknya ada 3 unsur dalam komunikasi yang seyogyanya hadir dalam pernikahan yaitu yang pertama variasi, yang kedua kedalaman dan yang ketiga kejujuran. Mari kita perhatikan satu per satu. Makin banyak yang dibicarakan, makin hidup relasi pernikahan. Singkat kata, makin bervariasi topik percakapan maka makin dinamis relasi pernikahan kita. Saya mesti mengaku bahwa dalam pernikahan kami, Santy adalah orang yang paling bertanggungjawab memutar roda variasi dalam berkomunikasi. Ada saja yang diangkat dan dibicarakannya berdasarkan pengalaman hidupnya sehari-hari.
ND : Jadi biasanya ada pihak yang cenderung lebih suka bicara dibandingkan pasangannya.
PG : Saya yakin situasi kami tidak unik, ya Pak Necholas. Saya percaya banyak di antara kita yang berada di situasi yang sama. Ada suami yang lebih suka bicara dan ada istri yang lebih suka bicara. Saya kira perbedaan ini lumrah dan wajar, jadi tidak perlu kita mengada-ada menimbulkan topik pembicaraan bila memang tidak ada. Didalam pernikahan kami, salah satu penyebab mengapa saya lebih cepat kehabisan bahan pembicaraan di rumah adalah karena di luar saya sudah lumayan sering berbicara, misalnya saya mengajar, berkhotbah atau memberikan pembimbingan.
ND : Apakah perbedaan ini bisa menimbulkan masalah, Pak Paul ?
PG : Terpenting adalah kita yang kapasitas bicaranya lebih terbatas tidak memberi respons negatif kepada pasangan yang senang berbicara. Jangan sampai kita mengeluarkan perkataan seperti, "Topik pembicaraanmu tidak bermutu" atau "Saya lelah mendengar kamu". Nah, perkataan seperti itu seperti air dingin yang disiramkan ke bara api. Langsung memadamkan minat untuk berbicara. Mungkin kita yang lebih terbatas dalam berkomunikasi akan berkata," Ya memang itu yang saya inginkan, lebih sedikit bicara". Mungkin saja benar karena perkataan pedas yang kita lontarkan, pasangan tidak lagi banyak bicara. Masalahnya adalah dalam jangka panjang komunikasi yang berkurang akan mengurangi oksigen pernikahan pula dan ini tidak sehat.
ND : Di sisi lain jika kita ingin meningkatkan variasi ini bukankah lama kelamaan kita bisa akhirnya ambil sana sini, sembarang apa saja kita bicarakan, yang penting banyak topiknya.
PG : Maka sedapatnya kita masuk ke faktor kedua, yaitu kedalaman. Variasi penting tapi kedalaman juga penting, jika variasi menyemarakkan relasi maka kedalaman memerdalam relasi, membicarakan hal-hal yang bersifat pribadi seperti ketakutan, kebingungan, kekecewaan dan luka di hati berpotensi membawa relasi ke tahapan yang jauh lebih personal. Sudah tentu tidak mudah bagi sebagian kita untuk membuka diri, membicarakan hal-hal yang pribadi itu bahkan dengan pasangan sekalipun.
ND : Sekalipun baik, penyebabnya apa ya seorang istri atau suami tidak berani mengungkapkan apa yang dia pikirkan atau dia rasakan ?
PG : Setidaknya ada tiga penyebabnya, Pak Necholas. Pertama, ada yang memilih untuk tidak mengangkat topik pembicaraan yang dalam karena takut membebani pikiran pasangan. Kita berpikir daripada membebani pasangan, kita tanggung sendiri saja semua persoalan yang tengah kita hadapi. Kadang memang demikianlah kenyataannya, ada pasangan yang tidak kuat menanggung beban tambahan alias tidak tangguh menghadapi stres dalam hidup. Kita sudah melihat betapa terganggunya pasangan sewaktu berhadapan dengan tekanan hidup. Itu sebab kita memilih tidak bercerita hal-hal yang dalam. Kedua, kita takut tidak diterima, kita khawatir informasi yang kita sampaikan akan diinterpretasi oleh pasangan sebagai tanda kelemahan. Atau kita takut pasangan tidak menghargai kita seperti sediakala setelah mendengar informasi personal yang kita sampaikan. Mungkin kita pun takut bukan saja tidak diterima tapi malah dicela. Itu sebab daripada mengambil resiko tidak diterima dan dicela, kita memilih untuk menutup mulut, lebih aman. Ketiga, kalau pun kita tahu bahwa kita akan diterima, kita memilih untuk tidak bercerita hal-hal yang dalam sebab kita tidak yakin bahwa pasangan akan dapat mengerti apa yang tengah kita gumulkan. Mungkin pola pikir pasangan lebih praktis dan konkret atau mungkin pasangan terlalu rasional dan kurang emosional. Apapun alasannya akhirnya kita menyimpulkan percuma kita berbagi rasa dengannya karena dia tidak akan mengerti perasaan kita.
ND : Saya merasa tiga hal yang Pak Paul sampaikan ini, benar. Ada kalanya saya sendiri enggan menyampaikan sesuatu karena takut membebani pikiran istri, kadang juga takut diterima dan di waktu lainnya saya pikir, tidak perlulah saya beritahu toh dia belum tentu juga bisa memahami. Apakah pernikahan kita bisa tetap sehat sementara kita menyimpan sesuatu dalam pikiran dan perasaan kita yang tidak kita sampaikan kepada pasangan?
PG : Tentang sehat memang ini agak relatif, ya Pak Necholas, sebab sebetulnya yang menentukan sehat tidak sehatnya sebuah relasi pernikahan, bukan hanya komunikasi. Komunikasi penting sekali tapi bukan satu-satunya faktor. Misalkan dalam komunikasi kita mengalami keterbatasan seperti kata Pak Necholas tadi, ada hal-hal yang tidak kita sampaikan, apapun alasannya. Kita akhirnya simpan, tapi misalkan di luar itu kita memunyai relasi yang baik dengan pasangan kita, misalnya kita memerhatikan kebutuhan-kebutuhannya, kita bersedia mendengarkan dia, kita selalu menyediakan waktu untuknya, pergi bercengkerama, mengobrol. Sudah tentu hal-hal itu akan nantinya berperan besar dalam kondisi pernikahan kita. Kalau komunikasi kita agak terbatas tapi di lain hal kita memunyai kedekatan, keakraban dan bisa menikmati hidup bersama, saya kira itu akan tetap bisa menjaga kesehatan pernikahan kita. Namun misalkan komunikasi kita terbatas karena kita tidak mau memberi beban tambahan kepada pasangan, tapi dalam hal-hal yang lain kita juga tidak punya relasi yang terlalu erat dengan pasangan kita, kita tidak memunyai waktu untuk bercengkerama, kita jarang menyediakan waktu pergi bersama dia. Kita juga jarang mendengarkan dia, sudah tentu itu semuanya nanti akan menambah ketidaksehatan dalam relasi pernikahan kita.
ND : Begitu ya. Dengan demikian apakah dapat kita katakan juga bahwa semakin dalam kita berkomunikasi dengan pasangan, akan lebih baik hubungan kita sebagai suami istri ?
PG : Kedalaman dalam berkomunikasi adalah barometer kedalaman relasi. Makin dalam komunikasi, makin dalam relasi pernikahan. Pada akhirnya relasi akan melemah apabila kita tidak berhasil menggali komunikasi dan membuatnya mendalam, sama seperti akar tanaman yang memerlukan kedalaman tanah untuk memperkokoh batang pohon dan memeroleh supplai air yang memadai, relasi pernikahan pun memerlukan kedalaman komunikasi untuk memperkuat relasi dan membuatnya tetap hidup bahkan di masa gersang.
ND : Saya kira dari dua hal tadi dalam komunikasi yang terbuka, menemukan variasi topik pembicaraan itu relatif mudah tetapi untuk membangun kedalaman saat berkomunikasi itu sulit. Ketika kita mengijinkan pasangan untuk menimba dari sumur hati kita, bukankah kita harus bersikap terbuka membiarkan pasangan melihat kita apa adanya?
PG : Betul, Pak Necholas. Memang kita mesti bersedia membiarkan pasangan melihat kita apa adanya, maka kita penting menyadari faktor yang ketiga dalam komunikasi yang juga penting adalah kejujuran. Bila variasi menyemarakkan relasi dan kedalaman memerkuat relasi, maka kejujuran menghidupkan relasi. Jika tanpa variasi dan tanpa kedalaman maka relasi akan mati perlahan-lahan. Tanpa kejujuran relasi akan mati seketika. Singkat kata, kejujuran dalam komunikasi adalah nafas relasi, begitu kita berhenti bernafas, tidak lagi jujur, berhenti pulalah hidup relasi pernikahan kita. Ada satu hal yang tidak boleh hadir dalam komunikasi yaitu pertanyaan "Apakah ia sedang berkata benar?" Ketidakjujuran menghadirkan pertanyaan ini, itu sebab penting bagi kita untuk berkata jujur sebab begitu kita berbohong maka hilanglah semua bobot dan nilai yang terkandung dalam ucapan kita. Dengan kata lain, begitu kita mulai berbohong maka pasangan akan kehilangan kepercayaan, itu sebab ia akan selalu bertanya, "Apakah kita sedang berkata benar?" Itu benar-benar adalah sebuah pembunuh komunikasi. Amsal 20:23 mengingatkan, "Dua macam batu timbangan adalah kekejian bagi Tuhan dan neraca serong itu tidak baik". Batu timbangan dan neraca adalah ukuran ketepatan berat benda. Bila si pembeli mengetahui bahwa si penjual telah mengotak-atik neraca dan batu timbangan sehingga tidak tepat demi keuntungannya, maka selamanya si pembeli tidak akan percaya pada si penjual. Akhirnya usaha si penjual pun akan mati. Demikian pulalah dengan komunikasi seperti neraca dan batu timbangan, komunikasi diharapkan beralaskan kejujuran. Sekali diketahui bahwa ternyata kita tidak jujur, selamanya orang tidak percaya perkataan kita. Sekali kita berbohong, selamanya pasangan akan memertanyakan kejujuran kita. Di saat itulah relasi berhenti bernafas.
ND : Pak Paul, kita sudah membahas disini tentang variasi, kedalaman dan kejujuran. Saya pikir sebagai makhluk sosial dalam pekerjaan kita, kegiatan bersama tetangga, interaksi dengan rekan sepelayanan, tentu kita juga sering menjumpai orang yang kita tidak suka, atau orang yang perbuatan dan perkataannya menyakiti hati kita. Sejauh mana kita dapat menceritakan hal ini kepada pasangan, sehingga kita juga bisa terbuka tetapi juga tidak jatuh dalam gosip, menjelekkan atau membicarakan orang lain ?
PG : Saya kira kita akan bergosip bila kita menambah-nambahkan apa yang terjadi demi keuntungan kita atau membela diri kita. Jadi kalau kita tidak menambah-nambahkan kita sebenarnya sedang memaparkan kenyataan. Memang kenyataan ini sedikit banyak subyektif karena bergantung dari sudut pandang kita, tapi kalau kita sedapat-dapatnya berkata sesuai dengan apa yang terjadi, saya kira itu bukanlah gosip. Kedua, kita bisa mengkategorikan sesuatu itu gosip bila maksud kita bukanlah hanya untuk ia berbagi rasa, kita sedang merasa kesal, kita mau cerita ada yang membuat kita marah tadi, tapi kita memunyai motivasi untuk menjelek-jelekkan orang. Saya kira itu juga masuk dalam kategori gosip, kita sengaja menambah-nambahkan untuk bisa menjelekkan orang tersebut. Selama kita tidak menambah-nambahkan dan selama kita tahu motivasi kita hanyalah mau menceritakan apa yang terjadi, yang menjengkelkan kita supaya kita bisa berbagi beban dengan pasangan, tidak apa-apa kita bercerita tentang apa yang orang tadi lakukan atau katakan kepada kita, hal-hal yang tidak menyenangkan itu. Inilah yang membuat relasi itu hidup karena kita berbagi bukan saja hal-hal yang enak, yang mudah, tapi kita juga berbagi hal-hal yang tidak enak dan tidak mudah.
ND : Bagi pasangan suami istri yang tiap hari bertemu bisa jadi mudah menceritakan banyak hal tapi mungkin di antara pendengar ada yang sedang menjalin hubungan jarak jauh karena tuntutan pekerjaan atau sebab lainnya. Masukan apa yang Pak Paul bisa berikan sehingga variasi, kedalaman dan kejujuran dalam komunikasi ini bisa tetap terjaga?
PG : Tidak bisa disangkal, Pak Necholas, dalam konteks jarak jauh, tidak bisa tidak relasi akan terganggu, akan terpengaruh dan yang menjadi salah satu penyebabnya adalah komunikasi akan terbatasi. Itu tidak bisa dihindari, memang orang bisa berkata, ada orang yang tetap tinggal serumah tapi tidak ada komunikasi, ya itu bisa. Tapi kalau misalkan kita sama-sama biasa berkomunikasi kemudian kita sekarang harus berpisah karena misalkan tugas atau pekerjaan, biasanya komunikasi akan terganggu. Dan sangat umum dalam relasi jarak jauh kesalahpahaman mudah terjadi. Kenapa ? Sebab memang tidak tatap muka, karena itu kita tidak tahu konteks perkataan pasangan kita. Kita juga tidak tahu latar belakang perasaan pasangan kita karena kita tidak di sana. Karena kita tidak tahu misalkan kita bicara dan kita mengeluarkan kata-kata yang kita anggap tidak apa-apa tapi karena dia baru saja mengalami sesuatu yang kita tidak tahu rupanya perasaannya peka waktu kita berkata sesuatu itu, dia langsung marah. Kita terkejut, saya berkata begini, kamu langsung marah. Akhirnya sudah lama bertengkar, marah baru kita mengetahui oh ternyata tadi ada yang terjadi dalam kehidupannya sehingga membuat dia peka, kata-kata kita itu menyulut kemarahannya. Sekali lagi saya mau katakan, tidak bisa dihindari seringkali kesalahpahaman dan akhirnya konflik mudah terjadi dalam relasi jarak jauh. Bagaimana kita menyiasatinya, sudah tentu bicaralah sejelas-jelasnya, usahakan kita memberikan informasi yang lebih jelas supaya pasangan mengerti konteksnya, apa yang tengah kita hadapi, sehingga pasangan lebih bisa memahami perkataan kita. Contoh yang mudah, pasangan melihat kita wajahnya tidak begitu ramah, pasangan kemudian tersinggung dan berkata, "Kamu bukannya senang, bisa bicara dengan saya, saya sudah tunggu-tunggu kita bisa ngobrol malam ini, tapi wajahmu seperti itu tidak enak dilihat". Kita yang sedang lelah atau mungkin baru saja mengalami hal yang tidak enak, mendengar perkataan pasangan seperti itu, kita malah marah. "Kamu tidak menghargai saya, walaupun saya sudah lelah, saya tetap menghubungi kamu tapi kamu seenaknya mencela saya". Akhirnya ribut lagi, jadi sekali lagi begitu banyak kesalahpahaman dapat terjadi dalam komunikasi jarak jauh. Kita sedapat-dapatnya memberi penjelasan sebelum itu terjadi. Kita bisa berkata, "Maaf ya, malam ini saya memang berusaha untuk berbincang-bincang santai dengan kamu, tapi terus terang saya lelah sekali. Saya minta maaf karena kamu sudah menunggu-nunggu untuk bicara dengan saya, tapi saya tidak bersemangat, bukan saya tidak bersemangat untuk bertemu atau berbincang santai dengan kamu, tapi memang hari ini benar-benar saya merasa sangat lelah, mohon maaf kalau malam ini saya tidak bisa bicara terlalu lama". Berilah penjelasan seperti itu, walaupun pasangan tetap merasa jengkel, tapi karena sudah tahu alasannya setidak-tidaknya tidak harus berakhir dengan pertengkaran.
ND : Jadi kemajuan teknologi yang bisa kita gunakan misalnya melalui ‘video call’, itu tetap belum bisa menggantikan pertemuan secara fisik, secara langsung ?
PG : Betul, karena memang tidak ada kontak langsung misalkan dalam contoh tadi, kita tinggal bersama tidak ada relasi jarak jauh, pada waktu pasangan kita pulang kita telah melihat dia lelah sekali, kita telah melihat sepertinya ‘mood’nya kurang begitu enak. Kita langsung sudah bisa bersiap-siap, sudah langsung bisa menyesuaikan diri. Tidak banyak bicara, kita ajak dia makan dulu atau apa, kemudian kita berkata, "Kamu tampaknya lelah hari ini" dan dia berkata, "Ya saya sangat merasa lelah hari ini". "Oke, tidak apa-apa kamu mau beristirahat". Jadi karena kita tinggal bersama, kita lebih bisa melihat konteks kehidupan, apa yang terjadi pada pasangan kita sehingga lebih bisa mengurangi kesalahpahaman.
ND : Pak Paul, saya jadi teringat masa remaja saya itu di era 90an, dulu ada sebuah lagu yang liriknya berkata, "You say it best when you say nothing at all". Kamu paling baik mengucapkannya justru pada saat kamu tidak mengucapkan apa-apa. Bagaimana menurut bapak ?
PG : Oh, sudah tentu ada waktunya kita tidak mengucapkan apa-apa sebab waktu kita tidak mengucapkan apa-apa, kita sedang mengkomunikasikan sesuatu yang penting yang mungkin perlu didengar atau perlu diperhatikan oleh pasangan kita. Misalkan dengan kita berdiam diri, kita menunjukkan kita mengerti pasangan kita sedang tidak mau bicara, sedang lelah. Waktu kita berdiam diri, kita sedang berkomunikasi dengan dia bahwa saya memahamimu. Kamu sedang lelah, kamu tidak ingin bicara dengan saya dan tidak apa-apa. Memang ada waktunya kita berdiam diri, tapi sudah tentu secara umum kita harus menjelaskannya. Karena pasangan tidak mungkin bisa mengerti pemikiran dan isi hati kita kalau kita tidak menjelaskannya.
ND : Pak Paul, di Asia ini pernikahan seringkali bukan hanya persatuan dua pribadi tapi terutama bersatunya dua keluarga besar. Pak Paul boleh bagikan pengalaman Pak Paul, hal apa yang dapat dilakukan anggota-anggota keluarga besar ini yang ternyata bisa membantu membangun komunikasi yang terbuka atau sebaliknya malah merusak komunikasi antara suami istri.
PG : Pada dasarnya keluarga yang besar itu atau orang-orang lain dalam keluarga itu tidak mencampuri urusan rumah tangga kita tanpa diundang. Kalau kita memang mengundang dalam pengertian kita bertanya, meminta masukan ya keluarga besar silakan memberikan masukan, tapi kalau tidak memang sebaiknya tidak gampang-gampang untuk campur tangan. Sudah tentu ada waktunya keluarga besar campur tangan kalau memang hal itu terlalu penting sekali, tapi kalau tidak sebaiknya keluarga besar tidak terlalu mencampuri. Dengan cara itu maka kita sebagai suami istri lebih berkesempatan untuk mengembangkan kemandirian dalam rumah tangga sekaligus dilatih untuk berkomunikasi dan menyelesaikan persoalan sendiri tanpa harus selalu melibatkan keluarga besar kita. Berikutnya kita juga mesti menyadari kalau dua keluarga besar ikut campur seringkali nantinya dua keluarga besar itu akan konfrontasi atau tabrakan. Sebab tidak bisa tidak biasanya kita akan membela anggota keluarga kita meskipun anak kita salah tapi karena dia anak kita, maka kita akan membelanya. Meskipun anak kita salah walaupun dia benar-benar salah, tapi waktu keluarga besar yang disana begitu marah dengan anak kita, kita tetap akan membelanya dan akhirnya kita marah. Jadi sebaiknya kita memang tidak melibatkan diri sebagai keluarga besar ke dalam pernikahan anak kita. Kalau memang penting sekali barulah kita terlibat, kalau tidak biarkan. Biarkan mereka membangun kemandirian, biarkan mereka berlatih untuk menyelesaikan masalah sendiri, sebab kalau tidak, kita terlibat akhirnya justru menambah, bukannya mengurangi masalah.
ND : Terima kasih, Pak Paul. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Memelihara Pernikahan" khususnya tentang komunikasi yang terbuka. Jika Anda berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat mengirimkan e-mail ke telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.